Saturday, October 23, 2010

Sekuntum Edelweiss

Oleh: Mulandari Palupi, 16 tahun
(BWS Bandung)





Pagi yang cerah. Tapi tak secerah hatiku. Seharusnya hari ini hatiku ceria, seiring pemandangan lereng gunung yang indah di setiap sisi kanan kiri jalan setapak yang kulewati. Teman-temanku satu rombongan, semua berceloteh riang dan mem-blitz-kan kamera berkali-kali ke alam yang hijau kemilau. Pohon-pohon yang rimbun, sawah-sawah yang mendampar kuning siap dipetik, air sungai yang gemericik, diterpa cahaya matahari berwarna keemasan, sungguh eksotis dan sayang kalau tak diabadikan. Beberapa peserta hiking, tak putus memuji semua keindahan alam yang telah diciptakan Yang Kuasa. Tapi aku hanya diam. Mataku tidak terpaku pada semua itu. Tatapnku menembus ke arah rombongan laki-laki. Bayangan Marcel ada di sana, sedang sibuk membidikkan kamera. Dan aku menggigit bibir. Itu pasti untuk Chrissy, batinku sedih.
Semua peserta melakukan perjalanan naik gunung itu dengan sebuah misi. Misi lingkungan, taddabur (memuji kekuasaan Tuhan), atau kepuasan hati telah menaklukkan alam. Beberapa mungkin membawa misi estetika, mengambil foto-foto yang eksotis. Marcel pun pasti punya misi: memetik bunga edelweiss di puncak gunung, untuk nanti diberikan kepada Chrissy sebagai ungkapan cinta. Bukankah edelweiss adalah lambang cinta yang abadi? Oh, beruntung sekali Chrissy.
Mengingat nama Chrissy, hatiku berdesir. Tak ada gadis di SMU yang secantik dia. Chrissy gadis populer di sekolah, pemilik tubuh langsing, dengan body motion lincah. Rambutnya panjang berwarna hitam, hidung kecil indah, dan mata hitam yang bersinar cemerlang. Dia jelmaan gadis asli Indonesia yang rupawan. Jauh bila dibandingkan dengan diriku – Mulan si gadis biasa yang tidak memiliki kecantikan istimewa. Aku juga tidak sepintar Chrissy yang jago matematika. Pokoknya, Chrissy berbanding terbalik dengan diriku, dalam hampir segala hal. Tak heran bila semua cowok di SMU tergila-gila pada Chrissy, termasuk Marcel – dan inilah yang membuat dadaku terasa sesak. Untunglah cewek itu tidak ikut dalam rombongan naik gunung ini, jadi aku tak perlu menyaksikan adegan mesra yang akan membuat jantungku tertusuk-tusuk.
Tapi pemikiran bahwa Marcel akan memetik edelweiss untuk Chrissy, membuat hatiku resah.
“Hei, kenapa diam saja?” seseorang menegur. Aku berbalik – dan kaget.
Di depanku Marcel sudah berdiri dengan senyum cerah. Tangannya sibuk membidikkan kamera ke pemandangan di belakangku.
“Kamu tahu?” kata Marcel. “Kamu sudah tertinggal cukup jauh dari rombongan.”
Oh, ya ampun, benar. Rombongan sudah berjalan jauh di depan. Bagaimana kalau aku tertinggal dan akhirnya tersesat? Sungguh keterlaluan, tak ada seorangpun yang mengingatkanku. Ya. Tapi…kenapa Marcel ada di sini? Bukankah dia harusnya ada di antara rombongan pria di barisan terdepan?
“Aku kasihan aja sama kamu. Kayaknya sendirian banget,” ucap Marcel – membuat pipiku merona malu. Menyedihkan sekali, aku dianggap tak punya teman.
Di antara rombongan itu, memang hanya aku dan Marcel yang satu kelas di SMU, sedangkan peserta lain berasal dari kelas atau sekolah yang berbeda. Jadi, pasti karena itulah Marcel memperhatikanku. Mungkin semacam perasaan bertanggung jawab, solidaritas teman sekelas atau semacam itu.
Aku segera berlari menyusul rombongan. Diikuti Marcel. Diam-diam aku berfantasi, asyik juga kali ya kalau tersesat di hutan berduaan dengan Marcel. Ah, gila…Tentu saja itu fantasi yang konyol dan mustahil.
Setelah tiga jam berjalan, sampailah kami di sebuah sungai yang berarus deras. Pemimpin rombongan menyuruh semua peserta untuk bersiap-siap. Beberapa tim pelatih sibuk memasang tambang penyeberangan. Satu per satu peserta menyusuri tambang itu hingga berhasil menyeberang. Ketika giliranku, aku terpeleset di tengah sungai karena menginjak batu yang licin. Untunglah seseorang segera membantuku berdiri dan menyeberang. Marcel.
“Thanks,” kataku kepadanya dengan senyum pahit. Aku malu sekali telah menjadi beban baginya. Pasti cowok itu semakin tidak simpati padaku, dan akan menjadikanku bahan lelucon di kelas nanti. Cewek lemah nekat naik gunung, malah jadi beban saja, begitulah lelucon yang akan ditebarkan Marcel. Dan Chrissy yang mendengarkan itu akan tertawa terpingkal-pingkal. Akh….
Rombongan tiba di sebuah tebing yang tinggi. Satu per satu anggota rombongan harus memanjat tebing itu dengan bantuan tali pemanjat. Aku merasa ngeri melihat ketinggian yang curam. Bagaimana kalau terpeleset dan meninggal? Sendirian di dalam kubur, sementara Marcel dan Chrissy asyik pacaran? Pikiranku mulai ngawur.
Sebagian peserta perempuan sudah berhasil naik ke atas tebing. Giliran aku sekarang. Kuikatkan tali pinggangku pada tambang pemanjat. Lalu perlahan merangkak menyusuri tebing. Hatiku deg-degan, mataku terpejam, tak berani menengok ke bawah. Duh, andai nggak terpaksa, mana sudi aku ikut naik gunung seperti ini. Satu-satunya alasan ikut kegiatan ini adalah karena Marcel ikut. Tapi aku malah mempermalukan diri sendiri di depannya. Aku loyo dan mungkin takkan kuat memanjat. Dan…tap! Benar saja, salah satu kakiku tak bisa menapak di batuan tebing, diikuti kaki yang lain. Tubuhku menggelantung, dan aku menjerit-jerit karena takut jatuh. Untunglah tambang pengikat mampu menahanku. Tubuhku diulur kembali ke bawah.
“Kau kenapa?” tanya Marcel keheranan.
Rasa malu menjalari pipiku. Aku telah gagal untuk kedua kali di depan Marcel. Aku bukan gadis yang cocok untuknya. Aku ingin lari, bersembunyi dan tak pernah melihat Marcel lagi.
Pemimpin rombongan cepat-cepat menyuruhku kembali ke tebing. “Kau harus berhasil kali ini,” katanya. “Ingat waktu kita terbatas, sementara antrian masih banyak.” Terpaksa aku memanjat lagi dan untunglah kali ini berhasil. Aku bisa sampai ke atas, meski dengan bantuan semua orang. Semua bersorak seperti anak kecil ketika aku mencapai puncak tebing. Ihh…benar-benar memalukan.
Semakin mendekati puncak gunung, udara semakin dingin. Tapi karena lelah dan berkeringat, udara dingin itu tak begitu terasa. Menjelang duhur, semua orang beristirahat dulu dan foto-foto. Aku yang kelelahan, membuka bekal makan siang tanpa selera. Saat itulah Marcel menghampiriku.
“Kamu makan seperti orang kelaparan,” katanya. Dan untuk kesekian kalinya, ucapan Marcel membuatku malu. Sungguh, saat ini yang kuinginkan hanyalah berjauhan dengannya. Aku tak mau Marcel dekat-dekat seperti ini dan melihatku dalam sisi-sisi terburukku.
“Bisakah kau menyisakan mie goreng itu untukku?” tanya Marcel sambil mengamati kotak makan siangku.
Hah? Dia mau memakan bekal makan siangku? Apa nggak jijik?
“Nih,” dengan jengah kuletakkan kotak mie goring-ku yang tinggal separuh. “Habiskan saja semuanya.” Lalu aku berdiri.
“Hey, mau kemana?” tanyanya. “Temani aku. Aku nggak enak menghabiskan bekal orang lain tanpa ditemani si pemilik. Bisa-bisa nanti dikira mencuri.”
Setelah hampir 6 jam perjalanan, inilah pertama kalinya aku tertawa. Kuputuskan untuk duduk lagi, menonton cowok itu makan dengan lahap. Marcel mengajakku ngobrol, dan entah kenapa aku mulai bisa mengikis rasa malu yang sejak tadi memberondong.
“Kau tahu?” kata Marcel. “Sebentar lagi kita akan sampai di puncak gunung. Kita akan melihat kawah, dan itu sangat mengasyikkan. Kau belum pernah melihat kawah sebelumnya kan?”
“Ini pertama kalinya aku naik gunung. Makanya aku memalukan.”
Marcel tersenyum. “Everybody fails in the first time, Honey. Don’t worry.”
Mendengar kalimat yang menenangkan itu, aku merasa damai. Dia ternyata tidak cuma tampan dan populer di sekolah, tapi juga bijaksana. Marcel ternyata bukan tipe orang yang suka memperolok orang lain. Dia baik dan nggak jijikan. Hmm…Beruntung sekali Chrissy bila mendapatkan pernyataan cinta dari Marcel. Teringat Chrissy, hatiku kembali muram.
Rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian, kami sampai di tujuan terakhir, yakni puncak gunung. Sungguh eksotis melihat kawah yang mengeluarkan kabut asap. Dari sini semua begitu indah terlihat. Hamparan bumi di bawah sana berkilau dengan warna hijau kecokelatan. Perkampungan penduduk di tepi gunung menjadi bagian pemandangan yang eksotis di sore hari. Beberapa orang bertakbir, memuji kebesaran Illahi. Blitz-blitz kamera tak henti-hentinya beraksi. Semua orang sibuk berpose ria dengan latar belakang sunset yang indah menawan.
Marcel memetik beberapa kuntum bunga edelweiss. Aku memperhatikan dengan kelam. Bunga edelweiss itu tentu saja untuk Chrissy.
“Bunga edelweiss adalah lambang cinta abadi. Kalau kau menyukai seseorang, berikanlah padanya dan cinta kalian akan bersemi indah,” ujar Marcel.
Kerongkonganku tercekat. “Kau akan memberikannya kepada siapa?” Sedetik kemudian kusadari bahwa itu pertanyaan bodoh.
Dia tersenyum. “Aku akan memberikannya kepada ibuku. Lalu…”
“Lalu kepada siapa?”
Dia tersenyum lagi. “Tentu saja kepada seorang gadis manis yang kusayangi. Teman sekelas kita.”
Aku tersenyum pahit. Tentu saja Chrissy, siapa lagi? Di kelas kami, hanya ada dua cewek yang pantas untuk jadi pasangan Marcel. Yang satu Chrissy, satu lagi Maria. Keduanya sangat cantik dan populer. Tapi Maria sudah punya gandengan. Jadi, satu-satunya pilihan tinggal Chrissy. Apalagi aku pernah mendengar dari teman-teman bahwa Chrissy memang sedang jadi sasaran Marcel. Hanya saja Marcel belum ada kesempatan untuk menyatakan perasaannya kepada Chrissy. Setelah ada bunga edelweiss, tentu saja tak ada alasan lagi bagi Marcel untuk menunda niatnya. Lusa di sekolah, pasti dua insan itu akan jadian.
“Oya,” kata Marcel. “Aku takut bunga ini rusak kalau disimpan di tasku yang padat. Bisakah aku nitip di tasmu?”
“Eh, ng...Baiklah,” ujarku terpaksa. Ya Tuhan, Marcel menitipkan bunga yang akan diberikan kepada Chrissy, hatiku serasa tertusuk duri. Aku tak sanggup menatap bunga itu, langsung kumasukkan saja ke dalam tas.
Hari sudah mulai gelap. Di perjalanan pulang, aku tergelincir. Tasku jatuh ke dalam sungai. Aku berkutat mencari-carinya, berharap tas itu belum terbawa arus. Lima menit berlalu, namun aku belum juga menemukan tasku. Sementara rombongan sudah cukup jauh meninggalkanku.
Pada saat itu seseorang menghampiriku sambil menyalakan obor. “Mulan, ngapain kamu di situ? Ayo jalan, kamu sudah tertinggal jauh. Untung aku tadi sempat ingat kau, dan bisa menemukan kamu di sini. Coba kalau nggak? Kau pasti tersesat di hutan ini sendirian.”
Di balik remang senja, tatapan Marcel tajam menusuk.
“Jangan berbuat bodoh, kalau kau masih sayang sama nyawamu,” nada suaranya jelas menyimpan kemarahan.
“Sejak awal perjalanan, kau selalu membuat masalah.”
Kalimat-kalimat Marcel begitu tajam. Aku tak tahan, kali ini aku berteriak marah. “Ya, Marcel. Aku memang pembuat masalah. Makanya, sana pergi saja dengan rombongan. Biarkan aku di sini sendiri. Mati pun aku tak peduli!”
Marcel tampak kaget melihatku yang histeris dan mulai menangis.
“Memangnya apa yang sedang kaulakukan di sini?” nada suara cowok itu berubah lembut.
“Aku sedang mencari tasku. Tadi jatuh ke sungai.”
Ia segera membungkuk, bergerak mencari-cari tas di dalam sungai. Tak lama kemudian, sesuatu berhasil di ambil. “Ini kan tasmu?”
Aku segera memeluk tas basah itu.
“Sebenarnya kalau isinya tidak terlalu penting, kau tak perlu mencari-cari tas itu. Biarkan saja dia tenggelam. Apa sih artinya sebuah tas dibanding keselamatan jiwamu?” Marcel rupanya masih menyalahkanku.
Aku menyusut air mata. “Karena di dalam tas ini ada bunga edelweiss yang kau titipkan.”
Ia mematung. Diam sesaat.
“Ayo jalan. Kita sudah tertinggal jauh,” katanya.
Kami pun berjalan dalam diam. Marcel berada di belakang, seolah melindungiku bila terjadi sesuatu. Sementara air mataku terus menerus jatuh. Aku telah mempertaruhkan keselamatanku demi edelweiss yang bukan untukku.
Lusanya, di sekolah, aku sudah tak bersemangat. Tinggal menunggu waktu saja Marcel akan mengambil edelweiss ini, untuk diserahkan kepada Chrissy. Bunga edelweiss itu masih ada di dalam tasku.
Namun setelah tiga hari, Marcel tak juga mengambil bunga edelweiss itu. Kami saling berpapasan di kelas, tapi sepertinya ia sudah lupa dengan bunga itu. Karena tak tahan menunggu – lebih baik terjadi meski itu menyakitkan – akhirnya kucegat dia saat mau pulang sekolah.
“Marcel, bunga edelweiss-mu masih ada padaku. Kapan kau akan mengambilnya?”
Ia tampak bingung. “Umm…simpan saja di tasmu.”
Aku mulai marah. “Apa? Simpan di tasku? Enak saja. Berat tahu, tiap hari bawa bunga beginian. Apa lebih baik kubuang saja?”
“Eh jangan,” kata Marcel. “Jangan dibuang. Simpan saja di tasmu. Kalau kau udah males, simpan saja di vas bunga di kamarmu.”
“Apa? Jangan bergurau. Bukannya kau akan memberikannya kepada Chrissy?”
Marcel tampak bingung. “Chrissy? Untuk apa diberikan kepada Chrissy? Memangnya aku mau nyatain cinta sama Chrissy? Nggak lah. Kamu salah sangka. Itu gosip. Chrissy memang suka padaku, tapi aku….aku lebih suka memberikan edelweiss itu padamu.”
Kedua mataku terbelalak. Apa aku salah dengar?
“Ya udah, biar kubuang saja.” Kukeluarkan edelweiss itu dari tas, hendak kubuang ke tempat sampah.
Marcel secepat kilat merampas bunga itu dari tanganku. Lalu menatap wajahku lekat-lekat. “Mulan,” bisiknya. “Awalnya aku nggak yakin dengan perasaan ini. Tapi setelah kemarin kita naik gunung bareng, tiba-tiba aku menjadi yakin akan perasaan ini. Bahwa aku menyayangimu. Untuk itu, terimalah edelweiss ini, dan biarkan cinta bersemi indah di hati kita.”
Aku merasakan tubuhku terpaku. Jadi Marcel menyukainya? Itukah kenapa cowok itu selalu ada di dekatku saat di perjalanan hiking itu? Itukah kenapa ia marah-marah saat aku tersesat di sungai, karena mencemaskan keselamatanku?
Tiba-tiba aku menangis terisak. Ini sebuah kejutan yang indah. Ternyata Marcel yang tampan, Marcel yang populer di sekolah, bisa menyukai gadis yang serampangan dan memalukan seperti diriku. Tak sia-sia Mulan mempertaruhkan segalanya dalam perjalanan naik gunung itu. Tak sia-sia Mulan berjuang untuk menyelamatkan edelweiss itu. Mendadak aku bersyukur menjadi seorang Mulan, dan bukan seorang gadis sempurna seperti Chrissy.
Ahh…Andai aku punya sayap, aku ingin terbang kembali ke puncak gunung, dan memetik sejuta edelweiss. Edelweiss untuk Marcel.

Copyright@2008 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS