Cerpen: Lela Susilawati Sy.
Katakan saja aku tak tahu diri. Katakan saja aku tak tahu diuntung! Katakan saja aku cewek brengsek!
Kau bisa mengatakan apa saja. Aku takkan protes. Bahkan bila ‘brengsek’ tak cukup buruk untuk menggambarkanku. silakan pakai istilah apapun sesuka hati. Tapi kau harus tahu. Apapun vonis pilihanmu, apapun label yang kau tancapkan di dahiku, inilah aku. Aku yang kenyataan, bukan tokoh dalam sinetron picisan.
“Suamimu tampan,”
“Suamimu kaya,”
“Suamimu setia,”
Semua orang berkata begitu. Termasuk orangtuaku, adik-adikku, teman-temanku. Ya, ya. Suamiku memang punya segalanya. Ketampanan, itu nyata. Kekayaan, sudah jelas. Kesetiaan, siapa yang meragukan? In short, dia ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna. Dan aku telah mencoreng-moreng kesempurnaan itu dengan kebrengsekanku.
Aku selingkuh!
Dengan pria yang samasekali tidak sempurna – pria yang bukan suamiku.
Dua pria sekaligus.
***
Saat menikah dengan Jeam (sebutlah begitu), kebahagiaanku sebanyak bintang di langit. Puluhan gadis pernah menjadi kekasih Jeam, tapi akhirnya cuma aku yang dipilih jadi istrinya. The only one, once in a life time…Kami menikah saat langit malam Jakarta begitu cerah. Pesta digelar di area kebun dan kolam renang pribadi milik keluarga besar Jeam. Mas kawinnya unik (kini banyak ditiru orang), yakni cek senilai Rp 21.071.998,- sesuai tanggal pernikahan kami: 21-07-1998.
Lalu pernikahan gemerlap berakhir. Happily ever after? Cuma dalam dongeng. Aku dan Jeam, sama seperti pasangan muda lainnya, mulai terjebak dalam rutinitas perkawinan yang membosankan. Jeam sibuk bekerja, dan aku (yang cuma jadi nyonya rumah) sibuk menata perabotan, memasakkan makan malam, menungguinya pulang. Rumah megah kami di kawasan Kota Wisata, semakin lama bagai penjara. Apalagi, 6 tahun berlalu, tak ada juga tangis bayi menghias sepi.
Jeam tak peduli dengan kehadiran momongan, atau apapun yang sering dipermasalahkan orang bagi pasangan menikah. Dia cuma peduli pada pekerjaan, bisnis – apapun yang menjadi dunianya di luar pernikahan. Dia sedang di puncak karier, dan lupa bahwa di rumah ada seorang istri yang kesepian.
“Kondominium kita yang baru…itu untukmu. BMW seri 750…itu juga untukmu. Berlian Tiffany seharga US$ 25.000…juga untukmu. Kamu memiliki segala hal yang diinginkan wanita di dunia,” ucap Jeam, dengan bangga menyebut semua hadiah yang diberikannya untukku, di hari ulang tahunku yang ke-27.
“Jeam, aku…aku hanya ingin lebih banyak pelukan.”
Jeam merengut marah. Hatiku menjerit gundah. Teringat bagaimana tahun-tahun belakangan ini hubungan kami kehilangan makna, dan Jeam bahkan tak peduli untuk memperbaikinya.
Jeam selalu pulang larut malam. Dia menyentuhku hanya untuk memenuhi kehausannya, dorongan hasratnya. Bukan untuk memenuhi kehausanku akan kasih sayang. Demi Tuhan, aku kesepian, dan harus menanggung beban itu seharian – setiap hari. Tidakkah Jeam mengerti perasaan ini? Apakah lelaki tercipta untuk tak memahami perasaan perempuan?
Mengapa dia banting tulang, menumpuk harta kekayaan, dan berdalih itu semua untukku? Itu bukan untukku, tapi untuknya. Jeam asyik dengan kesibukannya sendiri dan mengabaikanku. Dia membuang rasa bersalahnya telah mengabaikanku dengan mengatasnamakan semua kesibukannya demi aku. It’s not fair! kalau dia benar berjuang demi aku, mengapa tak mau mendengar sedikit saja keinginanku. Aku tidak menginginkan semua kondominium, BMW, dan berlian Tiffany itu. Aku hanya menginginkan sesuatu yang sederhana, yaitu pelukan yang penuh cinta. Sulitkah itu? Lebih sulit dari melakukan pekerjaan dan bisnis-kah?
Aku butuh teman bicara, Jeam. Sebab dia sudah lupa caranya bicara denganku. Saat pulang dia hanya menyapa, “hai” “sudah makan?” atau “belum tidur?” Apakah aku tak lebih dari orang asing? Mengapa aku merasa jadi kekasih (baca: istri) yang tak dianggap?
“Sebaiknya kamu ikut kegiatan di klub,” saran Jeam suatu hari melihatku dalam titik jenuh yang akut.
Aku memandangnya putus asa. Oh please, tidak. Aku hanya ingin menjalani perkawinan yang normal, dapat berlibur setiap akhir pekan dengan suami, mengunjungi keluarga, punya anak… Aku tak tertarik mengikuti klub apapun, bergaul dengan ibu-ibu yang hedonis, menghambur-hamburkan uang, dan berpura-pura kehidupan perkawinanku baik-baik saja. Sayangnya, Jeam tak pernah mau serius diajak bicara.
***
Dan lalu, di tahun ke-5 pernikahanku dengan Jeam, kehidupanku mulai berubah. Di sebelah rumahku ada seorang tetangga baru. Seorang pria tampan yang sederhana. Pria yang diam-diam memperhatikanku. Saat aku menyiram bunga setiap pagi dan sore di halaman, dia keluar, memandangku setiap menit dengan penuh perasaan. Dia mengajakku bicara. Maksudku, benar-benar bicara, tidak hanya menyapa dengan salah satu dari 3 kalimat: “hai” “sudah makan?” atau “belum tidur?” seperti yang selalu diucapkan Jeam.
Pria itu, sebutlah namanya Grey. Tidak jelas profesinya apa. Yang pasti, setiap aku keluar rumah, dia selalu ada di terasnya. Menganggukkan kepala dan tersenyum. Aku kesal karena dia begitu menarik. Tidak setampan Jeam, tapi sorot matanya hangat. Sorot mata yang sudah tak lagi kutemukan pada Jeam seiring detak waktu mempertua usia perkawinan kami.
Awalnya, kami hanya tetangga yang saling sapa dengan sopan. Kemudian, dia sering mengajakku mengobrol setiap aku menyiram dan memotong bunga di halaman, pagi atau sore atau di kedua waktu tersebut. Lalu, itu menjadi rutinitas. Aktivitas merawat taman kecilku tak terasa lengkap tanpa Grey. Dia membelikanku beberapa aglonema dan anthurium yang menawan untuk melengkapi taman kecilku, lalu mengundangku minum kopi di teras belakangnya. Sejak saat itu, Grey jadi pengisi sepiku. Hubungan kami lebih dari sekedar tetangga. Tiga bulan berkenalan, kami lebih dari cuma teman. Enam bulan berikutnya, sudah terjalin hubungan istimewa. Hubungan yang hanya pantas dilakukan oleh aku dan Jeam, sebenarnya.
Beberapa pembantuku mulai curiga, aku tahu. Tapi tak ambil pusing. Dicap sebagai istri tak setia, tak apa. Toh aku melakukannya semata demi Jeam. Aku ingin merebut kembali perhatian suamiku. Dan terkabul. Jeam memergoki aku dan Grey di teras belakang. Saat itu, kuharap dia marah, mendampratku, menamparku, memarahiku karena dia merasa memilikiku. Tapi Jeam hanya terpaku, memandangi kami satu per satu seperti pesakitan, lalu pergi dan tak pulang selama seminggu.
Di saat hati merana karena Jeam, Grey tak bisa jadi sandaran. Sebulan setelah momen memalukan itu, Grey mengosongkan rumahnya untuk dijual. “Kamu mau kemana?” tanyaku marah. Ia memandangku lama, lalu berkata pelan, “Kita harus berpisah dan melupakan semuanya. Aku dapat pekerjaan bagus di Mumbai dan mungkin takkan kembali.”
Seperti dipukul palu godam, aku tersuruk. Petualangan cinta terlarang aku dan Grey harus berakhir. Dan yang lebih menyakitkan, ternyata Grey pindah ke Mumbai, tak lain karena menuruti tawaran bisnis dari Jeam. Itu kuketahui dari sopir pribadi suamiku. Jeam sendiri tak pernah bicara, dia menjalani hidup seperti biasa seolah tak pernah terjadi apa-apa. Bahkan perselingkuhanku di depan matanya tak pernah diungkitnya. Bagus, pikirku, dengan uang Jeam telah menang. Tanpa perlu bicara denganku, bertengkar denganku, berunding denganku. Dia menyelesaikan semuanya dengan uang. Hidupku tak lebih berarti dari materi. Dengan rupiah, semua persoalan beres, saingan tersingkirkan, dan ia kembali tenang. Aku, dengan rasa pedih, sesal, kesal, dibiarkan terpuruk sendirian. Setelah Grey pergi, Jeam menghukumku dengan semakin bersikap dingin. Di rumah megah ini, aku kembali menjadi hanya sekedar istri pajangan.
***
Waktu mengobati semua luka. Aku perlahan dapat melupakan Grey, rasa bersalah telah berselingkuh dengan pria itu di depan mata Jeam, dan rasa benci karena Jeam menghadapinya sedingin es. Aku mulai terjun ke bisnis kecil-kecilan, yakni membuka toko kue cokelat di dekat rumah. Idenya datang dari adikku Shinta yang pernah kursus memasak dan bekerja cukup lama di toko bakery ternama. Tokoku lumayan laku, dan itulah pengusir kesepianku.
Mumpung punya adik lajang yang pintar bikin kue, dan karena penjualan yang cukup bagus, aku berencana membuka cabang ke-2 toko cokelatku. Sayang tak punya modal untuk menyewa toko yang representatif. Meminta pada Jeam pasti tak sulit, namun harga diriku terlampau tinggi, terutama sejak skandal rumah tangga kami. Lagipula aku ingin mandiri, ingin membuktikan pada Jeam bahwa akupun bisa menjadi seseorang dan seharusnya diperlakukan lebih layak dari sekedar ‘penunggu rumah’.
Keberuntungan datang. Jeremy, adik Jeam yang selama ini tinggal di luar negeri, berkunjung dan tertarik dengan toko cokelatku. Dia memberiku pinjaman modal, dengan akad bagi hasil. Senangnya…hidupku mulai berubah ceria. Setap hari aku memikirkan toko baruku, merancang desainnya, memikirkan menu-menu barunya, mengurus promosinya. Tentu saja ditemani Jeremy. Jeam tampak senang karena aku dapat bergaul akrab dengan adik semata wayangnya yang bertahun-tahun ‘menghilang’ itu.
Saat toko cokelat baru akhirnya dibuka, aku, Jeremy, Shinta, dan beberapa temannya berpesta semalaman untuk merayakan. Jeremy tampak tampan, meskipun sama sekali tidak mirip Jeam, dan tentunya 2 tahun lebih muda dari kakaknya. Dia belum punya tambatan hati, kuharap dia dapat menjalin hubungan khusus dengan adikku Shinta. Tapi tampaknya belum ada chemistry di antara mereka.
Tiga bulan sejak peresmian toko cokelat baruku, ada kabar mengejutkan. Aku hamil. Orangtuaku dan orangtua Jeam sangat gembira, mereka merayakan ini besar-besaran dengan mengundang para kerabat. Sayang, Jeam sendiri menyikapinya dengan dingin. Dia memang tak pernah peduli padaku dan semua tentangku. Padahal, aku sangat berharap kehamilan ini dapat mengubah sikapnya agar lebih memperhatikanku.
Tepat di hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-7, seorang bayi mungil lahir. Kuberi nama Jamelia (singkatan nama kami: Jeam dan Aurelia). Harapanku terkabul, Jeam jadi lebih betah di rumah. Sebelum berangkat kerja, dia selalu menyempatkan diri menggendong Jamelia. Lawatan bisnisnya ke luar negeri juga berkurang. Dia mulai memperhatikanku. Angan-angan yang bertahun-tahun kuukir, akhirnya kesampaian juga. Jeam bersikap lebih hangat dan perlahan mulai menganggapku ‘istri betulan’, bukan sekedar pajangan.
Akan tetapi, kebahagiaan itu tak lama. Saat Jamelia mulai berusia 2 tahun, Jeam tiba-tiba bilang padaku, “Jamelia punya warna mata cokelat.”
Aku tersentak. Kutatap mata Jeam, dan kutatap mataku lewat cermin, tak satupun dari kami punya mata cokelat.
“Jeremy saudara tiriku, dia punya mata cokelat warisan dari ibunya,” kata-kata Jeam menghunjam batinku. Ya Tuhan, di saat perkawinanku sedang bahagia, mengapa badai melanda?
Benar kata Jeam. Jamelia tidak mirip dia, tapi mirip adiknya. Jeremy, ya Jeremy. Saat kami sedang bahagia membuka toko cokelat baru, lelaki itu memberi perhatian lebih padaku. Dia tidak tertarik pada Shinta adikku, tapi tertarik padaku. Aku yang lemah dan mendambakan kasih sayang, takluk pada rengkuhan Jeremy seperti hanya pada Grey dulu. Jeam begitu dingin, sementara Jeremy begitu romantis. Apa yang dapat kulakukan saat malam pesta pembukaan toko cokelat itu? Jeremy sungguh menawan dan membuatku larut. Aku berselingkuh dengan adik iparku sendiri. Dan balasannya, perkawinanku dengan Jeam kembali dikobar bara api.
Jeam tidak marah. Bahkan saat tes DNA memperkuat bahwa Jamelia adalah bukti pengkhianatanku padanya. Sama seperti dulu, dia hanya memandang kami berdua – aku dan Jeremy – bergantian dengan tatapan dingin. Dia menghilang seminggu, dan pulang dengan seberkas surat cerai. “Tandatangani ini, dan secepatnyalah kalian menikah, lalu pergi dari sini.” Itu ucapan Jeam yang terakhir kalinya. Sesuatu mendadak lenyap dari diriku.
Kawan, sesungguhnya aku mencintai Jeam, lebih dari yang mampu kukatakan. Andaikan sejak awal dia lebih memperhatikanku. Andaikan sejak awal dia lebih banyak memberikan kasih sayang. Andaikan aku mampu bertahan dalam roda perkawinan yang berjalan konstan ini. Dan sejuta andai lainnya. Tapi semua itu kini tak berarti lagi. Kami sudah bercerai. Nama Jeam tinggal kenangan pahit.
Aku sudah menikah dengan Jeremy, dan mendapati diriku bukannya bahagia. Jeremy menganggapku wanita penghancur hidupnya. “Gara-gara kamu, bisnisku dengan Jeam terhambat. Kenapa sih tak sedari awal kamu gugurkan kandungan itu?”
Jeremy sama saja dengan kakaknya, pemuja uang. Dia bahkan membenci Jamelia, anaknya sendiri. Dan aku hanya mampu menangis. Menangisi kebodohanku sendiri. Bahwa aku telah terperdaya oleh imajinasiku sendiri tentang cinta. Bahwa aku selalu menyalahkan Jeam atas rasa tidak bahagia yang mendorong perbuatan cela. Bahwa aku tak tahu diuntung, punya kehidupan yang nyaris sempurna namun menuntut lebih banyak. Bahwa aku cewek brengsek!
Tak ada tempat berlindung. Keluargaku telah mengasingkanku karena aku dianggap pembawa aib. Sekarang dengan sisa-sisa harapan yang masih ada, aku berjuang sendiri membesarkan Jamelia. Jeremy sibuk dengan kehidupannya sendiri. Dia berpetualang cinta dari satu wanita ke wanita lain, dan aku hanya diam, menganggap ini balasan terbaik atas semua dosa yang telah kulakukan.
Aku benci menulis kisah ini, tapi kalau memang dapat memberi hikmah, tak apalah. Semoga tak ada pembaca yang rela menukar perjalanan hidup yang seharusnya berharga dengan sebuah aib yang takkan terhapus selamanya.
Based on true story
Copyright@2010 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS