Oleh: Nurul Hakimah, 16 tahun
(BWS Garut)
Aku adalah salah satu siswa di sebuah SMA favorit di kota Garut, dan sekarang sedang duduk dibangku kelas tiga. Kebetulan sekolahku adalah SNBI (sekolah nasional berstandar intemasioal). Itu berarti sekolah ini mempunnyai beberapa kelas Sl (standar internasional). Para siswa yang masuk kelas SI tentunya telah menghadapi tahap seleksi yang lumayan bikin otak muter and mumet.
Aku adalah siswa regular (bukan SI) yang duduk di kelas X11 IA 2. Kelasku terletak didepan kelas X I yang merupakan kelas SI. Kelas kami hanya terhalang oleh lapangan upacara yang membentang. Keduanya saling berhadapan, membuat aku sering melihat seseorang di seberang sana. Seorang cewek anak kelas X I yang menurut penilaianku istimewa. Dia sangat manis dan cantik. Namnya Maura. Aku dan ketiga teman temanku mendekatinya secara bersamaan, dengan niat berteman dan mengenal Maura jauh lebih dalam. Ketiga teman temanku rupanya juga menyukai dia seperti aku, hanya caranya saja yang berbeda. Mereka menyukai Maura secara terang terangan, sedangkan aku secara diam diam. Aku sebenarnya merasa nggak pede menyukai gadis seperti Maura, karena setahuku, teman temanku yang menyukainya semua mempunyai hal lebih dibandingkan diriku. Mereka lebih tazir dan keren keren di banding aku. Walaupun yah, bukan berarti aku miskin banget dan jelek banget heheh.
Menurut teman teman, aku ini lumayan oke, apalagi saat bermain basket. Aku adalah salah satu pemain basket unggulan dari kota Garut.
Akhirnya satu persatu temanku mulai menembak Maura. Tapi tidak ada satu pun di antara mereka yang diterima. Benar-benar mengherankan.
Tanpa sepengetahuanku, ada beberapa siswa dari kelas lain yang juga menyukai Maura. Mereka gencar mendekatinya dan membuat aku merasa posisiku terancam. Akan tetapi ketika mereka menembak Maura, lagi-lagi kejadiannya sama dengan teman temanku yang dulu: semuanya ditolak!
Semakin hari aku semakin dekat dengan Maura, dan sekarang aku merasa aman karena tidak punya saingan.
Jujur, aku penasaran kenapa Maura menolak setiap cowok yang menembaknya. Aku ingin tahu sebenarnya laki laki seperti apa yang dia cari, karena selama ini yang kulihat lelaki yang pernah ia tolak bervariasi, namun memiliki kelebihan sendiri-sendiri. Melihat cowok-cowok yang ditolak Maura umumnya lebih tinggi satu level dibandingkan aku, membuat aku ragu apakah aku akan ditolak juga jika menyataka cinta. Ahh, pasti deh aku memang tidak masuk kriteria cowok yang disukai Maura.
Tapi karena sudah tak kuat menanggung perasaan suka, akhirnya aku memberanikan diri untuk menembak Maura. Dan tidak disangka sangka gadis itu menerima cintaku. Perasaanku bercampur aduk, antara percaya dan tidak. Akhirnya kami berdua berpacaran.
Suatu ketika aku mengantarnya pulang sampai ke rumahnya, dan ternyata ibu Maura adalah mantan bawahan ayahku sewaktu ayah belum pensiun dulu. Karena ibunya mengenal ayahku dengan baik, maka ia pun memberikan lampu hijau pada kami. Aku senang karena aku bisa mencuri sang bintang.
Satu hal yang kusuka dari Maura adalah: dia menerimaku apa adanya. Dia tidak pernah menuntutku macam macam, dan juga tidak posesif kayak cewek lain pada umumnya. Dia juga tidak jadi korban mode seperti umumnya cewek-cewek di sekolah kami. Meski orangtuanya kaya, Maura tetap berpenampilan seperti biasa apa adanya. Tidak memakai contact lens, cat rambut, rok yang kependekan, kaos kaki warna-warni, seabrek aksesoris, dan makeup yang berlapi lapis. Maura cantik alami dan itulah daya tarik terbesar yang dimilikinya, yang membuat para cowok jatuh cinta, termasuk aku.
Akan tetapi, setelah beberapa minggu jadian dengan Maura, entah kenapa sikap ibunya berubah padaku. Ternyata ibunya mengetahui seluk beluk kehidupanku yang kurang baik. Di sekolah, sudah lama aku menyandang gelar sebagai ‘siswa yang nakal’. Pergaulanku kurang baik karena terlibat geng anarkis dan tawuran. Memang, aku tidak sampai nge-drugs atau mabok, tapi tetap saja di mata ibunya, aku ini bukan pasangan yang baik buat Maura. Sang ibu mulai menghalangi hubunganku dengan Maura.
Puncaknya, sang ibu melarang Maura melanjutkan hubungannya denganku. Aku bisa mengerti.
“Jadi menurut kamu gimana?" tanyaku lembut pada Maura. Kami sedang membicarakan perihal keputusan ibunya.
“Aku gak mau kita putus!" ucap Maura, bersikeras
mempertahankan hubungan kami.
“Kalo gitu, jalan satu satunya cuma backstreet. Kamu siap?”
Maura mengangguk pelan. Membuatku terharu. Ternyata Maura benar-benar menyukaiku. Sebenarnya aku bisa saja memutuskan dia saat itu, karena aku merasa bersalah kepada ibunya. Tapi melihat ketulusan Maura…
Akhirnya kami pun backstreat, menjalin hubungan diam-diam. Awalnya semua berjalan lancar lancar saja. Hubungan kami berjalan sampai beberapa bulan. Namun suatu hari, sang ibu datang langsung menemuiku. Dia menyuruhku menjauhi Maura. Aku pun mengiyakan permintaan itu.
Malamnya, aku memutuskan untuk membicarakan semuanya pada Maura. Aku meneleponnya. Namun, lagi-lagi Maura tidak mau kami putus. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Setelah pembicaraan itu, kami tidak bertemu selama seminggu.
Hari ini, seperti hari biasa, aku berlatih basket dengan teman teman satu klub.
"Kenapa, ada masalah?" tanya Ridho, salah satu teman main basketku.
“Maura," jawabku singkat, dan tanpa diminta aku pun langsung bercerita tentang masalah yang sedang kuhadapi. “Gue jadi gak bisa ketemu Maura lagi, ugh…bete rasanya.”
Setelah selesai mengeluarkan uneg-uneg, Ridho memberikan sebuah ide. Yaitu, dia akan mendekati Maura dan melaporkan setiap pembicaraan atau obrolan mereka. Ya, bisa dibilang Ridho mau jadi mata mata untukku.
Awalnya semua yang dilaporkan Ridho adalah hal hal yang menyenangkan diriku, seperti:
“Maura bilang dia masih sayang sama kamu.”
“Maura bilang dia mau ketemu aku.”
Dan laen laen, pokoknya hal yang bikin aku gak mau putus sama Maura.
Tapi sudah seminggu ini Ridho tidak melaporkan apa apa padaku. Akh, mungkin Ridho capek jadi mata mata gratisan-ku.
Malamnya aku putuskan untuk menelepon Maura, tapi handphone-nya sibuk terus. Aku tidak berani menelepon ke telepon rumah, takutnya sang ibu yang ngangkat. Aku mencoba menghubungi handphone Maura kembali, dan sekarang diangkat langsung oleh Maura. Kami pun berbasa basi terlebih dahulu. Tapi tiba¬-tiba di tengah percakapan, Maura meminta putus. Hal ini sangat membuat aku kaget. Kenapa? Padahal selama ini dia sangat bersikeras mempertahankan hubungan kami. Dan sekarang aku yang berbalik tidak mau diputuskan, entah kenapa rasanva aku merasa ada yang janggal.
Tapi yah, mungkin ini yang terbaik bagi kami. Aku mengabulkan keringinan Maura untuk putus, walau sebenarnya hati ini tidak menerima sedikitpun.
Setelah pertandingan basket hari ini selesai, Ridho duduk di sampingku yang sedang bersandar pada tembok.
“Gue mo ngomong," cetus Ridho.
“Ngomong aja, Dho. Kenapa sih?” ujarku dengan acuh tak acuh.
“Gue…”
“Apa?"
“Gue udah jadian sama Maura," jawabnya dengan wajah penuh sesal.
“Apa? Maura?" tanyaku untuk meyakinkan diri.
Ridho mengangguk
"Anjing!" aku membentak Ridho sambil melempar bola basket ke arah wajahnya dan langsung pergi. Hati panas terbakar api cemburu. Bagaimana tidak? Andai saja orang lain yang melakukan itu padaku mungkin aku masih bisa toleransi. Tapi ini ... Ridho. Temanku sendiri, mata-mataku. Cowok playboy yang terkenal kalo pacaran gak pernah lebih dari sebulan. Maura....maura .... kenapa sih mau jadian sama dia?
Based on true story
Copyright@2008 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS