Oleh: Yudhan Triyana, 16 tahun
(BWS Garut)
Pagi datang tanpa diundang. Cahaya matahari yang membias di permukaan air laut membuatnya bersinar berkilauan. Aku sudah mengenakan pakaian seragam. Aku, Fernan Alergo Stacatisimo, anak kelas satu SMA Global, sebuah sekolah yang terbilang elite di kota ini.
Pagi itu aku membawa Honda Jazz Sport-ku memasuki lapangan parkir sekolah. Pagi yang sangat mengejutkan karena aku berpapasan dengan Melone. Dia menyapaku ramah, tersenyum manis, membuat raut mukaku memerah karena tersipu.
“Met pagi? Apa kabarnya nih? Jarang ketemu sejak perpisahan waktu SMP!!!” sapanya.
Benar, dia dan aku memang pernah sahabatan sewaktu SMP. Tapi semenjak masuk bangku SMU yang sudah berlangsung seminggu ini, kami jarang menyapa. Mungkin karena kesibukan MOS, tugas-tugas, dan sebagainya.
“Eh, pagi juga, kabar aku baik kok, kamu aja yang jarang nyapa aku,” jawabku malu-malu.
“Oh, ya sudah ya, aku ada tugas yang belum dikerjakan, jadi aku duluan ke kelas ya?” pintanya dengan raut tergesa-gesa.
“O, Oke…,” jawabku kikuk.
Melone adalah gadis cantik berumur 16 tahun, seumuran denganku. Aku mengaguminya sejak pertama kali kami masuk SMP, hingga sekarang, kalau mau jujur. Meski yah, sekarang dia sudah menjadi milik cowok lain, namun rasa itu masih tetap ada. Dulu sewaktu Melone dan Dimas jadian, aku terkapar dalam rasa sakit hati yang dalam, sebagaimana layaknya orang yang jatuh cinta bertepuk sebelah tangan. Namun, di luar itu aku sangat menghargai hubungan mereka. Karena keduanya adalah sahabat yang kusayangi semasa SMP. Meski Dimas sekarang melanjutkan ke SMU yang berbeda dengan kami, yakni sebuah SMU di Sidney, Australia, aku tetap berusaha menjaga hubungan mereka dan tidak memanfaatkan situasi.
Bel masuk sekolah meraung-raung, memanggil seluruh siswa untuk memasuki kelas masing-masing. Aku segera masuk kelas dan mengikuti jam pelajaran dengan baik.
Mata pelajaran pertama di kelasku seni musik. Aku menyukainya, karena para siswa disuruh masuk ke ruangan musik, dan di sanalah aku mempraktekkan keterampilan jari-jariku menekan tuts piano. Gara-gara permainan jariku yang terlatih, guru memilihku menjadi pianis untuk paduan suara sekolah.
Tak terasa jam pulang sudah tiba. Bel memanggil seluruh siswa untuk segera meninggalkan kelas. Aku menatap langit yang berwarna biru laut. Entah kenapa, aku sangat menikmati hari itu, hari yang sangat berarti dalam hidupku. Aku termangu di tengah lapangan rumput sambil tiduran, mencari inspirasi untuk menciptakan lagu dan puisi buat Melone, seperti yang selama ini sering kulakukan. Berpapasan dengan Melone tadi pagi, membuat imajinasiku lebih melayang di banding hari-hari tanpa dia.
Benar-benar seperti mendapat durian runtuh, siang itu kami bertemu lagi. Ketika aku selesai mencari inspirasi dan hendak pulang, tahu-tahu Melone muncul dan menghampiriku.
“Fer kok sendirian? Gak pulang bareng temen-temen?” tanya dia tiba-tiba.
“Ah nggak juga kok, aku memang suka menyendiri, tapi emangnya kenapa gitu?” jawabku antusias.
“Ah cuman nanya aja kok, tapi hari ini kamu ada waktu gak? Aku mau minta kamu mengantarku pergi ke Mall, soalnya gak da temen??? Mau ya???” jawabnya setengah memelas.
“Boleh aja kok, yuk ke parkiran….,” ajaku sambil tertawa bahagia. Sejak masuk SMU, inilah pertama kalinya kami bisa bersama lagi.
Sesampainya di parkiran aku membukakan pintu mobil untuknya. Kustarter mobil dengan rasa bahagia, plus deg-degan. Jantungku berdebar tiada henti. Meski ada rasa bersalah pada Dimas nun jauh di sana.
“I’ts my first time with my princes in my car,” bisikku dalam hati.
Sepanjang perjalanan menuju Mall, aku hanya bisa terdiam dan sesekali mencuri-curi pandang melihat wajah manis Melone.
Ketika sampai di mall, kuparkir mobilku di lantai basement, dan kubukakan pintu untuk Melone. Dia say thanks dan memintaku untuk menunggu saja di parkiran, tetapi aku memaksa ikut. Melone setuju asal kami berada di jarak yang jauh. Aku langsung menenteng tas yang berisi laptop pribadiku, masuk ke sebuah resto yang berada dilantai 3. Dari sini bisa kulihat Melone dengan jelas. Dia sedang menunggu seseorang dengan raut cemas.
Tiba-tiba seorang cowok seusiaku menghampiri Melone dan langsung disambut dengan ciuman di pipi. Aku sangat terkejut dengan apa yang kulihat. Siapa cowok itu? Apakah ini perselingkuhan? Jika ya, ini mimpi buruk. Bukan hanya menyakiti hatiku. Tapi juga tak disangka, seorang Melone berani selingkuh di hadapan sahabat pacarnya sendiri. Yang bener aja?!
Aku melihat Melone tersenyum dan tertawa bersama cowok itu, di depan sebuah kafe. Tak ingin berprasangka, kubuka laptop sambil memesan segelas ice capuccino. Sebagaimana yang sering kulakukan begitu bertemu layar laptop, aku segera membuat sebuah puisi. Kutulis apa yang kurasakan, sebab aku tahu, aku takkan pernah bisa bicara tentang perasaanku kepada siapapun. Duniaku hanya kertas berisi coretan hati, atau file komputer yang penuh dengan lirik lagu dan puisi.
Sore itu aku benar-benar merasa kaget dan sakit hati. Apa yang kusaksikan tak bisa kusangka sebelumnya. Melone bertemu dengan cowok lain yang mungkin pacar ke-2, ke-3, atau kesekiannya. Tak disangka gadis yang kusayang bermuka dua.
Setelah puas mengobrol dengan cowok itu, sambil ada adegan peluk-pelukan segala, Melone masuk ke kafe di mana aku berada. Dia langsung mengajakku pulang. Dia terlihat sangat senang. Aku tak bicara sepatah kata. Kami berjalan menuju basement, dan aku langsung mengantarkan Melone pulang.
Rumah Melone cukup dekat dengan Mall itu. Kubukakan pintu untuknya. Ia mengucap terima kasih atas tumpangannya, tanpa raut bersalah atau apapun di wajahnya. Dia benar-benar tak mencoba memahami perasaanku. Apakah dia sudah lupa bahwa aku adalah sahabat pacarnya? Jangan-jangan, dia sudah putus dengan Dimas tanpa sepengetahuanku. Makanya dia cuek-cuek saja saat nge-date dengan cowok lain di hadapanku.
Di rumah aku segera bergegas ke kamar tidur. Kurebahkan badan di atas springbed yang nyaman. Kuterawang jauh langit-langit di atas sana. Tak mengerti, mengapa gadis yang selama ini kukagumi, justru mengkhianati pacarnya sendiri. Mengkhianati sahabat kecil kami, Dimas Permana. Aku benar benar tak menduga.
Dari lantai bawah, kakakku memanggil untuk makan malam. Namun saat ini nafsu makanku berkurang. Aku bilang kalau aku lelah dan ingin segera istirahat, lalu segera kukunci kamar tidur.
Malam yang larut membuat udara dingin menusuk. Aku kembali membuka laptop dan membuka folder dimana aku menyimpan foto-foto Melone yang selama ini kuambil dan kukumpulkan secara diam-diam tanpa sepengetahuannya. Melihat foto-fotonya, kembali kuberpikir, apa yang harus kulakukan setelah tahu sisi lain Melone? Apakah aku harus tetap mencintainya? Atau malah balik membencinya?
Mataku terasa sesak oleh air mata. Aku menangis. Mungkin karena merasa telah mengecewakan Dimas, bahwa aku tak bisa mencegah apa yang dilakukan Melone. Atau mungkin, karena gadis itu ternyata berbeda dengan harapanku – dia mengejar cowok lain dan bukannya aku.
Perlahan kelopak mataku tertutup. Aku tertidur dengan sebuah pertanyaan tanpa jawab.
Udara pagi yang menyelinap melalui jendela kamar membuatku terbangun. Aku segera menuju kamar mandi, cuci muka dan gosok gigi. Lalu mengenakan pakaian olahraga dan mengenakan sepatu kets putih kesayangan ku. Hangatnya cahaya matahari Minggu pagi, membuatku bersemangat untuk berlari pagi mengitari kompleks perumahan. Yah, meskipun agak kesiangan.
Siangnya, ceriaku kembali sirna. Di sudut kamar, aku membuka grand piano yang tersimpan di sudut. Aku memang senang bermain piano, dan ingin menjadi pianis terkenal. Aku bisa memainkan beberapa musik Classic dan Jazz. Aku juga sering memainkan beberapa lagu yang sengaja kuciptakan untuk Melone.
Kini tampak matahari jatuh dan seperti tenggelam dalam air laut yang membias merah. Sore yang sunyi bagi hatiku yang sedang dilanda dilema. Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Dari Dimas.
“Hallo, ada apa brother? (panggilan kecil untuk Dimas).”
Tapi yang menjawab di seberang sana bukanlah suara Dimas yang nge-bass, melainkan suara wanita yang sedang menangis.
“Halo… ini dengan Fernan?” tanyanya.
“Ya, dengan siapa ya?” heranku.
“Fernan, ini tante Jasmine, ibunya Dimas.”
“Ooo,,,, ada apa Tante kok tiba-tiba? Dan kenapa tante menangis?” tanyaku.
“Fernan, Dimas…Dimas…kecelakaan. Sekarang Dimas sedang kritis di rumah sakit,” jawabnya sembari menangis.
“Loh, bukannya Dimas sedang di Sidney?” tanyaku dengan nada cemas dan kaget.
“Sebenarnya Dimas sudah kembali ke Indonesia. Dia tidak ingin memberi kabar karena ingin membuat kejutan. Begitu pulang kemarin siang, Dimas segera menuju rumah kamu, tetapi kamu tidak ada di rumah. Terus dia memberi kabar ke ibu kalau dia mau ke rumah Melone. Dan ketika pulang, Dimas kecelakaan…”
Aku termangu. Berarti Dimas ke rumah ketika aku sedang pergi mengantar Melone selingkuh. Anjrit, aku memang tolol… Oh my…
Apakah…apakah…oh jangan-jangan Dimas tahu soal perselingkuhan Melone, dan karena itulah dia mengalami kecelakaan? Otakku berputar-putar.
Tanpa menunggu, aku segera menuju rumah sakit. Kukemudikan Honda Jazz Sport-ku tanpa konsentrasi. Sesampainya di gerbang rumah sakit aku menghampiri resepsionis dan menanyakan ruang rawat Dimas. Lalu berlari dengan langkah cepat yang membuat jantungku sesak.
Di lorong rumah sakit yang sepi terlihat keluarga Dimas yang sedang dilanda duka. Kuhampiri mereka dan duduk di samping orang tuanya Dimas.
“Sebenarnya Dimas kecelakaan kemarin sore, tetapi pihak rumah sakit baru memberi tahu kami tadi pagi,” ujar ayahnya Dimas.
Aku dipeluk kedua orangtua Dimas yang telah menganggapku sebagai anaknya. Keadaan itu membuatku tak kuat menahan air mata. Aku meminta izin untuk memasuki ruang rawat. Kukenakan pakaian khusus dan masker. Dan di sanalah Dimas terbaring lemah, diliputi banyak selang dan perban.
Wajah Dimas terlihat sangat tenang. Tapi aku duduk di sampingnya dan menangis. Dimas sahabat kecilku yang kucintai. Di saat seperti ini, Melone seharusnya mendampinginya. Tapi gadis itu entah ke mana, padahal tadi aku sudah menghubunginya lewat ponsel. Jangan-jangan dia malah sedang enak-enakan bersama cowok itu…
Malam yang semakin dingin memaksaku untuk segera kembali pulang. Orangtuaku sudah menelepon. Aku harus berpamitan kepada keluarga Dimas, dan memintanya untuk memberikan kabar perkembangan kondisi sahabatku. Aku pulang ke rumah, tidur di kamarku, namun sampai dinihari mataku masih terbuka.
Esoknya aku tak masuk sekolah. Karena pagi-pagi, sebuah mobil warna hitam sudah terparkir di depan rumahku. Aku terheran-heran melihat lelaki yang keluar dari mobil itu. Siapa dia? Aku tak mengenal sosok itu. Tapi tunggu, bukankah dia cowok yang kulihat janjian dengan Melone di mall waktu itu? Ya benar. Dia menuju pintu gerbang rumahku.
Pintu depan yang sudah terbuka dari tadi, membuatku tak bisa mengelak darinya. Wajah yang sedikit kukenal itu tersenyum gelisah.
“Ini Fernan kan?” tanyanya.
“Ya saya Fernan, ada apa?”
“Gue Justin, ingin ngasih tahu kalau Melone ada di rumah sakit,” jawabnya dengan tampang sedih.
Aku tersentak. “Memangnya Melone kenapa?”
“Penyakitnya kambuh lagi. Tadi dia menyuruhku menjemput lo. Katanya, dia ingin lo segera menemuinya di rumah sakit,” paparnya.
“Baik kalau begitu, aku segera ikut ke sana,” jawabku. Lalu… “Eh, siapa namamu tadi – Justin. Kamu siapanya Melone?”
Cowok itu tersenyum. “Gue temannya,” katanya. “Tadi pagi ortunya Melone mengabari gue kalau anaknya sakit. Trus saat gue mengunjunginya di rumah sakit, Melone malah nyuruh gue jemput lo.”
Oh, jadi dia temannya. Eh, teman apa teman? Apakah Melone ternyata tidak selingkuh? Apakah cowok itu hanya nggak tahu harus menjawab apa. Itu kan masalah pribadi.
Tapi tak ada waktu untuk berdebat sekarang. Aku harus segera lari ke kamar untuk berpakaian. Semenit kemudian, aku dan Justin sudah melaju ke rumah sakit.
Kata dokter, penyakit kanker jantung Melone kambuh lagi. Padahal sejak SMP dia selalu terlihat sehat. Sungguh tak menyangka. Yang lebih mengejutkan, rumah sakit tempat gadis itu dirawat ternyata sama dengan tempat Dimas dirawat. Ah, aku jadi teringat sebuah adegan film Heart.
Di ruangan VIP itu, Melone terbaring lemah sendirian. Aku menghampirinya. Kedua matanya terpejam. Kupegang tangannya, kugenggam dan tanpa sadar, kusimpan di dada. Saat itu hatiku sangat tak karuan. Sedih, cemas, juga bingung.
Aku bingung, apa yang harus kulakukan? Tak di sangka di saat yang bersamaan, sepasang kekasih terbaring lemah di rumah sakit yang sama.
Tiba-tiba tanganku serasa ada yang menggenggam. Ternyata Melone sudah terjaga. Aku segera memegang keningnya, panas. Dia demam. Tapi dia masih tampak tegar. Dia tersenyum samar dan memintaku membantunya duduk.
“Aku memintamu ke sini, sebab aku punya pesan untuk Dimas. Berikan padanya kalau dia sudah sembuh nanti.”
Melone dengan susah payah mengambil sebuah surat beramplop dari bawah bantalnya. Tanpa bertanya, aku segera menerimanya dan memasukkan ke dalam saku celana.
“Berita kecelakaan Dimas membuatku shock dan sakit jantungku kumat,” jelas Melone.
Oh, jadi dia sudah tahu soal itu. Melone syok? Apakah dia masih mencintai Dimas?
Aku berusaha menghiburnya. Namun aku tahu, aku bukan ahli masalah itu. Yah, dengan sedikit kata-kata penghiburan, paling tidak Melone bisa tersenyum.
Dan tiba-tiba saja Melone bicara tentang masa lalu kami bertiga – Melone, Dimas, dan aku. Ia mengingatkanku tentang sebuah kaleng rahasia yang kami bertiga kubur bersama di kebun belakang SMP kami dulu.
“Woi, cepetan entar keburu ketahuan pak guru,” teriak Melone kepada aku dan Dimas dengan raut cemas.
“Iya sabar,” jawabku. “Ayo cepat gali tanahnya yang dalem biar gak mudah ditemuin orang,” ujarku pada Dimas.
“Sabar-sabar, bentar lagi kok, ini juga tinggal sedikit lagi,” ujar Dimas sambil terus menggali tanah di kebun belakang SMP kami.
Waktu itu jam istirahat. Seharusnya kami berada di kantin dan ngobrol dengan teman-teman. Tapi kami malah mengubur sebuah kaleng. Dimas, Melone, dan aku, telah menaruh benda kesayangan beserta selembar kertas berisi harapan masing-masing ke dalam kaleng itu. Masing-masing di antara kami tak ada yang tahu apa isinya kecuali miliknya sendiri. Kami berjanji untuk terus bersahabat dan membuka kaleng itu pada saat kelas 3 SMA nanti. Itulah kesepakatan kami bertiga saat itu.
“Fer, kamu gak kenapa-kenapa,?” tanya Melone melihatku bengong.
“Ah enggak, cuman inget waktu kita ngubur kaleng itu,” jawabku.
Melone tersenyum dan wajahnya sangat pucat. Aku segera membantunya kembali berbaring. Kupakaikan selimut di tubuh Melone dan segera memanggil Suster, karena Melone tampak kelelahan setelah bicara tadi.
Suster yang merawat Melone menyuruhku menunggu di luar ruangan. Kesempatan itu kugunakan untuk mengunjungi Dimas.
Dimas yang masih belum sadarkan diri, diam tak bergerak. Aku menghampirinya perlahan. Kulihat wajahnya tersenyum. Mungkin Dimas sedang menemukan surga dalam tidurnya.
Saat itu ibunya Dimas menghampiri.
“Fer, Dimas gak bisa hidup lebih lama lagi,” ujarnya, menangis.
Aku kaget. “A…apa? Oh, Tante masak sih? Sebaiknya kita tenang dulu, mungkin takdir Tuhan nanti berkata lain.”
“Tapi pembuluh darah di otak Dimas sudah menggumpal dan kalau pembuluh darah itu pecah, Dimas….akan meninggal,” wanita itu semakin membuncah tangisnya.
Bukannya tenang seperti yang barusan kukatakan, aku malah ikut-ikutan menangis. Pada dasarnya jiwaku memang melankolis. Mungkin itulah kenapa aku senang musik dan puisi.
Kecelakaan yang menimpa Dimas memang tergolong sangat parah. Menurut dokter, kalaupun Dimas bisa bertahan hidup, nyawanya tetap terancam.
Aku benar-benar tak berharap Dimas meninggal. Kesedihan menggerogoti, namun tak tahu apa yang harus kulakukan. Kecuali, menunggu saja takdir Tuhan.
Setelah ibu Dimas lebih tenang, aku kembali ke ruangan Melone.
Melone sudah tertidur. Justin juga tak ada. Kuputuskan untuk pulang dulu ke rumah.
Dalam perjalanan pulang, hatiku tak bisa tenang. Dua sahabatku yang saling mencintai sedang berjuang melawan maut.
Di kamarku, kubuka laptop. Foto-fotoku bersama Dimas dan Melone, menorehkan kenangan manis bersama. Meski di antara kenangan manis itu ada juga kenangan perih, yakni saat mereka jadian, namun foto-foto itu menjelaskan bahwa kami pernah merasakan indahnya kebersamaan. Aku tak kuasa untuk tidak segera menulis sebuah lagu untuk mereka. Kutulis lirik, kumainkan melodi di grand piano.
Lelah dan cemas. Berpikir tentang bagaimana perasaan Dimas kalau tahu apa yang dilakukan Melone. Dan juga aku memikirkan perasaan Melone, apakah dia masih sayang sama Dimas? Karena sepertinya misteri hubungan Melone dan Justin belum terungkap. Meski Justin mengaku teman, namun kata ‘teman’ menyimpan banyak arti yang takkan bisa kuterjemahkan sendiri.
Mataku sudah mulai terasa berat, aku merebahkan diri di kasur. Menerawang ke atas, membayangkan masa silam saat di SMP. Terbayang wajah cemas Dimas yang berbinar harapan, saat dia mengutarakan padaku rasa cintanya pada Melone. Masih ingat di benakku, saat Melone datang padaku dan curhat soal perilaku Dimas yang beda. Gadis itu bertanya apakah Dimas ada rasa padanya. Masih ingat di benakku, saat kami berlarian bertiga dalam hujan, aku dan Dimas berebut payung Melone. Aku tak ingat kepada siapa akhirnya payung itu diberikan. Aku hanya ingat, tiba-tiba esoknya ada yang berubah di antara kami bertiga. Dimas dan Melone menjadi lebih akrab dari sebelumnya, dan di hari ultah Melone, Dimas mengumumkan kepada semua yang hadir, bahwa ia sudah jadian dengan Melone. “Kuharap kamu merestui hubungan kami,” ujar Dimas kepadaku di sela acara ulang tahun itu. Dan aku hanya mematung. Lalu…mengangguk. “Selamat, Man,” ujarku pada Dimas. Saat itulah aku merasa jadi orang termunafik di dunia!
Kini aku tak yakin kami masih akan bisa bersama. Dimas dan Melone sama-sama sedang kritis. Tiba-tiba menelusup dalam hatiku, andai Melone dan Dimas bisa tetap hidup, aku berjanji takkan lagi menyimpan cinta untuk Melone. Aku berjanji untuk menjauhi mereka, dan membiarkan mereka bahagia bersama.
Masalahnya tinggal satu…
Hari masih pagi, ketika kurogoh saku celana. Surat yang Melone titipkan padaku kemarin. Segera kusimpan di laci mejaku. Aku akan berikan itu kalau Dimas sudah sembuh. Meski peluangnya tipis…
Lorong rumah sakit pagi itu masih sangat sepi, para Dokter dan Suster masih sibuk menyiapkan alat kerja mereka. Pintu ruang rawat Melone masih tertutup. Kubuka perlahan, Melone masih tertidur. Tapi wajahnya sudah tak sepucat kemarin. Mungkin dia akan segera membaik. Sebaiknya kujenguk dulu Dimas.
“Pagi semua,” sapaku pada ayah dan ibu Dimas yang masih menunggui pasien. “Sekarang keadaan Dimas gimana ,Om?” tanyaku kepada ayah Dimas.
“Belum ada perkembangan, masih seperti kemarin,” jawabnya lemas dengan wajah kurang tidur.
“Kalo gitu, kita semua sabar aja ya,” kataku menenangkan. Padahal aku juga tidak tenang. Dimas adalah sahabat terbaik. Bagaimana bisa tenang melihat kondisinya yang tetap parah?
Pagi itu mendung. Hujan turun perlahan, membasahi taman rumah sakit. Aku teringat saat kami bertiga pergi bermain ke sebuah bukit.
Udara dingin pegunungan memaksa kami untuk mengenakan jaket yang tebal. Saat itu aku, Dimas, dan Melone sudah berada di kaki bukit. Di sini pemandangan terlihat sangat indah. Kami bisa melihat langit bersama bintang yang berjajar rapi, menghiasi kota. Lampu-lampu rumah ikut menambah indahnya malam ini.
Tiba-tiba kami terjebak hujan gerimis. Menambah malam makin romantis. Sebetulnya suasana ini tak sesuai, karena rencana kami ke sini bukan untuk happy. Tapi untuk perpisahan dengan Dimas yang akan melanjutkan SMU ke Sidney.
Kami berfoto dan bermain hujan-hujanan.
Melone yang memulai. Dia melepas jaketnya dan berhujan ria. Lalu menarik aku dan Dimas untuk mengikuti apa yang dilakukannya. Kami mengabadikan momen tersebut dengan kamera digital. Foto itu sampai sekarang masih terpajang di kamarku.
Aku duduk di samping ranjangnya. Melone tampak rapuh, padahal wajahnya tak sepucat kemarin. Penyakit dalam memang sulit dideteksi dengan mata kasat.
“Fer, aku ingin kamu bisa menjaga suratku dengan baik. Aku ingin Dimas membacanya,” ucap Melone memohon, seolah ini akan menjadi kata-kata terakhirnya.
“Tenang Mel, aku akan simpan surat itu sampai Dimas sembuh, jangan khawatir,” jawabku, menenangkan diri sendiri.
“Fer, aku percaya sama kamu. Tetapi saat Dimas membaca surat itu, aku mungkin sudah tidak ada lagi. Aku harus pergi berobat ke Singapore.”
“Iya aku tahu dari ayahmu. Aku yakin kamu pasti sembuh, dan harus sembuh.”
Karena aku sayang kamu, Melone.
Aku ingin bertanya tentang Justin. Tapi tampaknya belum saatnya. Melone keburu tertidur.
Hidup dalam Realita
Bilamana matahari yang sudah goyah dengan konsistennya
Bulan yang manis tak lagi benderang dalam kelam
Cahaya tak lagi bersinar dan hanya ada
Cahaya yang kelabu
Mereka yang sudah goyah dan tak lagi setia
Dalam gelap tak bersinar
Dalam kelam tak bercahaya
Sebuah realita yang tak bisa kami tolak
Hanya bisa memilih dalam sebuah dilema,
Yang membuat hati turut tak konsisten
Karena kita sudah tak bisa membuat
Kenyataan berubah
Kutemukan puisi dalam lembar diaryku. Puisi yang kubuat ketika Dimas pergi ke Sydney dan Melone menjauh sejak kami masuk SMA. Apakah aku bisa hidup tanpa memikirkan mereka?
Jam menunjukan pukul 03.30 dinihari, namun ponselku berdering. Aku tidak kenal nomor siapa yang memanggil. Kucoba mengangkatnya meski mataku masih berat.
“Haloo? Dengan siapa ya?”
“Fernan, ini dengan Justin.”
Justin? Mendadak aku bangkit.
“Ya ada apa? Apa yang terjadi, Justin?”
“Melone, Fer. Melone, sudah tak ada!!!”
A, apa???? “Maksud lo, sudah tak ada di rumah sakit? Sudah berangkat ke Singapur untuk berobat?”
“Bukan. Dia sudah tak ada. Sudah meninggal.”
Aku tak kuasa menahan tubuhku. Ponselku terjatuh. Apa katanya, Melone meninggal? Secepat ini?
“Lo bohong, Justin,” aku berteriak sambil memukul cermin.
Tak lama kemudian pihak keluarga memberi tahu kalau jenazah Melone sudah ada di rumahnya. Dengan sangat berusaha aku membawa diriku untuk segera pergi ke rumah Melone, aku ditemani kakakku. Aku tak menyangka Melone pergi secepat ini.
Jenazah Melone sudah dipulangkan ke rumahnya. Orang-orang berkerumun, ingin mengantar kepergiannya. Aku menerobos masuk. Kulihat sosok Melone sudah terbujur kaku, tertutup kain putih.
Kamu pergi meninggalkan hati dan misteri, Melone.
Pemakaman berlangsung siang itu, dan Melone istirahat untuk selamanya. Pemakaman telah usai, namun aku masih berada di samping nisannya. Aku bersimpuh dan berjanji untuk merawat Dimas untuk Melone. Seperti dulu aku berjanji pada Dimas untuk menjaga Melone.
Aku akan memberikan surat itu kepada Dimas.
2 tahun kemudian…….
Udara pagi begitu sejuk. Aku membuka laci meja. Tak sadar kalau surat dari Melone masih tersimpan di sana. Surat untuk Dimas. Sejak Melone pergi untuk selamanya, aku memang tenggelam dalam kegiatan musikku di sekolah, dan melupakan surat itu.
Segera kuambil surat itu dan kukemudikan mobil menuju rumah Dimas. Keadaan Dimas sudah membaik. Ia tidak meninggal seperti dugaan dokter. Ia hanya harus dirawat jalan dan menggunakan kursi roda. Tuhan memang Maha Aneh dengan skenarionya. Melone yang lebih optimis hidup malah lebih dulu dipanggil-Nya.
Dimas tampak rapuh dan sedih. Meski ia bertahan hidup, namun apa artinya kalau gadis yang dicintainya meninggalkannya. Untung saja dia lelaki yang tabah. Lelaki yang selaras untuk Melone.
Kami berdua membuka surat itu.
Dear, Dimas.
Aku tahu bahwa aku hidup untuk mati. Mungkin saja hari ini aku masih bisa menulis, tetapi entah besok. Aku sadar dengan kondisi penyakitku ini. Aku telah merasakan ada yang memanggilku untuk pergi dan meninggalkan kamu dan Fernan. Tapi aku tak menyesal dengan apapun yang akan ditentukan Tuhan untukku nanti.
Sekarang kita masih kelas 1 SMA. Tapi aku ingin kamu dan Fernan tidak lupa membuka kaleng yang terkubur di belakang sekolah. Ingat, kita telah berjanji untuk membuka kaleng itu saat kelas 3 SMA.
Sekali lagi aku ingin meminta maaf. Untuk kamu, Fernan, dan juga …Justin.
Oya, mungkin Fernan sudah tahu. Sejak kamu pergi ke Sydney, aku diam-diam menerima cinta Justin. Dia cowok yang telah dijodohkan denganku oleh orangtua kami. Aku baru diberitahu hal itu setelah acara perpisahan kita di malam yang hujan, di kaki bukit malam itu.
Maafin aku, Dimas. Bukannya aku ingin mengkhianatimu. Tapi karena sejak lama aku ditimpa dilemma. Aku sangat bingung karena tahu satu hal. Bahwa tidak hanya kamu yang mencintaiku, tapi juga sahabat kita yang satu. Tak mungkin aku memilih hanya untuk melukai salah satu di antara kalian. Jadi kupilih Justin sebagai jalan keluar. Meski sebenarnya, jauh di lubuk hatiku, aku menyimpan perasaan yang berbeda. Perasaan yang tak semestinya.
Kalian bisa mengetahui perasaanku di dalam kaleng yang kita kubur itu… (Melone )
Aku dan Dimas saling pandang. Belum mengerti apa yang dimaksud Melone dengan ‘perasaan yang tak semestinya’. Aku dan Dimas sepakat untuk pergi bersama menuju sekolah SMP kami yang dulu. Kubawa cangkul dan sekop, menuju taman belakang sekolah itu. Dimas mengikutiku dengan kursi rodanya.
Tanah yang sudah mengeras sulit digali, namun dengan usaha akhirnya aku bisa. Sama seperti menggali kenangan masa lalu bersama Melone. Begitu sulit dilupakan, namun begitu pahit untuk dikenang.
Kaleng itu sudah usang dan berkarat. Perlahan kubuka isinya. Barang kesayangan dan ‘surat harapan’ milik tiga sahabat.
Sebuah bola bilyard kesayangan Dimas, dan surat harapannya:
Oh God I will go to Sidney. Aku ingin sekolah di sana, katanya di sana bagus.
Lalu, sebuah cincin yang Melone berikan padaku dulu, dan surat harapanku:
Harapanku hanya satu: Melone bahagia.
Barang yang disimpan Melone adalah sebuah rekaman video waktu kami bertiga pergi liburan ke pantai. Harapan Melone tertulis dalam sebuah surat yang unik:
ezAqurt quKel Unique zoMinxia Enigieq Noxitaqexa mofiCexImNxoqTy AqIMozq uqiE RmeqnErise qulapaKo Aniqmazuqix aBnEzaRt zeDaiq Unique ezAre.
Bacalah huruf-huruf besarnya saja. Semua akan tahu, ternyata Melone mencintai kami berdua – aku dan Dimas. Sebuah ‘perasaan yang tak semestinya’. Perasaan yang membuat Melone bimbang dan terpaksa memilih pilihan yang tak ingin dipilihnya – Justin.
Dimas dan aku saling berpandangan. Ada rasa saling bersalah dalam diri masing-masing. Lama kemudian, Dimas menepuk bahuku. “Maafin gue selama ini. Gue…gue egois telah memiliki Melone sendirian.”
Aku tersenyum. “It’s oke. Gue yang harusnya minta maaf.”
Akhirnya kami tahu perasaan Melone yang sesungguhnya. Dan itu lebih dari cukup untuk aku dan Dimas. Untuk menyematkan kenangan tentang persahabatan dan cinta, abadi di hati kami berdua. Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS