Saturday, October 23, 2010

The Prince and The Pauper (Another Version)

Oleh: Ranti Eka Pratiwi, 14 tahun
(BWS Garut)




Royal Education School atau disingkat RES, merupakan sekolahnya para anak bangsawan. Maka dari itu, tak aneh apabila RES dijuluki sebagai sekolah nomor satu, termewah, terbesar dan paling berkualitas di Dublin, Irlandia. RES memiliki tiga tingkat pendidikan. Diantaranya, yaitu Basis, Exavation dan Excellence. Kalau disamakan dengan sekolah biasa, sama dengan tingkatan SD, SMP dan SMU.
Hari ini, yaitu hari Sabtu dibulan Juli, sedang diadakan kelulusan diseluruh sekolah di Irlandia, begitu juga di RES. Dan para pers tidak akan melewatkan hal itu.
“Selanjutnya, siswa yang mendapatkan nilai tertinggi dikelas Excelence. Dengan perolehan nilai 90,19 jatuh pada Andreas Thompson!”
‘PROK PROK PROK’
Tak lama kemudian, seorang pemuda tinggi, berkulit putih, berambut pirang, bermata biru dan tampan--sempurna, dengan gagah dan tenang melangkah menuju ke atas panggung untuk menerima ijazahnya dan memberi beberapa sambutan. Setelah itu, dia kembali menyambut orang tuanya yang merupakan bangsawan dari keluarga Thompson. Andreas Thompson terkenal dengan kepintarannya, kesopanannya, kedermawanannya dan ketampanannya. Dia adalah anak semata wayang Simon Thompson dan berarti pula, pewaris tunggal harta kekayaan keluarga Thompson.
Setelah acara pembagian ijazah selesai, kini saatnya berfoto. Di taman, terlihat Andreas Thompson dan beberapa orang sahabatnya, yaitu Richie Kipner, Frank Mason, Caroline Hockley, Paula Cosgrave dan Priscilla Byrne sedang berfoto ria.
Begitu juga dengan sekolah biasa, bernama SMU Kildare pun, sedang diadakan kelulusan.
“Selanjutnya, siswa yang mendapatkan nilai terendah dengan perolehan nilai 53,90 diraih oleh Maureen Walsh!”
‘HUHUHUHU…’
Tak lama kemudian, seorang gadis tinggi, berkulit putih, berambut merah dan manis, melangkah sambil mengunyah permen karetnya dengan gaya cueknya. Di atas panggung, ia menerima ijazahnya dan memberi beberapa sambutan kecil, “Thank’s!”.
‘HAHAHA…’
Merupakan hal yang wajar, jika Maureen Walsh mendapatkan nilai rendah. Selain pemalas dan pemarah, Maureen juga terkenal sebagai gadis tomboy pembuat onar. Maureen adalah anak yatim piatu yang tinggal bersama nenek dan adik perempuan, yang merupakan adik satu-satunya, bernama Emma Walsh. Hidupnya, cukup miskin, untuk membeli sebuah sepeda motor.
Emma masih duduk di kelas 2 SMU, di SMU Dublin. Sifat Emma dan Maureen sangat kontras. Sifat Emma, feminin, pintar, rajin dan jujur. Neneknya bernama Julie Walsh, ia adalah seorang nenek yang sangat luar biasa dan bersemangat dalam menjalani hidupnya. Dia membuka sebuah kantin yang terletak di depan rumahnya, bernama Foodies Walsh. Kantin itu merupakan sumber penghidupan bagi mereka bertiga.
Setelah acara pembagian ijazah selesai, Maureen Walsh bersama teman-teman yang senasib dengannya, yaitu Jeremy Murphy, Sara Bell, Billy McMahon, Maria Taylor dan Mick Power berfoto ria. Setelah itu, mereka pergi jalan-jalan menuju Ireland Fair, merayakan kelulusannya. Dalam perjalanan menuju Ireland Fair, mereka berenam melewati RES.
“Hei, lihat sekolah itu!” seru Jeremy.
“Maksudmu RES?” tanya Billy.
“Sekolah yang penuh para bangsawan yang tampan nan gagah,” ucap Sara, dengan nada centilnya.
“Sekolah yang keren, ya?” salut Maria.
“Ya, sekolah keren dengan penuh orang-orang sombong di dalamnya,” ucap Maureen, menyepelekan.
“Kita itu, masih lebih baik dari mereka!” dukung Mick.
Setibanya mereka di Ireland Fair, mereka bersenang-senang ria. Setelah puas, mereka mengisi perutnya disebuah kantin bernama Fast Food, yang mampu menyajikan makanan secepat kilat, dengan harga yang terjangkau. Setelah mereka memesan makanan, tiga menit kemudian mereka bisa memakan pesanan mereka. Sambil makan, mereka berbincang-bincang.
“Nanti, kalian akan meneruskan ke mana? Kalau aku akan disekolahkan di Perguruan Tinggi Galway,” tanya Maria.
“Aku akan disekolahkan di Perguruan Tinggi Wexford,” jawab Mick.
“Kalau aku, aku akan sekolah di Perguruan Tinggi Belfash,” jawab Sara.
“Aku juga di Belfash, bersama Sara,” jawab Jeremy.
“Aku di Perguruan Tinggi Tipperary,” jawab Billy.
“Kalau kamu Maureen?” tanya Maria.
“Aku tidak mau sekolah lagi. Buang-buang uang saja. Lebih baik bekerja, menghasilkan uang,” ucap Maureen, simple.
Setelah beberapa lama, mereka berenam kembali pulang ke rumahnya masing-masing. Setibanya di rumah, Maureen mengganti pakaiannya dan membantu neneknya di kantin. “Hai, Maureen!” sapa neneknya, Julie.
“Hai, Nek!” balas Maureen, santai.
“Bagaimana kelulusanmu?” tanya Julie.
“Seperti biasa,” singkat Maureen.
“Ooh, it’s oke. Kamu mau meneruskan sekolahmu lagi?” tanya Julie.
“Tidak, lebih baik bekerja,” jawab Maureen.
“Terserah padamu,” ucap Julie, hangat.
“Hey, aku pesan satu beef burger dan segelas cola!” seru salah seorang pelanggan.
Sementara itu, di kediaman keluarga Thompson. Di sana, terlihat Andreas yang sedang bersantai di ruang keluarganya, sambil membaca buku. “Hai, Nak!” sapa ayahnya, Simon Thompson.
“Hai, Ayah!” jawab Andreas, santai.
“Ibu dan ayah punya ide bagus. Ibu harap, kamu menyukainya,” susul ibunya, Joanne Thompson.
Andreas menghentikan kegiatannya. “Ide bagus?”
“Ya, kami berdua bermaksud untuk menyekolahkanmu ke Jerman. Kau suka?” ucap Simon, yang langsung mendapat sambutan dingin dari Andreas.
“Kenapa?” tanya Joanne.
“Ayah, ibu, untuk sekarang ini aku ingin cuti dulu. Keinginanku, aku ingin mengisi masa mudaku ini dengan menjelajahi alam dan berburu,” ucap Andreas.
“Izin untuk cuti, it’s oke. Tapi untuk menjelajahi alam dan berburu, ibu tidak akan mengizinkanmu. Ibu tidak ingin kau ada dalam bahaya!” ucap Joanne.
“Ibu, masa mudaku akan cepat hilang jika aku mengisinya dengan keinginan ibu dan ayah. Sedangkan keinginanku diabaikan. Apa ibu dan ayah mau, kalau aku disebut anak yang kurang bahagia?” timpal Andreas.
“M… Ayah izinkan,” ucap Simon.
“Simon,” seru Joanne.
“Joanne, benar apa yang dikatakan Andreas. Biarkan dia mengisi masa mudanya dengan keinginannya sendiri. Apa kau mau, anak kita jadi tidak bahagia karena kekhawatiranmu?” ucap Simon.
“M.. Baiklah. Apa rencanamu?” ucap Joanne pada Andreas.
Andreas bahagia. “Terima kasih ayah, ibu. Rencanaku, seminggu lagi aku ingin berpetualang selama dua minggu ke Pegunungan Connemara,”
“Baiklah, catat semua keperluanmu. Biar nanti, Biff yang membelikannya,” ucap Simon.
“M, tidak ayah. Biarkan aku sendiri yang membelinya,” sangkal Andreas.
“Terserahlah,” ucap Simon.
“Satu lagi. Ibu mohon, kau pergi bersama Biff,” ucap Joanne.
Sementara itu, malam hari di kediaman keluarga Walsh. Maureen, Emma dan neneknya, Julie sedang makan malam bersama.
“Seminggu lagi, kita akan ke Westport. Nenek ingin mengunjungi makam kakek dan orangtua kalian. Sekalian, kita akan berlibur di sana,” ucap Julie.
“HOREEE!!!”
“Di sana, kita bisa bersenang-senang sambil menjelajahi Pegunungan Connemara!” ujar Emma.
“Kalau begitu, catat apa yang kalian butuhkan, biar aku yang berbelanja!” seru Maureen.

Enam hari kemudian…
Di kediamanan keluarga Thompson, terlihat Andreas yang memakai t-shirt berwarna putih dan celana jins berwarna hitam sedang memerintahkan Biff, sopirnya, untuk segera menyiapkan mobil. Karena hari itu, Andreas akan berbelanja untuk kebutuhan petualangannya.
Begitu juga dengan keluarga Walsh, terlihat Maureen dengan celana panjang berwarna putih, tank top putih dan jaket olahraga putihnya dengan rambut diikat, sedang bersiap-siap untuk pergi berbelanja dengan skateboard-nya. Setelah siap, Maureen berangkat dengan skateboard kesayangannya. Begitu juga dengan Andreas, dia pun pergi dengan mobil limo-nya bersama Biff.
Saat baru keluar dari pintu halaman rumah keluarga Thompson, tiba-tiba Biff hampir saja menabrak Maureen yang terlihat melintasi mobil limo itu. Tapi untung saja, Biff sempat menginjak rem-nya, walaupun terlambat dan berhasil menyenggol Maureen.
“Biff, kau menabrak seseorang,” ucap Andreas, dengan expresi kagetnya. Dengan cepat, Biff keluar dari mobil itu dan menolong Maureen yang sedang terduduk di depan limo, sambil meringis kesakitan.
“Nona, maafkan saya. Saya sama sekali tidak melihat anda, tadi!” ucap Biff, sambil membangunkan Maureen.
“Tak apa,” singkat Maureen sambil berusaha menginjakkan kaki, di atas skateboardnya.
Tapi, Andreas langusng keluar dari limonya. “Tunggu!”
Maureen terdiam tanpa membalikan badannya. “Ya?”
“Apa kau butuh tumpangan?” tanya Andreas.
“Kurasa tidak,” akhir Maureen, seraya meninggalakan Biff dan Andreas.
“Sepertinya, gadis itu bukan gadis gampangan,” ucap Biff pada Andreas.
“Kurasa begitu,” dukung Andreas.
Mereka pun melanjutkan perjalanan. Setibanya disebuah mall, Andreas turun dari mobilnya dan mulai berbelanja. Pada saat Andreas pergi ke tempat penjualan barang-barang untuk hiking, tak disengaja dia menabrak seseorang dan orang itu pun terjatuh.
“Aduh!” seru Maureen.
“Maaf. Anda tidak apa-apa?” tanya Andreas seraya membantu Maureen berdiri.
“Lain kali, kalau jalan hati-hati!” nasihat Maureen, bernada keras.
“Baiklah,” ucap Andreas.
Maureen pun mulai melangkahkan kakinya. Tapi Andreas menghentikannya. “Tunggu, kurasa kita pernah bertemu!” ucap Andreas. “Bertemu?” bingung Maureen. “Apa kau yang tertabrak tadi?” tanya Andreas.
“Oooh, jadi kau pemilik limo itu?”
“Ya,”
“Ya sudah kalau gitu, aku pergi dulu, ya!” akhir Maureen dan langsung meninggalkan Andreas.
“Dingin sekali,” ucap Andreas. Mereka berdua pun mengurus dirinya masing-masing. Beberapa jam kemudian, Andreas dan Maureen berhenti berbelanja dan kembali ke rumahnya masing-masing.
Dua hari kemudian, Andreas dan Biff berpamitan pada Joanne dan Simon Thompson, untuk pergi ke Pegunungan Connemara. Sedangkan di rumah keluarga Walsh, terlihat Maureen, Emma dan Julie sedang mengunci pintu rumah dan kantinnya. Setelah siap, mereka pun pergi ke Westport, yang masih dalam kawasan Pegunungan Connemara.
Setibanya di sana, keluarga Walsh beristirahat di vila mereka yang sederhana. Sedangkan Andreas dan Biff, mereka mendirikan perkemahan di wilayah Pegunungan Connemara. Keesokan harinya, Andreas dan Biff memulai petualangannya. Sedangkan keluarga Walsh, mereka pergi ke makam keluarganya, untuk berziarah.
Dua hari kemudian, Maureen, Emma dan Julie berpiknik ke Pegunungan Connemara dan bersenang-senang. Sedangkan dengan Andreas, dia pun menikmati masa mudanya dengan berpetualang dan berburu. Dua minggu pun berlalu dengan sangat cepat. Esok hari, Andreas Thompson dan Biff akan kembali ke Dublin atau kembali ke rumahnya.
Keesokan harinya, Andreas dan Biff, yang pada saat itu sedang ada di tengah hutan, mulai bersiap-siap untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, mereka melintasi jurang yang cukup curam.
“Perhatikan langkahmu, Tuan muda!” ucap Biff.
“Baiklah,” ucap Andreas.
Namun tiba-tiba, Andreas tidak bisa berhati-hati, karena jalanannya licin. Akhirnya, dia pun jatuh ke dalam jurang.
“TUAAANN!!!” teriak Biff.
Setelah lama Biff berusaha mencari Andreas, hasilnya tetap saja nihil. Terpaksa, Biff kembali tanpa Andreas dan melaporkannya pada kedua orang tua Andreas, Simon dan Joanne Thompson. Setibanya di rumah keluarga Thompson, setelah Biff melaporkan kejadian yang dialami Andreas, akhirnya dia dipecat.
Malam harinya di vila kediaman Walsh.
“Emma, nenek, aku pergi dulu!” ucap Maureen.
“Mau kemana, Kak?” tanya Emma.
“Mau keluar, cari angin. Tiga jam lagi aku akan kembali!” akhir Maureen dan langsung pergi sambil membawa senternya.
“Kakak itu bagaimana, sih. Dia kan, perempuan. Masa’ malam-malam begini keluyuran?” ucap Emma.
“Biarkan saja. Hem.. kalo dipikir-pikir, dia itu seperti ayah dan kakekmu!” ucap neneknya, Julie.
Di luar, Maureen mulai berjalan-jalan, menelusuri daerah hutan.
‘GUK GUK AUUUUUUUUU!!!!’ suara serigala.
“Menyeramkan sekali. Sebaiknya, aku kembali saja!” ucap Maureen.
Dia pun berlari kecil untuk kembali. Tapi tiba-tiba, dia terpeleset dan jatuh ke dalam jurang.
“KYAAAAAA!!!” teriak Maureen.
Tak lama kemudian, dia tiba di dasar jurang. Untungnya, tak terjadi suatu apapun pada Maureen. Tanpa pikir panjang, Maureen kembali meneruskan perjalanannya. Tapi tiba-tiba, kakinya merasakan sesuatu. Setelah dia memusatkan pandangan ke bawah, dia melihat seseorang sedang tergeletak tak berdaya.
“Ya ampun, siapa dia?” hentak Maureen, langsung menyalakan senter dalam sakunya, dan melihat orang itu. Betapa kagetnya Maureen, ketika dia melihat wajah orang itu.
“Si pemilik limo!”
Dengan cepat, Maureen mengangkat si pemilik limo itu dan dia bawa ke vilanya.
‘TOK TOK TOK!!!’
Emma pun membuka pintunya.
“Ya ampun, siap yang kakak bawa?!” kaget Emma.
“Sudah, jangan banyak bertanya. Siapkan air!” seru Maureen, yang langsung menidurkan si pemilik limo ke atas sofanya.
“Maureen, siapa dia?” tanya neneknya, Julie.
“Aku juga tidak tau. Aku menemukannya di dasar jurang!” ucap Maureen.
Lalu, datanglah Emma dengan semangkuk air hangat beserta lapnya. Tanpa diperintah, Maureen pun mencuci muka si pemilik limo.
“Nek, bagaimana ini?” tanya Emma, cemas.
“Kita tunggu besok. Jika besok dia tidak sadarkan diri, kita panggil dokter ke sini!” ucap Julie.
“Emma, siapkan tempat tidurku. Aku akan menidurkannya di sana!” perintah Maureen.
“Iya, Kak!” ucap Emma, seraya pergi ke kamar Maureen.
Beberapa lama kemudian, kamar pun siap. Dengan tenaganya, Maureen mengangkat si pemilik limo itu ke kamarnya. Setelah selesai, Maureen mandi air hangat dan tidur bersama adiknya.
Keesokan harinya. Ternyata, sampai saat ini, si pemilik limo itu belum juga sadarkan diri. Tapi anehnya, mata si pemilik limo itu terbuka. Kini, dia seperti mayat hidup. Dengan cepat, Julie menelepon seorang dokter untuk memeriksa keadaan si pemilik limo. Satu jam kemudian, dokter pun datang dan mulai memeriksa.
Setelah selesai.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Julie.
“Karena peralatan yang kubawa tidak memadai, aku pun tidak tau dia kenapa. Tapi gejala-gejala seperti ini, sepertinya dia terkena koma,” ucap Dokter.
“Koma?!” kaget semua.
“Sebaikanya, dia ditangani di Dublin oleh dokter dengan peralatan yang memadai. Satu lagi, biarkan dia beristirahat!” akhir Dokter.
Dokter pun pergi dari vila itu.
“Nenek, sebaiknya kita kembali ke Dublin. Aku akan kembalikan dia ke rumahnya,” ucap Maureen.
“Ke rumahnya?” bingung Julie.
“Berarti, kakak tau siapa dia?” tanya Emma.
“Aku tidak tau. Tapi aku pernah bertemu dengan orang ini di depan rumahnya,” jawab Maureen.
“Baiklah. Kalau begitu, kalian siap-siap. Nanti siang, kita kembali ke Dublin,” ucap Julie.
Siang harinya, Maureen, Emma dan Julie sudah siap untuk kembali ke Dublin. Sesampainya di Dublin, Emma dan Julie berpisah dengan Maureen, karena dia harus mengantarkan si pemilik limo itu ke rumahnya. Setibanya di depan halaman rumahnya, Maureen keluar dari taksi dan menghubungi satpam.
“Pak, aku ada perlu dengan pemilik rumah ini!” ucap Maureen, meyakinkan.
“Sudah ada janji?” tanya satpam.
“Ini bukan saatnya janji-janjian. Cepat buka pintu halamannya dan biarkan taksi itu masuk!” tekan Maureen.
Dengan wajah Maureen yang begitu meyakinkan, satpam pun membuka pintu halamannya dan membiarkan taksi yang ditumpangi Maureen masuk. Setelah sampai di depan pintu rumah, Maureen pun menekan bel pintu. Pintu terbuka oleh seorang pembantu. “Ya, ada perlu apa?” tanya pembantu itu.
“Mana pemilik rumah ini?” tanya Maureen.
“Ada di dalam. Ada perlu apa, ya?” tanya pembantu.
“Tolong panggilkan mereka ke sini, ada sesuatu yang penting!” perintah Maureen.
“M… Baiklah,”
Pembantu itu pun masuk ke dalam dan memanggilkan tuan dan nyonya Thompson. Akhirnya, mereka berdua pun datang.
“Siapa anda?” tanya Simon.
“Saya Maureen Walsh. Saya membawakan sesuatu,” ucap Maureen dan langsung membuka pintu taksi.
“ANDREAAAS!!!” seru Simon dan Joanne.
“Andreas?” desis Maureen.
“John, Phay!” teriak Simon.
Tak lama kemudian, dua orang tukang kebun datang menghampiri.
“Ya, ada apa tuan?” tanya John dan Phay.
“Tolong angkat Andreas ke kamarnya!” perintahnya.
Kedua tukang kebun itu pun akhirnya mengangkat Andreas ke kamarnya. Maureen dipersilahkan masuk oleh Joanne Thompson. Tak lama kemudian, Simon menelepon seorang Dokter. Sambil menunggu, Maureen diajak mengobrol oleh pemilik rumah itu.
“Perkenalkan, namaku Joanne Thompson dan suamiku, Simon Thompson. Dimana kau menemukan Andreas?” tanay Joanne.
“Aku menemukannya di dasar jurang, Pegunungan Connemara. Setelah tau, aku pernah melihatnya di depan rumah ini. Akhirnya, aku pun membawanya ke sini,” jawab Maureen.
“Anda baik sekali. Kami berdua sangat berterima kasih padamu!” ucap Joanne.
Tak lama kemudian, Dokter pun datang dan langsung memeriksa Andreas. Setelah selesai, Dokter itu berbicara dengan tuan Thompson.
“Tuan Thompson, putra anda terkena koma yang diakibatkan oleh benturan yang sangat keras di kepala dan sampai pada saraf otaknya,” ucap Dokter.
“Lalu, apa dia bisa sembuh?” tanya Simon.
“Bisa dan sepertinya ini akan cepat. Lambat laun, dia akan sembuh. Walaupun dia tidak sadar, tapi dia bisa melihat dan mendengar. Terus ajak dia berkomunuikasi. Dan sebaiknya, ada seorang perawat untuk merawatnya,” akhir Dokter, dan langsung berpamitan dengan Simon.
“Joanne, kita harus mencarikan perawat untuk Andreas,” ucap Simon pada Joanne.
“Perawat?” pikir Joanne.
Mendengar hal itu, Maureen langsung menyela pembicaraan. “Kalian membutuhkan perawat?”
“Ya,” jawab mereka berdua.
“Saya bersedia menjadi perawatnya!” ucap Maureen, yang langsung disambut dengan tatapan curiga. “Kumohon percayalah padaku. Saya sedang membutuhkan pekerjaan. Lagi pula, saya sudah berpengalaman merawat seseorang,” ucapnya, dusta.
“Baiklah. Mulai besok, kau sudah bisa kerja di sini!” ucap Joanne.
“Terima kasih!”
Beberapa lama kemudian, Maureen berpamitan untuk kembali ke rumahnya. Sesampainya di rumah keluarga Walsh.
“Bagaimana, Kak?” tanya Emma.
“Kalian tau, aku baru mendapatkan sebuah pekerjaan!” seru Maureen.
“Pekerjaan?” tanya Julie.
“Aku baru mendapat pekerjaan sebagai perawat si pemilik limo itu!” jawab Maureen, girang.
“Kapan kau mulai bekerja?” tanya Julie.
“Besok pagi,” jawab Maureen.
Keesokan paginya, Maureen sudah berada di kediaman Thompson.
“Kau boleh mulai bekerja. Tapi sebelum itu, ganti pakaianmu dengan ini!” perintah Joanne sambil memberikan sebuah seragam.
Dengan terpaksa, Maureen memakai baju perawat dengan rok mini, yang tidak ia sukai. Setelah selesai berganti pakaian, dia pun memulai harinya sebagai seorang perawat. Dengan teliti, dia merawat Andreas sambil mengajaknya mengobrol. Sebelum mengajak Andreas mengobrol, Maureen melihat-lihat foto-foto yang ada di kamar itu. Lalu, terlihat foto Andreas bersama kelima temannya, dengan sebuah papan nama besar di dada mereka.
“Hai, namaku Maureen Walsh. Mereka bilang, kalau aku adalah si pembuat onar. Kau tau, sebenarnya aku itu tomboy, lho! Tapi dengan terpaksa, aku menerima pekerjaan orang lemah ini, karena aku sedang memerlukan uang. Aku menyebut pekerjaan ini adalah pekerjaan orang lemah, karena rata-rata wanita feminin itu lemah. Kalau aku, aku tidak suka kalau dibilang orang lemah,” ucap Maureen.
Tak lama kemudian, pintu kamar Andreas terbuka dan datanglah lima orang sahabatnya, yaitu Richie Kipner, Frank Mason, Caroline Hockley, Paula Cosgrave dan Priscilla Byrne datang menjenguk. “Kenapa ini bisa terjadi?” tanya Caroline. “Dia jatuh dari jurang sewaktu berada di Pegunungan Connemara,” jawab Maureen.
“Siapa kamu?” tanya Paula.
“Aku perawat Andreas. Ups.. maksudku, Tuan Andreas,” jawab Maureen.
“Dia memang senang dengan pengalaman yang menantang,” ucap Richie.
“Dasar, Andreas!” seru Frank.
“Lain kali, aku akan memarahinya jika ia berpetualang lagi!” seru Priscilla, berlinangan air mata.
“Memarahinya? Memangnya, dia pacarnya? Percaya diri sekali,” ucap Maureen dalam hati.
Setelah lama, akhirnya mereka semua pergi dari tempat itu. “Andreas, apa Priscilla itu pacarmu? Katanya dia akan memarahimu, jika kamu berpetualang lagi. Hm, percaya diri sekali,” ucap Maureen.
Seminggu kemudian.
Maureen sudah berada di dalam kamar Andreas untuk bekerja.
“Hai, Andreas. Cepat sadar, ya. Aku sudah tidak tahan lagi, memakai rok mini ini!” sapa Maureen.
Setelah itu, Maureen melihat-lihat kamar Andreas. “Hm, udah seminggu aku kerja di sini. Tapi dari dulu, aku belum pernah melihat isi lemari-lemari itu,” ucap Maureen. Dengan penuh rasa penasaraan, Maureen melihat-lihat lemarinya. Tapi ketika dia membuka lemari bagian atas, tiba-tiba ia tertimpa tumpukan baju-baju bekas, sampai akhirnya dia tertutup tumpukan itu. Tanpa disadari, Andreas berusaha menggerakkan jari-jemari kakinya. Beberapa lama kemudian, Maureen kembali membereskan tumpukan baju itu ke dalam lemari. Setelah itu, Maureen menonton TV di kamar Andreas.
Tiga hari kemudian.
Paginya, Maureen sudah mengajak Andreas keluar kamar dengan menggunakan kursi roda dan menghirup udara segar di taman. “Andreas, udaranya sejuk, ya?” ucap Maureen sambil mengirup udara. “Di udara yang sesejuk ini, paling baik adalah berolahraga!” tambahnya, sambil berlari ditempat.
“Kau tau, aku jago berkelahi, lho. Pengalamanku banyak, pertama aku berhasil mengusir para rentenir, yang bermaksud akan menghancurkan kantinku. Kedua, aku pernah naik benteng sekolah, karena terlambat. Dan ketiga, aku pernah berkelahi dengan si centil Marry, anak pemilik yayasan sekolahku. Tapi untungnya, aku tidak sampai dikeluarkan, karena beberapa hari lagi dari itu, aku sudah lulus,” akhirnya. Tanpa disadari, tangan Andreas mulai bergerak sangat pelan.
Beberpa lama kemudian, Priscilla datang menghampiri Maureen dan Andreas.
“Heh, perawat dekil. Siapa suruh, kamu bawa Andreas keluar kamar?!” sentaknya.
“Heh, apa haknya kamu memarahiku. Yang berhak memarahiku, hanyalah tuan dan nyonya Thompson, tau?!” balas Maureen.
“Dasar, orang miskin. Beraninya kamu bicara begitu padaku. Awas, nanti!” akhir Priscilla.
“Heuh, dasar orang sombong!” desis Maureen.
Sore harinya, Maureen pun pulang ke rumahnya. Setibanya di rumah, Maureen sangat kaget ketika melihat kantinnya porak poranda. Tak lama kemudian, dia masuk ke dalam rumahnya dan melihat Emma juga neneknya, Julie didapatinya sedang menangis. “Emma, nenek, ada apa ini?” tanya Maureen penasaran.
“Kak, tadi para rentenir itu datang lagi. Dia menagih utangnya. Padahal, hari ini bukan waktunya menagih utang. Karena uang kami belum cukup, mereka mengusir langganan kami dan memporak-porandakan kantin. Sepertinya, besok kita tidak makan siang,” jelas Emma, sambil menangis. Sedangkan neneknya, Julie tidak berkata apapun. “Kurang ajar. Mereka hanya berani saat aku tidak ada di rumah!” desis Maureen.
Keesokan harinya. Seperti biasa, Maureen sudah berada di rumah keluarga Thompson. Tanpa menyapa Andreas, Maureen langsung duduk lemas dan menundukan kepalanya di atas tempat tidur, yang sedang di tempati Andreas. Tak lama kemudian, Maureen menangis terisak-isak. “Hiiks hiiks,”
“Andreas, andai kamu dapat menolongku, aku ingin meminta bantuanmu. Kau tau, aku sangat prihatin dengan keadaan keluargaku. Kemarin, kantinku baru saja dirusak oleh para rentenir jahat itu. Mereka menagih utangnya, padahal belum waktunya mereka menagih. Sumber penghasilan keluargaku sudah hancur. Dan untuk siang ini, kami tidak tau akan makan apa. Dan tadi pagi, aku lihat nenekku bekerja sambilan, sebagai pembantu. Sebagai seorang cucu, aku tidak rela membuatnya sengsara seperti itu!” jelas Maureen.
Tanpa disadari, mata Andreas mulai berkedip. Kemudian disusul oleh gerakan kaki dan tangnnya. Setelah selesai menangis, Maureen pergi ke kamar kecil di belakang, untuk mencuci mukanya. Dan setelah kembali, alangkah kagetnya dia, saat melihat Andreas tidak ada di atas tempat tidur.
“HAH?! Kemana dia?!” seru Maureen sambil kebingungan mencari Andreas. Tak lama kemudian, dia melihat Andreas yang baru keluar dari toilet kamarnya. Setelah Andreas memberikan senyuman manis pada Maureen, akhirnya Maureen tak sadarkan diri.
Tak berapa lama kemudian, Maureen pun sadar.
“Kau tidak apa-apa, kan?” tanya Andreas. “Kau sudah sembuh?” tanya Maureen, setengah sadar. “Ya, berkat pertolonganmu,” jawab Andreas. “Jadi, benar kamu sudah sembuh?!” tanya Maureen dengan nada keras.
“Iya, berkat pertolonganmu. Apa kau tidak percaya?”
“Oooh, ini pasti mimpi. Aku berhasil menyembuhkan orang koma?! Tidak mungkin!”
Lalu, Andreas mencubit lengan Maureen.
“Wadaw!! Sakit, tau!” teriak Maureen.
“Berarti, kamu tidak mimpi!” ucap Andreas.
Setelah itu, Maureen memberi kabar gembira itu pada Simon dan Joanne Thompson. Sebagai penghargaan, Maureen diberi uang banyak. Suatu keberuntungan bagi Maureen, karena uang itu cukup untuk membayar utang-utangnya pada rentenir. Untuk merayakan kebahagiaan itu, keluarga Thompson bermaksud untuk membuat pesta besar, nanti malam di rumahnya. Dan Maureen diundang sebagai tamu kehormatan.
Sore harinya, Maureen memberikan hasil jerih payahnya kepada Emma dan nenek tercinta, Julie. Setelah itu, dia bersiap-siap untuk pergi ke pesta Thompson, dengan menggunakan gaun yang sederhana dan dandanan yang sederhana pula. Setelah siap, Maureen pun pergi ke rumah Thompson. Setibanya di sana, Maureen begitu terpesona dengan kemeriahan pesta itu. Semua para tamu undangan adalah bangsawan Irlandia. Adapun beberapa dari mereka, para wartawan yang sengaja meliput pesta kesembuhan Andreas.
“Waah, aku yang ternyata orang miskin, bisa diundang di pestanya para bangsawan. Apalagi, sebagai tamu kehormatan. Luar biasa!” seru Maureen dalam hati.
Kemudian, seorang sosok gagah datang menghampiri Maureen dan mengajaknya ke tempat pesta, yaitu di sekitar kolam renang, di halaman belakang rumah keluarga Thompson. Sosok itu adalah Andreas Thompson.
“Perhatian semuanya. Kita beri tepuk tangan kepada tamu kehormatan kita, Maureen Walsh!” seru Simon Thompson.
‘PROK PROK PROK’
“Berkat bantuannya, putraku Andreas Thompson yang sakit koma saat itu, bisa kembali sembuh. Sebagai tanda terima kasih keluarga Thompson, aku berikan dia sebuah rumah dan restoran di pesisir Laut Eire!” lanjutnya.
“HAH?! Rumah? Restoran? Restoran itu, kan rajanya kantin. Berarti, aku akan kaya raya!” seru Maureen dalam hati. “Terima kasih, atas semuanya!” ucap Maureen. Seketika, para wartawan yang ada di tempat itu, langsung menyilaui mata Maureen.
‘PROK PROK PROK’
Kemudian, Andreas mengajak Maureen untuk bergabung bersama kelima temannya. Semua teman-teman Andreas memberikan ucapan selamat pada Maureen. Terkecuali, Priscilla Byrne, sang bangsawan sombong. Tak lama kemudian, Maureen dan Priscilla ditinggal oleh semuanya karena suatu hal. Kini, tinggal Maureen dan Priscilla di tempat itu.
“Senangnya, jadi orang kaya!” sindir Priscilla.
“Ya senang, dong. Besok pagi, headline majalah Boom akan menjadi miliku!” jawab Maureen, santai.
“Aku penasaran, apa keberuntunganmu sudah diperhitungkan dari dulu, atau tidak?” ucap Priscilla.
“Maksudmu, aku memanfaatkan Andreas untuk memperolah keberuntungan, begitu?” tanya Maureen, emosi.
“Tak lebih,” ucap Priscilla.
“Asal kamu tau, ya. Dulu, aku tidak pernah memperhitungkan ini semua. Lagi pula, aku tidak tau, kalau Andreas akan sembuh. Selain itu, dua minggu lebih bersama Andreas, lumayan. Daripada kamu, yang jelas-jelas menyukainya, malah tak dilihat olehnya. Aku lebih beruntung daripada kamu, tau!” goda Maureen.
Tiba-tiba, terdengar suara musik dansa dan terlihat Andreas dan lainnya, berjalan menuju ke tempat semula, yaitu tempat Maureen dan Priscilla berada.
“Siapa bilang, aku tidak dilihat Andreas? Lihat itu, pasti Andreas akan berdansa. Jika dia memilihku untuk menjadi pasangannya, maka kau kalah. Tapi apabila kau yang diajak untuk menjadi pasangannya, maka aku menyerah,” tantang Priscilla.
“Oke, siapa takut?!” balas Maureen.
Dengan tegang, mereka berdua menanti Andreas. Setelah Andreas berada di depan mereka berdua, dengan perlahan dia mengulurkan tangannya ke salah satu dari Maureen dan Priscilla. Siapakah orangnya? (Setiap orang punya versi ending sendiri-sendiri kan?) Inilah versi saya:
Setelah Andreas menentukan gadis pilihan untuk berdansa, sang gadis tak lupa menjulurkan lidahnya terlebih dahulu kepada gadis satunya yang sedang kesal karena tak terpilih. Dengan penuh rasa kesal dan emosi, gadis yang ditolak itu berusaha pergi meninggalkan tempat pesta. Tapi ketika ia melangkah, ia tertubruk oleh pasangan yang sedang berdansa dan akhirnya, dia pun terjatuh ke dalam kolam renang.
‘GBYUUUURRR’
Serentak, semua tamu undangan di pesta itu tertawa, menertawakannya. ‘HUAHAHAHAHAH…!!!!’
“Uuugghh…!!!”
Andreas tersenyum dari lantai dansa sambil melihat ke kolam. Ia berteriak. “Itulah kenapa aku memilih gadis ini untuk dansa,” Andreas menunjuk pasangan dansanya, lalu kembali menatap gadis di kolam. “Pertama, karena kamu tomboy, kamu pasti tak bisa dansa, dan aku nggak mau bikin kamu malu kalau nanti terjatuh di dance floor. Kedua, kamu gadis yang kuat, pasti akan bisa dengan mudah keluar dari kolam renang itu. HAHAHA…”
Maureen memukul air kolam sekuat-kuatnya karena kesal.
“Tapi tenang aja,” teriak Andreas lagi. “Pasangan dansa bukan berarti pasangan hidup.”
Mendengar kalimat itu, Priscilla yang sedang berdansa dengan Andreas langsung kesal dan melepaskan genggaman tangan Andreas di pinggangnya.
“Hey kamu mau kemana?” tanya Andreas pada Priscilla. “Aku kan belum memutuskan siapa yang akan jadi pasangan hidupku nanti. Masih terlalu dini untuk menentukan gadis pilihanku. Lagipula, aku akan melanjutkan sekolah tinggi sesuai kemauan ayah ibuku dulu, baru kemudian mencari soulmate. Jadi, kalian berdua, dan semua gadis yang ada di pesta ini, sama-sama masih punya peluang.”
Maureen dan Priscilla saling pandang. Suasana pesta malam itu menjadi semakin meriah. 

Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS