Friday, October 22, 2010

Kang Rana

Oleh: Triella Happy Lestari, 18 tahun
(BWS Bandung)

Keputusan tentang cinta pertama
Menentukan kehidupanmu selanjutnya


Hari ini adalah hari pernikahan sepupuku, aku dan keluarga diundang untuk menghadiri hari bahagianya. Aku dijadikan penerima tamu pada acara pernikahan itu. Saudara serta kerabat yang lain datang untuk menyaksikannya.

Di situlah awal pertemuanku dengan Kang Rana. Namanya Randall Adam, tapi sering disebut Kang Rana. Mungkin biar terdengar ‘nyunda’, karena kami tinggal di tanah Priangan alias Sunda.

Kang Rana adalah adik ipar dari sepupuku yang sedang menikah. Ibunya Kang Rana adalah wanita asli Sunda, sedangkan ayahnya pria Belanda. Tak heran jika Kang Rana begitu tampan. Dia mewarisi hidung mancung, bola mata cokelat, serta tubuh tinggi besar dari ayahnya. Dan dia mewarisi kulit kuning langsat dari ibunya. Dari segi fisik, Kang Rana pria yang sempurna. Umurnya saat itu baru 18 tahun, sementara aku 15 tahun!

Pada awalnya aku tidak tahu kalau Kang Rana masih ada hubungan saudara dengan sepupuku. Ketika sepupuku bilang bahwa dia ingin berkenalan, kami pun saling bertegur sapa dan mengobrol sebentar. Obrolan kami biasa saja, terjadi saat istirahat makan siang. Selesai makan, obrolan pun berakhir, dan aku kembali ke tempat duduk penerima tamu, menjalankan tugasku. Tapi Kang Rana tidak beranjak dari tempat duduknya. Dari mulai jam makan siang sampai acara pernikahan usai, Kang Rana tetap duduk di kursi yang sama, yaitu persis di depan tempat dudukku sebagai penerima tamu.

Lama-kelamaan aku jadi tidak nyaman, karena Kang Rana tidak mengalihkan pandangannya dariku. Matanya yang cokelat dan bening, terus tertuju padaku. Sepasang mata milik seorang model sampul itu membuatku salah tingkah.
Kata orang, aku gadis yang cantik. Namun aku tak pernah merasa secantik itu untuk dipandangi terus menerus oleh cowok setampan Kang Rana . Dia tidak berhenti mengajukan pertanyaan di sela-sela tugasku menerima para tamu yang datang. Aku jadi risih dibuatnya.

Setelah pesta pernikahan usai, dan semua orang beristirahat kelelahan, Kang Rana duduk di sampingku. Begitu dekat, hingga membuatku resah dan ingin segera pulang. Maklumlah di usia 15-ku, belum pernah aku sedekat ini dengan laki-laki. Hah, aku ini memang payah!

Untunglah momen itu segera berakhir. Kang Rana dipanggil keluarganya untuk pulang. Ketika mesin mobil BMW seri 3 itu dibunyikan, cowok itu membuka kaca mobil dan melambaikan tangan padaku sambil berkata, “Nanti aku akan main ke rumah ya!”. BMW putih itu pun melaju meninggalkan sisa-sia keramaian pesta – meninggalkanku. Aku bernafas lega, dan ingin sekali istirahat, lalu tidur.

Seminggu kemudian sepupuku datang ke rumah, sambil mengembalikan barang yang dipinjam untuk acara pernikahan. Di sela obrolannya dengan ibuku, dia bilang bahwa Kang Rana suka sama aku. Ibuku tersenyum. Dan aku tidak menanggapinya dengan serius, meskipun yah, senang juga sih ada orang yang mengagumiku.

Seminggu kemudian sepupuku menelpon, dan lagi-lagi bilang bahwa Kang Rana serius suka sama aku. Dia menanyakan tangapanku. Aku hanya menjawab bahwa aku masih SMA kelas 2, dan meskipun teman-teman seusiaku melakukannya, bagiku pacaran bukanlah pilihan bijak.
Beberapa hari kemudian, lagi-lagi sepupuku menelpon. Ia menyampaikan amanat dari Kang Rana . Katanya, cowok itu menunggu jawaban dariku.
“Aku tidak bisa, Teh, aku merasa belum waktunya pacaran.”
“Memangnya, kapan waktu yang tepat bagimu untuk pacaran?”
“Eh..oh..nanti, Teh, sesudah menikah!”
Alasan! Tapi – eh – benar bukan? Kata Ibu, pacaran yang indah itu nanti kalau sudah menikah. Huah, aku tak mau berdebat soal ini dengan sepupuku. Buru-buru kuakhiri pembicaraan dengan alasan mau mengerjakan PR.
Sebenarnya, bukan aku tidak suka pada Kang Rana . Yang kuinginkan adalah, kalau Kang Rana benar-benar serius, mestinya dia datang langsung padaku. He should be a gentleman!
Dua bulan kemudian, saat aku sedang berjalan pulang dari sekolah, tiba-tiba ada suara klakson mobil dari belakang. Sebuah BMW putih seri 3 baru saja diparkir di belakangku. Seorang cowok berkacamata hitam keluar dari sana. Aku terkejut karena begitu dia membuka kacamatanya, tampaklah seraut wajah yang kukenal – raut Kang Rana .
Wajahku memerah. Telapak tangan membasah. Keringat dingin tumpah. Salah tingkah!
Aku ingin lari lalu bersembunyi, tapi itu tak mungkin karena Kang Rana sudah berada sangat dekat denganku. Dia menatapku, tersenyum, dan menyapa lembut. Lalu dia mengajakku pulang bareng naik mobilnya, bersama teman-temanku. Sebenarnya aku tidak mau, tapi kalau menolak tidak enak, karena Kang Rana telah sengaja datang jauh-jauh dari rumahnya hanya untuk menjemputku.
Semenjak itu, sebulan sekali Kang Rana selalu datang dari Bandung hanya untuk menemuiku. Setiap hari dia menelpon, bahkan ketika aku ulang tahun, dia memberiku kado spesial. Selalu ada kejutan-kejutan yang diberikannya untukku. Mungkin itulah cara dia mengungkapkan rasa sukanya. Perlahan, Kang Rana memasuki kehidupanku. Hariku mulai terasa tidak lengkap jika tak ada telepon darinya. Aku mulai merasakan kehadiran seseorang sebagai belahan jiwa.
Dan seperti umumnya remaja lain yang sedang fall in love, setiap saat hatiku berbunga oleh khayalan dan harapan. Lagipula, siapa sih yang nggak bakal kasmaran oleh cowok seperhatian, sekeren, dan sekaya Kang Rana ? Apalagi Kang Rana benar-benar serius padaku. Dia pernah bilang kalau setelah aku lulus SMA, dia akan menikahi aku, tanpa melarang aku untuk melanjutkan kuliah bahkan dia bersedia membiayai kuliah. “Kenapa?” tanyaku. “Karena aku mencintai kamu,” ujarnya. Kalimatnya singkat, tapi membuat jantungku berdetak. Aku berniat tidak akan melepaskan Kang Rana .
Tak terasa, ujian kelulusan sudah berakhir. Sebentar lagi aku akan lulus SMU. Ketika sedang berlibur di rumah nenek, ibuku memanggil untuk segera pulang. Keesokan harinya aku pulang, sesampainya di rumah ibuku memberi kabar bahwa aku diterima di sebuah perguruan tinggi ternama tanpa harus tes. Senangnya mendengar kabar ini. Anehnya, ayahku malah cemberut, karena dia lebih setuju aku menikah saja dengan Kang Rana , tidak usah kuliah segala. Sementara itu ibuku berseberangan. Beliau lebih setuju aku kuliah dulu baru menikah. Pertengkaran antar orangtua pun tak terelakkan.
“Gimanapun, ibu tidak setuju kamu nikah sama Jaka,” ujar ibu padaku, ketika kami hanya berdua saja.
“Kenapa?” tanyaku bingung. Di satu sisi, aku ingin menikah dengan Kang Rana . Di sisi lain, aku ingin melanjutkan kuliah. Tidakkah keduanya bisa dilakukan bersamaan? Tapi Ibu malah melarangku menikah dengan Jaka.
“Kalau kamu mencintai Jaka dan ingin menikah dengannya, pertimbangkan lagi semuany. Ingat umurmu masih terlalu muda untuk menikah. Lagipula, kamu harus pertimbangkan masalah keimanannya. Rasul bilang, kita menikah karena 4 hal: kekayaan, ketampanan, harta, dan agama. Dari ke-4nya, agama-lah yang harus diutamakan!”
Kata-kata ibu membuatku berpikir keras. Ini adalah persoalan besar. Aku harus menimbangnya matang-matang. Setiap malam aku tidak bisa tidur memikirkan hal ini. Aku harus segera mengambil keputusan, karena seminggu lagi Kang Rana dan keluarganya akan datang untuk melamar.
Akhirnya aku menelpon Kang Rana agar dia datang sendiri dulu (tanpa keluarganya) untuk membicarakan sesuatu denganku. Esoknya dia datang, dengan muka penuh rasa ingin tahu. “Apa yang ingin kamu dibicarakan?”
Aku pun mengajak Kang Rana ke Giriawas , sebuah perkebunan teh dekat sekolahku. Di antara hembusan angin yang sejuk, dan pemandangan yang indah, kami duduk berdua di atas rumput, memandangi hamparan kebun teh yang hijau dan harum. Ini adalah momen paling romantis yang pernah kualami bersama seorang pria.
Aku jadi grogi harus berbicara, karena biasanya akulah yang selalu mendengarkan Kang Rana bercerita. Tanpa basa-basi, segera kukatakan padanya bahwa aku tidak bisa memenuhi keinginannya untuk mempersuntingku. Bahwa aku harus mengakhiri kedekatan yang selama ini telah terjalin, lalu melupakan semuanya.
Kang Rana sangat terkejut. Raut mukanya mengeras. Sebuah kemarahan terlukis di wajahnya. Lalu ia meremas-remas rambutnya. Sebutir air bening jatuh dari pelupuk mata cokelatnya. Dia menangis…lalu berteriak kencang, “Aaarghhh!”
Aku baru tahu beginilah ternyata cara seorang laki-laki mengungkapkan patah hati. Aku bisa mengerti perasaan Kang Rana , karena aku pun sama, sedih dengan keputusan ini. Jauh lebih sedih malah, karena impian seorang gadis telah terenggut paksa. Aku harus melepaskan Kang Rana yang selama ini begitu baik, begitu perhatian, begitu aku sayangi dan kudamba menjadi pendamping hidupku. Namun demi masa depanku dan demi kebahagiaanku di dunia dan akhirat, aku harus siap menerima keputusanku ini. Karena aku yang beragama Islam tidak mungkin menikahi pria beda agama. Ya, Kang Rana beragama Kristen, sama seperti ayahnya yang orang Belanda.
“Maafkan aku, Kang Rana . Maaf karena tidak bisa memenuhi harapan dan janji yang pernah kita ucap bersama.”
Akhirnya pertemuan di pesta pernikahan sepupu harus berakhir di sini. Kang Rana menghilang sama seperti kemunculannya – tanpa kuinginkan. Tak ada perpisahan yang begitu memilukan, selain perpisahan dengan kekasih hati akibat keputusan kita sendiri. Cinta pertama begitu cepatnya melayang pergi. Tapi seperti kata pepatah, waktu-lah yang akhirnya membawamu ke suatu masa ketika kau bisa melupakan semuanya…

Based on true story

Copyright@2008 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS