Oleh: Mulandari Palupi, 16 tahun
(BWS Bandung)
Mungkin kau tidak cantik
Tapi kehidupanlah yang akan membuatmu
merasa cantik dan dicintai
Lilian adalah seorang gadis penyendiri. Ia merasa minder dengan kulit wajahnya yang pucat dan bentuk tubuhnya yang gemuk. Oleh sebab itu ia tak punya teman karena tak mau berteman dengan siapapun. Ia tak ingin teman-temannya mengejek penampilan fisiknya yang menurutnya buruk itu.
Karena mengurung diri terus di kamar setiap hari, ibunya selalu memarahinya. “Lily, ngapain di kamar terus! Bantuin ibu bekerja di kebun! Dasar ya, kamu malas sekali. Pantas saja kamu belum juga dapat jodoh, sedang kakak-kakakmu semuanya sudah menikah dengan pria-pria tampan nan kaya. Kalau malas seperti itu, kamu bakal jadi jomblo seumur hidup.”
Kalau sudah dimarahi begitu, terpaksa Lilian mau keluar kamar dan membantu ibunya menyiangi rumput liar di kebun. Sebenarnya, ia malas bekerja di kebun karena para tetangga yang lewat selalu membanding-bandingkannya dengan kakak-kakaknya. “Eh, Lily, kamu kok tidak secantik kakak-kakakmu?” atau, “Eh, Lily, kapan kamu mau nikah? Tampaknya belum ada satupun lelaki yang meminangmu!” Semua kata-kata itu terlalu menyakitkan bagi Lilian. Dan karena terlalu sering diucapkan para tetangga, akhirnya Lilian pun jadi malas keluar dan lebih suka mengurung diri di kamar.
“Kalau kamu di kamar terus, kapan kamu mau dapat jodoh!” seru ibunya tatkala mereka sedang bekerja di kebun, membersihkan rumput-rumput liar dan menyirami tanaman jagung yang sebentar lagi buahnya matang.
“Takkan ada yang mau berjodoh denganku, Bu,” kata Lilian sedih. “Semua tetangga bilang aku gadis yang buruk. Aku tak secantik kakak-kakakku.”
Ibunya memandang Lilian dengan sedih juga. “Apalagi kalau kamu malas begitu, tak akan ada lelaki yang mau meminangmu.” Ibunya berpikir sebentar. “Tapi,” katanya. “Ada seorang lelaki yang cocok untukmu, dia mungkin mau menikahimu, ibu akan bicara padanya. Dia Mang Udin, tukang kebun di rumah tetangga kita.”
Lilian terbelalak mendengar tawaran ibunya. “Mang Udin????! Yang benar saja, Bu. Mang Udin kan duda beranak lima yang miskin dan jelek. Masa aku mau dijodohkan dengannya?”
“Daripada kamu terus menjomblo dan membuat malu keluarga? Duda miskin juga lumayan!”
Lilian sangat sedih mendengar kata-kata ibunya yang kejam. Seburuk itukah dirinya hingga akan dijodohkan dengan lelaki tua yang tampangnya seperti bemo itu? Tanpa pikir panjang, Lilian mencampakkan clurit pemotong rumputnya, lalu berlari sekuat tenaga.
“Hey, Lilian, kau mau kemana?” teriak ibunya.
Tapi Lilian tak mau mendengar. Ia terus berlari dan berlari. Ia berlari kencang hingga sampailah di sebuah sungai di dekat hutan. Di tepi sungai itu ia berhenti dengan nafas tersengal-sengal. “Aku akan terjun ke sungai ini, biar tak ada lagi yang menghinaku,” batinnya sambil menangis. Lilian pun menatap air sungai yang mengalir deras dan menimbulkan bunyi gemuruh yang menakutkan. Telapak kakinya sedikit demi sedikit mencapai bibir sungai. Lilian pun mulai terjun, namun pada saat itulah sebuah tangan yang kuat menarik tubuhnya hingga tidak jadi jatuh ke sungai.
“Lepaskan aku,” teriak Lilian.
“Tidak, kamu tak boleh bunuh diri seperti itu.”
Di hadapannya, Lilian melihat seorang pemuda tampan yang menatapnya dengan sorot mata menyalahkan.
“Apa pedulimu?” teriak Lilian. “Aku tidak kenal kau. Biarkan aku terjun ke sungai itu.”
“Baiklah,” kata si pemuda. “Kau boleh terjun ke sungai itu. Tapi kau harus ceritakan dulu kepadaku, apa yang membuatmu ingin bunuh diri?”
“Itu bukan urusanmu,” teriak Lilian. “Biarkan aku mati.”
“Iya, iya, kamu boleh mati. Tapi ceritakan dulu padaku, kenapa kau ingin bunuh diri?” kata si pemuda.
Karena si pemuda itu terus memaksa, akhirnya Lilian pun bercerita bahwa ia sudah tidak kuat lagi mendapat hinaan orang-orang akibat memiliki fisik yang tidak cantik. Bahkan ibunya selalu marah padanya, menyebutnya pemalas, dan akan menjodohkannya dengan duda miskin beranak lima. Si pemuda mendengarkan penjelasan Lilian dengan seksama.
“Nah, aku sudah ceritakan alasanku. Sekarang biarkan aku mati,” kata Lilian sambil menghapus air matanya.
“Tunggu dulu,” sergah si pemuda. “Kalau aku bisa mengubahmu jadi cantik, apa kau tetap mau bunuh diri?”
Lilian bergerak bimbang. “Apa? Kau bisa mengubahku jadi cantik? Jangan coba menipuku! Di dunia ini tak mungkin ada yang bisa mengubah seseorang menjadi cantik. Kalau sudah terlahir jelek, ya akan jelek selamanya.”
“Tapi aku serius,” kata si pemuda. “Aku punya sesuatu yang mujarab, sebuah umbi ajaib, yang bisa mengubah wajahmu jadi cantik. Kalau tidak percaya, ayo ikut ke rumahku. Akan kutunjukkan caranya.”
Karena terus dibujuk, akhirnya Lilian mau memenuhi ajakan si pemuda ke rumahnya. Lagipula ia penasaran, apa benar ada semacam ‘umbi ajaib’ yang bisa mengubah penampilan fisik seseorang?
Sesampainya di rumah si pemuda, Lilian disuruh menunggu, sementara si pemuda mengambilkan ‘umbi ajaib’ itu. Sambil menunggu, Lilian memperhatikan sekitarnya. Rumah si pemuda itu sederhana tetapi sangat indah. Halaman rumah itu sangat luas dan dipenuhi oleh aneka tanaman hias dan bunga-bunga yang menawan. Ada bunga mawar, lili, bakung, dahlia, aglonema, anthurium, dan masih banyak lagi. Lilian jadi tidak tahan untuk berlari-lari kecil di halaman itu sambil menikmati keharuman bunga-bunga yang segar.
Sepuluh menit kemudian, si pemuda kembali dan membawa sebuah bungkusan kecil. “Inilah umbi ajaib itu,” diserahkannya bungkusan itu.
“Bagaimana cara memakainya? Apa harus dimakan?” tanya Lilian dengan takjub.
“Tidak, itu bukan untuk dimakan. Tapi untuk dikubur di kebun rumahmu. Percayalah, dengan menguburnya, kau akan jadi cantik.”
Lilian terbengong-bengong. “Kamu bergurau.”
“Tidak. Aku sungguh-sungguh. Kalau kau tidak jadi cantik, kau boleh datang kembali ke sini dan aku akan memberimu resep yang lebih manjur untuk mempercepatmu jadi cantik.”
Dengan harap-harap ragu, Lilian pun kembali pulang ke rumahnya. Tanpa menghiraukan ibunya yang marah-marah karena cemas kehilangannya, ia segera pergi ke kebun. Menyiangi rumput-rumput liar dan membuat sebuah petak khusus. Di petak itulah ia mengubur umbi ajaib itu. Lalu Lilian pun pergi tidur dan menunggu esok hari, apakah wajahnya akan menjadi cantik?
Esok harinya, Lilian bangun pagi-pagi sekali. Ia segera pergi bercermin, namun wajahnya masih tetap sama. Ia masih berkulit pucat dan bertubuh gemuk. Ia pun pergi ke rumah si pemuda. “Kenapa aku tidak menjadi cantik?” tanyanya kesal.
Si pemuda tersenyum. Ia memberi satu bungkusan umbi ajaib lagi. Kali ini isinya sangat banyak. “Kuburlah semuanya. Jangan lupa siramilah dengan air setiap pagi dan sore. Lakukanlah selama satu bulan. Niscaya kamu akan jadi cantik.”
Lilian pun menuruti saran si pemuda. Ia membuat petakan lain di kebunnya dan mengubur umbi-umbi itu. Lalu menyiraminya dengan air setiap pagi dan sore. Sebulan kemudian, di kebun itu telah tumbuh tanaman-tanaman kecil. Oh, rupanya yang diberikan si pemuda hanyalah umbi tanaman. Bukan umbi ajaib. Lilian jadi kesal, apalagi dirinya masih tetap sama, berwajah pucat dan bertubuh gemuk. Ia pun menemui si pemuda dan berkata kesal, “Kamu menipuku! Aku tidak juga berubah menjadi cantik!”
Si pemuda tersenyum dan memberi lagi satu bungkusan umbi. “Kuburlah semuanya. Siramilah setiap pagi dan sore, jangan sampai terlewat sekalipun. Dan untuk menyiraminya, kali ini kau harus memakai air sungai. Lalu pupuklah semua tanaman dengan pupuk dari kandang hewan. Percayalah, tiga bulan kemudian kau akan jadi cantik.”
Meski ragu, Lilian menuruti saran pemuda itu. Ia menanam umbi-umbi itu di petakan lain, hingga lama-kelamaan kebunnya dipenuhi umbi itu. Lilian bekerja sangat keras. Ia menyirami kebunnya dengan air sungai. Karena sungai letaknya sangat jauh, setiap pagi dan sore ia harus bolak-balik ke sungai untuk mengambil berember-ember air yang sangat berat. Ia juga harus mengambil pupuk dari kandang hewan yang letaknya sangat jauh dari kebun. Tanpa kenal lelah, dilakoninya kerja keras itu, demi keinginannya untuk menjadi cantik. Ibunya yang melihat Lilian bekerja keras, tersenyum gembira. “Sekarang kau tidak malas lagi,” kata ibunya.
Tiga bulan kemudian, di kebun itu telah tumbuh bunga-bunga lili yang berwarna-warni. Putih, kuning, oranye, pink. Bunga-bunga lili itu sangat indah. Semua tetangga yang lewat ke kebun, memuji keindahan bunga-bunga itu. Mereka tidak lagi menghina Lilian, mereka justru memuji Lilian yang telah berhasil membuat sebuah kebun bunga yang menawan hati.
Dalam sekejap, keindahan kebun bunga itu terkenal ke seluruh pelosok desa. Para pemuda berdatangan untuk melihat siapa gadis yang telah membuat kebun itu. Di tengah kebun, seorang gadis bersenandung kecil sambil menyirami bunga-bunga. Gadis itu begitu ceria, membuat para pemuda senang menatapnya.
Ya. Lilian telah berubah. Ia bukan lagi gadis pemurung. Wajahnya yang dulu selalu cemberut, sekarang berbinar ceria seiring mekarnya bunga-bunga. Keindahan kebun membuat Lilian gembira sehingga perlahan ia melupakan keinginannya untuk menjadi cantik.
Lilian tidak menyadari bahwa sekarang dirinya telah menjadi cantik. Seiring bunga-bunga lili bermekaran, sosok Lilian pun ikut mekar. Kulit wajahnya yang dulu pucat, kini berwarna segar kemerah-merahan, karena setiap hari bekerja di bawah terik matahari. Tubuhnya yang dulu gemuk, kini menjadi langsing, karena setiap hari bekerja keras mengurus kebun. Ia telah berubah, dari seorang gadis yang buruk menjadi menarik.
“Sekarang katakan, siapa pemuda yang akan kaupilih?” tanya ibunya kepada Lilian, setelah banyak pemuda datang ke rumah untuk melamarnya.
Lilian tersenyum. “Aku akan menikah dengan pemuda yang telah mengenalkanku kepada bunga-bunga. Pemuda yang telah membuatku mencintai kebun, sama seperti mencintai kehidupan ini. Pemuda yang telah membuatku sadar bahwa tidaklah penting menjadi cantik selama kita bisa merawat dan menikmati keindahan hidup ini.”
Apakah Lilian menikah dengan pemuda yang telah menyelamatkan hidupnya, pemuda yang telah memberinya benih-benih bunga, dan memberinya pelajaran akan arti kecantikan dan cinta? Apakah akan ada kalimat and they live happily ever after untuk gadis yang menemukan pangeran impiannya?
Itu tidak penting. Yang terpenting adalah kisah ini berakhir indah, seindah kehidupan yang bagaikan taman mekar berbunga. Ya kan? ***
Copyright@2008 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS