Saturday, October 23, 2010

Cinta Karena Allah

Oleh: Mulandari Palupi, 16 tahun
(BWS Bandung)




Aku tidak tahu kisah ini terjadi di zaman apa. Pokoknya, dulu kala. Setting-nya di sebuah wilayah di Jazirah Arab , dan kau jangan tanya kenapa. Aku hanya ingin membuat kisah di daerah itu, itu saja. Dan baiklah, kumulai petualanganku di dunia fiksi. Fiksi cinta yang indah ini. Well, seperti dalam dongeng, aku akan mulai dengan kata ‘alkisah’.

Alkisah, hiduplah seorang gadis bermata indah bernama Fitriyyah. Ia sangat taat dengan ajaran islam yang dibawa pendahulunya, Rasulullah saw. Ia jarang keluar rumah, karena tak mau pemikirannya tentang islam teracuni. Maklumlah penduduk di daerah itu masih menganut kepercayaan terhadap berhala. Karenanya ia sangat membatasi pergaulan dan jarang bepergian. Kalaupun ada kerabat yang sakit yang mengharuskannya bepergian, ia selalu keluar dengan mengenakan jilbab yang membalut rapat sekujur tubuhnya kecuali mata dan telapak tangan. Ia sangat gemar memakai cadar, karena dengan demikian kecantikannya terlindungi dan tidak ada yang berani mengganggunya.

Suatu hari tersiar kabar bahwa salah seorang kerabatnya yang tinggal di negeri yang jauh sakit keras. Fitriyyah merasa harus menjenguk. Atas ijin ayahnya, ia bisa pergi dengan menunggang seekor unta, ditemani seorang adik laki-lakinya. Mereka berdua mulai menempuh perjalanan setelah memastikan telah membawa bekal yang cukup.

Hari sudah menjelang malam ketika mereka berpapasan dengan sebuah rombongan saudagar yang tengah dalam perjalanan pulang dari berdagang. Pemimpin rombongan itu adalah seorang pemuda tampan berusia sekitar 20 tahun. Meski masih muda, dia tampak sigap dan berwibawa di hadapan para anak buahnya.

Melihat ada seorang gadis dan seorang pemuda bergerak di hadapan, rombongan itu berhenti. Mereka memberi jalan. Kedua orang itupun berterima kasih dan lewat dengan unta mereka. Di bawah cahaya bulan, pemuda itu dapat melihat sang gadis sekilas. Mendadak hatinya bergemuruh. Gadis itu, meski memakai cadar, ia memiliki sepasang mata yang bening dan indah. Sudah pasti ia memiliki wajah yang cantik.

Gadis dan adiknya sudah jauh berada di belakang mereka. Namun sang pemuda tidak juga memerintahkan rombongannya untuk kembali berjalan.

“Ada apa, Tuan?” tanya salah seorang anak buahnya dengan penasaran.

Pemuda itu berkata, “Kita akan istirahat dulu di sini sambil membuka perbekalan. Sementara itu cepat kau susul mereka. Tanyakan siapa nama gadis itu dan di mana alamat rumahnya.”

Orang itu mengangguk-angguk dan tersenyum maklum. Tuannya tertarik oleh gadis yang barusan lewat. Segera ia melakukan hal yang diperintahkan.

Pada mulanya gadis itu enggan dimintai keterangan apapun. Akan tetapi, si pesuruh itu punya akal. Ia berbisik pada adik si gadis, menyelipkan beberapa keping dinar, lalu berhasillah ia mengorek keterangan. Si gadis marah pada adiknya. Tapi adiknya yang masih belia itu cuma tersenyum-senyum saja sambil menenteng uang dinarnya.

***
Sepulang dari bepergian, Fitriyyah mendapat sepucuk surat di rumahnya. Dari seorang pemuda bernama Amiruddin.
Surat itu berisi kata-kata manis berbentuk puisi.

Malam mengabut saat kita bersua untuk pertama
Di sebuah jalan setapak di atas unta-unta
Kau berdua, aku bersama
Berhadapan dalam cahaya bulan yang meremang.
Tapi Cinta…
Meski remang, cahaya bulan tak mungkin berdusta
Bahwa kamulah satu-satunya
Pemilik mata indah yang membangkitkan asmara


Tahulah ia bahwa yang mengirim surat itu adalah pemuda yang memimpin rombongan dagang, yang berpapasan dengannya sewaktu dalam perjalanan itu.
Fitriyyah menghela nafasnya. Sejujurnya, sejak pertama melihat pemuda bernama Amiruddin itu, hatinya pun sama. Ia telah jatuh cinta. Jatuh cinta pada pandangan pertama.
Ia membalas surat itu dengan sebuah puisi.

Tanyakanlah pada bulan yang menyaksikan kita
Aku juga memendam rasa yang sama
Tapi kekasih,
Apa daya diri ini takkan bisa menyambutnya
Karena aku bukanlah si cantik yang kau sangka
Hanya seorang pemilik mata indah yang buruk rupa

Fitriyyah mengeposkan surat itu dengan perasaan sedih sekaligus lega. Lega karena ia telah menolak cinta sang pemuda, dan dengan demikian ia dapat mempersembahkan cintanya hanya untuk Sang Pecinta Sejati, Allah swt. Sedih karena sebetulnya ia memang tertarik dengan pemuda itu dan setelah membaca puisi itu sang pemuda pasti tak akan sudi menghubunginya lagi.
Tapi ia salah. Beberapa hari kemudian Amiruddin mengirim puisi balasan.

Ijinkan aku memandang wajahmu meski sekejap
Dengan begitu akan mengobati hatiku yang pengap
Meski kau seperti unta yang menyedihkan
Biarkan hatiku sendiri yang memutuskan


Fitriyyah menjadi panik. Pemuda itu tidak menyurutkan langkah. Meski ia sudah bilang wajahnya tidak cantik, Amiruddin tetap penasaran. Ia segera mencari akal untuk mengusir pemuda itu dari hidupnya. Lalu ditulislah sebuah puisi.

Temuilah aku esok hari
Pandangilah mukaku sepuas hati
Setelah itu kau boleh menyesal dan pergi


Keesokan harinya Fitriyyah menjalankan rencananya. Ia mengenakan topeng mengerikan yang sudah dibuatnya semalaman. Kemudian ia duduk-duduk di beranda depan rumahnya sambil menunggu pemuda itu datang.
Tapi pemuda itu tak nampak batang hidungnya. Mungkin ia sedang melihatnya secara sembunyi-sembunyi. Atau mungkin juga tidak datang. Baguslah, pikirnya. Dengan demikian selesailah sudah beban yang mengganggu pikirannya. Fitriyyah pun masuk ke dalam rumah untuk melaksanakan sholat dhuha.
Beberapa hari kemudian, Fitriyyah dan keluarganya dikejutkan oleh kedatangan sebuah rombongan. Seorang pemuda tampan turun dari untanya dan langsung bersimpuh di kaki ayah Fitriyyah yang kebingungan.
“Ada apa ini?” tanya ayah gadis itu dengan wajah terheran-heran.
Pemuda itu berkata dengan lirih. “Tolong ijinkan saya menikahi putri anda.”
“Menikahi putri saya?” tanya si ayah, kaget atas permintaan mendadak ini.
Sementara itu Fitriyyah diam-diam mendengar percakapan itu dari kamarnya. Hatinya diliputi sejuta rasa. Terkejut, heran, dan juga berbunga.
Amiruddin melanjutkan permohonannya. “Yah, meski putri anda buruk rupa, tapi saya telah jatuh cinta padanya. Sekarang ijinkanlah kami menikah.”
Ayah sang gadis semakin kebingungan. “Buruk rupa? Maksudnya….?”
Pada saat itulah Fitriyyah keluar dari kamarnya dan menghampiri mereka. Ia mengenakan topeng yang membuatnya kelihatan buruk rupa. Semua orang menjerit kaget melihatnya. Tapi sang pemuda tidak. Ia menatap wajah gadis itu dengan senyum dan tatapan penuh kerinduan.

Sebelum ayahnya sempat bereaksi menyaksikan drama ini, Fitriyyah menyela. “Dengar, pemuda. Saya sudah menolakmu beberapa kali lewat surat. Saya juga sudah memperlihatkan wajah buruk ini di hadapanmu. Nah, kenapa kamu tak juga pergi dari sini? Saya yakin banyak wanita cantik yang mengharapkanmu di luar sana. Kamu boleh memilih yang mana saja di antara mereka.”

Sang ayah menatap putrinya dan pemuda itu bergantian. Tahulah ia apa yang sedang terjadi. Putrinya memakai topeng buruk supaya pemuda itu tidak melamarnya. Ia segera menghampiri sang pemuda dan menyuruhnya berdiri.

“Nah, pemuda. Siapapun adanya dirimu, kamu sudah mendengar sendiri jawaban putriku. Dia tidak menginginkanmu. Sekarang, pergilah dari sini.”

Tapi pemuda itu tak mau pergi. Ia malah berkata dengan linangan air mata. “Bapak, andaikan pinangan saya ini, cinta saya ini, adalah ikhlas karena Allah, maukah anda mengabulkan permohonan saya untuk menikahinya?”

Kening ayah si gadis berkerut tanda tak mengerti. “Ikhlas karena Allah? Maksudnya apa? Bagaimana kamu bisa mengatakan bahwa niatmu menikahi putriku adalah ikhlas karena Allah?”

Pemuda itu menundukkan mukanya. Ia berkata dengan lirih. “Karena…karena saya ingin masuk islam. Sedangkan putri anda, adalah satu-satunya gadis di daerah ini yang sudah memeluk islam. Dengan menikahinya, saya bisa mempelajari dan meyakini islam dengan lebih mantap.”
Ayah dan putrinya saling pandang. Fitriyyah merasa dadanya bergejolak. Ia tahu. Ia sudah menemukan calon pendamping yang tepat.
Tapi sang ayah tidak mau menerima pinangan itu begitu saja. Ia berkata, “Kalau kamu mau mempelajari islam, kenapa harus dengan cara menikah? Kenapa tidak belajar pada para pemuka saja? Saya sendiri bersedia kok mengajarimu islam sebatas kemampuan saya.”

Pemuda itu tersipu malu. Akhirnya ia berkata, “Baiklah, Bapak. Kalau memang pernikahan bukan jalan satu-satunya untuk mendekatkan diri kepada Allah, saya akan ikuti saran anda. Saya akan belajar islam pada anda. Tanpa iming-iming ingin menikahi putri anda. Bukankah saya harus ikhlas dan tanpa pamrih untuk tujuan meningkatkan keimanan?”

Ayah sang gadis mengangguk-angguk tanda setuju. Diam-diam ia salut kepada pemuda yang teguh hatinya itu. Pertama, dia mau bersusah payah menikahi seorang gadis yang dilihatnya buruk rupa. Kedua, dia mau melepaskan niat menikahnya itu. Semua ini dilakukan hanya untuk satu tujuan mulia, yakni belajar tentang ilmu agama.
Maka keluarga itu menerima kedatangan sang pemuda bernama Amiruddin itu beserta rombongannya, dengan sukacita. Dengan tangan terbuka dan menggunakan cara yang halus, ayah sang gadis mulai mengajarkan islam kepada mereka selama beberapa hari. Setelah tujuh hari membekali mereka dengan bimbingan syahadat, sholat, zakat, puasa, mengkaji alqur’an, ayah sang gadis merasa puas. Amiruddin sangat cerdas dan semua ilmu yang diberikan mampu diserapnya dengan baik.

Akhirnya kunjungan itu harus berakhir. Amiruddin dan rombongannya berpamitan untuk kembali ke kampung mereka untuk mengamalkan ajaran islam. Beberapa bulan kemudian, tersiar kabar bahwa sekarang Amiruddin telah memiliki pengikut yang cukup banyak. Sejak mensyi’arkan islam di kampungnya, orang-orang berbondong-bondong masuk islam secara sukarela dan sukacita. Ini karena selain Amiruddin termasuk putra seorang pemuka di daerahnya, pemuda itu juga dikenal memiliki kemampuan persuasif yang sangat baik. Ia pandai merangkai kata, membangkitkan semangat, dan yang terpenting selalu mengimbangi segala ucapannya dengan perbuatan yang baik.

Ayah sang gadis merasa gembira mendengar kabar itu. Ia pun segera mendatangi Amiruddin dengan membawa serta putrinya Fitriyyah.

“Wahai pemuda,” ujar ayah sang gadis setelah berhadapan dengan Amiruddin. “Dulu kamu menginginkan pernikahan dengan putriku. Tapi aku menolaknya karena masih ragu dengan niatmu. Kini aku sudah tahu bahwa kamu mencintai putriku dengan tulus ikhlas karena Allah. Karenanya sekarang aku datang kemari, bersama putriku, dan berharap kamu menerimanya jadi istrimu.”

Amiruddin tersenyum gembira. Ia berkata, “Maha Suci Allah yang telah memberikan jodoh bagi saya untuk semakin memperkuat keimanan saya dan memperkaya ladang amal ibadah saya. Tentu saja, insya Allah, saya akan menikahi putri anda secepatnya.”
Ayah sang gadis mengucap hamdalah atas penerimaan itu. Ia segera menyingkap cadar yang menutupi wajah putrinya sambil berkata, “Inilah calon istrimu itu, Amiruddin. Kalian akan menjadi pasangan yang serasi dan diridhoi Allah.”

Amiruddin terpaku menatap wajah cantik gadis itu. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Lalu memalingkan muka dan mengucap istighfar dengan pelan.

“Kenapa memalingkan muka seperti itu, wahai pemuda?” tanya sang ayah dengan kaget sekaligus tersinggung melihat reaksi pemuda di hadapannya. “Tidakkah putriku ini gadis yang sangat cantik?”

Amiruddin berkata pelan. “Tidak, Bapak. Putri anda, tentu saja sangat cantik. Dia wanita tercantik yang pernah saya lihat. Akan tetapi, maafkan saya. Sejak awal saya sudah mencintai gadis lain. Saya mencintai Fitriyyah, putri anda yang satunya.”
Ayah dan anak saling pandang dalam kebingungan. Lalu sesaat kemudian mereka mengerti masalahnya dan tertawa.

Fitriyyah segera mengeluarkan topeng yang sudah dipersiapkannya. Dalam sekejap ia sudah berganti wajah menjadi gadis yang buruk rupa.

Amiruddin menghela nafasnya. Sebuah kegembiraan melingkupi hatinya. Ia segera berkata, “Nah, Bapak, maukah anda menikahkan kami sekarang juga?”

Hmm…dongeng yang indah, bukan? Tapi seperti kukatakan di awal cerita, ini bukan dongeng. Ini fiksi. Kisah cinta khayalan yang terukir di benakku manakala kulihat dunia nyata berisi cowok-cowok naïf yang mengukur cinta cuma dari penampilan…

Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS