Saturday, October 23, 2010

The Closet

Oleh: Lammaida RN, 11 tahun
(BWS Garut)




Seringkali waktu berjalan dengan kecepatan yang menegangkan. Akselerasinya setara dengan laju Valentino Rossi ngibrit diatas Motor-GP. Namun kadang waktu juga dapat berjalan demikian lambat, hingga membuat Suster Ngesot terlihat The Flash.....

Itulah yang dirasakan Dion, salah satu murid kelas 2-I, yang sedang berbengong ria saat belajar Bahasa Inggris. Disadari-tidak disadari tangannya sibuk mencorat-coret kertas, menggambar karikatur Bu Grace, sang guru tersayang dengan tingkat kekurangajaran kronis.

Bolak balik Dion melihat catatannya dengan frustasi. Dengan cepat ia berlatih pada Evan, teman sebangkunya.

“Van, jadi yang namanya past perfect tense itu perstiwanya udah kejadian apa belom? Truz bedanya apa sama past tense?”
Evan, yang kadar intelejensinya nggak beda jauh pun menjawab, “Kalo past perfect itu berarti udah bener-bener nampol kejadiannya. Liat aja, udah PAST, trus PERFECT pula. Nah kalo past tense itu berarti past-nya udah ada sepuluh biji. Jadi past ten, gitu! Masa yang kayak gitu loe gak bisa sih??”
“YAH NGGAK GITU LAH DODOLLL!!!!!” protes Dion, mendengar penjelasan Evan yang nyeleneh.
“Hah, siapa yang Dodol??” suara tegas wanita dari arah belakang kelas.
Jantung Dion serasa mau jatoh, saat disadarinya itu suara Bu Grace. Perlahan ia menoleh ke arah sang guru Bahasa Inggris yang sedang melihatnya dengan pandangan mengancam. Guru yang terkenal killer itu menatapnya dengan ekspresi keantagonisan akut.
“Ehm....anu Bu, tadi saya nanya ke Evan soal tenses,” Dion menjelaskan dengan pelan, sadar betul akan tatapan iba dari anak-anak sekelas.
“Sebenarnya kalian gak perlu bikin sesi tanya-jawab sendiri. Kalau dari tadi dengerin penjelasan saya, pasti dari tadi udah pada ngerti,” dengus Bu Grace.
Baik Dion maupun Evan terdiam. Dion selalu berpikir diam adalah cara terbaik untuk membebaskan diri dari situasi menyulitkan, namun ternyata anggapannya salah saat Bu Grace menarik selembar kertas yang ada di atas meja Dion. Keadaan berubah menjadi malapetaka.
“Jadi...”Bu Grace berseru penuh kemenangan, seraya melihat sketsa asusila di kertas, “Bukannya mencatat pelajaran, tapi kamu malah menggambar-gambar KAMBING?? Bagus!Bagus!”
Dion menggeluarkan bunyi seperti burung kenari tersedak oleh biji salak. Nggak ngerti harus ketawa atau panik. Kalau saja Bu Grace menyadari siapa yang sebetulnya digambar dalam sketsa itu...
“Huahaha....Bu itu sih bukan gambar kambing. Itu kan gambar – AAWW!” kaki Evan ditendang oleh Dion dengan kenafsuan tinggi.
Bu Grace malah ketawa. Nggak sadar-sadar.
“Memang nggak mirip sama kambing,” Bu Grace memperlihatkan sketsa tersebut ke depan kelas, “Lihat, mana ada kambing gambarnya kayak gini? Huahahaha...Payah kamu. Ini sih mirip...mirip...hmmm...”
Seolah adegan diputar secara extra slow motion, Dion melihat wajah Bu Grace bertransformasi menjadi The Vampire. Saat itulah ia merasa tak ada gunanya lagi Dion melanjutkan hidup...
Keheningan yang mencekam itu dibuat menjadi semakin ancur dengan terdengarnya tawa lepas tanpa empati. “HAHAHAHAHAHAHAHAHA..”
Kontan, seisi kelas menoleh pada insan yang bersangkutan. Orang tersebut adalah Reno, cowok yang selama ini terkenal paling kalem, sopan dan bermoral. Nyadar sedang jadi pusat perhatian, Reno salting dan langsung mengucapkan kalimat yang langsung bikin naek darah. “Maaf Bu, kelepasan........”
Dion dan Reno cuma bisa memasang tampang “Hidup Ini Tidak Adil” saat Bu Grace mengiring mereka menyusuri koridor sekolah seusai jam pelajaran. Saat itu pukul empat sore, dan mereka berdua seharusnya sudah bisa guling-guling di rumah seperti seluruh anak SMP lainnya.Tapi tentu saja akibat perbuatan kriminal mereka terhadap sang guru Bahasa Inggris, Dion dan Reno dijatuhi hukuman terberat dalam sejarah umat manusia: MEMBERSIHKAN TOILET!
“Nah, kalian berdua harus membersihkan toilet ini,” Bu Grace berlaku selayaknya majikan terhadap pembantu. “Dan saya mau toilet ini bersih, sebersih-bersihnya, setiap sudut, setiap sisi, setiap lubang!”
Baik Dion maupun Reno berjengit. Terlihat Reno menghisap-hisap in haler-nya untuk mengantisipasi serangan asma.
“Bu, saya nggak kuat kalo disuruh kerja kayak gini,” Reno memohon. “Lagian... kan bukan saya yang NGEGAMBAR muka ibu!”
“IYA TAPI LOE KETAWA, SETAN!” Dion membalas dengan nafsu.
Dion dan Reno langsung ribut. Sebagai guru yang bijak.....Bu Grace menengahi. “Reno benar, kesalahannya tidak sefatal kamu, Dion.”
Dion menggaruk-garuk kepala merana. Reno jejingkrakan.
“Karena itu akan saya suruh Reno untuk ngawasin kamu aja sampe kamu selesai membersihkan toilet.”
Reno ketawa. Dion ngerasa sebel. Huh, enak amat jadi pengawas!
Bu Grace berjalan ke dalam toilet cowok yang kondisinya kelewat menyeramkan hingga membuat sumur pun terlihat seperti hotel berbintang.
“Nah, Dion, kamu mulai dari sini,” Bu Grace memberi petunjuk. Dion cuma bisa manggut-manggut. Dilihatnya Bu Grace berjalan menuju salah satu bilik di dalam toilet. Bilik itu tertutup. Sang guru berusaha membukanya, namun pintu tersebut tetap bergeming.
“Halo?Ada orang ya?” Bu Grace mengetuk.Tidak ada yang terdengar. Jawaban datang dalam bentuk asap yang membubung dari dalam bilik. Baik Dion maupun Reno langsung berseru,”KEBAKARAN!”
Sementara Dion dan Reno panik dan histeris, Bu Grace tetap menjaga ketenangannya. Ekspresinya tetap lurus dan normal sampai.....
“HIYYYYYA!” dengan teriakan membara Bu Grace melayangkan tendangan ala Eva Arnaz ke pintu toilet dan membuatnya jebol seketika.
Melihat adegan tersebut, Dion cuma bisa mangap, sedangkan Reno kembali menghirup-hirup inhaler-nya dengan liar.
Namun, tampang paling shock datang dari insan yang duduk di atas kloset, di balik pintu yang jebol. Cowok tersebut cuma bisa bengong tanpa bisa berkata sepatah pun, melihat pintu biliknya penyok ditendang guru nan perkasa. Dion langsung mengenali cowok tersebut. Dia Adi, cowok bertampang sporty, penghuni kelas 2-H....Ketua OSIS.
Bu Grace langsung mengeluarkan senyum kemenangan saat dilihatnya sebuah rokok menggantung di tangan Adi. Saat itulah wajah Bu Grace kembali mengalami transformasi, dari Ratu Vampir, menjadi Suzanna. Kemudian sang guru menggumamkan kata-kata maut.
“Hmmmmm.......so interesting.”
Dion dan Adi mengeluarkan tampang merana selayaknya korban-korban Romusha. Keduanya bekerja seperti yang diperintahkan: menjangkau setiap sudut, menjamah setiap sisi, membersihkan setiap lubang. Untung saja Bu Grace cukup berbaik hati memberikan dua buah jepit jemuran kepada kedua buruh barunya untuk mencegah keracunan dan kejang-kejang. Toilet cowok sekolah memang terkenal memiliki aroma yang khas hingga mampu merenggut korban jiwa.
“ADUUUH! GUA GAK TAHAN! BANGET!” lolongan sengsara keluar dari Adi yang sedang asyik menyodok-nyodok kloset. “Gak kuaat! Sepuluh menit pake jepit jemuran bisa bikin hidung gua coplok!”
Dion menyadari Adi benar. Sekarang saja ia sudah merasa hidungnya mengalami dislokasi.
“Emang dasar nggak berperikemanusiaan,” Adi menggerutu. “Mana ada guru yang seenaknya maen tendang pintu sampe jebol? Dikira gua nggak jantungan apa?”
“Kalo udah tau jantungan kenapa loe ngerokok, dodol!?”
“Siapa bilang gua ngerokok! Itu cuma coba-coba, tahu!”
Dion dan Adi sudah siap ribut, namun seseorang kembali menengahi.
“Udah, udah!” Reno, sang pengawas berusaha menormalkan suasana, “Kenapa sih loe berdua nggak bisa bersikap selayaknya manusia beradab?”
Dion panas,”Yaelah, kayak loe beradab aja. Padahal loe ketawa paling kenceng waktu ngeliat gambarnya Bu Grace!”
Giliran Reno panas,”Nggak beradab mana sama ketua osis yang diem-diem ngerokok di atas kloset?”
Dion yang memang ketua OSIS tambah naik pitam. Sekarang tiga-tiganya ribut. Semuanya saling bersahut-sahutan layaknya burung-burung beo di Pasar Pramuka. Setiap Adi membantah, akan disahut dengan suara yang lebih tinggi oleh Dion, kemudian dipuncaki oleh Reno. Begitu seterusnya sampai akhirnya tercipta sebuah harmonisasi antara mereka bertiga.
Setelah capek, Dion meminta time out.
“Udah......hoh....hoh...capek nih...”
Adi menggangguk, “Iyahh....jantung gua .....udah nggak kuat...”
“Yaelah, gitu aja udah nyerah. masa sih?”
“Udah Ren, berantemnya udah selesai......”
Dion berusaha menenangkan diri, “Pokoknya kita harus selesain dulu tugas ini.”
Adi ngos-ngosan, “Jujur ya, Di, gua nggak sanggup. Ntar malem gua mesti ngerjain tugas makalah...”
“Trus gimana dong? Masa gue kerjain ini sendirian?” Dion protes.
Adi berpikir sejenak, kemudian melontarkan ide,”Gimana kalo kita kabur aja sekarang bareng-bareng?”
Ide kriminal ini disambut dengan semangat empat lima oleh Dion dan nada ketidaksetujuan oleh Reno.
“NGGAK BISA! Tadi Bu Grace jelas-jelas bilang sama gue kalo gue mesti ngawasin elo berdua sampe selesai!”
“Cuek aja kali, Ren. Udah, kabur aja!” Dion memprovokasi, “Lagian emangnya loe tahan di sini terus sampe malem? Mending kalo aroma toiletnya bisa bikin pinter.Ini aromanya bisa bikin kita jadi pingsan!”
“Gua nggak bisa!” Reno tiba-tiba histeris, “Tadi gua diancem sama Bu Grace. Katanya kalo sampe elo berdua kabur, gua....gua bakal...”
“Loe bakal kenapa? Loe bakal diapain Ren?”Dion langsung panik ngeliat wajah Reno yang membiru.
Reno menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak sanggup bicara.
“Katakan pada kami Ren, loe bakal diapain kalo kita kabur?”Dion mengguncang-guncang tubuh Reno. Reno kembali menggeleng.
“Ren plisss,” Dion memohon, “Sini, loe mesti tau apa yang membuat gua dan Adi nggak kuat lama-lama di sini.’
Dion menggiring Reno untuk masuk lebih dalam ke toilet. Belum apa-apa Reno udah mulai menghisap-hisap in-halernya.
“Parah, gila bau banget......”
“Ini belon seberapa Ren.”
Dion menunjukan lantai-lantai yang basah kecoklatan yang akan dia pel. Sedangkan Adi menunjukan benda-benda ajaib yang di temukan di dalam kloset. Pemandangan tersebut membuat Reno terguncang. Ia menghisap inhaler-nya secara non-stop sampai akhirnya...
“Hah...hah....hah,” Reno gelagapan, menyadari bahwa in-halernya telah habis. Dion dan Adi langsung panik.
“Gawat Reno kumat!” Dion dan Adi gelagapan, “Gimana dong? Gimana Dong? Gimana Dong?”
Dion tidak menjawab. Ia hanya menyaksikan Reno yang sedang sesak nafas, jatuh ke lantai, dan pingsan.
“Aduh Ren ...Ren... sadar dong...jangan bikin kita tambah susah donk!”Adi meratap. Diguncang-guncangnya tubuh Reno, namun temannya itu tidak sama sekali menunjukan reaksi.
“Gimana dong? Gimana dong? Gimana Dong?” ratap Adi kebingungan.
“Parah nih. Kayaknya dia beneran pingsan deh,” ujar Dion.
“Hah? Pingsan? Aduh gimana nih? Gim....”
“Will you just shut up???”
Adi akhirnya menjadi tenang. Dion sebagai pemecah masalah yang handal mulai berpikir.
“Kita gak boleh gegabah,” Dion memulai. “Keadaan kita udah gawat.”
“Trus kita mesti gimana?” Adi berkeringat. “Gerbang sekolah pasti udah ditutup, kalaupun nggak pasti satpamnya sudah dipesenin Bu Grace buat nahan kita di sini.”
Dion menatap Adi, dan akhirnya ia berteriak, “KABURR!!!”
Bagai dipecut cambuk, keduanya bangkit dan berlari memasuki salah satu bilik. Baik Dion maupun Adi menatap jendela besar di atas kloset. Setelah itu mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan.
“Aduh berat sih loe, cepetan donk!”Adi sewot saat dirinya digunakan sebagai pijakan kaki Dion untuk memanjat jendela. Dion akhirnya berhasil meraih jendela tersebut dan mendorongnya hingga terbuka, kemudian dikeluarkannya kepala melalui jendela tersebut, dan melihat sekeliling.
Halaman belakang sekolah tampak sepi. Para siswa sudah pada pulang ke rumah masing-masing sejak satu jam yang lalu. Dion menghela nafas lega, namun kembali bete saat melihat jarak jendela ke bawah lumayan tinggi.
“Udah belom sih? Gua keberatan tau!”
“Yaelah bentar dikit napa sih? Sabar donk!” sahut Dion. Dilayangkan matanya ke segala arah, berusaha menemukan seseorang yang lewat yang bisa membantunya.
“Lexa!” Dion memanggil dengan suara yang sangat keras. Lexa ketawa ngakak melihat sang Ketua OSIS nyangkut di jendela.
“Hahaha. Ngapain loe disitu? Lo mo ngeliat pemandangan? Lo aneh juga ya, ngeliat pemandangan di sini.Dasar gokil lo!” Lexa menertawakan Dion.
“Udah nggak usah bawel. Bantuin gua turun donk!”
“Nggak pernah kenal sama yang namanya pintu ya Mas?”
“Udah jangan berisik! Gua lagi disuruh ngebersihin toilet. Mau kabur nih.”
Lexa mengeleng-geleng kepala,”Ck...ck...masih kelas 2 aja udah lari dari hukuman. Gimana entar kalo udah jadi pejabat? Pantes aja negara kita...”
“Gua nggak butuh kultum sekarang! Lo mau bantuin gua apa enggak?”
Melihat Dion menjerit-jerit seperti orang gak waras, hati Lexa tersentuh juga. Cewek itu akhirnya membawakan sebuah tangga yang untungnya tersandar di dinding dekat situ. Dion langsung turun, diikuti oleh Adi. Setelah keduanya sukses berada kabur dari toilet, Lexa mendengus ketus dan pergi.
“Truss...si Reno gimana tuh? Masa kita tinggalin dia begitu aja?” tanya Adi kepada Dion. Mereka berdua pun mikir. Tapi kesimpulannya kemudian: cuekin Reno, lanjutkan kabur dan pulang ke rumah masing-masing.
Sementara itu Reno sudah siuman. Beberapa jam kemudian, Bu Grace tersenyum sinis sambil menepuk-nepuk punggung Reno.
“Jadi, kedua murid itu kabur dan kamu tidak menghalangi mereka?” sang guru bertanya dengan tingkat kekejaman setara tingkatnya dengan The Predator.
Reno meratap, “Saya sudah berusaha Bu...sumpah...tapi asma saya mendadak kumat...truss saya pingsan...maafkan saya Bu...”
“Huh, tidak ada maaf bagimu! Semua yang tidak melaksanakan kewajiban harus dihukum dengan seberat-beratnya. Besok kamu sendiri yang harus membersihkan toilet ini!”
“Hah? Kalo gitu saya bisa pingsan lagi dong, Bu.....”
“Biar gak pingsan, sekarang kamu beli inhaler buat persediaan besok!”
Setelah Dion dan Adi lepas dari hukuman, Reno Sang Pengawas-lah yang harus menanggung hukuman mereka. Itulah kejadian yang mengenaskan di toilet pria di sekolah.  Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS