Saturday, October 23, 2010

My Boy, My Fantasy (Sindrom Nijikon)

Cerpen: Thifa Amakusa, 15 tahun
(BWS Bekasi)




Hai, kenalkan, namaku Amel! Aku percaya bahwa masa remaja itu indah. Gimana tidak? Hari-hariku selalu penuh rencana ala cewek 16 tahun dengan tiga sohib kentalku: Dita, Fifi, dan Agnes. Mulai dari ngebantu Dita dari masalah kelebihan berat badannya, atau malah Agnes yang terlalu kurus? Dan juga Fifi yang alergi makan coklat tapi demen banget sama benda yang satu itu! Padahal kalau dia kebanyakan makan coklat wajahnya bakal jerawatan lagi. Ujung ujungnya sih, dia sendiri yang nyesel. Tapi kalau udah ketemu coklat... kayaknya nggak bakalan berhenti makan, sampai coklatnya benar benar habis!

Begitulah. Penuh canda, walau kadang ada juga derai air mata (kayak waktu Agnes digosipin bakal pindah ke Manado, padahal cuma papanya aja yang ke sana, tugas kantor!) Sebagai sahabat, kami kompak dan sangat dekat. Kami saling bantu memecahkan masalah masing masing. Termasuk soal cinta! Ketiga sohibku itu benar-¬benar mati matian mengejar cinta cowok yang mereka sukai. Aku membantu memecahkan masalah mereka, dan mereka pun membantuku memecahkan masalahku.
Masalahku? Apa masalahku?

Itulah yang sedang kami bicarakan sekarang. Kami sedang berkumpul di kamarku seperti biasa. Tiduran dengan berbagai pose, dan ngemil sambil baca majalah cewek. Entah bagaimana ceritanya, tiba tiba saja pembicaraan kami mulai menyinggung 'masalahku’ itu.
“Jadi gimana, Mel? Apa udah nemuin cara buat nyembuhin 'kelainan' kamu?" tanya Dita tiba tiba sambil terus membaca majalah di hadapannya. Aku yang sedang memasukan sepotong kue ke mulutku jadi tersedak.
“Eh, a, apa?"
“Dita bilang, apa kamu udah nemuin cara buat nyembuhin 'kelainan' kamu itu?” Agnes mengulang pertanyaan Dita.
“Yaahh, ng... gimana ya?"
“Sebenarnya kamu niat sembuh nggak siih?" kali ini Fifi angkat suara.
“Jangan nanya kayak gitu dong. Kalau ditanya pengen sembuh atau nggak, jelas aku pengen sembuh! Tapi kalau ditanya niatnya lurus apa nggak... ya…”
"Yeeee! Gimana siih! Kalau niatnya nggak lurus ya nggak bakalan bisa sembuh!" sahut Agnes mendengar jawabanku.

Dita menurunkan majalah yang dibacanya, menatapku tajam dan berteriak, “Aduh, Amel! Kamu itu udah 16 tahun. Ayolah, coba suka sama COWOK NYATA! Masa kamu suka sama COWOK DI KOMIK-KOMIK?! Mereka itu NGGAK NYATA, Mel! NGGAK NYATAAAA!"
Ya, itulah masalahku. Aku ini pengidap Syndrome Nijikon alias Dua Dimensi Complex, yang, kalau dilihat di internet, artinya adalah : 'Suatu kelainan di mana seseorang lebih menyukai (atau lebih parahnya mencintai) tokoh dua dimensi seperti dalam manga atau anime daripada manusia nyata'.
Persis seperti yang kualami sejak empat tahun lalu. Bayangkan. Aku telah menjadi pengidap syndrome itu sejak empat tahun lalu! Tepatnya, ng... setelah aku ditolak oleh cinta pertamaku...Duuhh, gara gara patah hati, malah berakhir seperti ini! Sang Nijikonners, begitulah teman temanku menyebutku.
Dan akhir-akhir ini aku berniat untuk sembuh. Ya, aku harus sembuh! Aku sadar kalau terus menyukai tokoh fiktif seperti itu sama sekali nggak baik. Nanti aku malah jadi cewek abnormal lagi! Aduuh, jangan sampai deh. Tapi masalahnya, niatku untuk sembuh selama ini belum serius, hehehehe...
“Jadi aku harus gimana doong?"
Ketiga sahabatku menghela nafas panjang sebelum akhirnya Fifi bicara, “Oke, sebelum melangkah jauh, ada baiknya kita definisikan dulu Syndrome Nijikon yang sedang kamu derita.”
Waah, sampai pake definisi segala?!
Setelah tiga jam lebih berpusing pusing ria mengenai Syndrome Nijikon, akhirnya lahirlah kesimpulan kesimpulan berikut:

1. Syndrome NijIkon merupakan PERILAKU MENYIMPANG, sehingga wajib disembuhkan. (“Hehehe, jahat banget aku dikatain ‘menyimpang’!”)
2. Pengidap syndrome ini dapat menyadari dan mengakui, atau sebaliknya tidak menyadari dan menyanggah, bahwa dirinya mengidap syndrome ini (“Kamu termasuk yang sadar dan mengakui, Mel,” ujar Dita.)
3. Syndrome ini dapat berjangkit dalam waktu yang tak menentu (“Kyaaaa! Ini gawat!”)
4. Kesembuhan penderita sepenuhnya tergantung pada penderita itu sendiri. Akan sembuh bila ada NIAT YANG LURUS! (“Duuh, ini nih yang susah!”)

“Dan sekarang saatnya kita susun strategi terapi untuk Sang Nijikonners,” usul Dita, disetujui oleh yang lainnya.
Mereka bertiga pun langsung sibuk membuat strategi terapi yang dibuat dalam file di komputerku. File itu diberi judul : "The Way To be a Normal Girl".
Beginilah isinya:

1. LURUSKAN NIAT! Ini yang paling penting.
2. Yakin kalau kamu itu 'manusia normal', dan penyakit Syndrome Nijikon itu nggak normal. Makanya harus berjuang biar bisa sembuh!
3. Jangan mengaitkan segala hal dengan tokoh fiktif yang kamu sukai! (“Yee, nggak mungkinlah. Iwashi-kun kan tokoh pujaanku yang super keren. Wajar dong aku selalu mengaitkan segala hal dengan dia?”)
4. SUKAI COWOK NYATA!!! Karena ini bisa ngebuat kamu melupakan tokoh fiktif itu. (“Ngelupain Iwashi-kun? Mission impossible!”)
5. Kalau cara-cara di atas belum berhasil juga, buang, bakar singkirin, hancurkan, dan lenyapkan semua barang barang yang berhubungan dengan tokoh fiktif itu! (“Hwaaaaa! Jangan! Kalian tega banget siih! Masa aku harus ngebakar poster-poster Iwashi-kun yang super keren itu!”)

Aku menatap tidak percaya pada kertas yang berisi strategi terapi itu. Agnes mengetiknya dengan huruf super besar dan di-bold. la bahkan mengeprint-nya dan menempelkannya di meja belajarku dan di cermin. Supaya aku selalu ingat, katanya.
“Apa aku benar benar harus melakukan ini semua?" tanyaku.
“Yup! Kan kamu sendiri yang kepingin sembuh!?" sahut Dita.
“Iya siih... tapi…” Rasanya berat mencoba menghilangkan sesuatu yang sudah menjadi sindrome.
“Amel, 'kelainan' kamu itu sudah keterlaluan banget! Lihat saja kamarmu ini!" teriak Fifi, nggak setuju melihat muka bimbangku.
Perkataan Fifi benar. Kamarku penuh dengan gambar Iwashi Naganuma, tokoh kesukaanku yang membuatku seperti ini. Gara-gara ngefans berat sama Iwashi, tak jarang aku berbuat aneh: menulis namaku Amel Naganuma, bukannya Amelia Rahmasari! Aku juga memajang foto di dompetku dengan gambar lwashi. Dan aku memanggil Iwashi dengan sebutan sayang: Iwashi kun!
"Tapi... Iwashi kun kan keren. Tampan, baik hati, pintar, ramah, cool, hebat...." elakku, tak mau membiarkan mereka ‘mengusik’ tokoh kesayanganku.
“JANGAN MULAI LAGI!!!!" teriak Dita Fifi Agnes bersamaan.
“Apa kamu udah lupa kejadian memalukan minggu lalu, hah?" tanya Dita.
Kejadian memalukan minggu lalu? Jelas aku tidak melupakannya. Waktu itu sedang pelajaran BP. Entah mengapa guru BP di kelasku malah membahas soal jodoh dan pasangan hidup. Aku yang tidak tertarik tidak terlalu memperhatikan. Tapi guru itu malah bertanya padaku!
“Amelia Rahmasari, kira kira bagaimana tipe cowok idamanmu?"
Aku tersentak mendengar pertanyaan itu, memandang dengan bingung wajah teman temanku yang menoleh padaku sambil menahan senyum dan memasang tampang sedikit penasaran. Hey, mau tak mau aku harus menjawab. Dan jawaban itulah yang keluar dari mulutku,
“Yang... yang kayak lwashi Naganuma, Bu!"
GUBRAAAKKK!!!
"Nah, gawat kan?! Sampai kapan kamu mau menganggap Iwashi itu cowok nyata?! Padahal jelas jelas dia cuma selembar kertas nggak berguna!" omel Fifi sambil merobek sebungkus coklat yang dia ambil dari kulkas yang ada di dapur rumahku. Hgg, muncul lagi deh kebiasaan buruknya ngemil coklatnya.
“APA?! Selembar kertas yang nggak berguna?! Enak aja! Dia itu..."
"Dia itu JELEK!" sambar Agnes sambil melempar bantal padaku.
Aku manyun. Paling nggak tahan kalau Iwashi kun dihina hina.
"Lagian Mel, ngapain sih kamu suka cowok ftktif kayak begitu? Cowok nyata yang keren juga banyak, kok, " tanya Dita. Sudah berulang kali ia menanyakan itu padaku. Dan sudah berulang kali juga aku menjelaskan.
"Cowok nyata itu nggak ada keren kerennya! Memperlakukan cewek seenaknya sendiri! Mereka itu nggak bisa ngerti perasaan cewek!”
Benar, sejak aku mengalami sakit hati karena cowok yang jadi cinta pertamaku, aku jadi nggak suka cowok nyata. Aku lebih suka Iwashi-kun.
Tapi sohib sohibku itu nggak mau ngerti.


Setelah perundingan 'Terapi Sang Nijikonners' itu, teman-temanku benar-benar bekerja keras untuk menyembuhkan kelainanku.
“Mel, kamu udah siap belum?" tanya Agnes suatu hari, di telepon.
"Hm? Ah, iya... bentar lagi... Mungkin setengah jam lagi. Aku baru bangun tidur niih... " sahutku malas.
“Mel, plis dong... sekali ini aja kamu sungguh sungguh jalanin terapi. Cowok kali ini beda sama yang kemarin kemarin, kok. Dia ketua OSIS di skul nya! Orangnya baik, tampangnya oke, otaknya juga lumayan! Tajir lagi! Kamu nggak bakal nyesel deh, " kata Agnes, mulai berpromosi seperti biasa. Aku menghela nafas panjang. Itulah yang setiap minggu mereka lakukan: nyariin cowok nyata buat aku!
“Nes, Fi, kalau boleh jujur aku capek harus kayak begini terus... hampir tiap minggu kalian nyariin cowok buat aku. Ini udah yang kedelapan kalinya, kan? Tapi mana hasilnya? Nggak ada satu pun yang aku sukai! Yah, memang sih cowok cowok yang kalian cariin itu baik baik. Tapi perasaan suka itu nggak bisa dipaksain kayak gini..." kukeluarkan uneg unegku sambil mematut diri di cermin.
“Makanya ketemuan dulu aja. Kenalan dulu. Siapa tahu habis itu kamu jadi ada perasaan suka sama dia, dan kamu bisa ngelupain Si lwashi!” sahut Fifi.
Yeeee, nih anak, dibilangin bukannya ngerti malah masih ngotot juga. “Aduuuhh Iwashi kun itu nggak bakal bisa dilupakan begitu aja. Lagian di antara cowok cowok itu nggak ada yang kayak lwashi kun, sih!"
“Hiiihhh.... lwashi lagi, lwashi lagi! Sebenarnya mau sampai kapan sih kamu jadi seorang Nijikonners??!” omel kedua sohibku itu.
Hm... sampai kapan ya? Mungkin sampai aku bertemu Iwashi yang sesungguhnya. Aku percaya Tuhan akan memberikan seorang 'Iwashi' untukku…


Selama ini acaraku ketemuan sama cowok cowok itu selalu gagal. Kami hanya sekedar ketemu, kenalan, jalan bareng sebentar, dan setelah itu nggak bakal berlanjut lagi. Begitu pun dengan cowok yang kutemui (dengan paksa) kali ini.
Namanya Daniel. Awalnya dia perhatian banget sama aku. Kami kenalan dan ia menanyakan macam macam tentangku. Aku menjawab ala kadarnya aja. Setelah itu ia mengajakku jalan. Agnes dan Fifi, dari tempat persembunyian mereka, sudah tersenyum penuh kemenangan melihatku menyetujui ajakan itu.
Aku juga tidak ingat bagaimana kejadiannya, pokoknya tiba tiba saja (sebenarnya hampir setiap saat) nijikon-ku kumat. Bukannya aku membicarakan hal-hal romantis di depan Daniel, aku malah membicarakan Iwashi kun. Cowok itu diam seribu bahasa, nggak ngerti apa yang kubicarakan. Dan kemudian Daniel bilang kalau dia masih ada urusan, harus nganter mamanya belanja, bla bla bla. Pokoknya secara nggak langsung dia pengen cepat cepat pulang. Yah, mana ada sih cowok yang tahan dibandingin sama cowok di komik komik???
Dan saat Agnes dan Fifi muncul, aku cuma angkat bahu sambil nyengir dan memasang tampang ‘tak berdosa’ seperti keahlianku selama ini. Hehehe...


Tuhaaaan... terima kasih atas anugerah yang Engkau berikan padaku: tiga orang sahabat yang sungguh perhatian. Sangaat perhatian, namun sekarang malah aku yang kerepotan sendiri. Kemarin siang mereka datang ke kamarku, siap-siap dengan gunting dan cutter di tangan masing-masing. Mereka mau ngerobek dan ngebuang semua barang¬-barangku yang berhubungan dengan lwashi kun!
Aku langsung memohon mohon agar mereka jangan segarang itu. Aku berjanji akan bersungguh sungguh menjalani terapi ini. Oh... janji tanpa pikir panjang! Tapi mau bagaimana lagi, mereka terus mendesakku untuk sembuh dari Syndrome Nijikon. Mereka bilang, aku tak mungkin terus menjadi seorang Nijikonners. Nggak lucu dong kalau seandainya aku sudah berusia dua puluh tahun tapi masih ngejar ngejar tokoh fiktif.
“Kami nggak akan menghancurkan lwashi kun asal kamu bisa menyukai cowok nyata.... dalam waktu seminggu!” teriak Dita, Fifi dan Agnes serempak. SEMINGGU...?? Arrrgh, mereka emang sengaja menjebakku supaya dapat menghancurkan lwashi kun! Tapi kalau aku berhasil, mereka tidak akan memaksaku lagi untuk menjalani terapi gila ini.
Yaah, daripada aku melihat Iwashi kun hancur berkeping keping...Aku harus ‘menyelamatkan’ Iwashi kun dari tangan-tangan ketiga sohibku. Aku harus berjuang untuk menyukai cowok nyata. Fight, Amel! (lagi lagi niatnya salah ...)


Hwaaaa! Gimana nih?! Udah hari keempat, dan aku sama sekali belum menyukai cowok nyata! Tiga hari kemarin aku berusaha menyukai cowok, tapi ternyata nggak seorang pun cowok yang jadi incaranku cowok baik baik. Cowok pertama berandalan di SMA ku. Cowok kedua cowok beken, tapi perokok. Cowok ketiga keren, kapten tim basket di sekolah, tapi udah punya cewek. Hhh, sama sekali nggak ada yang kayak lwashi kun!
Tadi pagi Agnes menanyakan perkembangan usahaku. Aku cuma bisa angkat bahu. Habiiiss, memang sama sekali belum ada perkembangan apapun!
Dan baru saja Dita meneleponku.
“Ini udah hari keempat Iho, Mel! Batas waktunya tinggal tiga hari lagi! Pokoknya sesuai kesepakatan kita : kalau kamu belum menyukai cowok nyata tiga hari lagi, siap siaplah berpisah dengan Iwashi!”
"Tapi Dit ......”
Klik. Dita memutuskan telepon. Tinggal aku yang sekarang bingung setengah mati. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Bagaimana iniiii!


“Ameeel... " suara Mama memanggil, memecah lamunanku.
“Apa Ma?" sahutku malas sambil menuruni tangga, menemui beliau.
“Katanya hari ini kamu mau belanja di mal? Jadi nggak? Uang di ATM kamu masih ada kan? O ya, sekalian beilin Mama baju ya. Nanti uangnya Mama ganti. Sekarang Mama mau pergi arisan..." Mama berkata panjang lebar dan kemudian mengecup pipiku sebelum ia keluar.
Aku mendesah panjang. Kayaknya aku nggak pernah bilang kalau hari ini mau ke mal, deh? Lagi pusing pusing masalah lwashi, malah... Mh... ya sudahlah, aku akan ke mal. Hitung hitung refreshing...
Satu jam kemudian aku sudah duduk manis di metromini. Sendirian. Ya, sendirian. Aku sudah mengajak ketiga sohibku. Tapi tak satu pun dari mereka yang bisa ikut. Dita lagi fitness, biar kurusan katanya. Agnes lagi ikut bimbel dan baru pulang jam delapan malam. Kalau Fifi, sebenarnya mau ikut asal aku mau menunggunya dua jam lagi, soalnya dia lagi pakai masker penghilang jerawat...
Setengah jam kemudian aku sudah sampai. Berebut turun dengan beberapa orang yang juga punya tujuan yang sama denganku. Lho, kenapa tasku terbuka? Buru buru aku menutupnya dan melenggang turun dari metromini itu.
Aku berjalan dari toko ke toko, dari satu butik ke butik yang lain. Mal pada hari Minggu memang ramai. Sudah tiga tempat dimasuki, tapi aku belum menemukan baju yang cocok. Saat di toko keempat lah aku menemukan baju yang pas untuk Mamaku. Aku segera membawanya ke kasir.
“Dua ratus tujuh puluh ribu lima ratus rupiah," kata Si Mbak kasir.
Aku membuka tas, hendak mengambil dompetku. Tapi…hey, di mana dompetku?
Aku semakin bernafsu mengaduk aduk isi tasku. Di mana siih? Masa nggak ada?
“Kenapa?" petugas kasir memandang penasaran.
“A, anu, dompet saya…” kataku mulai panik. Lalu kutumpahkan semua isi tasku di meja kasir (malu maluin banget!) Tapi hasilnya nihil.
“Mungkin ketinggalan di rumah kali, Mbak?" kata kasir, simpati. Mana ada siih orang yang ke mal tapi lupa bawa dompet???!
“I, iya kali ya? Maaf ya Mbak... jadi berantakan begini. Aduuuh, tuh dompet ke mana siih?"
Aku kembali memasukkan isi tasku dan keluar dari toko itu. Bingung dan panik mulai menguasai diriku. Bagaimana dompet itu bisa hilang? Ng... ah! Jangan¬-jangan, waktu di metromini? Sebelum turun tasku sempat terbuka, kan? Ahhh! Kenapa aku bisa begitu ceroboh?!
Aku t1dak membawa handphone ku karena belum ku cas, jadi tidak bisa menghubungi siapa pun. Terlebih... aku sama sekali tidak memiliki uang untuk bisa melakukan apapun! Bagaimana aku akan pulang? Kalau aku naik ojek dari sini pun percuma. Di rumah nggak ada orang dan aku sama sekali nggak punya tabungan. Hhh... bagaimana ini?
Aku berjalan mondar mandir tak tentu arah. Panik. Dan tidak tahu harus berbuat apa. Seandainya aku bertemu dengan sescorang yang kukenal... Ah, bukan saatnya berandai andai!
Hm..hm ... hm...sebentar…
Apa saja isi dompetku? Uang? Jelas. Berapa? Entah berapa ratus ribu ada di dalamnya. Oh ya, kartu ATM ku. Kartu pelajarku. Kartu asuransi kesehatan. Dan... dan... foto lwashi kun!!!!
Sadar kalau foto lwashi kun hilang membuat lututku lemas. Foto... Iwashi kun... hilang ... ! Foto Iwashi hilang... foto Iwashi hilang... Dan aku tidak bisa pulang ke rumah!
Aku semakin panik. Terus berjalan mondar mandir, bahkan beberapa kali menarik rambutku sendiri. Mirip seperti orang stress. Tapi sekarang aku memang lagi stress. Hingga akhimya... aku mulai menangis.
Banyak orang memandang heran. Mungkin mereka pikir aku menangis karena baru diputusin pacar. Ah, terserahlah! Aku nggak peduli... Aku hanya ingin pulang ke rumah...(dan juga ingin foto Iwashi kun kembali. ) Tapi gimana bisa pulang? Aku tak bisa menghubungi siapa pun, tak mengenal seorang pun...
Aku terus saja menangis hingga seseorang menepuk bahuku. Aku terkejut dan segera membalik badan. Seorang cowok berusia sekitar 19 tahun berdiri di hadapanku¬. Badannya tinggi tegap. Kulitnya putih, matanya agak sipit, dan berhidung mancung. la memakai kacamata.
“Dek, kenapa? Saya perhatiin dari tadi kamu mondar-mandir terus," cowok itu bertanya dengan ramah. Tapi berhubung dia bukan orang yang kukenal, aku mundur selangkah dan menjaga jarak darinya.
“Ah.. ng... nggak kok. Saya... saya cuma ... jalan jalan aja di sini..."
Cowok itu tersenyum mendengar jawabanku.
“Kalau cuma jalan jalan kenapa nangis?"
Wajahku jadi merona. Aku terdiam untuk waktu yang lama. Tidak tahu apakah aku harus bilang kalau dompetku hilang pada seorang cowok asing.
“Nggak, saya nggak kenapa kenapa kok," kuputuskan untuk tidak menceritakannya.
“Bener nih nggak ada apa apa? Kalau gitu ya sudah," cowok itu berbalik hendak pergi. Tapi tiba tiba saja, di luar kendaliku, aku menahan langkahnya.
“Ng, anu...” mataku kembali berkaca-kaca. "Dompet saya hilang... saya nggak bisa pulang ke rumah."
Cowok itu mengajakku duduk di sebuah cafe di mal ini. Aku duduk kikuk berhadapan dengannya. Rasanya konyol sekali.
“Mau pesan apa?"
"Tapi... saya nggak punya uang...”
“Aku tahu dompetmu hilang. Makanya aku yang bayarin. Mau pesan apa? Ini sudah lewat jam makan siang, tapi pasti kamu belum makan, kan?" katanya. Aku tak memungkiri kalau sekarang perutku sudah menjerit minta diisi.
“Ng... terserah deh...”
Cowok itu memesankan menu yang sama untukku dan dirinya.
Sambil menunggu pesanan datang, kami pun berkenalan. Namanya Ari. Cuma itu. Tiga huruf yang simpel dan mudah diingat. Dia mahasiswa tingkat tiga jurusan fisika di UI. Dan sesuai dugaanku, umurnya 19 tahun. Dan walaupun matanya agak sipit, dia mengaku kalau dia bukan keturunan Chinese. Lama kelamaan, aku mulai merasa santai ¬seolah telah lama mengenalnya. Kami ngobrol berbagai hal, termasuk soal hilangnya dompetku.
“Oh, pantas kamu nangis. Yang hilang barang barang penting ya?"
"Ng...iya sih. Gara gara copet, foto Iwashi kun yang ada di dompetku hilang…”
“lwashi kun?"
“Iya. lwashi kun! Dia tokoh yang ada di…”
Dan bla bla bla. Tanpa sadar aku mulai membicarakan komik Iwashi Naganuma's Adventures. Bahkan ketika pesanan kami telah datang dan kami mulai makan. Ari hanya diam mendengarkan ocehanku.
"Ternyata kamu itu seorang Nijikonners, ya?" komentar Ari setelah selesai mengunyah. la tersenyum melihatku begitu bersemangat menceritakan Iwashi kun. Dan yang membuatku tersentak, ia sama sekali tidak merasa aneh dengan 'kelainan'ku ini.
“Ah, ya... Teman temanku juga bilang begitu. Kalau aku sudah mulai membicarakan Iwashi kun... mereka pasti langsung mengalihkan pembicaraan ke hal lain! Bete. "
"Tapi kalau dari ceritamu, Iwashi kedengarannya nggak buruk, kok."
Sekali lagi aku tersentak. Dia... dia.... dia orang pertama yang mengakui Iwashi¬-kun! Kyaaaaa…Senangnya!
“Iya, lwashi kun memang sama sekali nggak buruk! Tapi aku juga sadar kalau terus menyukai tokoh fiktif seperti itu nggak baik. Akhirnya teman temanku membantuku untuk sembuh. Tapi yaa, gitu deh! Hehehe. Habisnya mereka pakai cara yang benar benar gila!"
Dan aku pun menceritakan apa saja yang sudah terjadi beberapa bulan belakangan ini. Bahwa aku sudah delapan kali dipertemukan dengan cowok nyata, dan kesemuanya berakhir gagal total.
“Memangnya kenapa sama cowok nyata?" tanya Ari.
"Ya... ng... aku ngerasa nggak enak aja... Dulu aku pernah suka sama cowok. Kukira dia juga suka sama aku, habis dia baik banget sih. Eh, tau taunya dia cuma manfaatin aku biar bisa PDKT sama sohibku Agnes. Aku jadi sakit hati. Dan setelah itu... aku jadi alergi – nggak bisa menyukai cowok nyata...."
Ari mengangguk angguk paham.
“Menurut kamu, apa aku bisa benar benar sembuh?" tanyaku pada Ari.
“Bisa! Kalau kamu udah nemuin 'Iwashi' kamu sendiri....” ujar Ari. “Pasti suatu saat Tuhan akan memberikan seorang 'Iwashi yang nyata' buat kamu."
Aku terperangah. Kata katanya.... sama seperti kata kata yang sering aku ucapkan : Tuhan pasti akan memberikan seorang 'Iwashi' untukku...
Dan tiba tiba saja aku merasa jantungku berdetak dua kali lebih cepat!


Seminggu sudah berlalu. Saatnya ketiga sohibku menagih janji. Mereka datang ke kamarku sambil membawa benda-benda tajam, bersiap menghancur-leburkan semua benda yang berbau Iwashi-kun.
“Eh…eh, tunggu dulu. Jangan, plis….” Aku memohon.
“Kenapa?” tanya Dita. “Kamu nggak berhasil nemuin cowok nyata sesuai waktu yang telah ditentuin, jadi inilah konsekuensinya…” Dita mengacungkan gunting, siap-siap merobek poster Iwashi kesayanganku.
“Ehm…sebenarnya…sebenarnya….”
“Sebenarnya apa?” Dita-Fifi-Agnes memandangku penasaran.
“Mmm….sebenarnya aku udah nemuin seorang cowok yang kusukai kok.”
Jujur, saat itu aku nggak yakin dengan kata-kataku. Tapi demi menyelamatkan Iwashi-kun. Dan eh – siapa tahu…
“Siapaaaa?” ketiga sohibku berteriak penasaran.
Jelas aku nggak bisa menjawab. “Mm…belum pasti sih, tapi…ada kok.”
Tiga bulan kemudian, barulah kami mengetahu jawabannya.
Dita Fifi Agnes melihat perubahan dalam diriku. Aku semakin jarang membicarakan Iwashi kun. Aku juga sudah jarang menulis namaku 'Amel Naganuma'. Mereka mulai percaya bahwa aku sudah benar-benar menyukai cowok nyata, dan ingin tahu siapa cowok itu. Aku cuma angkat bahu dan tersenyum misterius saat ditanya tentang cowok itu.
Pukul sembilan malam dan aku baru saja tiba di rumah. Sabtu ini aku ada janji sama Ari. Masih ingat Ari kan? Cowok penyelamatku yang nggak alergi sama Iwashi. Kami sudah bertukar nomor telepon, dan aku sudah gantian mentraktirnya (untunglah dia mau ditraktir). Dan ini pertemuan kami yang kesekian sejak yang pertama kali di mal itu.
Baru saja aku membuka pintu kamar ketika handphone-ku berdering.
“Mel, tadi aku lihat kamu jalan bareng cowok! Hayo ngaku...Dia ‘cowok nyata’ mu kan?" berondong Fifi.
“Eh?" aku jadi kaget. Jadi mereka diam-diam mengintai nih?
“Iya! Tadi kamu jalan sama cowok di Plaza Senayan. Itu lho, Mel, yang tinggi, putih, rada sipit, terus pakai kacamata. Siapa namanya? Udah, sekarang jangan rahasia-rahasiaan lagi," teriak Dita setelah merebut gagang telepon Fifi.
“Dia itu Iwashi-mu kan?” tebak Agnes, merebut gagang telepon Dita.
Ah, dasar ketiga sohibku memang jail…tapi perhatian. Perhatian, tapi jail.
Aku nggak bisa menjawab pertanyaan mereka. Namun perlahan tapi pasti, wajahku merona merah. Ari adalah Iwashi-ku? Hmm…hmm…bibirku pun tersenyum.  Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS