Oleh: Hana Afifah, 15 tahun
(BWS Garut)
Dia cowok berwajah ‘cantik’. Hidungnya kecil mancung, bibirnya tipis kemerahan, sepasang matanya sayu. Aku saja yang perempuan tidaklah se’cantik’ itu.
Rasanya aneh sekali ketika aku harus memanggilnya kakak atau my brother. Soalnya kami berdua tidak mirip sih. Juga tidak begitu akrab layaknya kakak beradik biasa. Di sekolah, dia ketua OSIS yang populer. Tapi dia sangat pendiam, dan saat berpapasan denganku, dia jarang menyapaku. Di rumah, dia juga jarang bicara. Sikapnya sangat tertutup. Dan itu membuat Roa kelihatan misterius. Kadang aku merasa begitu ingin lebih memahami tentang dirinya.
Malam itu, seusai makan malam bersama ayah dan ibu, aku menghampiri Roa. Aku punya suatu ide acara untuk mengisi event ulang tahun sekolah yang akan segera tiba. Aku memang anak buah Roa dalam kepengurusan OSIS, jadi aku ingin minta pendapatnya soal ide yang sudah lama kupikirkan ini.
“Confession of You and Me?” kening Roa berkerut.
“Iya!” ujarku. “Itu nama acaranya. Di hari ultah sekolah nanti, kita akan memanggil semua murid satu per satu ke atas panggung, menghadap para penonton. Mereka harus mengungkapkan isi hati secara jujur – tentang apa saja!”
Aku berusaha meyakinkan Roa agar mau menyetujui ide ini. Kupasang tampang bersemangat dan penuh harap. Dia nggak boleh menolaknya! Dia kan ketua OSIS, pembuat keputusan. Meskipun banyak proposal lain yang masuk, idekulah yang harus dia terima. Ini semua demi aku dan Roa.
Roa tampak berpikir. Tangannya masih menggenggam kertas proposalku. Lalu dia menghela napas, bangkit dan berjalan gontai menuju kamarnya. Dia masuk, langsung menutup pintu, dan mematikan lampu.
Dia tidur. Sementara aku masih mematung di ruang TV. Tersinggung berat karena merasa dicuekkin.
Aku bukan cewek yang suka hang-out setiap pulang sekolah atau akhir pekan. Bukannya aku jomblo. Aku punya pacar kok. Hanya saja aku memang nggak terlalu suka bepergian, bahkan dengan pacarku sendiri.
Pacarku ini bernama Ivan. Orangnya biasa, nggak cakep-cakep amat. Yang pasti dia nggak ‘cantik’ seperti Roa. Salah satu hal yang kusukai dari Ivan adalah kelucuannya. Dia gokil abis. Senyumnya lebar, alisnya tebal. Mukanya aja udah bisa bikin orang tersenyum.
Ivan adalah seniorku di sekolah, seangkatan dengan Roa. Dia juga pengurus OSIS sepertiku, hanya saja jabatannya lebih tinggi dariku. Roa pernah membawanya ke rumah, dan saat itulah aku dan Ivan berkenalan. Dua bulan sejak perkenalan itu, tiba-tiba Ivan bilang suka padaku – di depan semua pengurus OSIS, termasuk Roa.
“Anna, aku suka kamuuuuuuu!!!” teriak Ivan di hari penembakan itu. Suaranya nyaring, membuat semua mata menuju ke arah kami. Senior-senior cowok langsung pada menyemangati. Teman-teman cewekku pada melotot kaget – sama kagetnya denganku. Wajah Ivan memerah, mungkin karena telah berjuang mengucapkan sesuatu yang sudah sejak lama ingin diungkapkannya.
Aku terbata-bata. Salah tingkah. Tak tahu harus berbuat apa.
Kulirik Roa, niatnya sih minta bantuan. Tapi dia malah cuek....
Kejadian itu sudah cukup lama berselang. Kini Ivan resmi jadi pacarku dan aku tidak memanggilnya ‘Kak’ lagi.
Sebenarnya aneh juga selama ini aku memanggilnya ‘Kak Ivan’. Padahal Roa saja tidak pernah kupanggil dengan sebutan Kakak. Aku merasa lebih nyaman memanggil namanya saja. Ayah dan Ibu sering menegurku gara-gara masalah ini. Tapi aku tetap memanggilnya Roa. Entah kenapa. Lagi pula orangnya nggak peduli dengan sebutan kok.
Meski saling berteman dekat, Roa dan Ivan sangat berbeda. Ivan sangat perhatian padaku, sedangkan Roa tidak. Dia nggak peduli pada apapun, kecuali pelajaran dan kegiatan OSIS-nya. Dia cowok paling tidak sensitif yang pernah kukenal. Dan ayah dan ibu sering membelanya kalau kukatakan hal itu padanya.
“Halo, Anna Sayang,” handphone-ku bergetar. Itu suara Ivan. “Hari ini kamu nggak ada acara kan? Jalan-jalan keluar yuk.” Seperti biasa kalau akhir pekan, Ivan selalu mengajakku keluar. Sebetulnya aku tak ingin menolak kali ini. Tapi aku benar-benar sedang tidak mood pergi. Aku ingin di rumah saja.
Untunglah Ivan nggak marah. Dia memang selalu sabar padaku, meski selama ini keinginannya sering kutolak. Dia cowok yang baik.
“Anna, aku bakal pake acara anehmu buat event ultah sekolah nanti,” kata Roa tiba-tiba. Malam itu aku sedang menonton TV bersama Ibu dan Ayah. Sementara Roa sedang asyik mengerjakan matematika.
“Hah? Jadi proposalku diterima nih? Serius?” tanyaku girang.
“Iya,” jawab Roa, tanpa berpaling sedikitpun. Dia konsentrasi pada buku tugasnya.
“Alasannya apa?” aku penasaran, karena sepertinya beberapa malam yang lalu dia nggak berminat tuh sama ideku.
“Kayaknya seru aja,” katanya singkat. Lalu dia membereskan bukunya dan masuk ke kamar, tanpa menghiraukanku.
Aneh sekali. Ada nada tidak ramah saat Roa mengucapkan kalimat terakhir. Sepertinya...dia nggak ikhlas menyetujui proposalku. Ada apa sih dengannya? Padahal kalimat itulah yang sudah kutunggu-tunggu sejak beberapa hari lalu.
Sikap Roa membuatku berpikir selama berhari-hari. Sebenarnya, ide acara Confession of You and Me itu kubuat karena satu tujuan. Di ultah sekolah nanti, aku ingin semua pengurus OSIS maju satu per satu ke atas panggung, meraih mikrofon, lalu bicara blak-blakan tentang diri sendiri tanpa ada hal yang ditutupi. Aku ingin mendengar suara hati anak-anak di sekolahku.
Aku ingin mendengar suara hati Roa.
Suara hati yang jujur. Karena selama ini Roa begitu misterius. Begitu banyak pertanyaan tentang dia namun belum terjawab. Kenapa dia begitu pendiam? Kenapa dia tidak responsif terhadap orang-orang di sekelilingnya? Kenapa dia tidak responsif terhadapku? Dulu sewaktu kami kanak-kanak, kami sangat akrab, dan rumah ini terasa hangat. Tapi sekarang...dia sangat tertutup. Aku jadi sering bete menghadapi sikapnya yang dingin.
Acara Confession of You and Me mungkin akan berhasil untuk ‘memaksa’nya bicara jujur tentang dirinya. Tapi Roa mungkin sudah menduga niat terselubungku ini. Makanya dia kelihatan nggak ikhlas saat menyetujui proposalku.
Ah, whatever....lihat saja nanti. Yang penting dia sudah menyetujui.
Aku sedang duduk di kantin bersama Ivan dan beberapa pengurus OSIS lainnya. Kami sedang membicarakan event ulang tahun sekolah. Semua orang berbicara tentang apa yang akan mereka katakan nanti. Confession of You and Me benar-benar mendatangkan reaksi heboh. Senior-senior yang sudah mau lulus, termasuk Ivan, ributnya minta ampun. Ada yang berencana mau ngomongin cita-cita, ngungkapin kebencian, menyatakan cinta, nyeritain semua kesan-kesan selama di sekolah, ngeritik semua guru-guru, dll.
Ivan berencana mau ngelawak di atas panggung, lalu menyanyi lagu cinta buatku. Mia sahabatku masih bingung. “Tenang, masih lama ini kok,” katanya. Pas aku yang giliran ditanya mau ngomong apa, aku malah kebingungan.
“Gimana sih, yang punya ide malah gak tau mau ngomong apa!” protes Mia.
“Kalo gitu nyanyi lagu cinta aja buat si Ivan,” usul yang lain.
“Iya tuh, biar samaan! Buktiin cinta kalian berdua ke seisi sekolah! Ha ha ha ha! Best couple deh!”
Semuanya kelihatan bersemangat begitu ngomongin aku dan Ivan. Ivan cuma cengar-cengir. Tapi aku tahu dia bahagia banget.
“Eh, gua penasaran, ketua OSIS bakal ngomong apa ya di panggung nanti?”
“Iya, ya. Kita kan nggak pernah tahu banyak soal dia,”
“Makanya ini kesempatan buat ‘nelanjangi’ dia!”
Topik mengarah ke Roa. Aku kaget. Ternyata orang-orang juga bertanya-tanya tentang Roa. Sama seperti aku.
Para senior terus membicarakan Roa. Aku mendengar beberapa hal yang tidak pernah kuketahui sebelumnya. Bahwa ternyata Ivan dan Roa sudah bersahabat sejak SMP. Karena itulah Ivan tahu cukup banyak tentang Roa, termasuk bahwa Roa selalu menolak pernyataan cinta dari cewek-cewek. Dia tahu lebih banyak tentang Roa daripada aku.
Dulu sewaktu SMP, aku dan Roa berbeda sekolah. Itulah kenapa kami jadi tidak begitu akrab, tidak seperti waktu kami kanak-kanak. Roa begitu sibuk di ekskul sekolah, dan sering telat pulang ke rumah, demikian juga aku. Kami jarang berkomunikasi, kecuali bila sedang berkumpul dengan Ayah dan Ibu. Sewaktu SMP, Roa pernah sakit, tapi aku tak tahu sakit apa persisnya. Ayah dan Ibu seakan merahasiakannya dariku. Yang aku tahu hanyalah Roa pernah dirawat di rumah sakit cukup lama, dan sesekali aku menjenguknya.
“Anna! Kamu ini keseringan melamun ya?” tanya Ivan. “Ada apa sih?”
Aku seperti baru sadar dari lamunan. Aku tak menjawab pertanyaan Ivan.
“Kamu bakal ngapain nanti?” tanyaku pada Roa malam itu.
Roa menengok ke arahku, lalu menjawab, “Mau sikat gigi terus langsung tidur.”
“Ini tentang Confession of You and Me!” tukasku jengkel.
Tiba-tiba Roa terbatuk-batuk. Cukup berat dan agak lama. Aku tidak tahu dia memang batuk karena kata-kataku barusan, atau karena memang sedang gatal tenggorokan.
Roa menarik napas dalam-dalam. Kemudian dia memandang meja kopi dengan pandangan kosong. Aku masih menunggu jawabannya. Cukup lama Roa terdiam. Kemudian dia berkata, “Gimana nanti aja. Biarin ngalir apa adanya.”
Lagi-lagi dia masuk ke kamarnya, ‘menggantung’ pertanyaanku begitu saja. Aku sama sekali tidak puas dengan jawabannya! Cowok macam apa sih dia?
Ulang tahun sekolah masih dua minggu lagi. Tapi semua murid sudah tak sabar menantikan perayaan itu. Mereka penasaran akan seperti apa acaranya. Aku tahu, mereka pengen dengar apa yang bakal orang lain katakan di atas panggung. Mereka sendiri tegang menunggu saat-saat tampil nanti.
Sementara itu, para pengurus OSIS super sibuk. Kami semua bertekad menjadikan acara ini sukses, demi mendekatkan semua warga sekolah. Sebagai pencetus ide, akulah yang otomatis pegang komando. Sebenarnya aku sendiri juga tegang. Masih belum tahu bakal ngomong apa saat giliranku di panggung nanti!
Belum lagi karena waktunya tidak akan cukup, acara akan dibagi menjadi tiga babak. Satu babak satu hari. Aku mati-matian menyusun agenda yang ruwet.
Roa tidak ikut mempersiapkan acara. Dia jatuh sakit dan sudah dua hari terkapar di rumah. Ivan menjenguknya dan mengobrol lama dengan Roa di kamarnya. Setelah Ivan keluar dari kamar Roa, aku mengajaknya bicara. Aku mencoba mengorek-ngorek keterangan dari Ivan, tentang Roa.
“Lho? Aku kira kamu lebih kenal Roa daripada aku. Kalian kan kakak beradik, gimana sih?”
“Iya, tapi Roa akhir-akhir ini tertutup. Dan entah kenapa, aku yakin dia sedang menyembunyikan sesuatu,” ujarku. “Mungkin kamu tahu sesuatu, kamu kan sahabatnya sejak lama.”
Ivan terdiam sesaat. Kelihatannya sedang mengoleksi serpihan-serpihan memorinya. “Mmm, dari dulu Roa memang agak pendiam. Tapi nggak sediam sekarang. Kalau nggak salah sih, sejak kelas 3 SMP dia jadi begitu. Kamu masih inget, kan, saat kelas 3 SMP, Roa pernah sakit parah. Nah, ketika dia akhirnya sembuh dan masuk sekolah lagi, dia jadi pendiem kayak mumi di ujung kelas.”
Malam itu aku menelepon Mia, mencurahkan semua isi hatiku padanya. Aku menceritakan apa yang Ivan beritahu tentang Roa.
“Kata Ivan, Roa jadi lebih pendiam sejak sakit di SMP itu. Sekarang dia sakit lagi. Aku benar-benar cemas... Aku takut sakitnya akan separah dulu.”
“Memangnya sakit apa sih Roa?” tanya Mia heran.
“Kuharap aku tahu. Tapi dokter nggak mengatakan apa-apa. Ayah dan Ibu hanya bilang mungkin dia masuk angin, padahal aku yakin lebih parah dari itu. Roa sendiri nggak mau terus terang. Dia bilang, dia baik-baik aja, padahal kelihatannya nggak begitu.”
“Ya udah, kamu berdoa aja. Moga dia sembuh dan bisa datang ke acara ulang tahun sekolah nanti,” hibur Mia. Aku jadi sedikit tenang.
“By the way,” lanjut Mia. “Di acara nanti, apa yang mau kamu katakan, Anna? Kamu mau ngomong jujur tentang Ivan, kan?”
Jantungku mendadak berdegup kencang. Ivan..?
“Kamu mau bilang kalau sebenernya kamu sama sekali nggak ada rasa sama dia, kan?” tanya Mia.
Jantungku berdegup makin kencang.
“Anna, kamu udah janji bakalan jujur sama dia suatu saat nanti, supaya dia nggak terus menerus menaruh harapan ke kamu.”
Aku mematung. Ah, Ivan....Memang seru kalau bersama-sama dia. Dia belum pernah menyakitiku. Sejak pertama kali melihatnya, aku tahu dia cowok yang baik. Tapi...
Dulu, waktu dia menembakku, saat itu benar-benar tidak disangka-sangka. Ivan meneriakkan kata ‘suka’. Lalu menatap mataku tajam-tajam. Aku tahu dia tidak main-main. Tapi aku bingung harus berbuat apa. Aku melihat tangannya terkepal, basah oleh keringat. Makin lama kepalanya makin menunnduk. Dia mengatupkan mulutnya dan memejamkan matanya rapat-rapat.
Mana tega menolak dan menyakiti hatinya di depan orang banyak? Terpaksa kubilang ya. Lain kali kalau ada kesempatan, aku akan bilang perasaanku yang sebenarnya, janjiku. Mia mendengarnya.
Sekarang keadaannya berbeda. Makin hari aku semakin tidak tega untuk menyakiti Ivan. Dia begitu baik. Aku tak mau dia tahu kalau aku menerima pernyataan cintanya hanya karena rasa kasihan. Terlebih, dia juga sahabat Roa. Betul-betul nggak enak harus bicara jujur tentang perasaanku padanya.
Suara Mia di ujung telepon mengagetkanku.
“Anna, udah nggak ada waktu lagi,” katanya. “Kalau kamu nggak berkata jujur di acara ultah sekolah nanti, kamu malah bakal makin deket dengan dia. Dan kamu makin nggak tega lagi nantinya!”
“Aku nggak tahu, Mia. Bukannya kalo bilang di depan umum begitu justru lebih parah daripada nolak dia waktu di depan para pengurus OSIS dulu?”
“Resiko, Anna. Kalau kamu bilang pas kalian lagi berduaan, dia pasti mengelak atau nganggap kamu cuma bercanda.”
Aku bener-bener bingung sekarang... Aku takut...
Selama hari-hari persiapan acara, Ivan justru banyak membantuku. Dia rajin membelikan jus dan cemilan untukku. Dia bahkan mengantarku pulang dengan alasan ingin sekalian menjenguk Roa. Aku terharu dengan perlakuannya itu. Aku tak bisa membayangkan akan menyakiti hatinya di depan satu sekolah dengan mengatakan hal jujur tentang perasaanku.
Belum lagi kalau aku mengingat semua kebaikannya. Dia pernah memberikan hadiah istimewa di hari ulang tahunku. Sebuah DVD game asli yang harganya bisa mencapai $50. Aku semakin berat untuk mengatakannya, tapi Mia benar. Kalau terus begini, aku telah menipu dua orang sekaligus – aku dan Ivan.
Waktunya tinggal 5 hari lagi...
Kenapa keadaan justru bertambah parah? Saat aku pulang dari sekolah pas sibuk-sibuknya persiapan event ultah sekolah, ternyata kabar buruk menantiku di rumah.
Roa masuk rumah sakit. Sama seperti waktu ia kelas 3 SMP dulu. Ayah memberitahuku kalau Ibu dan Roa sudah berangkat duluan ke rumah sakit. Kami segera menyusul mereka.
Sesampai di sana aku nyaris tidak mempercayai kata-kata dokter. Tidak mungkin. Roa mengidap kanker paru-paru. Itu menjelaskan semua batuk-batuknya selama ini. Dan ternyata penyakit itu sama dengan yang diderita Roa ketika SMP dulu. Roa sudah mengetahui penyakitnya sejak dulu, dan mungkin ia merasa terpukul. Makanya ia menarik diri dari pergaulan dan tidak peduli pada keadaan di sekelilingnya. Itukah sebabnya ia begitu pendiam?
Dia bergumul dengan kenyataan pahit yang telah menghantuinya selama tahun-tahun belakangan ini. Dia merasa waktunya tinggal sedikit lagi.
Aku hanya mematung di koridor rumah sakit. Ibu menangis di kursi. Wajah Ibu tenggelam dalam saputangan yang aku masih ingat, hadiah dari aku dan Roa saat ulang tahun beliau yang ke-40.
Ayah duduk di sebelah Ibu, berusaha menenangkannya. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri. Mengingat semua yang telah Roa lakukan untukku. Berbagi kue, mengobati lukaku saat aku terjatuh dari sepeda. Roa juga yang menyumbang lebih banyak untuk membeli saputangan Ibu. Roa menemaniku di saat tegang menunggu hasil Ujian Nasional SMP-ku. Aku masih ingat wajah riangnya saat menatap amplop kelulusanku. Roa tersenyum memberikan ucapan selamat. Nilaiku cukup bagus untuk masuk ke SMU yang sama dengan SMU Roa. Aku benar-benar bahagia bisa satu sekolah lagi dengannya, setelah sempat terpisah 3 tahun di bangku SMP.
Tapi kebahagiaan itu kini pudar. Roa mengidap penyakit yang tak pernah kuketahui selama ini. Karena aku tak pernah diberitahu. Juga karena dulu aku tak pernah begitu peduli pada Roa...Tak sepeduli sekarang ini...
Dokter berkata kami boleh menjenguk Roa sebentar. Aku melihat wajah pucatnya. Dia benar-benar sakit. Dia tersenyum pada kami, tapi matanya sedih. Ibu memeluknya, terus-menerus berkata bahwa ia menyayangi Roa. Aku tidak tahan menyaksikan pemandangan ini. Aku ikut menangis.
Apakah...apakah raut tidak ikhlas Roa saat menyetujui proposalku adalah karena dia tahu dia tak akan sempat...
Oh Tuhan, kumohon jangan ambil dia dari kami. Setidaknya, sebelum acara itu. Aku ingin mendengar hal yang jujur tentang Roa. Aku ingin dia juga mendengar hal yang jujur tentangku. Tentang semua perasaanku padanya...
Confession of You and Me...
Aku sudah siap di belakang panggung. Aku teringat kata-kata Roa waktu itu, “Gimana nanti aja. Biarin ngalir apa adanya.”
Mia sedang tampil. Giliranku sesudahnya. Memang urutannya tidak menurut absen. Aku berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, mencoba tersenyum. Namun aku teringat Roa. Aku berusaha menahan tangisku.
Mia sudah selesai. Dia kelihatan khawatir melihatku. Tapi aku sudah memperingatkannya agar tidak menghentikanku. Akhirnya kudengar namaku disebut.
Aku melangkah ke panggung. Para penonton bertepuk tangan. Aku tersenyum.
“Semuanya...ini aku. Anna Tryanni Agustusa. Aku mau ngungkapin isi hatiku yang sebenarnya di kesempatan kali ini.”
Hening, aku berhenti sejenak. Menarik napas lagi. Aku harus siap.
“Ketua OSIS kita, Diansyah Roa Ananhyam...alias Roa,”
Siap, siaaaaap... Aku harus siap. Ayolah Anna, nggak ada yang perlu kamu takutkan, ini kenyataan...
“Bukan kakak kandungku.”
Semua penonton tercengang mendengar fakta baru ini. Ada yang mencolek anak di depannya. Berdiskusi dengan teman di sebelahnya, ada yang mencuri kesempatan menyomot makanan temannya. Aku berusaha menenangkan massa dengan mengetuk mikrofon beberapa kali.
Sekarang aku mulai tenang. Ayolah, berikutnya baru isi hatiku!
“Ditujukan kepada Muhammad Ivan Mulyana,”
Semua kepala berpaling kepala Ivan yang sedang berdiri di samping panggung.
“Selama ini... Aku cinta Roa,”
Semua penonton diterjang syok. Ivan mematung.
“Aku udah tahu kalo kami bukan adik-kakak sejak dulu. Di kartu keluarga kami selalu tertulis kalau Roa itu anak angkat Ayah dan Ibu,”
Jantungku mendadak berdegup kencang lagi.
“Ivan, aku minta maaf. Aku nggak tega mau nolak kamu waktu itu...”
Aku tidak berani menatapnya sekarang. Aku menundukkan kepala sambil terus menggenggam mikrofon.
“Aku... udah menyatakan cinta pada Roa... kemarin malam...”
Para penonton menunggu kelanjutanku dengan khidmat.
“Tepat... Sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya...”
Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS