Saturday, October 23, 2010

Reyn dan Rii

Oleh: Sekar Ayu Melati, 15 tahun
(BWS Bekasi)




“Benci dan cinta kadang tipis bedanya.
Hanya hatimu yang bisa melihat perbedaan itu.”



Reyn:

Cause the hardest part of this is leaving you
Lirik lagu Cancer dari band rock favorit Reyn itu mengalun di tengah bunyi rintik hujan. Lagu itu sediih banget, dan tiap kali Reyn denger lagu itu, pasti Reyn berubah jadi cowok melankolis yang dibenci Flier, sohibnya. Menurut Reyn, lagu itu emang menyedihkan, kok. Ceritanya tentang seseorang yang terkena kanker dan merasa malu pada dirinya karena sekarang dia jelek… (rambutnya rontok dan mukanya pucat). Jadi menurutnya wajar banget (malah seharusnya) kalau semua orang sedih denger lagu itu.
Lagu itu mengalun di terminal bus yang sepi karena hujan. Reyn memandang HPnya. HPnya nggak aktif. Baterenya abis. Padahal setahunya, dari seluruh penjuru sekolah, yang punya lagu Cancer di HPnya cuma Reyn. Atau ada anak yang dia nggak kenal dan terlewatkan? Tapi masa sih, ketua basket nggak kenal nama anak–anak satu sekolah sendiri. Sekolahnya kan sekolah khusus cowok. Muridnya semua cowok. Jadi mustahil ia tidak tahu…
Siapa dari dua orang yang ada di halte yang menyetel lagu favoritnya itu? Ada dua cowok yang sekarang sedang nunggu hujan bersama Reyn di halte itu. Reyn ingin tahu. Tapi jelas dong, Reyn tak mungkin nanya kepada mereka, “Siapa yang nyetel Cancer?”
Kedua cowok itu teman satu sekolahan Reyn. Yang satu Flier, sahabatnya, yang satu Fan, teman dekatnya. Kayaknya nggak mungkin dua manusia ini yang nyetel Cancer. Dua–duanya kalo nggak salah, lebih suka musik–musik reggae atau hiphop. Get real, Reyn. Terus siapa, dong?
Lagu itu sudah habis, lalu diputar ulang. Habis, diputar ulang. Berulang – ulang hingga Flier dan Fan pergi, dan kini tinggal Reyn sendiri. Reyn sebenarnya udah mau pulang, tapii… kayaknya dia lebih berminat sama penyetel lagu itu daripada sama angkot yang sejak tadi ia tunggu-tunggu di halte itu.
Seorang cewek duduk di ujung halte, sementara Reyn berdiri di ujung yang lainnya. Oh, jadi dia. Heran juga ia tadi tak menyadari kehadirannya.
Cewek itu berdiam diri dan duduk manis, memutar lagu yang sama berulang – ulang kali. Berulang kali, hingga sebenarnya ia merasa jenuh. Ia terus memutarnya dan memandang kosong rintik–rintik hujan yang membasahi jalanan, sama seperti airmata membasahi pipinya.
Reyn menoleh ke arah cewek itu. Sebenarnya, Reyn bukan cowok yang suka memperhatikan keberadaan orang lain, karena dia sendirilah yang biasanya menjadi perhatian orang di sekelilingnya.
Tapi kali ini Reyn memperhatikan cewek itu. Ia bahkan bangkit dari duduk dan menghampiri gadis itu. Gadis yang memakai seragam abu-abu seperti dirinya.
“Maaf, apa kamu yang putar lagu Cancer?” tanyanya. Bersekolah di sekolah khusus cowok membuat Reyn menganggap cewek sebagai ‘sesuatu’ yang begitu rapuh dan bisa hancur hanya dengan kata – kata. Jadi ia agak bingung mau ngomong gimana tanpa menjadi kasar atau terkesan nyablak. Ia juga agak kikuk karena biasa berhadapan sama temen–temennya yang ‘gila–gila’, dan tidak biasa berhadapan dengan cewek yang manis seperti itu.
Cewek itu menoleh pada Reyn.

Rii:

Rii nggak percaya kalau Tuhan itu tega. Rii nggak bisa, belom bisa terima kalau… kalau… Drey telah pergi.
Tapi itulah kenyataannya.
Drey adalah cinta pertama Rii, dan dia kini telah pergi. Drey yang senang tertawa, Drey yang humoris, Drey yang perhatian, Drey yang manis, Drey yang tegas, Drey yang bijak… Drey yang disukai Rii walaupun dia suka gombal!!
Rii baru pulang dari rumah sakit tempat Drey menutup mata untuk selamanya. Ia nyaris tidak bisa melihat pemandangan di sekitarnya karena ada bergalon–galon air yang mengalir keluar dari kedua bola matanya. Bola mata kecoklatan itu menangis. Rii merasa pedih, sakit, dan terluka. Ia tidak percaya betapa teganya Tuhan padanya. Pada Drey yang dicintainya!
Lagu Cancer pun mengalir dari HP-nya. Rii sendiri benci lagu itu, karena selalu mengingatkannya pada kondisi Drey saat dirawat di rumah sakit! Tapi Rii tidak tahu harus bagaimana lagi agar ia tidak menangis, agar masih bisa berkomunikasi dengan Drey meski hanya dari hati.
Semoga jika kuputarkan lagu ini berkali–kali, Tuhan dan malaikat mendengar dan menyampaikan padamu di surga, Drey…
Seorang cowok menghampiri Rii. Mau apa dia? Tidak bisakah tinggalkan Rii sendiri? “Maaf, apa kamu yang putar lagu Cancer?” cowok itu bertanya. Rii menoleh dan menatapnya, kemudian mengangguk. Rii tidak mau membuang–buang tenaga untuk menjawab panjang–panjang. Lagipula, ngapain iseng meladeni cowok yang pertanyaannya norak.
Rii kembali pada hatinya yang masih sakit. Masih serasa ditarik–tarik akibat shock menerima kematian Drey.
Tapi cowok itu tidak mengerti. Ia tidak beranjak dari Rii.
Kalau cuma pengen tahu siapa yang mutar lagu, pergilah. Aku nggak bisa ketemu cowok yang nggak kukenal, cuma sejam setelah Drey… Drey pergi.
(Rii tak mau menyebut Drey ‘meninggal’. Karena baginya kata itu hanya akan menambah rasa sakitnya.)
Permohonan Rii nggak terkabul. Cowok itu bukannya pergi, malah duduk di samping Rii. Rii hampir saja mendelik kesal padanya. Apa cowok itu nggak tau kalo Rii sedang menangis dan ingin ditinggal sendiri?
“Aku Reyn,” cowok itu mengulurkan tangannya. Mimik wajahnya yang ceria nggak sesuai banget dengan sedih yang sedang diderita Rii. Reyn tersenyum, dan Rii tidak mau membalas senyumnya.

Di Halte Itu:

Gila nih cewek. Menguji kesabaran banget, deh… Kapan sih, gue pernah bikin dosa sama cewek? Batin Reyn mengomel.
“Emm… oke, nama kamu Rona?” ia masih belum menyerah.
Cewek itu mengerenyit sedikit.
Hah, berarti dia denger, walaupun belagak cuek. Ah, udahlah. Kalo emang dia nggak mau ngomongin nama, berarti…
“Oh iya, kamu suka lagu ini ya? Ih gila, selera kita sama dong!!”
Cewek itu sedikit menggeser badan menjauh.
Ups, wrong move. Kalo gitu gue kedengeran kayak minat PDKT sama dia dan seolah – olah gue playboy sejati.
Eits, apaan tuh di tasnya? Rii. Jadi namanya Rii? Itu namanya, kan ya? Harusnya sih, bener.
“Namamu Rii, ya?” tanya Reyn.
Rii melongo. Tau darimana dia? Nah, mulai ada reaksi.
“Nice name, you know,” kerling Reyn pada Rii. “Kamu kayak cewek – cewek Jepun*.”
“Kamu tahu dari mana namaku?” akhirnya Rii nggak kuat nggak nanya. Rii sebenarnya benci sekali kerlingan cowok itu. Mengingatkannya pada kerlingan Drey.
“Lagu itu yang memberitahuku. Lagu itu berkata, nama cewek manis ini Rii. Namanya Rii! Angin dan hujan juga membisikkan begitu.”
Bah, gombal! Persis seperti Drey.
“Kamu nggak dengar? Lagu itu membisikkan namamu. Dia tahu namamu! Pasti karena kamu begitu menyukainya,” ujar Reyn.
Jangan bersikap seperti Drey di hadapan Rii, cowok aneh!
“Kamu bohong,” ucap Rii kesal. Tapi Reyn menggelengkan kepala seperti anak kecil yang berusaha untuk mengatakan ‘tidak’.
“Nggak, aku nggak bohong kok. Karena aku dengar jelas suara lembut dari lagu itu, bisikan angin di telingaku, dan ucapan riang rintik – rintik hujan menyanyikan namamu.”
Rii merona. Cowok ini sama pintar bicaranya dengan Drey.
As you wish it. “Oke, aku Rii,” gumamnya.
Cowok itu tergelak karena pancingannya berhasil.
Drey, oh, Drey, jangan anggap Rii cewek gampangan karena Rii ‘terpesona’ pada cowok ini, ya… Soalnya, dia begitu mirip Drey…
“Bagus. Jadi Rii suka banget lagu ini ya?” tanya Reyn.
Rii menggeleng. Kesedihannya agak berkurang sedikit karena bertemu cowok playful yang suka bicara manis ini.
“Ini lagu kesukaan cowokku…” lirih Rii.
Reyn tampak antusias. “Bagus banget! Aku pengen ketemu cowokmu deh, Rii, karena kayaknya cowokmu dan aku satu selera!” ucapnya berapi–api, membuat Rii heran. Soalnya mana ada cowok yang suka lagu ini… Cuma cowok mellow yang suka lagu sedih kayak begini…Apakah Reyn orangnya mellow?
“Nggak bisa,” tegas Rii. Sedetik kemudian, matanya berkaca-kaca. Ia teringat Drey. Kenapa cowok di sampingnya menyinggung soal Drey? Hah, dia memang nggak sensi.
Reyn bingung. Kenapa Rii tampak kesal dan sedih saat disinggung tentang cowoknya? Apa sedang ada masalah di antar mereka?
Sedetik kemudian Reyn mendapat kawaban. “Cowokku, Drey, udah men… men… Drey udah pergi untuk selamanya…” 

Seminggu berlalu sejak Reyn dan Rii bertemu di halte. Buat Reyn, itu adalah pukulan yang sangat, sangat parah akibatnya. Gimana enggak? Reyn amat shock karena mendengar cowok Rii (entah siapa namanya, kalau nggak salah Drew atau sesuatu yang seperti itu) meninggal. Kalau tahu sudah meninggal, tak mungkin kan Reyn bertanya tentang cowoknya Rii hanya untuk melihat Rii bersedih?
Reyn dan Rii tidak pernah bertemu lagi setelahnya. Mungkin karena memang letak sekolah Rii tidak jauh dari sekolahnya. Atau, mungkin cewek itu sengaja menghindarinya? Ah, benar memang, cewek adalah ‘sesuatu’ yang vulnerable – mudah patah hanya oleh kata-kata.
Reyn berharap bisa bertemu Rii lagi. Karena saat di halte, Rii keburu pergi, dan ia tak sempat meminta maaf kepada gadis itu. Tapi yah, sepertinya mereka takkan bertemu lagi. Lagipula, untuk apa? Mereka stranger bagi satu sama lain, dan tak ada kaitannya sama sekali.
“Reyn-botak, pulang nanti ke Candy Café ya,” teriak cowok-cowok dari kelas sebelah.
“Kenapa, mau kencan sama éke, ya ‘Jeng?” balas cowok yang duduk di sebelah Reyn, menjawabkan untuk Reyn. Gayanya bergenit–genit ala tante–tante. Reyn cuma ketawa.
“Iih… si Tante bisa aja, deeeh…” koor anak–anak cowok menggoda temannya Reyn yang ‘setengah mateng’ itu.
“Mau ya, Reyn?” ajak teman-temannya lagi, koor dari kelas sebelah.
Reyn nyengir. Alaa… paling juga mau ketemu sama cewek cewek sekolah seberang. Apa lagi yang bisa dilakukan di Candy Café selain itu?
Lagipula, kecentilan banget sih tuh cewek–cewek! Mau-maunya ketemuan segala di café. Nggak pernah ketemu cowok–cowok bejat ala sekolah ini ya??
Reyn dipaksa teman-temannya. Akhirnya pulang sekolah, ia terjebak di Candy Café yang penuh konfeti warna pink yang (SUMPAH) menurutnya norak ini. Norak banget! Nggak bisa kumpul di café yang lebih norak sekalian? Pikir Reyn kesal. Ia jengah karena nggak biasa ngumpul di tempat beginian.
Flier, sahabat Reyn, menyentil pundak Reyn yang tampak nggak nyaman berada di café itu. “Lo kenapa ngelamun? Hey, just cheer up. Ladies here!” ujar Flier. Cowok itu memang paling getol kalo diajak ke acara blind date begini.
“Ladies, ladies… lo kayak sok hormat sama cewek aja! Biasa juga lo panggil mereka chicks kan, bukan ladies?” kesal Reyn. “Atau, bitches?”
“Bisa diem nggak sih lo?? Udah sebulan kita nggak ketemu cewek! Nikmatin aja!” ujar Flier, nggak mau kesenangannya diusik Reyn.
“Sebulan? Gue sih nggak pengen ikut beginian walau setaun belom kencan. Cewek tuh nyarinya pake hati, Man… pake hati! Bukan pake kencan buta sekali jadi kayak gini!” sengit Reyn.
“Hari gini pake hati? Nonsense banget, lo!”
“Justru karena hari gini jarang yang pake hati, makanya cewek nyarinya yang seperti itu!!”
“Shh… shut up!” ujar Flier. “Ladies, welcome to our first meeting,” katanya sambil merapikan bajunya ketika melihat para cewek sudah datang ke café dengan dandanan warna-warni.
Reyn menggeleng pasrah. Percuma aja ngomong ama Flier kalo urusan cewek. Dia mah gila cewek. Doyan banget nge-date kaya gini, tak peduli kalo ternyata ngembatin cewek orang.
“Man… gue setuju ama lo. Kalo nggak gara–gara Flier, gue nggak bakal mau duduk di sini,” ujar Fan. “Menurutku ide kencan ini gila.”
Fan adalah teman sekelas Reyn dan Flier. Cowok ini nggak sepopuler mereka berdua di sekolah, tapi Fan orangnya nggak gila cewek kayak Flier. Hanya saja, dia paparazi paling akut di sekolah, yang untungnya nggak mau ngeliput acara blind date kali ini. Yeah, untung ada Fan. Kalo nggak, bisa–bisa cuma gue yang gagu di tempat ini, pikir Reyn.
Reyn benar–benar kesal dengan acara konyol mereka, yang membuatnya merasa buang-buang waktu aja. Ia terus berpikiran begitu sampai ia melihat rombongan cewek masuk ke kafe, dan sesosok cewek yang menyita pikirannya sejak kejadian seminggu yang lalu, ada di antara rombongan itu.
Rii! 

Rii tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Reyn ada di sana! Cowok yang minggu lalu ketemu di halte. Cowok yang benar–benar mengingatkannya pada Drey.
Apa yang harus kulakukan di sini? Bisik Rii, tak enak hati. Di hadapan Reyn?
Ia terjebak dalam kondisi memalukan. Berani kencan buta dan masuk ke dalam rombongan cewek-cewek yang terkesan ‘nggak laku banget’…Dan kelihatannya Reyn nggak suka sama cewek–cewek model temen–temennya Rii.
Rii sendiri nggak suka ikut kencan buta ini. Tapi mau bagaimana lagi? Teman-temannya memaksanya ikut. Pada saat Drey masih ada, Drey bisa dijadikan alasan. Tapi sekarang Drey udah nggak ada… Alasan apalagi yang bisa dia kasih ke teman-temannya yang doyan maksa? Rii bukan orang yang berani menolak hanya dengan berbekal alasan ‘nggak mau’…
Reyn!! Rii melihat tatapan terkejut pada Reyn dan melihat perubahan pada tatapan itu. Terasa sekali… Reyn menyipitkan matanya saat melihat ke wajah Rii. Sepertinya, sepertinya dia menganggap Rii cewek gampangan, sama seperti semua teman-teman ceweknya yang ikut datang ke café ini.
Sekarang Rii sudah sampai di sini. Mau gimana lagi?
Setelah akhirnya semuanya duduk, baik rombongan Reyn maupun Rii, salah satu teman Reyn yang hottie banget membuka ‘pertemuan’. Reyn hanya memandangi para peserta blind date yang menurutnya stupid-banget-deeh dengan tatapan menghina dan muak. Setelah pertemuan dibuka, Reyn tiba-tiba berkata tajam dan pedas, “Kalian cewek–cewek apa menganggap semua cowok baik–baik? Belom ketemu cowok yang akhlaknya ‘rusak’ ya? Kok mau–maunya sih ikut acara ketemuan gini…”
Semua cewek pada mendelik marah mendengar kalimat yang dilontarin Reyn. Tapi Rii merasa ucapan pedas Reyn sebenarnya hanya tertuju pada dirinya.
Ingin Rii menjerit. Tahukah Reyn, Rii sebenarnya nggak mau ikut… ini juga aku dipaksa!! Lagian Reyn ngomong gitu, emangnya kamu tidak termasuk peserta blind date ini? Ingat, kamu juga ikut pertemuan ini, Reyn!
“Lo ngomong gitu, emangnya lo bukan cowok? Lo juga mau–maunya ikut pertemuan ini kan?” sanggah Cesh, teman Rii yang mempelopori acara dengan nada yang menurut Rii nggak perlu nyolot.
“Aah… sudah deh, Cesh,” ujar Rii menenangkan temannya. Sudah kepalang basah … Lagipula, WHO’S REYN, anyway? Ngapain peduliin cowok sereseh itu.
“Kalo cewek ikut beginian, gue kasitau ya,” kata Reyn dengan nada sok tahu. “Kalo seandainya terjadi ‘hal–hal yang nggak diinginkan’ yang dilakuin para cowok, maka yang jadi korban adalah KALIAN, para cewek!”
“Reyn!” seru Flier kepada Reyn dengan marah. “Jangan rusak acara ini, dong.”
“Iya, dasar cowok aneh!” desis Cesh.
Actually, it’s true, Cesh… That’s why I never want to do this, gumam Rii dalam hati.
Reyn bangkit. “Gue mau ke toilet, ah,” ucapnya datar.
Tapi sebelum dia pergi, dia menatap Rii dengan pandangan yang jelas– jelas berkata ‘ya-ampun-ternyata-kamu-sama-anehnya-sama-cewek-lain’.
“Reyn!” bentak Flier.
“Kenapa, Flier?” ujar Reyn sinis.
Perang saudara tampaknya sebentar lagi pecah.
Ya ampun, Reyn… memangnya kamu kenapa sih? Rii nggak ngerti deh, kenapa kamu jadi aneh begitu…
“Duduk aja deh!” sembur Flier. Membuat Reyn urung ke toilet. 

Cewek bodoh! Gue baru aja mau minta maaf karena nggak peka. Waktu itu mana sempet gue minta maaf? Kamu udah keburu lari…
Cewek aneh, ternyata seleranya sama aja kayak si Flier. Doyan nyari pacar gampangan. Kalo cowok sih nggak pa–pa begitu. Tapi kalo cewek? Apa cewek jaman sekarang pikirannya udah sedangkal itu?
“Reyn?” Rii memanggil namanya ketika ada kesempatan berdua.
What else now? Huh? Apaan sih ni cewek. Gue salah banget deh, nilai dia…Reyn menatap tak suka.
“Reyn kenapa sih?” tanya Rii.
Reyn bicara. “Lo tau, Rii… tadinya gue mau minta maaf karena waktu di halte gue udah bersikap nggak peka sama lo. Apalagi lo langsung kabur setelah bilang kalo cowok lo udah nggak ada lagi. Tapi begitu gue ngeliat lo disini? Gue rasa itu nggak perlu lagi.”
“…..”
“Gue nggak perlu menghibur lo lagi, Rii. Nggak perlu minta maaf lagi, karena toh, ternyata lo menganggap cowok itu cuma sebagai mainan…Lo nggak menghargai cowok. Dengan datang ke café ini, lo sama aja dengan cewek–cewek rendahan lainnya. Gue ilfeel banget sekarang…”
“…..”
“Sorry banget lho, Rii… Tapi gue baru aja membuat kesalahan besar. Ternyata cewek dimana–mana sama. Tadinya gue pikir lo itu tipe cewek bener yang sentimentil, taunya…”
Sekarang Rii tak tahan lagi. “Reyn, CUKUP!”
Teriakan Rii menghentikan ocehan Reyn yang membuat telinga dan hati Rii sakit. Rii sakiit… sekali mendengar tuduhan Reyn. Apalagi bagian kata ‘rendahan’nya itu. Dan bagian ‘nggak menghargai cowok’. Reyn jelas-jelas menganggapnya nggak menghargai Drey. Dan yang paling membuatnya sakit adalah karena Reyn mengatakan semua itu dengan nada formal, seolah bicara dengan seorang kekasih yang telah mengkhianati!!
“Kita baru kenal, Reyn. Kenapa kamu begitu peduli pada apa yang Rii lakukan dan tidak lakukan?” kata Rii. “Aku ikut acara ini karena dipaksa teman-teman, Reyn,”
“Klise banget sih, lo!!” caci Reyn. “Membebankan kesalahan pada orang lain.”
Rii benci Reyn. Dia stranger – orang asing bagi Rii. Tapi kenapa sok menilai? Sok nge-judge? Punya hak apa dia menyembur Rii dengan kalimat-kalimat pedas itu?
“Kamu harus tahu, Reyn. Kalau kamu anggap Rii nggak menghargai Drey, itu salah…”
“Trus yang benar apa? Kalo gue nggak salah itung, ini baru seminggu setelah kematian cowok lo itu. Nggak pantes, tau, merayakan hari kematian pacar dengan cara kayak gini. Harusnya lo masih dalam suasana berkabung.”
Rii menahan tangisnya yang sudah sampai ke dada.
Ia tidak tahu, Reyn juga tengah membenci diri sendiri, kenapa sih gue ngomong hal itu di depan Rii? Jelas-jelas Rii bukan siapa-siapanya. Rii orang asing. Kenapa ia begitu nyolot?
Rii memalingkan muka dari Reyn. Ini nggak benar, Reyn. Kenapa harus membahas Drey? Dan kenapa….Reyn mengingatkannya pada Drey? Reyn terlihat begitu mirip Drey sewaktu berkata ‘nggak pantes’? Rii merasa Drey-lah yang sedang bicara di depannya… Membuat semua kenangan terukir kembali. Membuat semuanya terasa lebih pedih daripada ketika di halte…
Fan mengamati dari jauh. Sial. Harusnya Flier nggak ngajak Reyn ke tempat ini. Karena Reyn nggak mungkin bisa adaptasi. Reyn bakal merusak situasi. Lihat aja, bukannya nge-date, Reyn malah bertengkar dengan salah satu cewek di pojok café.
“Rii minta maaf, Reyn… aku tahu ini nggak pantes untuk Drey. Aku tahu aku salah,” ujar Rii, lirih.
Sebenarnya, untuk siapa aku minta maaf?
Reyn merasa dadanya sakit. Kenapa bisa merasa begini? Nggak seharusnya gue merasa sakit… Dia itu siapa? Dia bukan siapa–siapa…Ketemu juga baru dua kali. Tapi kenapa gue merasa harus mengingatkannya akan kematian Drey? Sial. Gue kenapa sih?
Rii tak enak hati. Kenapa harus minta maaf pada Reyn? Sebenarnya, apa arti Reyn untukku? Apa hanya karena Reyn suka lagu Cancer, sama seperti Drey, lantas ia menjadi berarti? Kami kan baru ketemu dua kali… Harusnya nggak ada apa–apa…Harusnya biasa saja.
Keduanya terdiam.
“Maaf… harusnya gue yang minta maaf, bukan lo,” ujar Reyn akhirnya, sadar bahwa emosinya itu sebenernya nggak perlu. Kemudian dia bangkit dari pojok café, dan pergi ke luar tanpa sepatah kata. 

Setelah kematian Drey, kejadian di café itu adalah hal terburuk yang terjadi dalam hidup Rii.
Syukurlah Rii tidak pernah lagi bertemu dengan Reyn sejak itu, karena Rii benar–benar tidak tahu apa yang bisa ia katakan pada cowok itu. Rii sangat bingung, kenapa dia tidak lagi merasa kehilangan Drey setelah dia bertemu Reyn? Rii benar–benar tidak suka keadaan ini, dimana dia merasakan ada perbedaan dalam ‘hubungan-singkat’nya dengan Reyn, tapi dia tidak bisa menjelaskan apa perbedaan itu.
Rii memikirkan Reyn. Memikirkan kata-kata pedasnya. Memikirkan sosoknya.
Sebenarnya, ada tidak sih, orang yang begitu menyita pikiran walau baru satu dua minggu bertemu? Sebenarnya, kenapa sih Reyn begitu mengisi kekosongan dalam pikiran Rii? Apa karena dia begitu mirip dengan Drey? Rasanya tidak begitu… Kenapa Reyn terasa begitu familiar?
Tanpa terasa, langkah Rii membawanya kembali ke halte tempatnya menunggu hujan berhenti dua minggu lalu, dimana untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Reyn.
Di halte itu, Rii kembali bertemu Reyn. Pertemuan ketiga kalinya.
“Reyn?” bisik Rii, nyaris tidak terdengar. Tapi Reyn bisa merasakan kehadirannya. Reyn tahu dia ada di sana , bahkan jika Rii tidak sadar kemana kakinya membawanya. Reyn menoleh dan memandangi Rii.
Ya Tuhan, mirip sekali… Cara Reyn memandangi Rii, mirip sekali dengan cara Drey memandangi Rii bila Rii melakukan suatu kesalahan. Rasanya pisau dan jarum langsung menusuk hati Rii. Rii benci tatapan itu.
Tapi bagaikan ilusi, pandangan itu segera hilang dan digantikan oleh pandangan ‘tidak kenal’, yang bahkan membuat Rii semakin merana.
Rii tidak boleh membiarkan ini terus berlanjut. “Reyn, tatap Rii!”
“Maaf?” ujar Reyn, lagi–lagi dengan nada formal yang memuakkan.
“Tatap aku, Reyn!” seru Rii marah.
“….”
“Aku benci sekali pada Reyn! Tatapan Reyn, cara Reyn berbicara, semuanya aku benci!! Aku benci! Benci sekali!” Rii kehilangan kendali.
“….”
“Aku tahu sekali kalau Reyn bukan Drey, tapi semuanya! Tuhanku, semuanya dari Reyn sama dengan Drey! Kenapa? Kenapa Reyn harus menghampiri Rii di hari hujan itu? Kenapa Reyn harus menghampiri di saat Rii baru saja kehilangan Drey??”
“….”
“Dan kenapa Reyn harus begitu menyita pikiran Rii? Apakah karena Reyn begitu mirip dengan Drey? Atau karena hal lain? Dan kenapa Reyn harus marah karena Rii ikut ‘kencan buta’ dimana Reyn juga ikut? Kenapa kamu harus peduli, Reyn? Memangnya Rii itu siapa?”
“…..”
“Bertemu lagi saja tidak pernah, jadi kenapa Reyn harus marah? Kenapa Reyn harus begitu familiar untuk Rii? Kenapa Rii merasa dekat dengan Reyn?? Jawab, Reyn!!”
Reyn memandangi Rii. Tidak bersuara. Pertanyaan–pertanyaan yang diajukan oleh gadis itu sebegitu jujur. Kalau Reyn mau sama jujur, pertanyaan-pertanyaan itu juga miliknya. Tolong diamlah, Rii. Kamu nggak akan tahu betapa aku ingin bertanya pada Tuhan juga… Kenapa sih, kita berdua bisa begitu terikat akan sesuatu? Memangnya ada apa dalam pertemuan singkat kita?
Betapa menyebalkan, ketika kita tahu ada yang salah, tapi kita tidak bisa menjelaskan apa itu.
“Reyn, jawab…” teriakan gadis itu telah berubah menjadi rintihan lirih, dan itu membuat hati Reyn amat miris. Tuhan, tolong hentikan dia…
“Andaikan kita sama-sama tahu jawabannya, Rii…,” gumam Reyn dalam hati. 

Hari–hari Reyn di sekolah tidak begitu baik. Flier masih marah padanya karena masalah blind date seminggu yang lalu. Fan juga masih bingung soal cewek yang bertengkar dengan Reyn di pojok cafe.
“Reyn, seminggu lalu lo ada apa sih, sama cewek itu?” tanya Fan.
“Sori?”
“Rii. Cewek dari SMU di seberang sekolah kita itu. Ada apa dengan kalian di café waktu itu?”
“Jadi lo kenal ama dia?” heran Reyn. Tiba-tiba jantungnya berdebar.
“Ya iyalah. Dia kan – eh – tetangga sekolah kita, masak gak kenal?” kata Fan. “So, what happened?”
“I’ll tell you but then I’ll have to kill you, Man,” ujar Reyn, menirukan kalimat di film favorit adiknya, ‘A Walk To Remember’, yang dia hapal mati karena adiknya bisa nonton berkali-kali sebelum ketiduran.
Reyn memutuskan untuk mengalihkan topik pembicaraan. Tentang Rii, nggak boleh diketahui sama Fan. Malu kan kalau ketahuan orang lain, sebetulnya Reyn adalah makhluk mellow? Makhluk yang ‘terpesona’ pada cewek gara-gara lagu Cancer. Reyn kan ketua tim basket sekolah. Apapun alasannya, pamor Reyn di sekolah nggak boleh sampe turun gara-gara masalah ini menyebar.
Tapi Reyn juga tahu, walau kali ini dia berhasil mengalihkan pembicaraan, Fan nggak akan berhenti penasaran. Dia sahabat Reyn yang selalu ingin tahu. Only this time, Fan… I’m not gonna let you know. Sorry.
Cuaca hari itu memang menyebalkan untuk Reyn yang moodnya sedang di ambang batas. Fan, seperti dugaannya, tidak berhenti penasaran. Tapi dengan segala trik yang dipunyainya, Reyn selalu berhasil membuat pikirannya teralih. Dia bener–bener nggak habis pikir. Masih ada ya, orang yang keukeuh banget pengen tahu urusan orang. Dalam hal ini, jujur saja, Reyn memang tidak pernah bisa cocok dengan Fan. Urusan pribadi Reyn biasa dicari oleh majalah sekolah, dan kehidupan Fan sebagai anggota klub majalah, adalah mencari urusan pribadi orang lain. Fan adalah papparazi yang setiap saat mengincar Reyn si cowok populer.
Main basket nggak bisa mengalihkan pikiran Reyn dari bayangan Rii. Main HP nggak mungkin membuatnya melupakan Rii. Yang ada justru Rii malah tambah nempel di otaknya, ada lagu Cancer di HP itu, gitu!!
Tapi mungkin Reyn memang tidak ingin melupakan Rii. Mungkin Reyn justru ingin bertemu dengan Rii dan menyelesaikan masalah ini, menyelesaikan bagian Rii di hidupnya, segera.
Harapannya itu ternyata terkabul, dalam waktu singkat. 

Rii tidak menyangka kalau sepupunya akan menjemput ke sekolahnya siang itu.
“Kamu harus ikut gue,” ucapnya.
Rii yang terbiasa dengan kelakuan diktator sepupunya itu terpaksa mengikut dengan hati bertanya-tanya. Apa aku akan diculik?
Rii sejak dulu tak pernah akur dengannya. Karena sepupunya ini dari dulu tak memberinya kesan baik. Umur tiga tahun, cowok itu merobek Teddy Bear-nya. Umur lima tahun, mematahkan sepedanya. Umur tujuh tahun, menumpahkan cat ke seragamnya. Umur sebelas tahun, menjatuhkan tasnya ke kali. Dan dari semua kejadian itu, Rii tak diberi kesempatan untuk protes. Satu kata saja terucap dari mulutnya, cowok itu mengancam akan membeberkan rahasia kalau Rii menyukai Fernandéz. Fernandez sama dengan cowok itu – masih sepupu Rii.
Walau itu cerita lama, Rii tetap tidak berani mengkonfrontasi sepupunya itu. Ia tak banyak tanya saat dibawa melewati gerbang SMU khusus cowok dimana sepupunya itu bersekolah.
Rii mulai berseru histeris. “Hei, ini sekolah cowok!! Ngapain Rii dibawa ke sini???”
Rii dibekap mulutnya dan dibawa ke sepetak lapangan.
Lapangan itu mungkin adalah lapangan terindah yang pernah Rii lihat. Luas, bersih, dan jauh dari kesan ‘lapangan-cowok’ yang dibayangkan Rii. Benar – benar seperti lapangan sekolah asrama. Rii tiba – tiba ingiiin sekali merasakan main basket di lapangan itu. Tapi yang dilihatnya kemudian, membuat Rii ingin keluar dari lapangan itu!
Reyn. REYN ada di sana. Reyn yang selama ini begitu menyakiti hatinya, Reyn yang begitu dibencinya karena membuatnya teringat pada Drey… Reyn yang menyita waktu Rii hanya untuk melamunkannya!!
Reyn yang itu, yang sedang duduk dengan tenangnya di pinggir lapangan, memegangi bola basket, dengan kostum basket yang membuatnya kelihatan seribu kali lebih hottie dari yang dilihatnya di acara blind date. Dan seperti yang ditakutkannya, Reyn ‘mencium’ ada yang datang.
Dalam hitungan detik, Reyn menoleh dan mendapati Rii sedang berdiri di lapangan. “Rii?” gumamnya. Sayangnya, angin menyampaikan gumaman itu ke telinga Rii, yang membuat gadis itu tersentak.
“Selesein tuh, urusan lo!” seruan kencang di belakang Rii membuat Reyn terkejut. Fan? Jadi….. “Ngapain bawa-bawa Rii kemari, Fan?”
Sejak melihat pertengkaran di café itu, Fan menjadi amat sangat penasaran. Ia memang tidak kenal kata ‘lelah’ dalam menyelidiki kehidupan pribadi seseorang. Ketika ia menyadari bahwa keangkuhan sang Ketua Basket dan harga dirinya yang tinggi hanyalah kedok dari sisi sentimentilnya, Fan nyaris menyebarluaskannya dalam majalah. Tapi Fan juga tahu bahwa tindakannya itu hanya akan membuat Reyn tambah terpuruk. Sebagai salah satu sahabat Reyn, dia nggak mungkin menyebar aib sahabat sendiri. Maka, daripada menyelidiki kehidupan Reyn, dia beralih kepada misi ‘menyelesaikan masalah’ a la Fan.
Kebetulan sekali, Fan kenal Rii. Fan adalah sepupu Rii!
Sementara itu, Reyn dan Rii hanya mampu saling berpandangan. Reyn ingin sekali bisa berkata, “Ya ampun, kita nggak punya masalah, kan ?” hanya untuk mengalihkan pembicaraan. Tapi ia tahu melarikan diri bukan jawaban. Harus ada penjelasan mengenai kenapa Rii begitu menyita pikirannya. Dan tampaknya Rii juga tak ingin topiknya dialihkan.
“Reyn, aku nggak ngerti, kenapa kita berdua bisa begitu terikat, hanya karena bertemu di halte itu?” tanya Rii, to the point. Tak peduli ada Fan.
Bukan itu yang ingin didengar Reyn.
“Rii merasa, Reyn dan Drey begitu mirip. Mungkin karena Rii baru saja kehilangan Drey?” Rii tertawa grogi. Betapa menyedihkan untuk Rii, mempermalukan diri dengan mengeluarkan semua uneg – unegnya di depan cowok yang baru sebentar dikenalnya. Di hadapan Fan si paparazi (plus sepupu nyebelin) pula.
“Cukup, Rii.” Reyn tidak bisa menerimanya lagi. Dia tidak bisa bertahan tidak melarikan diri. Betapa inginnya dia jika tiba – tiba ada time slip yang membawanya ke masa depan.
“Belum, Reyn!” She has to finish it before it’s too late. “Rii cuma mau bilang, Rii amat sangat menyesal karena telah bersikap begitu kekanak – kanakkan, dan Rii akan menjadi lebih berani untuk bilang TIDAK pada Cesh lain waktu.”
Reyn menatapnya. Ini bukan sesuatu yang ia ingin dengar. Ia tidak ingin mendengar tentang blind date sialan itu lagi.
Ia ingin ingin memeluk Rii, seperti yang ia inginkan ketika di halte. Ia ingin meminta maaf karena telah menyebabkan Rii menangis, karena telah melukai hatinya, dan karena telah menjadi begitu mirip Drey.
“Rii…”
“Rii ingin sekali tetap menjalin hubungan dengan Reyn.” Akhirnya keluarlah apa yang menjadi keinginan Rii selama ini.
“Entah apa yang menyebabkan Rii dan Reyn bisa begitu terkait, apa yang menyebabkan Reyn begitu mirip Drey, apa yang menyebabkan Rii merasa begitu dekat dengan Reyn, apa yang menyebabkan Reyn menjadi sangat penting untuk Rii, apa yang membuat Rii tidak bisa berhenti memikirkan komentar–komentar Reyn…Itu semua bisa kita urus pelan–pelan, kan? Rii merasa semuanya akan beres seiring waktu…”
“….”
“Kita bisa melakukannya, kan Reyn? Reyn akan menjadi teman Rii kan? Reyn akan tetap bersama Rii agar kita bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaan kita, yang sudah Rii ucapkan waktu itu, dan semuanya lagi??”
Reyn tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk Rii dan mengacak – acak rambutnya. Dalam tubuh mungil cewek ini terdapat kekuatan yang membuat Reyn terkagum. Rii telah mengungkapkan semua yang ingin Reyn ungkapkan, dan dia mengungkapkannya dengan baik sekali! Reyn amat yakin dia tidak akan bisa melakukannya sebaik Rii.
Reyn menggenggam tangan Rii dan membungkuk, untuk melihat lurus ke matanya. “I will, Rii.”
Rii tersenyum.
Dan tiba – tiba saja, akhir hari menjadi lebih menyenangkan bagi Reyn. Juga sudah pasti bagi Rii. 

Ket: * Jepun = Jepang **Hottie = keren


Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS