Wednesday, December 8, 2010

Gaun Vintage Merah Muda

Cerpen Remaja: Elie Mulyadi




Aku menyapukan sedikit blush on di kedua pipiku yang pucat. Kemudian lipstik warna transparan di bibirku yang kering akibat dinginnya AC. Kuraih majalah remaja yang terletak di meja, kubuka-buka sebentar, lalu kuletakkan kembali dengan bosan. Mataku terus menerus menatap keluar, kemudian ke jam digital yang tertera di cash register. Ah, sudah jam 5 sore, belum ada satu pun pembeli datang. Apa tutup aja ya, batinku bimbang. Besok pagi ada ulangan Trigonometri, aku belum belajar sama sekali. Dan hari ini, tokoku sepi sekali, tak ada pemasukan. Tadi siang sebetulnya ada beberapa pengunjung, mereka antusias mengacak-acak koleksi baju-bajuku, memporak porandakan isi tokoku, dan berakhir dengan say goodbye manis tanda terima kasih – tanpa membeli satu pun. Wuaaa, sudah seminggu toko ini beroperasi, belum juga tampak tanda-tanda akan ada pelanggan setia. Kalau tiap hari begini sih kayaknya mendingan menyerah aja deh jadi pengusaha.

Sebetulnya toko ini bisa disebutmy dream coming true. Akulah yang mengerjakan semuanya, dari tidak ada menjadi ada. Aku yang menentukan desain tokonya, juga warna-warna cat dindingnya: perpaduan pink, hijau, kuning, dan biru muda – my favourite playful colors. Aku juga yang menentukan koleksinya: busana-busana vintage indah buatan perancang terkenal dan baju-baju lucu buatan Korea yang sedang trend – perpaduan antara klasik dan modern.

Toko ini berdiri gara-gara aku gila fashion. Mama sangat khawatir aku menjadi Imelda Marcos yang membuang kas negara demi 10.000 pasang sepatu. “Ck ck ck, Mama bisa bangkrut deh kalau kamu terus gila belanja kayak gitu,” ujar Mama, marah sekaligus kaget saat menginvestigasi lemariku yang sudah overloaded dengan puluhan pasang sepatu cantik buatan Giuseppe Zannoti, yang sebagian kubeli lewat eBay, sebagian lagi kucari di Pacific Place.

Itu baru lemari yang satu. Saat membuka lemari yang kedua, tumpahlah semua baju-baju lucu hasil hunting-ku ke Majestik dan Mangga Dua. Kedua mata Mama terbelalak, dan makin melotot saat membuka lemari yang ketiga: tas-tas dan dompet buatan desainer terkenal menumpuk dengan centil di sana.

“Valentino...Lanvin...Bottega Venetta,” Mama membaca satu per satu merk tas-tas itu.

“Ma, itu nggak original kok, cuma KW,” aku membela diri.

Mama membalikan badannya, menghadapku. Tatapannya setajam elang. “Oh jadi begitu cara kamu menghabiskan kartu kredit Mama?”

Aku tak berkutik. Seperti napi yang menunggu eksekusi.

“Baiklah kalau kamu sangat suka belanja. Mama beri tantangan buat kamu.”

Tiga hari kemudian, Mama menutup salah satu restorannya yang terletak di kompleks perumahan elit yang agak sepi. “Ruko ini akan jadi toko busanamu. Kamu yang akan merintis dan mengelolanya. Buktikan kalau kamu nggak hanya suka belanja, tapi juga bisa menghasilkan uang darinya.”

Mama seorang wanita yang tegas, jadi aku tak bisa menolaknya. Lagipula, hey, punya toko busana sendiri di mana kamulah yang menentukan semuanya termasuk koleksi-koleksinya, itu hal yang diimpikan semua orang kan? Aku benar-benar antusias dengan toko baruku. Belanja habis-habisan buat memenuhi pajangan tokoku. Menyebar iklan di poster-poster dan facebook. Mengundang teman-teman saat acara gunting pitanya. Wah, bahagia sekali jadi pengusaha selagi muda. Umurku baru 18 tahun, tapi rasanya telah memiliki dunia. Horeee....

Lalu di sinilah aku. Seminggu sejak peresmian “Monique Collection”. Berbagi keluh kesah dengan Sajna, staf freelance-ku yang bertugas jaga toko terutama saat aku sedang ada jam kuliah. Kalau Sajna sedang tak ada, seperti saat ini, aku hanya duduk bosan menunggu pembeli yang tak kunjung datang. Wuih, ternyata jualan tak seasyik belanjanya ya. Maybe I was not born to be a money maker, just to be a spender one. Rasanya dunia menertawakanku. “Hahaha, ternyata selera fashion-mu nggak sekeren itu, buktinya nggak ada satupun yang mau beli hahaha.”

DIAM! Aku membentak boneka manekin yang seakan mengejekku. “Kau bilang apa? Koleksi sepatu Christian Louboutin-ku nggak keren? Awas ya!” Kulempar majalah ke wajah manekin itu. Untunglah sebelum perang bodoh itu berlanjut, pintu kaca terbuka. Sepasang manusia masuk. Secepat kilat kuubah tampang beteku dengan senyum sapa yang paling cerah. “Hai selamat sore.”

Si cewek, yang kutaksir usianya tak jauh beda denganku, tersenyum. Lalu dengan penuh semangat ia melihat-lihat di bagian koleksi busana Korea.

Sementara si cowok, yang kurasa umurnya sepuluh tahun lebih tua, duduk di sofa jari, sibuk dengan BlackBerry.

Kuperhatikan mereka berdua. Tampaknya sih pasangan kekasih, tapi rasanya kurang serasi. Si cewek bertubuh mungil, begitu lembut dan cantik dengan rambut sebahu dan kulit warna olive. Sementara si cowok, dengan tinggi badan menjulang dan bahu lebar, wajahnya tampak ‘sangar’. Usia mereka yang terpaut jauh makin memperlebar ketidak serasian itu. Hanya penilaianku sih, tapi kurasa si cowok tipe mendominasi. Aku jadi langsung teringat tanteku yang menikah dengan tipe cowok seperti itu. Setiap hari dia dikekang, dipukuli, hanya karena si cowok merasa berkuasa dan punya uang. Yah, semoga yang ini tidak.

Hampir sepuluh menit si cewek menjelajah di bagian baju-baju Korea. Tampaknya belum ada satupun yang menarik hati. Lalu ia pindah ke bagian baju-baju vintage. Dan tatapannya langsung berbinar saat tangannya menyentuh sebuah gaun berwarna pink dengan aksen biru muda di bagian pinggang. “O my god, ini cantik sekali!” ia berseru. Lalu menoleh ke arah cowoknya yang sedang sibuk bbm-an atau apa.

“Lihat, menurutmu, ini bagus kan?”

Si cowok melirik ke arah gaun itu tanpa minat. “Nggak bagus,” lalu ia kembali sibuk dengan BlackBerry-nya. Wuih, aku jadi sebal. Tipe cowok yang nggak bisa act sensibly.

Si cewek menggigit bibir, tampak kecewa. Tapi ia tak kuasa untuk meninggalkan gaun itu. Ia menoleh kepada kekasihnya lagi. “Tapi boleh kan kucoba dulu?”
Dengan tampang bete si cowok menggumam, “Ya udah kalau kamu maksa. Tapi gaun itu terlalu ngejreng, tau.”

Hah, gaun selembut itu dibilang ngejreng? Dasar cowok buta warna, pikirku dengan kesal.

Si cewek menatap ke arahku dengan pandangan sedikit memohon. “Please, aku coba ya.” Aku tersenyum dan segera mengeluarkan gaun itu dari gantungannya. Kupersilakan ia menuju fitting room.

Semenit kemudian, sebuah pemandangan menakjubkan hadir di depanku. Cewek itu berdiri dengan gaun merah muda itu, tampak begitu cantik dan feminin. Ah, warna pink dan biru sangat cocok untuk warna kulitnya. Ikat pinggang biru muda membuat pinggangnya tampak langsing dan indah. “Gimana? Aku seperti Katy Perry kan?” tanyanya padaku. “It’s perfect,” jawabku sungguh-sungguh. “Katy Perry aja kalah.” Dia semakin berbinar.

“Berapa harganya?” si cewek bertanya sambil menatap dirinya di depan cermin. Menatap pantulan gaun itu dengan perasaan mendamba.

“899 ribu,” ujarku setelah melihat label harga di bagian kerahnya.

Kemudian si cewek menoleh ke arah kekasihnya. “Honey gimana? Aku mau banget gaun ini. Harga segitu nggak mahal kan?”

Si cowok memberengut. “Bukan masalah harga. Aku bilang itu terlalu ngejreng. Jamuan nanti malam kan formal, gaun itu nggak akan cocok.”

Tapi gaun itu cocok banget untuknya, bodoh! Pikirku gemas. Soalnya susah mencari gaun yang pas banget seperti itu, yang bikin si pemakainya tampak sejuta kali lebih bersinar.

Si cowok tiba-tiba berdiri lalu menunjuk dengan asal sebuah gaun warna hitam selutut berpotongan lebar di bagian bahu. “Yang ini saja, warna hitam bikin kamu kelihatan smart, juga seksi,” katanya.

Si cewek tampak merinding melihat gaun yang ditunjuk kekasihnya. “I hate black,” gumamnya. Tapi si cowok tak peduli, ia bertanya padaku tentang harganya.

“Oh cuma 299 ribu,” ujarku sambil melihat label harga.

Try this,” si cowok memaksa kekasihnya untuk melepas gaun idamannya dan mencoba gaun hitam itu. Ini melanggar HAM, batinku, ikut geram kepada sikap mendominasi cowok itu. Huh, mentang-mentang dia yang punya uang, semuanya dia yang harus memutuskan! Aku berdoa semoga bila punya cowok nanti jangan sampai yang seperti dia.

Akhirnya dengan wajah kecewa, si cewek mencoba gaun hitam itu. Cantik sih, tapi tidak sekemilau yang tadi. Tidak mau berlama-lama, si cowok segera membayar gaun hitam itu dengan kartu kredit dan menarik tangan kekasihnya untuk pulang.

Yah, aku tak bisa berbuat apa-apa. Meski dalam hati menyayangkan gaun itu tak jadi dibeli. Mungkin gaun vintage merah muda itu bukan jodohnya. Meskipun yah, kurasa takkan ada cewek lain yang akan lebih bersinar dibanding cewek itu saat memakainya. Aku cuma bisa say goodbye dan berdoa supaya cewek itu bisa pasrah menerima keadaan dan melupakan gaun impiannya. Salah sendiri mau-maunya punya cowok bertabiat jelek seperti itu.

Huah, gimana ya kalau aku punya cowok seperti itu? Dalam soal memilih baju aja dikekang, gimana dalam urusan lainnya? Pasti deh hubungan nggak akan nyaman, dan nggak akan langgeng. Kecuali yah, bila si cewek tipe pasrah. Ah, sudahlah.

Aku kembali duduk melamun dan mencoba tak memikirkan cewek itu lagi. Lagipula dia kan cuma pembeli selintas yang kuyakin takkan pernah kembali lagi ke tokoku. Jadi aku sangat terkejut ketika lima hari kemudian, cewek itu datang lagi. Kali ini dia sendirian, tanpa ditemani kekasihnya yang nyebelin itu.

“Hai, gaun vintage pink itu masih ada kan?” dia bertanya dengan wajah berseri-seri, sadar betul kalau aku masih mengenalnya.

“Tentu,” ujarku, lalu mengeluarkan gaun yang dimaksud.

Wajahnya bersinar. Ada rasa percaya diri yang tak kulihat sebelumnya. Ia segera mengeluarkan kartu kredit-nya. “Kuambil,” katanya.

Dalam hitungan menit, gaun vintage merah muda itu menjadi miliknya. Ia berterima kasih padaku dan keluar dari toko dengan ekspresi berbunga-bunga.

Aku tidak tahu perubahan apa yang telah terjadi pada diri cewek itu. Tepatnya, pada hubungannya dengan kekasihnya. Seakan-akan kabut kelam telah berlalu, seakan-akan cewek itu baru saja bebas dari belenggu. Mungkin ia telah berhasil memutuskan hubungan dengan kekasihnya, yang selama ini tidak berani dilakukannya. Mungkin dengan cara halus: ia diam-diam pergi dari kekasihnya sambil tak lupa mencuri kartu kreditnya. Atau mungkin dengan cara kasar.........

“Kau lihat gadis berambut sebahu tadi?” tiba-tiba seorang wanita menghambur masuk ke tokoku. “Dia beli baju di sini?”

“G-gadis yang itu?” aku terkaget. “Ya, dia beli gaun vintage merah muda. Tapi dia sudah pergi, nggak tahu kemana.”

Wanita itu meremas rambutnya. “Astaga. Kau tahu? Tunangannya meninggal tadi pagi, dan dia malah asyik belanja sekarang.” Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Aku ibu tunangannya. Kurasa saat aku pergi, putraku terserang asma saat mau berenang. Kurasa gadis itu mendorongnya ke kolam, lalu mencuri semua kartu kreditnya dan pergi.”

Mataku membelalak tak percaya.

“Kau boleh tak percaya, tapi begitulah nyatanya,” wanita itu pergi dari tokoku dengan tampang sedih dan kecewa.

Ya, Tuhan...tokoku boleh sepi. Tapi sekalinya ada pembeli, sungguh tidak biasa....dia ‘pembeli istimewa’.

Yah, kurasa akan kututup saja toko ini, dan aku kapok jadi si gila belanja lagi!

Copyright@2010 by BWS, dilarang mencopy tulisan tanpa izin tertulis dari BWS