Oleh: Hurul Aini as Silmi, 15 tahun
(BWS Bekasi)
Aku tak begitu suka mendengarkan kisah cinta. Namun yang ini berbeda. Ini adalah kisah cinta seorang pria - pria terbaik dalam hidupku. Namanya Danar. Dia memiliki sebuah kisah cinta yang unik, dan dia senang menceritakannya padaku, berulang-ulang. Aku selalu mendengarkan kisah cintanya tanpa pernah bosan.
Dulu, dulu sekali. Danar pernah menyukai seorang gadis. Ya, seorang gadis. Gadis itu bernama Rahmi. Danar menyukai Rahmi secara diam-diam. Silent love….
Perasaan cinta tumbuh sejak kelas 2 SMA. Rahmi adalah teman sekelas Danar. Ia gadis yang tidak hanya berwajah manis, dengan lesung pipit yang tersembul malu-malu di kedua pipinya yang mulus. Ia juga murid terpandai di kelas dan jago sekali dalam pelajaran Kimia. She’s Miss Alchemy in her class. Hal itu membuat Danar diam-diam merasa kagum padanya. Dari kagum, tumbuhlah sayang, dari sayang, tumbuhlah cinta – begitulah, seperti umumnya pepatah: cinta datang karena sering memperhatikan.
Danar sebenarnya cowok yang kepandaiannya pas-pasan. Namun melihat sang pujaan hati selalu menduduki peringkat satu di kelas, ia termotivasi untuk belajar lebih keras. Terlebih, setiapkali Rahmi tidak masuk sekolah karena harus check up rutin ke dokter – entah karena penyakit apa – Danarlah yang selalu dipinjam catatan olehnya. Danar mulai merapikan catatan pelajarannya, agar Rahmi tidak kesulitan membaca. Buku-buku catatan itu masih ada sampai sekarang – tersimpan di lemari di rumahnya, bersama tumpukan benda kenangan lainnya.
Karena termotivasi untuk belajar, nilai-nilai Danar yang biasanya tidak istimewa, meningkat tajam. Ia mulai rutin masuk peringkat 3 besar di kelas. Hmm…cinta memang bisa membuat seseorang memunculkan kemampuan terbaik, bukan? Begitulah yang terjadi pada Danar. Di hari kelulusan, ia berhasil memperoleh beasiswa dari sebuah universitas ternama. Dan entah sudah ditakdirkan Tuhan atau apa, Rahmi pun menerima beasiswa dari universitas yang sama. Mereka melanjutkan kuliah sama-sama, dan mengambil jurusan yang sama.
Danar dan Rahmi masih seperti di bangku SMA, sering berdiskusi soal pelajaran, dan pinjam meminjam catatan. Akan tetapi, kisah cinta di antara mereka belum ada kemajuan. Danar yang memang bertabiat pendiam, belum berani menyatakan perasaan khususnya kepada Rahmi. Ia baru bisa menyimpannya untuk diri sendiri.
Rasa cinta yang menyiksa, membuat Danar merasa harus bertindak. Ia tak bisa menyembunyikan perasaannya terus menerus. Ia akan menulis surat cinta untuk Rahmi.
Maka Danar mulai mencoba menuliskan perasaannya di atas kertas. Lembar demi lembar ditulisnya dengan ungkapan cinta yang berbeda. Kalau dirasa jelek, kertas-kertas itu akan dibuangnya ke tempat sampah. “Aku harus menulis surat cinta yang sempurna,” batinnya. Danar terus menulis, menulis, dan menulis. Tak peduli kamar kostnya dipenuhi surat-surat cinta yang gagal dibuat. Ia tidak tahu kapan suratnya akan cukup sempurna untuk ditunjukkan kepada Rahmi. Tapi saat itu akan tiba, batinnya optimis.
Hingga pada suatu hari, mendekati akhir semester perkuliahannya, Danar akhirnya berhasil menyelesaikan suratnya yang pertama. Ia siap menunjukkan surat itu kepada gadis yang dicintainya. Masalahnya, ia belum menemukan waktu yang tepat.
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya momen itu datang juga. Ketika pulang kuliah, Wisnu – sahabatnya memanggil. “Nar, lo lagi santai kan? Anter gue ke rumahnya si Rahmi dong.”
“Emangnya ada perlu apa ke rumah Rahmi?” tanya Danar. Heran sekaligus deg-degan. Apakah ini saatnya? Keringat dingin mulai membasahi dahinya.
"Udah, nggak usah banyak nanya. Sekarang juga kita ke sana,” ujar Wisnu. “Aku ada keperluan mendesak dengannya.”
Perasaan Danar makin tak karuan. Akhirnya, tiba juga saat untuk memberikan surat itu kepada sang gadis pujaan. Tuhan, kuatkanlah aku. “Ya udah, Nu. Tunggu sebentar ya, aku mau ke kost-anku dulu.”
“Ke kost-an, ngapain?”
“Ya mau ganti baju dulu lah. Masa kamunya rapi, aku cuma pakai kaus oblong begini,” kilah Danar. Tujuan utamanya ke kost-an tentu saja untuk mengambil surat cinta keramat itu! Yah, selain ingin tampil rapi di depan calon mertua, batin Danar konyol.
Setelah selesai urusan di tempat kost, Wisnu mengajak Danar mampir dulu ke rumah tetangganya, Pak Haji. Lelaki tua berpeci putih itu diajak ikut serta ke rumah Rahmi. “Kebetulan Pak Haji juga ada perlu ke sana, sekalian aja bareng kita,” jelas Wisnu kepada Danar.
Rombongan kecil itu pun tiba di depan sebuah rumah mungil yang dindingnya dicat hijau. Rumah itu terlihat nyaman dan hangat.
Seorang wanita paruh baya menyambut mereka di pintu pagar. Dia pasti ibunya Rahmi, pikir Danar. Mereka dipersilakan masuk ke ruang tamu mungil yang ditata sederhana namun berkarakter. Danar semakin gelisah. Ia memikirkan kapan waktu yang tepat untuk memberikan surat cintanya kepada Rahmi.
Rahmi muncul ke ruang tamu bersama ayahnya. Ia dan ayah ibunya duduk di sofa panjang, menghadap ke arah tamu. Suasana mendadak sepi. Surat ini akan kuberikan nanti saja pas mau pulang, batin Danar. Kemudian suara Pak Haji memecah kesunyian.
“Ibu dan Bapak dari Ananda Rahmi yang saya hormati," ujar Pak Haji dengan sikap formal. Danar menyimak baik-baik.
"Anda berdua tentu sudah tahu maksud kedatangan kami,” lanjut Pak Haji. “Karena rumah orang tua Wisnu amat jauh, di pelosok Kalimantan sana, jadi saya datang ke sini selaku wakil dari mereka."
Danar merasa ada sesuatu yang ganjil dari ucapan Pak Haji.
"Kali ini keputusan Nak Wisnu sudah bulat. Betul begitu, Nak Wisnu?” Pak Haji bertanya kepada cowok berwajah oriental itu. Wisnu tersenyum dan mengangguk mantap. Apa maksudnya?, pikir Danar.
“Saat ini,” lanjut Pak Haji. “Nak Wisnu memang masih kuliah. Tapi dia sudah punya penghasilan tetap dari menulis di majalah, dan umurnya juga sudah mencukupi. Semua syarat yang diajukan Nak Rahmi sudah terpenuhi. Setelah minggu lalu keduanya bertaaruf, Nak Wisnu sudah mantap dengan keputusannya untuk melamar….”
Tiba-tiba Danar merasa tersengat listrik berkekuatan 1000 volt. Ya Tuhan, jadi ia datang ke situ untuk menyaksikan acara lamaran?
“Nah, Nak Rahmi sendiri bagaimana?” suara Pak Haji mengiang.
Mata Danar berkunang-kunang ketika melihat gadis pujaan hatinya tersenyum malu-malu dan menjawab, “Ya, saya bersedia.”
Kalau Danar merasa harus mencubit diri sendiri, sekaranglah waktunya. Apa ini cuma mimpi? Danar tak percaya. Berulangkali ia mengerjapkan mata. Tapi ini nyata.
Wisnu! Ya Tuhan... Ternyata selama ini ada seseorang yang jauh lebih memikirkan Rahmi daripada dirinya.
Tubuh Danar bergetar. Pada saat itulah sesuatu muncul malu-malu dari saku kemejanya. Surat cinta keramat – ya. Surat cinta yang sudah ditulisnya selama bertahun-tahun, namun akhirnya takkan pernah tersampaikan, sebab sang bunga pujaan keburu dipetik orang. Dan orang itu adalah Wisnu, sahabatnya sendiri.
Ah, Wisnu, Wisnu, andai sebelumnya lo ngasih tahu dulu ke gue…
Semua orang bergembira ketika pertemuan itu usai. Di jalan pulang, Wisnu tampak sangat bahagia. Tanpa malu-malu, ia ber-yes ria di depan Danar. Lalu tersentak melihat wajah sahabatnya yang datar.
“Eh, Nar, kenapa muka lo pucat begitu? Lo…nggak marah sama gue kan, gara-gara gue nggak pernah cerita tentang kisah cinta gue sama Rahmi? Sorry ya, Nar. Gue pikir akan lebih manis kalo gue kasih tahu lo happy ending-nya aja. Gue pengen ngasih surprise buat lo. Biar lo selalu mengenang kisah cinta sobatmu ini. Eh, gak ngasih selamat ke gue nih?”
“Selamat ya, Nu. Semoga lo bahagia bersama Rahmi. Tenang aja, gue gak bakal melupakan kisah percintaan sahabat gue seumur hidup. Gak akan pernah,” Danar berkata pilu. Tapi ia melemparkan senyum terbaik yang pernah dimilikinya kepada Wisnu.
Wisnu merangkulnya erat. Lalu mengalirlah kisah cinta dari bibir cowok itu. Tentang bagaimana ia sudah menyukai Rahmi sejak pertama kali mereka masuk kuliah. Tentang bagaimana ia sering berkonsultasi dengan Pak Haji – guru ngajinya – mengenai masalah cintanya dengan Rahmi. Dan seterusnya…dan seterusnya…
Suara rel kereta api berdecit decit, memukul hati Danar yang pilu, menjadikannya kepingan kepingan kecil seukuran debu. Danar meremas kuat-kuat amplop putih dari sakunya, lalu membuangnya ke atas rel kereta, berharap surat itu hancur tergilas sebagaimana perasaannya. Ia menatap pilu pada setangkai rumput liar di pinggir rel kereta api. Ia bertanya... mengapa rumput itu tumbuh sendiri di sisi rel yang gersang…terus bertanya tanya... mengapa sendiri itu jadi terasa amat menyakitkan?
Itulah kisah cinta Danar. Danar adalah pria terbaik dalam hidupku. Dia ayahku. Dan ya, seperti janjinya kepada Wisnu, kisah cinta itu terus dikenang seumur hidupnya. Meski kini ia telah menikahi Ibu dan memiliki aku – remaja putri berusia 15 tahun – , kisah cinta itu tetap tersimpan, dan kadang-kadang diceritakan ulang kepada kami, sebagai penghangat suasana keluarga. Aku menyukai kisah cinta itu. Tanpanya, mungkin ayah takkan menikahi Ibu dan menyebabkanku lahir ke dunia… ***
Copyright@2008 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS