Friday, October 22, 2010

Madness

Cerpen: Lela Susilawati Sy.



“Kamu nggak kenapa-napa kan?” Polisi itu menatap wajahku dengan cemas.

Aku tak bisa berkata-kata, yang keluar dari bibirku adalah isakan tertahan.
Dengan gerakan kikuk – mungkin karena tak tahu harus berbuat apa – Jaka menggiringku untuk duduk di sebuah bangku kosong di mana kami berdua dapat duduk berdampingan. Jaka – sang polisi tak nyaman menatap wajahku.

“Nah, bicaralah. Ada apa?” bisiknya. Sementara kedua matanya menyapu sekitar, memastikan suaranya yang berat dan dalam itu tidak terdengar oleh siapapun selain kami berdua.

“Aku…” suaraku masih tertahan di tenggorokan. Rasanya sulit untuk mengatakannya. Sesulit aku membayangkan peristiwa ini akan terjadi padaku dan bukan hanya dalam sinetron.

“Aku telah…diancam seseorang!”

Detik menghening.

“Kamu, diancam?” ada nada sangsi dalam suara Jaka.

Aku mengangguk, tak tahu harus menangis atau menyimpannya sampai nanti. Kalaupun aku harus nangis, tidak di sini. Ini tempat umum di mana semua orang melihatku dan polisi itu.

Jaka mengambil sesuatu dari tanganku. Selembar kertas lecek dengan tulisan tangan yang jelek di dalamnya. Bunyi tulisan itu:

“BAYAR SISANYA SEGERA.
KALAU TIDAK, KANTORMU AKAN KUMUSNAHKAN.”
(SWARNADER)

“Siapa SWASNADES?” tanya Jaka sambil mengerutkan keningnya.
“Bukan swasnades,” ujarku. “Swarnader.”
“Tulisan ini sungguh jelek, huruf R nya tidak bisa dibedakan dengan huruf S,” ujar Jaka sambil mengamati kertas di tangannya. “Siapa Swarnader?”
“Aku tak tahu orangnya. Tapi kemungkinan salah satu pekerja proyek yang sedang membangun rumahku.”
“Kamu yakin?”
“Mungkin. Soalnya lokasi rumahku ada di Graha Swarna, dan Swarnader kuyakin merupakan julukan bagi para pekerja proyek di sana.”
Jaka mengangguk-angguk. “Apa maksudnya dengan ‘bayar sisanya’?”
“Aku tidak tahu,” ujarku. “Selama ini aku merasa telah membayar para pekerja itu sesuai perjanjian yang telah kami tandatangani. Aku sungguh tidak mengerti apa maksudnya.”
Kami terdiam. Jaka melipat kertas itu dan memasukkan ke dalam saku celana seragamnya. “Ya udah, sekarang kamu kembali ke kantor saja. Biar aku menjagamu dari sini sambil menunggu perkembangan. Kabari aku kalau ada apapun yang terjadi atau tiba-tiba kaupikirkan.”
Jaka membantuku berdiri, lalu menyeberangkanku. Kantorku memang terletak di seberang kantor polisi di mana Jaka bertugas setiap harinya. Aku masuk ke ruang kerjaku diiringi tatapan heran Tami sekretarisku. Melihat mukaku yang kalut, Tami segera mengambilkan segelas air putih.
“Ada problem apa, Mbak? Aku bisa bantu mungkin?”
Aku menggeleng. “Aku hanya…sedang tidak enak badan. Kamu teruskan saja bekerja, Tami. Surat-surat buat klien harus masuk ke mejaku hari ini.”
Dengan patuh Tami kembali ke kubikelnya. Seperti biasa, dia melakukan semua pekerjaannya dengan cekatan. Aku memandangnya beberapa saat. Sudah hampir lima tahun dia mengabdi padaku, menjadi sekretaris yang setia. Aku tak mau dia pergi dari sisiku. Ah, aku memang egois telah melarang dia menikah cepat-cepat. Usianya sudah 25, dua tahun di bawahku, cukup matang untuk mencari pendamping hidup. Tapi aku tak mau ditinggalkan gara-gara cuti bulan madu, cuti hamil, cuti melahirkan dan cuti-cuti lain yang umum dialami para wanita yang sudah menikah. Dia sudah terlanjur menjadi sekretaris kesayangan, aku tak mau menanggung resiko dengan merekrut orang baru.

Benakku kembali melayang ke surat ancaman itu. Perlukah aku bicara dengan Tami? Dia sangat bisa kupercaya. Tapi…kurasa waktunya belum tepat. Cukuplah aku dan Jaka yang tahu masalah ini.

Yah, setidaknya setelah bicara dengan Jaka, hatiku yang tadi bergejolak tak karuan jadi sedikit lebih tenang. Diam-diam kusingkap tirai jendela ruang kerjaku yang menghadap ke jalan. Jaka masih berdiri di depan pos jaganya sambil mengawasi kantorku.

***

Aku tidak tahu sejak kapan mengenal Jaka. Yang pasti sejak kantorku pindah ke sini, dia sudah bertugas di kantor seberang dan sering nongkrong di depan pos jaganya. Berulangkali aku memergoki Jaka masuk ke lobi kantorku dan mengobrol dengan resepsionis atau sekretarisku atau siapapun yang ia temui di lobi. Awalnya aku tidak mempedulikan kehadirannya. Aku selalu sibuk sendiri dengan urusan pekerjaanku sebagai bos di kantor ini. Kalaupun berpapasan atau tak sengaja memandang, kami hanya saling tersenyum atau menganggukkan kepala. Aku sama sekali tak tertarik dengan para polisi yang iseng datang ke kantorku hanya untuk menemui resepsionis atau sekretaris cantikku. Apalagi, profesi polisi sepertinya tidak cukup keren untuk dapat berakrab-akrab dengan seorang direktur perusahaan retail sepertiku.
Jaka tampan. Ketampanannya menonjol di antara para polisi lain yang sering bergerombol bersamanya dan bermain ke kantorku. Tapi aku tak terlalu berminat dengan ketampanan. Sudah banyak pria tampan di dunia namun tak memiliki kualitas lain yang dibutuhkan seorang wanita.
Sungguh tak sangka akhirnya kami harus terhubung. Aku dan Jaka, ya, meski hanya sebagai polisi dan ‘klien’nya. Ya, aku klien yang butuh perlindungan dari orang bersenjata seperti dia. Awalnya, adalah satu bulan lalu. Aku sedang membangun sebuah rumah pribadi di daerah yang tak terlalu jauh dari kantorku. Sialnya, para pekerja bangunan melakukan pemogokan selama tiga hari, dengan alasan minta kenaikan honor. Padahal jelas-jelas perjanjian kerja sudah ditandatangani. Tak punya ide lain, aku memanggil Tami sekretarisku dan menanyakan tentang para polisi itu.
“Kang Jaka aja, Mbak, dia orangnya kalem dan berwibawa, pasti bisa menghadapi para pekerja nyebelin itu,” usul Tami. Oh baik, jadi orang-orang memanggilnya “Kang” Jaka, pikirku dengan geli.
Jadilah kami bersosialisasi untuk yang pertama kali. Biasa, dengan tampang bossy aku menyuruh Jaka menemaniku menemui para pekerja proyek itu, berharap dia bisa membuat para pekerja kembali menghentikan aksi mogoknya.
Ternyata meskipun punya nama yang manis, tampangnya sangar juga ketika menghadapi para pemogok itu. Tinggi badan Jaka sekitar 185 meter, tampan, dan agak menakutkan. Saat dia membentak para pemogok dengan suaranya yang dalam dan berat, aku terkejut, sama seperti para pemogok itu. Dan seperti kata Tami, dengan wibawanya, Jaka berhasil membuat para pekerja menggigil dan terpaksa kembali melakukan tugasnya tanpa pemberontakan. Yah, tak sia-sia aku membayar polisi itu dengan harga tinggi.
Sejak saat itu aku merasakan ada yang lain dengan hatiku. Aku merasa…entahlah, mungkin terlindungi. Meskipun yah, dia melakukannya karena uang. Tapi aku belum pernah bertemu seseorang seperti itu.
Kukira hubungan kami sebagai polisi dan klien-nya akan cukup sampai di situ. Tapi…pagi ini sebuah surat ancaman muncul, dan satu-satunya yang terpikir olehku adalah menemui Jaka. Syukurlah, dia begitu perhatian pada kliennya. Dari balik jendela, dia masih bergerombol dengan temann-temannya sambil mengawasi kantorku. Aku jadi sedikit tenang. Rasanya seperti menemukan seorang bodigar yang siap setia pada tuannya.
Kuhempaskan tubuh ke atas sofa ruang kerjaku, lalu tertidur. Ketika bangun, hari sudah malam. Para pegawai sudah pulang. Di luar hanya ada Pak Asmat, satpam kantor yang kebagian tugas jaga malam. Sebelum berkemas untuk pulang, aku menulis sesuatu dan meletakkannya di atas meja kopi.
Besoknya, pagi-pagi sekali aku sudah tiba di kantor. Berharap semuanya baik-baik saja dan tak ada sesuatupun terjadi pada kantorku. Mudah-mudahan surat ancaman itu hanya perbuatan iseng. Rupanya pagi itu Jaka juga sudah datang pagi-pagi ke kantornya. Kulihat dari seberang dia melambaikan tangannya ke arahku. Aku tersenyum. Ah, kurasa memang tidak terjadi apa-apa, semua aman-aman saja. Aku segera masuk ke ruang kerjaku. Lalu menyeduh kopi seperti yang selalu kulakukan setiap pagi.
Dan di sanalah, di dekat toples berisi kopi, sebuah kertas terbuka, memperlihatkan tulisan jelek di dalamnya.

“INI PERINGATAN KE-2. BAYAR SISANYA SEGERA.
KALAU TIDAK, KANTORMU AKAN KUMUSNAHKAN.”
(SWARNADER)

Segera aku berlari ke kantor seberang. Sementara dadaku berdegup kencang.


***


Jaka menatap surat kaleng itu. “Kamu bilang, kamu menemukannya di sini?” dia menunjuk ke arah toples kopi.
Aku mengangguk.
“Sulit dipercaya,” katanya setelah memutari ruang kerjaku dan memeriksa berbagai sudut. “Darimana dia masuk?”
Aku menggelengkan kepala. “Tidak tahu. Kemarin sebelum aku pulang, tak ada apa-apa di dekat situ. Aku…aku tidak bisa membayangkan tadi malam seseorang telah masuk ke sini.”
“Hmm…Tidak ada celah lain selain jendela depan dan pintu, mustahil orang ini bisa masuk. Tak ada tanda-tanda pengrusakan atau membuka pintu dengan paksa. Sepertinya dia punya duplikat kunci ruang kerjamu.”
Aku tersentak dengan penjelasan Jaka. “Jadi…?”
Dengan perlahan Jaka mengambil tempat duduk di sofa, tepat di sampingku. “Ya, kurasa dia orang dalam. Atau seseorang yang kenal dekat dengan orang dalam.”
Aku berpikir. “Seingatku kunci selalu berada di tanganku.”
“Coba ingat-ingat lagi, mungkin kamu pernah menitipkan kuncimu ke seseorang dalam waktu cukup lama untuk dia membuat duplikatnya.”
Aku mengingat-ingat, tapi rasanya tak ada yang bisa kuingat.
“Baiklah, kabari aku apa saja yang berhasil kamu ingat.”
Jaka berdiri dan meraih gagang pintu, siap meninggalkanku.
“Tunggu…”
Dia berbalik. “Ya?”
Sorot mata teduh Jaka menatapku.
“Ada apa, Sarah?”
Aku terkesima. Ini tidak seperti diriku. Aku, yah, tak biasa meminta perlindungan dari seseorang. Tapi sekarang…dalam keadaan seperti ini…ya, aku butuh dia ada di sisiku.
“Jangan pergi. Aku….”
Jaka kembali duduk di sampingku. Sebuah lengan yang kekar melingkari bahuku, menarik tubuhku mendekat padanya. Jemari Jaka mulai memijit punggungku dengan lembut, menenangkan diriku yang sedang kalut.
“Kamu tidak usah terlalu cemas, Sarah. Bekerjalah seperti biasa. Aku akan menemui para pekerja proyek yang kemarin melakukan pemogokan. Siapa tahu memang mereka pelakunya.”
Aku menangguk.
“Ancamannya masih tetap sama dengan kemarin. Mungkin memang salah satu dari mereka.”
Kami terdiam. Menekuri bunyi detak jam dinding dan suara kendaraan berlalu lalang di luar.
Jaka masih tidak melepaskan lengannya dari bahuku.
Aku terpejam. Rasanya seperti menemukan seseorang yang akan menjagaku selamanya.
“Jaka….”
“Ya?”
Dia mendekatkan telinganya ke bibirku.
“Aku tidak tahu berapa harus membayarmu untuk urusan ini,” bisikku dengan wajah yang tiba-tiba memerah.
Dia tersenyum dan melepaskan tangannya dari bahuku. “Tak usah terlalu dipikirkan. Aku yakin kamu mampu membayar. Kamu kan bos di kantor ini.”


***

Jaka sibuk mondar-mandir ke kantorku. Ngobrol dengan semua orang – Tami sekretarisku, resepsionis, dan para staf lainnya termasuk pak Asmat, satpam yang jaga malam. Dia sudah menemui para pegawai proyek yang sedang membangun rumahku, tapi tampaknya hasilnya nihil. Belum ada orang yang pantas dicurigai sebagai penulis surat ancaman itu.
Jaka agak berantakan, mungkin karena kurang tidur. Kudengar dari Tami, dia sedang sibuk dengan tugas kantornya – selain sibuk menyelidiki perkaraku.
Seminggu kemudian, aku kembali mendapat surat ancaman. Aku berlari menyeberangi kantorku, hendak menemui Jaka. Tapi rupanya dia sedang tidak berada di pos jaga. Aku berkeliling ke semua bagian kantornya dan bertanya kepada setiap orang apa ada yang melihat Jaka. “Tadi dia pergi ke musola,” ujar seorang polisi setelah lima belas menit aku memutari kantor polisi yang besar itu.
Dengan nafas tersengal karena capek berkeliling, aku segera pergi ke mushola di belakang kantor polisi. Tidak ada siapa-siapa, karena hari masih pagi dan belum waktunya solat duhur. Aku hendak berbalik. Tapi tunggu…aku mendengar suara. Suara seorang wanita tengah tertawa. Asal suara itu sepertinya dari belakang mushola. Aku segera mengintip lewat lorong kecil. Dan jantungku seperti mau copot!
Tami ada di sana, sedang tertawa-tawa…

***


Para polisi berhamburan keluar. Para penghuni kantor sudah dari tadi berlarian. Asap membumbung tinggi dari salah satu sayap gedung kantorku. Petugas pemadam kebakaran sedang berjuang memadamkan api.
Aku terpana melihat keadaan di sekelilingku. Semuanya tampak kacau. Saat itulah Jaka menghampiriku. Aku tengadah untuk menatap wajahnya, dan dia membungkuk untuk menatap wajahku. Dia begitu besar dan tinggi, sedangkan aku begitu kecil. Dia seperti gajah dan aku semutnya. Dia membuatku takut...
“Ternyata ancaman itu benar,” katanya dengan tampang kalut.
Aku tak bisa bicara apa-apa. Masih terbayang di mataku saat api membakar gedung dan para polisi sibuk menyelamatkan para penghuni gedung. Jaka berhasil menarik tubuh sekretarisku yang sempat terperangkap dalam kobaran api. Dia membawa Tami ke rumah sakit dan kembali untukku. Sementara aku hanya bisa terpaku di sini, menatap api yang sudah hampir berhasil dipadamkan. Seharusnya aku berada di rumah sakit demi menyelamatkan sekretarisku yang setia.
“Apa sudah dipastikan semua karyawanmu selamat?” tanya Jaka.
“Aku…”
“Kamu kenapa, Sarah?”
“Aku mau pingsan,” bisikku.
Jaka langsung menahan tubuhku. Antara sadar dan tidak, kurasakan dia membopongku ke suatu tempat yang mungkin aman dari bumbungan asap.

***

“Syukurlah kamu sudah sadar,” sebuah suara yang dalam dan berat membisiki telingaku. Suara yang sangat kukenal, yang entah bagaimana kupikir telah mengisi suatu mimpiku yang panjang.
Aku membuka mata, dan wajah itu tersenyum padaku.
“Jaka?”
Dia mengangguk. “Kamu pingsan selama dua hari.”
“Ini di mana?”
“Di rumah sakit.”
Jaka membantuku duduk dan memberiku minum. Seorang suster datang dan memintaku mengisi beberapa formulir rumah sakit. Jaka memperhatikanku dengan seksama, sepertinya memastikan aku sudah benar-benar pulih.
“Kamu bisa segera pulang,” kata Jaka setelah suster itu pergi.
Aku menatapnya. Apa katanya? Pulang? Tidak.
“Aku ingin berada di sini selamanya.”
Jaka menatapku heran. “kenapa?”
“Di sini aman,” bisikku. “Setidaknya, bersamamu.”
Pria itu tersenyum. “Kamu tampak pucat dan berantakan,” katanya sambil menyingkirkan selembar rambut yang menghalangi mataku. “Tapi masih tetap cantik,” timpalnya.
Aku menatap wajah pria tampan di depanku. Dia balas menatapku.
Tiba-tiba saja air mata mendesak keluar. Aku menangis.
Jaka merengkuh bahuku, mengijinkan dadanya yang bidang untuk kusandari kepala dan kubasahi dengan air mata. “Aku mengerti perasaanmu, Sarah. Kamu butuh perlindungan.”
“Aku tidak suka dilindungi.”
“Kalau begitu aku tidak akan melindungimu. Aku hanya akan menjagamu.”
“Bagaimana dengan Tami? Apa dia selamat?” benakku tiba-tiba teringat sekretarisku.
“Dia selamat. Tapi wajahnya hangus, harus dioperasi berkali-kali untuk bisa pulih,” kata Jaka.
Aku menunduk sedih. “Sayang sekali, dia sekretaris yang begitu setia dan cekatan. Aku tak sanggup memikirkan harus mencari pengganti.”
Seraut ekspresi muncul di wajah Jaka. Aku sulit menafsirkannya.
“Kamu bos di kantormu, Sarah. Kamu bisa merekrut siapa saja yang kamu mau, termasuk mencari staf pengganti yang lebih baik dari Tami.”
Kurasakan sinar mataku meredup. Aku memang telah bersalah pada Tami. Dia telah punya kekasih yang dicintai, tapi aku melarangnya menikah cepat-cepat, hanya gara-gara aku malas merekrut orang baru. Sekarang, dia mengalami nasib buruk. Wajahnya hangus, apa kekasihnya masih mau menerimanya? Tiba-tiba aku merasa jadi manusia paling berdosa di muka bumi!
“Dengan uang, kamu bisa melakukan apa saja, Sarah. Kamu bahkan bisa menjadikan aku pengawalmu, seperti saat ini.”
Kata-kata Jaka membuat hatiku tertusuk. Apa selama ini aku memang selalu berkedok uang?
“Aku akan membayarmu, Jaka. Berapapun yang kamu minta. Asalkan kamu terus berada di sisiku.”
Jaka tertawa. “Kamu tidak perlu membayar apapun, Sarah. Dalam hubungan antarmanusia, ada banyak hal yang tak selalu bisa dibayar dengan uang.”
“Tapi hubungan kita klien. Aku harus membayarmu secara profesional sebagai seorang polisi yang telah menjaga kliennya.”
Jaka mengacak-acak rambutnya. Seolah tengah memikirkan sesuatu.
“Kamu tidak perlu membayarku, Sarah. Asalkan…”
“Asalkan apa?” aku menatap wajah Jaka yang tiba-tiba aneh.
“Asalkan kamu berhenti menulis ancaman-ancaman palsu itu hanya agar punya alasan untuk mendekatiku.”
“Apa?!”
“Ya, Sarah. Asalkan kamu berhenti berbuat konyol, sampai tega membakar kantormu sendiri gara-gara kau memergokiku tengah mesra dengan sekretarismu. Ketahuilah, Sarah the big boss, uangmu takkan bisa membeliku karena tanpa sepengetahuanmu aku dan Tami sudah menikah. Jangan coba-coba memasuki kehidupan pribadiku apalagi dengan cara-cara palsu.”
Sebelum aku menyadari semuanya, Jaka mengambil formulir yang tadi diletakkan suster di atas meja. “Lihat tulisanmu. Kau menulis beberapa kali namamu di sini. SARAH NURSEHA. Tulisanmu jelek sekali, dan huruf R nya tidak bisa dibedakan dengan huruf S !”

***


Aku tahu kalau cinta itu buta. Tapi anehnya, Jaka tidak mengerti hal ini. Dia terus membenciku setelah kejadian itu. Dia yang biasanya datang ke lobi kantorku dan ngobrol dengan siapapun yang ada di sana, kini bertahan di kantornya di seberang sana. Dia menghindariku.
Ya, aku memang salah. Aku begitu marah melihat adegan mesra yang tak pernah terduga itu. Otakku seakan tertutup kabut. Kunyalakan kompor gas di dapur kantor dan menabur bensin di atasnya, hingga sebelah bangunan kantorku hangus. Saat itu Tami berusaha mendorongku keluar dari kepungan api yang membakar dapur, dan dia sendiri malah jadi korban. Dia berkorban demi aku.
Andai aku bukan bos. Andai aku bukan bos yang arogan. Mungkin aku takkan melarang Tami menikah hanya gara-gara aku membutuhkannya setiap saat untuk melayaniku. Dan mungkin dia takkan menikah diam-diam…dengan pria yang tiba-tiba saja membuatku mabuk kepayang.
Sulit sekali memahami bahwa Jaka telah menikahi Tami. Apa setelah kejadian ini dia masih mencintai Tami?
Sungguh, ini bukan sinetron. Aku tak bermaksud menyingkirkan Tami, aku bahkan ingin mempertahankannya sebagai sekeretaris, sebab itulah aku melarangnya menikah.
Tapi gara-gara cinta buta, aku malah kehilangan semuanya – polisi tampan yang meskipun tak punya cinta namun siap jadi bodigar, dan sekretaris yang meskipun telah berbohong demi cinta namun siap jadi pegawai yang setia seumur hidup. Arrghhh…..

Copyright© 2010 by BWS®. Dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS.