Akhirnya terbit kembali
Koleksi cerpen remaja karya para siswa BWS
Dunia remaja selalu penuh dengan kisah cinta, persahabatan, keluarga. Ada yang manis, romantis, komedi, tragis – semua terangkum dalam koleksi 15 cerpen buah karya para penulis remaja dari Bookfrenz Writing School (BWS) ini. Baca selengkapnya disini
Tuesday, March 29, 2011
Friday, March 11, 2011
12 Pertanyaan Terkait Antologi Cerpen BWS
"Apa? Hasil karya lomba cerpen BWS mau dibukukan?"
"Karya saya dimuat nggak?"
"Kalau nggak dimuat, ngapain beli bukunya!"
Ketika pertama kali mengumumkan antologi hasil lomba cerpen BWS akan segera terbit pada 29 Maret, kami kebanjiran pertanyaan. Baik via email, sms, maupun telepon. Baik yang bernada gembira, penasaran, maupun marah. Semua berusaha kami tampung. Bila pun ada yang terlewat, mohon maaf karena pertanyaan yang masuk begitu banyak.
Oleh sebab itu, untuk memudahkan kita semua, berikut ini kami sajikan daftar 12 pertanyaan yang sering muncul (FAQ). Silakan dibaca selengkapnya sebelum mengajukan pertanyaan ke redaksi BWS.
P1: Saya mendapat kabar dari BWS tentang rencana terbitnya antologi cerpen. Apakah itu berarti karya saya dimuat dalam antologi tersebut?
J: Tidak. Kami menginformasikan rencana terbitnya buku ini kepada SEMUA peserta lomba. Akan tetapi tidak semua karya dimuat. Hanya 15 karya terpilih saja yang masuk dalam antologi ini.
P2: Saya mendapat sms dari BWS, tapi teman saya nggak –padahal dia juga peserta lomba.
Apakah itu berarti karya saya dimuat dan dia tidak?
J: Tidak. Kami berusaha menyebarkan berita kepada semua peserta. Teman anda tidak mendapat sms karena mungkin nomor hp-nya tidak sesuai dengan yang ditulis dalam formulir lomba.
P3: Karya saya nggak menang, jadi nggak mungkin dimuat, kan?
J: Belum tentu. Dalam antologi ini dimuat 15 cerpen, 5 cerpen pemenang dan 10 cerpen pilihan (tidak menang tapi layak muat). Meski tidak menang, karya anda bisa saja termasuk yang 10 itu.
P4: Kenapa BWS tidak segera memberitahukan karya siapa saja yang dimuat? BWS gak profesional!
BWS adalah lembaga nonprofit yang berkomitmen penuh untuk memajukan para penulis di Indonesia. Kami mempunyai prosedur tersendiri dalam membuat keputusan-keputusan terkait even yang kami adakan. Bilapun ada sedikit keterlambatan pengumuman, itu karena masalah teknis saja. Jadi ini sama sekali TIDAK ada hubungannya dengan profesionalitas.
P5: Karya saya belum tentu dimuat, kenapa harus beli buku tersebut?
J: Anda TIDAK HARUS membeli buku tersebut. Tetapi bila anda ingin (lebih) sukses dalam menulis kreatif, buku ini memang “wajib punya.” Kami menyusun antologi ini dengan tujuan agar para peserta lomba dapat membaca karya terpilih dan belajar darinya. Sehingga nanti tidak akan ada pemikiran, “kok cerpen saya nggak menang sih?” atau “kok cerpen saya nggak dimuat sih?” Dengan membaca buku ini, diharapkan kita semua dapat berkarya lebih baik lagi di masa mendatang.
P6: Kalau karya saya dimuat, apakah harus tetap beli bukunya?
J: Sekali lagi anda TIDAK HARUS membeli. Buku ini dicetak terbatas, dan hanya ditujukan bagi mereka yang berminat serius untuk berkarya dan menambah wawasan. Terutama bagi anda yang ingin mengikuti “Lomba Cerpen BWS 2011”, buku ini wajib punya karena di dalamnya terdapat “Formulir beserta Nomor Urut Pendaftaran”.
P7: Lalu, karya siapa saja yang dimuat dalam antologi tersebut?
J: Pertanyaan ini paling sering muncul. Terima kasih sudah bersabar menunggu jawabannya. Karena kita tidak akan menjadi penulis SUKSES bila tidak punya modal KESABARAN!
Untuk mengetahui karya siapa saja yang masuk, silakan download di sini. Kalau sudah bisa, bukalah dokumen bagian Daftar Isi (halaman 6).
P8: Apakah karya yang dimuat akan mendapat royalti?
J: Tidak. Buku ini tidak dijual bebas di pasaran sehingga para penulis tidak akan mendapat royalti penjualan. Untuk insentif, kami telah menyediakan hadiah bagi 5 karya pemenang sesuai yang tertera pada pengumuman. Sedangkan untuk 10 karya yang tidak menang namun dimuat dalam antologi, kami menyediakan honor dalam bentuk bingkisan/paket buku Teenlit dan Chicklit keluaran penerbit yang berafiliasi dengan BWS. (Untuk lebih jelas silakan hubungi kami via email: bws.writing@gmail.com )
P9: Saya tertarik dengan antologi BWS. Gimana cara pesannya? Dan apakah ada diskon?
J: Untuk memesan buku BWS, silakan baca prosedurnya di sini. Kami memberikan diskon 10% hanya kepada mereka yang memesan dan mentransfer sebelum tanggal 15 Maret.
P10: Ingin pesan buku via transfer bank, tapi takutnya nanti paket tidak sampai. Gimana dong?
J: Kami menjamin barang akan sampai ke tempat anda bila alamat yang diberikan jelas. Kecuali bila ada masalah di bagian kurir (TIKI), maka kami akan membantu agar paket tetap sampai dengan memberikan bukti nomor resi. Bila anda ingin lebih aman, silakan memesan langsung buku ke kantor BWS. Alamat: Jl. Nusantara Raya No 161 Kota Depok 16432, Telp 021 7522370.
P11: Terima kasih BWS sudah memberi kesempatan untuk berkarya. Kapan akan mengadakan lomba lagi?
J: Kami akan mengadakan Lomba Cerpen BWS 2011 insya Allah pada bulan Oktober mendatang. Bagi yang sudah membeli buku antologi, anda akan mendapat formulir dan Nomor Urut Pendaftaran (NUP) di halaman terakhir buku. Silakan email NUP tersebut ke: bws.writing@gmail.com agar kami bisa memberikan formulir dalam bentuk soft copy (file .doc).
P12: Saya dengar lomba cerpen mendatang hadiah utamanya “Wisata Menulis ke China”. Kok hadiahnya keluar negeri melulu? BWS punya dana besar dari mana?
J: Kami tidak punya dana besar. Kami hanya lembaga independen yang terdiri atas segelintir orang yang peduli pada kemajuan para penulis di Indonesia. Setelah lama berkeliling ke daerah, kami tahu betapa besar potensi orang Indonesia (terutama remaja) dalam menulis. Ajang ini dibuat untuk memacu supaya kreativitas penulis dan calon penulis di berbagai pelosok Indonesia semakin maju, sebagai bagian dari “Gerakan Cinta Menulis Cerita Inspiratif untuk Indonesia yang Lebih Baik” (GMCI). Doakan saja agar kami tetap eksis.
"Karya saya dimuat nggak?"
"Kalau nggak dimuat, ngapain beli bukunya!"
Ketika pertama kali mengumumkan antologi hasil lomba cerpen BWS akan segera terbit pada 29 Maret, kami kebanjiran pertanyaan. Baik via email, sms, maupun telepon. Baik yang bernada gembira, penasaran, maupun marah. Semua berusaha kami tampung. Bila pun ada yang terlewat, mohon maaf karena pertanyaan yang masuk begitu banyak.
Oleh sebab itu, untuk memudahkan kita semua, berikut ini kami sajikan daftar 12 pertanyaan yang sering muncul (FAQ). Silakan dibaca selengkapnya sebelum mengajukan pertanyaan ke redaksi BWS.
P1: Saya mendapat kabar dari BWS tentang rencana terbitnya antologi cerpen. Apakah itu berarti karya saya dimuat dalam antologi tersebut?
J: Tidak. Kami menginformasikan rencana terbitnya buku ini kepada SEMUA peserta lomba. Akan tetapi tidak semua karya dimuat. Hanya 15 karya terpilih saja yang masuk dalam antologi ini.
P2: Saya mendapat sms dari BWS, tapi teman saya nggak –padahal dia juga peserta lomba.
Apakah itu berarti karya saya dimuat dan dia tidak?
J: Tidak. Kami berusaha menyebarkan berita kepada semua peserta. Teman anda tidak mendapat sms karena mungkin nomor hp-nya tidak sesuai dengan yang ditulis dalam formulir lomba.
P3: Karya saya nggak menang, jadi nggak mungkin dimuat, kan?
J: Belum tentu. Dalam antologi ini dimuat 15 cerpen, 5 cerpen pemenang dan 10 cerpen pilihan (tidak menang tapi layak muat). Meski tidak menang, karya anda bisa saja termasuk yang 10 itu.
P4: Kenapa BWS tidak segera memberitahukan karya siapa saja yang dimuat? BWS gak profesional!
BWS adalah lembaga nonprofit yang berkomitmen penuh untuk memajukan para penulis di Indonesia. Kami mempunyai prosedur tersendiri dalam membuat keputusan-keputusan terkait even yang kami adakan. Bilapun ada sedikit keterlambatan pengumuman, itu karena masalah teknis saja. Jadi ini sama sekali TIDAK ada hubungannya dengan profesionalitas.
P5: Karya saya belum tentu dimuat, kenapa harus beli buku tersebut?
J: Anda TIDAK HARUS membeli buku tersebut. Tetapi bila anda ingin (lebih) sukses dalam menulis kreatif, buku ini memang “wajib punya.” Kami menyusun antologi ini dengan tujuan agar para peserta lomba dapat membaca karya terpilih dan belajar darinya. Sehingga nanti tidak akan ada pemikiran, “kok cerpen saya nggak menang sih?” atau “kok cerpen saya nggak dimuat sih?” Dengan membaca buku ini, diharapkan kita semua dapat berkarya lebih baik lagi di masa mendatang.
P6: Kalau karya saya dimuat, apakah harus tetap beli bukunya?
J: Sekali lagi anda TIDAK HARUS membeli. Buku ini dicetak terbatas, dan hanya ditujukan bagi mereka yang berminat serius untuk berkarya dan menambah wawasan. Terutama bagi anda yang ingin mengikuti “Lomba Cerpen BWS 2011”, buku ini wajib punya karena di dalamnya terdapat “Formulir beserta Nomor Urut Pendaftaran”.
P7: Lalu, karya siapa saja yang dimuat dalam antologi tersebut?
J: Pertanyaan ini paling sering muncul. Terima kasih sudah bersabar menunggu jawabannya. Karena kita tidak akan menjadi penulis SUKSES bila tidak punya modal KESABARAN!
Untuk mengetahui karya siapa saja yang masuk, silakan download di sini. Kalau sudah bisa, bukalah dokumen bagian Daftar Isi (halaman 6).
P8: Apakah karya yang dimuat akan mendapat royalti?
J: Tidak. Buku ini tidak dijual bebas di pasaran sehingga para penulis tidak akan mendapat royalti penjualan. Untuk insentif, kami telah menyediakan hadiah bagi 5 karya pemenang sesuai yang tertera pada pengumuman. Sedangkan untuk 10 karya yang tidak menang namun dimuat dalam antologi, kami menyediakan honor dalam bentuk bingkisan/paket buku Teenlit dan Chicklit keluaran penerbit yang berafiliasi dengan BWS. (Untuk lebih jelas silakan hubungi kami via email: bws.writing@gmail.com )
P9: Saya tertarik dengan antologi BWS. Gimana cara pesannya? Dan apakah ada diskon?
J: Untuk memesan buku BWS, silakan baca prosedurnya di sini. Kami memberikan diskon 10% hanya kepada mereka yang memesan dan mentransfer sebelum tanggal 15 Maret.
P10: Ingin pesan buku via transfer bank, tapi takutnya nanti paket tidak sampai. Gimana dong?
J: Kami menjamin barang akan sampai ke tempat anda bila alamat yang diberikan jelas. Kecuali bila ada masalah di bagian kurir (TIKI), maka kami akan membantu agar paket tetap sampai dengan memberikan bukti nomor resi. Bila anda ingin lebih aman, silakan memesan langsung buku ke kantor BWS. Alamat: Jl. Nusantara Raya No 161 Kota Depok 16432, Telp 021 7522370.
P11: Terima kasih BWS sudah memberi kesempatan untuk berkarya. Kapan akan mengadakan lomba lagi?
J: Kami akan mengadakan Lomba Cerpen BWS 2011 insya Allah pada bulan Oktober mendatang. Bagi yang sudah membeli buku antologi, anda akan mendapat formulir dan Nomor Urut Pendaftaran (NUP) di halaman terakhir buku. Silakan email NUP tersebut ke: bws.writing@gmail.com agar kami bisa memberikan formulir dalam bentuk soft copy (file .doc).
P12: Saya dengar lomba cerpen mendatang hadiah utamanya “Wisata Menulis ke China”. Kok hadiahnya keluar negeri melulu? BWS punya dana besar dari mana?
J: Kami tidak punya dana besar. Kami hanya lembaga independen yang terdiri atas segelintir orang yang peduli pada kemajuan para penulis di Indonesia. Setelah lama berkeliling ke daerah, kami tahu betapa besar potensi orang Indonesia (terutama remaja) dalam menulis. Ajang ini dibuat untuk memacu supaya kreativitas penulis dan calon penulis di berbagai pelosok Indonesia semakin maju, sebagai bagian dari “Gerakan Cinta Menulis Cerita Inspiratif untuk Indonesia yang Lebih Baik” (GMCI). Doakan saja agar kami tetap eksis.
Monday, March 7, 2011
Segera Terbit! Buku Antologi Hasil Lomba Cerpen BWS 2010!
Buku Kumpulan Cerpen Cinta Hasil Lomba Cerpen BWS 2010 akan segera terbit 29 Maret ini!
Ada 15 cerpen yang dimuat dalam buku ini. Yaitu 5 Karya Pemenang dan 10 Karya Pilihan (tidak menang tapi layak muat). Apakah karya Anda termasuk yang dimuat? Tentunya penasaran, kan?
Di dalam buku ini juga terdapat formulir Lomba Cerpen BWS 2011 dengan hadiah utama yang lebih heboh yaitu "Wisata Menulis Ke Negeri China". Info lengkapnya ada di dalam buku ini.
Jadi kenapa masih bingung,yuk rame-rame pesan buku ini sekarang juga. Karena edisi ini dicetak terbatas hanya untuk 100 (seratus) pembeli pertama.
Untuk info lengkap dan sinopsis buku ini klik di sini!
Sunday, February 20, 2011
Sparkling with Blogging
Berlibur di kota Garut yang asri sambil mengadakan pelatihan blogging untuk siswa-siswa baru BWS, siapa yang tak mau? Melihat para remaja yang penuh semangat, bercita-cita menjadi penulis berbakat, wah...liburan terasa mengasyikkan.
Seperti kita tahu, remaja garut memang penuh antusiasme. Ingat kan, buku-buku karya siswa BWS kebanyakan ditulis oleh mereka yang berasal dari Garut. Contohnya adalah Ranti Eka Pratiwi, yang telah menerbitkan novel "Blind Date Pinky" di usia 15 (sekarang sudah 17 tahun). Remaja berjilbab ini ikut serta hadir dalam pelatihan menulis via blog ini, dan memberikan semangat kepada siswa-siswa baru BWS.
Pelatihan setengah hari ini terdiri atas dua sesi, yaitu sesi motivasi yang disampaikan oleh penulis sekaligus founder BWS, Teh Elie (Elie Mulyadi), dan kemudian sesi kedua berupa praktek dibantu oleh Hyla Lia Zakia (sekretaris redaksi BWS) yang kebetulan ikut berlibur ke Garut juga. Nah, yang pasti acara ini heboh banget. Dan pastinya Teh Ella (Lela Susilawaty Sy) sebagai direktur BWS wilayah Bandung dan sekitarnya senang banget. Apalagi di akhir sesi para siswa diberi tantangan oleh Teh Elie untuk membuat blog sebagus mungkin, dan Juli nanti akan dinilai untuk menentukan blog terbaik yang akan memenangkan hadiah istimewa berupa paket novel remaja yang keren. Wuihh, asyik kan?
Sayangnya, banyak siswa angkatan baru ini tidak bisa hadir karena sakit atau hal lain. Dan juga sayang, para siswa ini semuanya perempuan, padahal angkatan sebelumnya banyak siswa laki-laki yang keren-keren (malah beberapa diantaranya berhasil memenangkan kompetisi Jajaka segala). Tidak apa-apa, laki-laki perempuan sama saja, yang penting semangatnya kan? Terus berkarya! (Teks: Hyla)
Wednesday, February 16, 2011
Cerpen Pemenang Lomba
Mulai edisi ini BWS akan memuat karya-karya pemenang Lomba Cerpen BWS 2010, satu cerpen setiap bulannya. Karya yang tidak menang namun memenuhi syarat akan dimuat setelahnya. Bagi karya yang tidak menang namun dimuat, honor akan diberikan paling lambat 1 bulan setelah dimuat di blog ini.
"Liburan Istimewa"
Karya: Pritha Khalida
(Pemenang 5 Lomba Cerpen BWS 2010)
“All my bags are packed, I’m ready to go…”
Rasanya aku enggak mau berhenti menyanyikan lagu itu. Pasalnya weekend kali ini kakakku-Bang Dion mengajak berlibur ke Sukabumi. Dia baru dapat doorprize saat perayaan ulangtahun kantornya. Tebak dapat apa? Paket menginap di salah satu hotel di Sukabumi! Yuhuu, whadda wonderful holiday! Nah berhubung kamar hotel yang disediakan cuma satu, otomatis mama dan papa tidak mengizinkan Bang Dion mengajak serta pacarnya. Hihi, jadi lah aku yang ikut menikmati rezeki nomplok ini. Senangnya…
Kami pergi hari jumat sore sepulang Bang Dion dari kantor. Syukurlah sore itu masih ada bis menuju Sukabumi yang berangkat dari terminal Lebak Bulus. Kondekturnya bilang, itu bus terakhir. Ah kalau sudah rezeki memang enggak kemana.
“Bangunkan aku kalau sudah sampai ya, Bang?” pintaku pada Bang Dion, yang dijawab dengan anggukan pelan. Matanya sudah sayup-sayup. Ah, percuma mengandalkannya.
Sepertinya kami berdua akan tertidur pulas dalam perjalanan menuju Sukabumi kali ini.
Jam 9 malam kami tiba di terminal Sukabumi. Untuk menuju hotel, masih harus naik angkutan umum berwarna merah. Brrr…dinginnya! Untung aku tak lupa mengenakan sweater kuning andalanku. Hmm, akhirnya sweater pemberian tante Ita ini terpakai juga. Lama ia hanya mendekam di lemari. Habis, mau dipakai kapan? Jakarta kan selalu panas.
Woow, keren sekali hotelnya! Lampu kerlap-kerlip yang disusun berbentuk bunga dan binatang-binatang kecil memberi kesan mewah pada hotel berdesain khas pedesaan ini. Ornamen kayu mendominasi sebagian besar bangunan hotel, dengan beberapa saung di bagian samping. Sepertinya itu restorannya. Ah,malam ini aku harus tidur nyenyak supaya tak kehabisan tenaga untuk menikmati sejuknya kota Sukabumi besok dan lusa.
“Halo…”
“Jeni! Kamu pasti masih tidur! Ayo banguuun pemalas!” suara cempreng Tatia mengejutkanku. Hingga sempat aku berpikir jangan-jangan sahabatku yang satu ini bukan berbicara di telepon tapi membuntutiku sampai ke Sukabumi!
“Tia, ini kan liburan.” Elakku.
“Iya tapi kan liburan ini kamu punya misi. Ingat enggak?”
Misi? Apaan yaa? Syarafku mulai dipaksa untuk mengingat, dan… Ah iya!
“Sudah ingat? Atau perlu aku…”
“Enggak perlu! Memoriku enggak seburuk yang kau bayangkan, tau!”
“Sip deh kalau begitu. Kabari aku kalau kamu sudah dapat pangerannya ya! Bye Jeni, mmuaaah!”
Klik!
Aaargh, rencana konyol itu! Aku hampir saja lupa! Oke mari kujelaskan. Sebentar lagi aku akan berulang tahun yang ke-17. Nah beberapa sahabatku memberikan tantangan apakah aku bisa mempunyai pacar di usia istimewaku tersebut? Jika aku berhasil, maka tidak akan ada ritual ceplok telur di kepala atau menceburkanku ke kolam di belakang sekolah, seperti yang dilakukan dengan semena-mena terhadap Ratih sahabatku sebulan yang lalu. Tapi masalahnya, cari pacar itu kan enggak segampang makan kacang! Sial…sial…sial… Apa sih pentingnya untuk punya pacar di usia tujuh belas?
Hari pertama di Sukabumi, aku dan Bang Dion sepakat untuk sarapan di teras kamar saja. Udara yang dingin membuat kami yang terbiasa tinggal di Jakarta, malas untuk keluar kamar.
“Kita mau ngapain hari ini?” tanyaku pada Bang Dion.
“Nanti ya, aku hubungi temanku dulu, Tanya-tanya apa yang seru di sini? Mandi dulu saja lah.” Usulnya.
Selepas mandi, aku tak mendapati Bang Dion di kamar. Ah, mungkin dia sedang jalan-jalan atau menghubungi temannya. Maka aku pun memutuskan untuk jalan-jalan sendiri saja di sekitar hotel.
Baru beberapa meter meninggalkan kamar, mataku beradu pandang dengan seseorang. Aih, cowok ganteng banget! Oh Tuhan, Sukabumi ternyata menyembunyikan salah satu ciptaan-Mu yang terindah. Oke, jangan berpikir bahwa aku akan bertindak norak dengan mengucek-ngucek mata memastikan cowok itu betulan ada atau hanya imajinasiku saja. Tidak, aku tak senorak itu. Aku hanya sulit untuk mengalihkan pandangan darinya, itu saja. Dan tak sanggup untuk tidak membalas senyumnya.
“Jennifer Aquilla. Panggil saja Jeni.” Kataku pendek. Ya, cowok ini ternyata cukup ramah untuk mengajakku berkenalan duluan.
“Asep Surasep. Panggil ajah Asep.” Ucapnya dengan logat sunda yang kental.
Ya ampun, tak hanya logat. Namanya juga sangat mencerminkan nama orang sunda kebanyakan, memakai rumus X-Y-X. seperti tante kantin di sekolahku. Namanya Ice Juice. Nama yang menipu! Pertama masuk sekolah, aku berpikir kalau dia berjualan jus. Tapi ternyata itu adalah namanya. Kami memanggilnya tante Ice. Dia berjualan roti bakar dan tidak ada jus sama sekali!
“Gimana Sukabumi menurut kamu?” Asep bertanya padaku saat kami sudah sama-sama duduk di salah satu saung di hotel ini, dengan latar belakang musik tradisional sunda yang mengalun indah.
“Ummh, aku kan belum kemana-mana. Tapi sejauh ini pendapatku…dingin sekali!” jawabku jujur.
“Itu mah memang masalah semua orang Jakarta yang berkunjung kesini.” Ucapnya sambil tertawa renyah, memamerkan deretan giginya yang rapi.
Kami mengobrol panjang lebar. Asep ini ternyata belum lama lulus kuliah program D-3 perhotelan. Jadi sekarang dia bantu-bantu mengelola hotel yang ternyata milik kakeknya ini. Wow, luar biasa! Masih muda tapi berjiwa pengusaha.
Asep memberitahuku tentang banyaknya tempat makan yang enak untuk dikunjungi di Sukabumi ini. Tak hanya memberitahu rute, ia pun bersedia mengantarkan jika kami tak keberatan. Keberatan? Pasti aku sudah gila jika menolak tawarannya. Kuharap Bang Dion pun berpikiran sama denganku. Jika tidak, aku akan memaksanya. Serius!
“Jeni! Aku cari kemana-mana, eh kamu di sini rupanya.” Bang Dion sudah ada di belakangku. Panjang umur! Baru saja aku memikirkannya.
“Eh bang, kenalin ini Asep.” Ujarku. Asep menyodorkan tangan pada Bang Dion dengan sopan.
“Dion. Wah sudah punya teman baru lagi, nih. Oya Jen, ada sedikit berita buruk. Temanku si Ardi ternyata lagi enggak di Sukabumi. Dia sedang menengok neneknya di Bandung. Jadi ya, kita terpaksa muter-muter sendiri di sini.” Bang Dion menuturkan.
Oh Tuhan, sekali lagi nasib baik berpihak padaku. Ini sih bukan berita buruk namanya, tapi pucuk di cinta ulam pun tiba alias gayung bersambut…atau apa lah istilahnya, terserah! Yang jelas kemungkinan bahwa Asep akan menjadi tour guide dadakan kami sepertinya akan segera terwujud. Tralala trilili, senangnya hatiku!
Dan benar saja, Asep memenuhi janjinya untuk mengantarkan kami jalan-jalan di Sukabumi memakai mobilnya. Bang Dion senang karena usia mereka hanya beda satu tahun, sehingga banyak tema obrolan yang bisa dibahas bersama. Bukan cuma itu sih, tadi sebelum berangkat secara jujur Bang Dion mengatakan padaku bahwa bantuan Asep ini lumayan mengirit isi dompetnya. Huh, dasar!
Tujuan pertama kami tadi sebetulnya ke Citarik untuk arung jeram. Hanya saja begitu kami tiba di sana, hujan turun dengan derasnya. Jadi kegiatan arung jeram pun terpaksa dicoret dari daftar. Sebagai gantinya, Asep mengajak kami untuk makan ikan bakar di resto terapung di dekat lokasi arung jeram. Wow asyiknya! Baru kali ini aku makan gurame bakar sambil naik sampan. Selesai makan, Asep banyak memberikan keterangan pada kami mengenai tempat tersebut. Betul-betul seperti tour guide professional deh! Aku makin kagum saja padanya.
Hari sudah malam ketika kami tiba kembali di hotel. Asep menyuruh kami segera beristirahat karena besok ia akan mengajak kami jalan-jalan lagi.
“Makasih banyak lho, Sep.” ujar Bang Dion.
“Sama-sama. Yuk, sampai besok yah.” Asep kembali memamerkan deretan giginya yang kurasa akan mengundang pujian dari dokter gigi mana pun yang ia datangi.
“Ih, baik banget ya si Asep itu, Bang? Udah baik, ganteng lagi.” Kataku spontan begitu Bang Dion menutup pintu kamar.
“Aah, kamu pasti naksir dia. Iya kan? Ngaku!”
“Mmmh…Gimana ya?”
“Alaah pake sok mikir segala. Gak papa lagi kalau kamu naksir dia juga. Lumayan, nanti kita bisa minta antar pulang ke Jakarta. kan enggak perlu naik bis tuh!” seloroh bang Dion dengan gayanya yang menyebalkan.
“Ih, matre!” Rutukku.
“Adikku yang cantik, itu namanya bukan matre, tapi memanfaatkan dengan optimal fasilitas yang ada.” Bang Dion ngeles sambil mengambil handuknya yang digantung di sandaran kursi. “Lagipula kayaknya si Asep juga naksir sama kamu, deh!” ujarnya sambil masuk ke dalam kamar mandi.
“Aaaargh!” terdengar jerit histeris bang Dion sesaat kemudian.
“Ada apaan, bang?” tanyaku.
“Gila airnya dingin banget! Aku enggak jadi mandi, ah!” katanya sambil ngibrit keluar dari kamar mandi. Aku mencibirnya.
Tik…tok….tik…tok… sudah pukul satu dini hari saat aku terbangun karena pengin pipis. Tampak bang Dion tertidur pulas di balik selimut tebal di atas extra bed di samping kasur yang kutempati. Udara memang sangat dingin.
Ah penyakitku nyaris selalu begini, tak bisa tidur lagi jika sudah terjaga di malam hari. Kutarik selimutku sebatas dada, berharap kantuk akan datang. Tapi nihil, mataku tetap segar. Aargh, kenapa sih pakai pengin pipis segala?
Dan tiba-tiba saja bayangan itu datang… Bukan, bukan hantu. Maksudku bayangan tentang Asep. Duh, malam-malam begini kok ingatnya sama dia ya? Hmm, secara logis sih wajar saja sebetulnya kalau aku ingat sama dia. Soalnya Asep itu ganteng, keren, baik, plus nyetirnya asyik, enggak ngebut. Lalu, Asep itu sopan dan…hebat! Ya iya lah hebat, umurnya hanya terpaut sekitar 4-5 tahun di atasku tapi ia sudah memikul tanggung jawab mengelola bisnis keluarga yang demikian besar ini.
“Enggak cuma aku sendiri, kok. Kakak-kakak sepupuku banyak juga yang bantu. Ini kan hotel milik kakek, jadi ya kami kelola bersama-sama.” Ucapnya merendah ketika tadi siang Bang Doni mengutarakan kekagumannya atas pekerjaannya saat ini.
Eh, apa kata Bang Doni tadi? Asep kayak yang naksir aku? Masa sih? Ehmm, maunya sih begitu. Lucu kali yaa kalau aku jadian sama Asep? Enggak malu-maluin deh gandengnya! Sahabat-sahabatku juga pasti setuju kalau Asep itu seratus persen keren. Dan yang pasti nih, aku akan terbebas dari ceplokan telur di hari ulang tahunku yang ke-17 nanti, karena aku sudah berstatus sebagai pacarnya Asep. Asep Surasep!
Eit, kok agak janggal ya? Asep Surasep… iya bener! Aku baru ingat kalau itu adalah nama panjangnya. Idih, kok kayaknya enggak keren ya? Aduduh, bayangkan saja nanti di profile facebook-ku akan tertulis ‘Jennifer Aquilla is in relationship with Asep Surasep’. Oh my God! Asli enggak keren! Gimana dong? Haruskah aku menyuruh Asep mengganti namanya? Kayaknya ini pilihan yang enggak mungkin. Tampangan Asep sih sepertinya amat sangat sayang dan berbakti pada orangtua. Jadi enggak mungkin banget dia rela mengganti nama pemberian orangtuanya cuma karena aku. Siapa elo? Gitu kali kata Asep.
Tunggu…tunggu, pasti dan mesti ada solusinya. Think it on, Jeni! Oke, gimana kalau sekedar untuk di facebook aja dia pakai nama samaran? Misalnya Asep S. Ah, masih belum keren. Atau apa gitu, ganti aja sekalian jadi Alex! Cuma untuk di facebook. Ah, kalau ini kayaknya Asep enggak keberatan. Demi cintanya sama aku gitu lho! Eh, tapi justru kalau betulan cinta kan mestinya bisa nerima apa adanya? Aduh, bingung!
Ponselku bergetar, nama Tatia tertulis di situ.
“Halo Tia…”
“Jeni, aku enggak bisa tidur! Kenapa ya? Aku kok kepikiran kamu terus? Kangen deeh! Habis, kamu tadi enggak ikutan ngumpul di rumahku sih. Seru lho bareng Aurel, Ratih dan Inge kita rujakan bareng. Buahnya metik di kebun belakang rumah Inge. Segar dan sedaaaap!” Tatia nyerocos.
“Tia, ini jam satu pagi.” Aku mengingatkan.
“Iya siih. Tapi eh, suaramu juga enggak terdengar mengantuk. Belum tidur juga ya? Atau, enggak bisa tidur mikirin aku?”
“Ih, ge-er amat!”
“Biarin. By the way, gimana kamu udah dapat pangeran tampan yang duduk di atas kuda putih dan mengulurkan tangan sekedar untuk bilang Princess Jeni would you marry me?”
“Aaah Tia, norak banget sih kamu?”
“Lho, memang itu salah satu misi liburanmu kali ini, kan?”
“Ummh Tia…a…aku…”
“I got it! Kamu lagi jatuh cinta sama seseorang ya?” Tatia terkadang memang seperti cenayang, tebakannya nyaris selalu jitu.
“Tapi Tia…”
“Intinya iya kan kamu udah dapat orangnya? Yippie, congratulation Jeni!”
“Tia, dia itu…” dan bla bla bla… mengalirlah ceritaku tentang Asep dari A sampai Z. Entahlah Tatia sungguh-sungguh mendengarkan atau sempat tertidur. Sampai akhirnya dia bilang,
“Ah, kayak gitu sih enggak usah terlalu dipikirkan. Kamu itu apa-apa memang suka kebanyakan mikir, makanya enggak maju-maju. Cuek aja, kalau emang kalian sama-sama suka. Ya jalanin aja. Toh enggak bakalan nikah besok juga. Ummh, kecuali ternyata kamu enggak tahan untuk menjadi nyonya Asep Surasep, hihihi!” Tatia cekikikan.
“Are you sure, Tia?”
“Iyaa, seratus persen yakin. Udah cuek aja, kita-kita juga enggak masalah kok. Apalah arti sebuah nama, Jen? Melati kalau diganti namanya jadi bunga tokek juga tetap aja harum. Tapi bunga bangkai, sebaliknya, biar namanya keren Rafflesia Arnoldi, tetap aja bau!” seloroh Tatia setengah menasehatiku. Tanpa sadar aku membenarkan ucapan sahabatku ini.
“Pede aja lagi. Eh kan belum tentu juga si Asep itu punya facebook. Jadi untuk sementara kalau kamu masih belum pede, ya enggak usah publish tentang status.”
Iya ya…bener juga…
“Iya deh, thank you Tia. Kamu memang sahabat yang paling baik!”
“Paling pintar juga dong!”
“Iya, jenius!”
“Jangan lupa…”
“Apa?”
“Nanti traktirannya aku dapat dua porsi ya? Hahahaa!”
“Dasaaaar gentoooong!”
Telepon terputus. Kupingku panas karena kelamaan bertelepon dengan Tatia. Tapi enggak apa-apa, rasanya aku sudah mendapat solusi yang pas. Memang betul kata Tatia, aku ini suka kelamaan kalau mikir. Oh Asep, kok aku jadi tambah suka ya sama kamu??
Minggu pagi aku dan Bang Dion memutuskan untuk…nyari Asep lagi! Hihihi, dasar memang kami enggak mau rugi. Maunya diantar aja. Ya, kan lumayan. Lagipula kami juga enggak hafal jalan. Nanti kalau nyasar kan repot. Tapi kemana Asep ya? Kok dia belum keliatan?
“Kita tanya sama resepsionis aja yuk?” usul Bang Dion, seolah tahu apa yang kupikirkan.
“Enggak kepagian, bang?”
“Udah jam Sembilan gini, Jen. Kita juga enggak bisa pulang terlalu sore, nanti enggak kebagian bis, lho! Ya, lain soal kalau Asep mau ngantar.” Ujar Bang Dion sambil mengerlingkan mata ke arahku. Kali ini aku enggak membantah atau pura-pura enggak tahu. Soalnya aku udah yakin kalau aku suka betulan sama Asep, dan berharap pandangan mata Bang Dion tepat saat dia melihat kalau Asep sepertinya suka juga sama aku.
Resepsionis menyuruh kami langsung saja ke kantor hotel mencari Asep. Walhasil kami celingukan di depan kantor hotel. Berharap dari pintu yang setengah terbuka itu Asep muncul dan langsung mengambil kunci mobilnya, untuk kembali mengajak kami jalan-jalan.
“Maaf, cari siapa ya?” sapa seorang cowok.
“Asep. Kami temannya.” Jawab bang Dion.
“Oh Asep. Kenalkan saya Dadang, saudaranya. Yuk masuk…” dengan ramah ia menawarkan kami untuk masuk ke dalam ruangan kantornya yang nyaman.
“Sudah janjian ya sama Asep?”
“Emmm… enggak juga sih. Cuma kemarin dia nawarin kalau-kalau hari ini kita masih mau jalan, dia mau anter.”
“Ooh… Kayaknya si Asep teh lupa. Soalnya tadi subuh dia pergi ke Jakarta, ke bandara.”
“Bandara? Memangnya Asep mau ke luar negeri?” tanpa sadar aku mencecar.
“Dia mau menjemput Audrey, tunangannya yang baru datang dari Belgia.”
Rasanya mukaku panas. Entah kenapa sebongkah perasaan tidak enak muncul di sela-sela hatiku. Tuhan, inikah namanya cemburu? Dan Bang Dion sepertinya menangkap hal ini.
“Ya udah kalau gitu, kita pamit aja. Yuk Jen, keburu siang. Kan masih mau beli oleh-oleh. Kita nanya-nanya jalan sama orang aja, yuk?” ajaknya sambil menggamit lenganku keluar dari kantor.
Aku berjalan dengan limbung. Hatiku rasanya patah jadi bongkahan-bongkahan kecil.
Audrey….Audrey…Audrey…
Entah cewek itu asli bule, blasteran atau cewek pribumi yang bernama keren. Yang jelas aku yakin seyakin-yakinnya kalau pas dia nerima cinta Asep, dia enggak sibuk memikirkan hal bodoh tentang nama Asep Surasep yang terdengar enggak keren itu.
Oh telur mentah, sambutlah aku di usia tujuh belasku!
Copyright@2011, dilarang meng-copy tanpa seizin BWS
"Liburan Istimewa"
Karya: Pritha Khalida
(Pemenang 5 Lomba Cerpen BWS 2010)
“All my bags are packed, I’m ready to go…”
Rasanya aku enggak mau berhenti menyanyikan lagu itu. Pasalnya weekend kali ini kakakku-Bang Dion mengajak berlibur ke Sukabumi. Dia baru dapat doorprize saat perayaan ulangtahun kantornya. Tebak dapat apa? Paket menginap di salah satu hotel di Sukabumi! Yuhuu, whadda wonderful holiday! Nah berhubung kamar hotel yang disediakan cuma satu, otomatis mama dan papa tidak mengizinkan Bang Dion mengajak serta pacarnya. Hihi, jadi lah aku yang ikut menikmati rezeki nomplok ini. Senangnya…
Kami pergi hari jumat sore sepulang Bang Dion dari kantor. Syukurlah sore itu masih ada bis menuju Sukabumi yang berangkat dari terminal Lebak Bulus. Kondekturnya bilang, itu bus terakhir. Ah kalau sudah rezeki memang enggak kemana.
“Bangunkan aku kalau sudah sampai ya, Bang?” pintaku pada Bang Dion, yang dijawab dengan anggukan pelan. Matanya sudah sayup-sayup. Ah, percuma mengandalkannya.
Sepertinya kami berdua akan tertidur pulas dalam perjalanan menuju Sukabumi kali ini.
Jam 9 malam kami tiba di terminal Sukabumi. Untuk menuju hotel, masih harus naik angkutan umum berwarna merah. Brrr…dinginnya! Untung aku tak lupa mengenakan sweater kuning andalanku. Hmm, akhirnya sweater pemberian tante Ita ini terpakai juga. Lama ia hanya mendekam di lemari. Habis, mau dipakai kapan? Jakarta kan selalu panas.
Woow, keren sekali hotelnya! Lampu kerlap-kerlip yang disusun berbentuk bunga dan binatang-binatang kecil memberi kesan mewah pada hotel berdesain khas pedesaan ini. Ornamen kayu mendominasi sebagian besar bangunan hotel, dengan beberapa saung di bagian samping. Sepertinya itu restorannya. Ah,malam ini aku harus tidur nyenyak supaya tak kehabisan tenaga untuk menikmati sejuknya kota Sukabumi besok dan lusa.
“Halo…”
“Jeni! Kamu pasti masih tidur! Ayo banguuun pemalas!” suara cempreng Tatia mengejutkanku. Hingga sempat aku berpikir jangan-jangan sahabatku yang satu ini bukan berbicara di telepon tapi membuntutiku sampai ke Sukabumi!
“Tia, ini kan liburan.” Elakku.
“Iya tapi kan liburan ini kamu punya misi. Ingat enggak?”
Misi? Apaan yaa? Syarafku mulai dipaksa untuk mengingat, dan… Ah iya!
“Sudah ingat? Atau perlu aku…”
“Enggak perlu! Memoriku enggak seburuk yang kau bayangkan, tau!”
“Sip deh kalau begitu. Kabari aku kalau kamu sudah dapat pangerannya ya! Bye Jeni, mmuaaah!”
Klik!
Aaargh, rencana konyol itu! Aku hampir saja lupa! Oke mari kujelaskan. Sebentar lagi aku akan berulang tahun yang ke-17. Nah beberapa sahabatku memberikan tantangan apakah aku bisa mempunyai pacar di usia istimewaku tersebut? Jika aku berhasil, maka tidak akan ada ritual ceplok telur di kepala atau menceburkanku ke kolam di belakang sekolah, seperti yang dilakukan dengan semena-mena terhadap Ratih sahabatku sebulan yang lalu. Tapi masalahnya, cari pacar itu kan enggak segampang makan kacang! Sial…sial…sial… Apa sih pentingnya untuk punya pacar di usia tujuh belas?
Hari pertama di Sukabumi, aku dan Bang Dion sepakat untuk sarapan di teras kamar saja. Udara yang dingin membuat kami yang terbiasa tinggal di Jakarta, malas untuk keluar kamar.
“Kita mau ngapain hari ini?” tanyaku pada Bang Dion.
“Nanti ya, aku hubungi temanku dulu, Tanya-tanya apa yang seru di sini? Mandi dulu saja lah.” Usulnya.
Selepas mandi, aku tak mendapati Bang Dion di kamar. Ah, mungkin dia sedang jalan-jalan atau menghubungi temannya. Maka aku pun memutuskan untuk jalan-jalan sendiri saja di sekitar hotel.
Baru beberapa meter meninggalkan kamar, mataku beradu pandang dengan seseorang. Aih, cowok ganteng banget! Oh Tuhan, Sukabumi ternyata menyembunyikan salah satu ciptaan-Mu yang terindah. Oke, jangan berpikir bahwa aku akan bertindak norak dengan mengucek-ngucek mata memastikan cowok itu betulan ada atau hanya imajinasiku saja. Tidak, aku tak senorak itu. Aku hanya sulit untuk mengalihkan pandangan darinya, itu saja. Dan tak sanggup untuk tidak membalas senyumnya.
“Jennifer Aquilla. Panggil saja Jeni.” Kataku pendek. Ya, cowok ini ternyata cukup ramah untuk mengajakku berkenalan duluan.
“Asep Surasep. Panggil ajah Asep.” Ucapnya dengan logat sunda yang kental.
Ya ampun, tak hanya logat. Namanya juga sangat mencerminkan nama orang sunda kebanyakan, memakai rumus X-Y-X. seperti tante kantin di sekolahku. Namanya Ice Juice. Nama yang menipu! Pertama masuk sekolah, aku berpikir kalau dia berjualan jus. Tapi ternyata itu adalah namanya. Kami memanggilnya tante Ice. Dia berjualan roti bakar dan tidak ada jus sama sekali!
“Gimana Sukabumi menurut kamu?” Asep bertanya padaku saat kami sudah sama-sama duduk di salah satu saung di hotel ini, dengan latar belakang musik tradisional sunda yang mengalun indah.
“Ummh, aku kan belum kemana-mana. Tapi sejauh ini pendapatku…dingin sekali!” jawabku jujur.
“Itu mah memang masalah semua orang Jakarta yang berkunjung kesini.” Ucapnya sambil tertawa renyah, memamerkan deretan giginya yang rapi.
Kami mengobrol panjang lebar. Asep ini ternyata belum lama lulus kuliah program D-3 perhotelan. Jadi sekarang dia bantu-bantu mengelola hotel yang ternyata milik kakeknya ini. Wow, luar biasa! Masih muda tapi berjiwa pengusaha.
Asep memberitahuku tentang banyaknya tempat makan yang enak untuk dikunjungi di Sukabumi ini. Tak hanya memberitahu rute, ia pun bersedia mengantarkan jika kami tak keberatan. Keberatan? Pasti aku sudah gila jika menolak tawarannya. Kuharap Bang Dion pun berpikiran sama denganku. Jika tidak, aku akan memaksanya. Serius!
“Jeni! Aku cari kemana-mana, eh kamu di sini rupanya.” Bang Dion sudah ada di belakangku. Panjang umur! Baru saja aku memikirkannya.
“Eh bang, kenalin ini Asep.” Ujarku. Asep menyodorkan tangan pada Bang Dion dengan sopan.
“Dion. Wah sudah punya teman baru lagi, nih. Oya Jen, ada sedikit berita buruk. Temanku si Ardi ternyata lagi enggak di Sukabumi. Dia sedang menengok neneknya di Bandung. Jadi ya, kita terpaksa muter-muter sendiri di sini.” Bang Dion menuturkan.
Oh Tuhan, sekali lagi nasib baik berpihak padaku. Ini sih bukan berita buruk namanya, tapi pucuk di cinta ulam pun tiba alias gayung bersambut…atau apa lah istilahnya, terserah! Yang jelas kemungkinan bahwa Asep akan menjadi tour guide dadakan kami sepertinya akan segera terwujud. Tralala trilili, senangnya hatiku!
Dan benar saja, Asep memenuhi janjinya untuk mengantarkan kami jalan-jalan di Sukabumi memakai mobilnya. Bang Dion senang karena usia mereka hanya beda satu tahun, sehingga banyak tema obrolan yang bisa dibahas bersama. Bukan cuma itu sih, tadi sebelum berangkat secara jujur Bang Dion mengatakan padaku bahwa bantuan Asep ini lumayan mengirit isi dompetnya. Huh, dasar!
Tujuan pertama kami tadi sebetulnya ke Citarik untuk arung jeram. Hanya saja begitu kami tiba di sana, hujan turun dengan derasnya. Jadi kegiatan arung jeram pun terpaksa dicoret dari daftar. Sebagai gantinya, Asep mengajak kami untuk makan ikan bakar di resto terapung di dekat lokasi arung jeram. Wow asyiknya! Baru kali ini aku makan gurame bakar sambil naik sampan. Selesai makan, Asep banyak memberikan keterangan pada kami mengenai tempat tersebut. Betul-betul seperti tour guide professional deh! Aku makin kagum saja padanya.
Hari sudah malam ketika kami tiba kembali di hotel. Asep menyuruh kami segera beristirahat karena besok ia akan mengajak kami jalan-jalan lagi.
“Makasih banyak lho, Sep.” ujar Bang Dion.
“Sama-sama. Yuk, sampai besok yah.” Asep kembali memamerkan deretan giginya yang kurasa akan mengundang pujian dari dokter gigi mana pun yang ia datangi.
“Ih, baik banget ya si Asep itu, Bang? Udah baik, ganteng lagi.” Kataku spontan begitu Bang Dion menutup pintu kamar.
“Aah, kamu pasti naksir dia. Iya kan? Ngaku!”
“Mmmh…Gimana ya?”
“Alaah pake sok mikir segala. Gak papa lagi kalau kamu naksir dia juga. Lumayan, nanti kita bisa minta antar pulang ke Jakarta. kan enggak perlu naik bis tuh!” seloroh bang Dion dengan gayanya yang menyebalkan.
“Ih, matre!” Rutukku.
“Adikku yang cantik, itu namanya bukan matre, tapi memanfaatkan dengan optimal fasilitas yang ada.” Bang Dion ngeles sambil mengambil handuknya yang digantung di sandaran kursi. “Lagipula kayaknya si Asep juga naksir sama kamu, deh!” ujarnya sambil masuk ke dalam kamar mandi.
“Aaaargh!” terdengar jerit histeris bang Dion sesaat kemudian.
“Ada apaan, bang?” tanyaku.
“Gila airnya dingin banget! Aku enggak jadi mandi, ah!” katanya sambil ngibrit keluar dari kamar mandi. Aku mencibirnya.
Tik…tok….tik…tok… sudah pukul satu dini hari saat aku terbangun karena pengin pipis. Tampak bang Dion tertidur pulas di balik selimut tebal di atas extra bed di samping kasur yang kutempati. Udara memang sangat dingin.
Ah penyakitku nyaris selalu begini, tak bisa tidur lagi jika sudah terjaga di malam hari. Kutarik selimutku sebatas dada, berharap kantuk akan datang. Tapi nihil, mataku tetap segar. Aargh, kenapa sih pakai pengin pipis segala?
Dan tiba-tiba saja bayangan itu datang… Bukan, bukan hantu. Maksudku bayangan tentang Asep. Duh, malam-malam begini kok ingatnya sama dia ya? Hmm, secara logis sih wajar saja sebetulnya kalau aku ingat sama dia. Soalnya Asep itu ganteng, keren, baik, plus nyetirnya asyik, enggak ngebut. Lalu, Asep itu sopan dan…hebat! Ya iya lah hebat, umurnya hanya terpaut sekitar 4-5 tahun di atasku tapi ia sudah memikul tanggung jawab mengelola bisnis keluarga yang demikian besar ini.
“Enggak cuma aku sendiri, kok. Kakak-kakak sepupuku banyak juga yang bantu. Ini kan hotel milik kakek, jadi ya kami kelola bersama-sama.” Ucapnya merendah ketika tadi siang Bang Doni mengutarakan kekagumannya atas pekerjaannya saat ini.
Eh, apa kata Bang Doni tadi? Asep kayak yang naksir aku? Masa sih? Ehmm, maunya sih begitu. Lucu kali yaa kalau aku jadian sama Asep? Enggak malu-maluin deh gandengnya! Sahabat-sahabatku juga pasti setuju kalau Asep itu seratus persen keren. Dan yang pasti nih, aku akan terbebas dari ceplokan telur di hari ulang tahunku yang ke-17 nanti, karena aku sudah berstatus sebagai pacarnya Asep. Asep Surasep!
Eit, kok agak janggal ya? Asep Surasep… iya bener! Aku baru ingat kalau itu adalah nama panjangnya. Idih, kok kayaknya enggak keren ya? Aduduh, bayangkan saja nanti di profile facebook-ku akan tertulis ‘Jennifer Aquilla is in relationship with Asep Surasep’. Oh my God! Asli enggak keren! Gimana dong? Haruskah aku menyuruh Asep mengganti namanya? Kayaknya ini pilihan yang enggak mungkin. Tampangan Asep sih sepertinya amat sangat sayang dan berbakti pada orangtua. Jadi enggak mungkin banget dia rela mengganti nama pemberian orangtuanya cuma karena aku. Siapa elo? Gitu kali kata Asep.
Tunggu…tunggu, pasti dan mesti ada solusinya. Think it on, Jeni! Oke, gimana kalau sekedar untuk di facebook aja dia pakai nama samaran? Misalnya Asep S. Ah, masih belum keren. Atau apa gitu, ganti aja sekalian jadi Alex! Cuma untuk di facebook. Ah, kalau ini kayaknya Asep enggak keberatan. Demi cintanya sama aku gitu lho! Eh, tapi justru kalau betulan cinta kan mestinya bisa nerima apa adanya? Aduh, bingung!
Ponselku bergetar, nama Tatia tertulis di situ.
“Halo Tia…”
“Jeni, aku enggak bisa tidur! Kenapa ya? Aku kok kepikiran kamu terus? Kangen deeh! Habis, kamu tadi enggak ikutan ngumpul di rumahku sih. Seru lho bareng Aurel, Ratih dan Inge kita rujakan bareng. Buahnya metik di kebun belakang rumah Inge. Segar dan sedaaaap!” Tatia nyerocos.
“Tia, ini jam satu pagi.” Aku mengingatkan.
“Iya siih. Tapi eh, suaramu juga enggak terdengar mengantuk. Belum tidur juga ya? Atau, enggak bisa tidur mikirin aku?”
“Ih, ge-er amat!”
“Biarin. By the way, gimana kamu udah dapat pangeran tampan yang duduk di atas kuda putih dan mengulurkan tangan sekedar untuk bilang Princess Jeni would you marry me?”
“Aaah Tia, norak banget sih kamu?”
“Lho, memang itu salah satu misi liburanmu kali ini, kan?”
“Ummh Tia…a…aku…”
“I got it! Kamu lagi jatuh cinta sama seseorang ya?” Tatia terkadang memang seperti cenayang, tebakannya nyaris selalu jitu.
“Tapi Tia…”
“Intinya iya kan kamu udah dapat orangnya? Yippie, congratulation Jeni!”
“Tia, dia itu…” dan bla bla bla… mengalirlah ceritaku tentang Asep dari A sampai Z. Entahlah Tatia sungguh-sungguh mendengarkan atau sempat tertidur. Sampai akhirnya dia bilang,
“Ah, kayak gitu sih enggak usah terlalu dipikirkan. Kamu itu apa-apa memang suka kebanyakan mikir, makanya enggak maju-maju. Cuek aja, kalau emang kalian sama-sama suka. Ya jalanin aja. Toh enggak bakalan nikah besok juga. Ummh, kecuali ternyata kamu enggak tahan untuk menjadi nyonya Asep Surasep, hihihi!” Tatia cekikikan.
“Are you sure, Tia?”
“Iyaa, seratus persen yakin. Udah cuek aja, kita-kita juga enggak masalah kok. Apalah arti sebuah nama, Jen? Melati kalau diganti namanya jadi bunga tokek juga tetap aja harum. Tapi bunga bangkai, sebaliknya, biar namanya keren Rafflesia Arnoldi, tetap aja bau!” seloroh Tatia setengah menasehatiku. Tanpa sadar aku membenarkan ucapan sahabatku ini.
“Pede aja lagi. Eh kan belum tentu juga si Asep itu punya facebook. Jadi untuk sementara kalau kamu masih belum pede, ya enggak usah publish tentang status.”
Iya ya…bener juga…
“Iya deh, thank you Tia. Kamu memang sahabat yang paling baik!”
“Paling pintar juga dong!”
“Iya, jenius!”
“Jangan lupa…”
“Apa?”
“Nanti traktirannya aku dapat dua porsi ya? Hahahaa!”
“Dasaaaar gentoooong!”
Telepon terputus. Kupingku panas karena kelamaan bertelepon dengan Tatia. Tapi enggak apa-apa, rasanya aku sudah mendapat solusi yang pas. Memang betul kata Tatia, aku ini suka kelamaan kalau mikir. Oh Asep, kok aku jadi tambah suka ya sama kamu??
Minggu pagi aku dan Bang Dion memutuskan untuk…nyari Asep lagi! Hihihi, dasar memang kami enggak mau rugi. Maunya diantar aja. Ya, kan lumayan. Lagipula kami juga enggak hafal jalan. Nanti kalau nyasar kan repot. Tapi kemana Asep ya? Kok dia belum keliatan?
“Kita tanya sama resepsionis aja yuk?” usul Bang Dion, seolah tahu apa yang kupikirkan.
“Enggak kepagian, bang?”
“Udah jam Sembilan gini, Jen. Kita juga enggak bisa pulang terlalu sore, nanti enggak kebagian bis, lho! Ya, lain soal kalau Asep mau ngantar.” Ujar Bang Dion sambil mengerlingkan mata ke arahku. Kali ini aku enggak membantah atau pura-pura enggak tahu. Soalnya aku udah yakin kalau aku suka betulan sama Asep, dan berharap pandangan mata Bang Dion tepat saat dia melihat kalau Asep sepertinya suka juga sama aku.
Resepsionis menyuruh kami langsung saja ke kantor hotel mencari Asep. Walhasil kami celingukan di depan kantor hotel. Berharap dari pintu yang setengah terbuka itu Asep muncul dan langsung mengambil kunci mobilnya, untuk kembali mengajak kami jalan-jalan.
“Maaf, cari siapa ya?” sapa seorang cowok.
“Asep. Kami temannya.” Jawab bang Dion.
“Oh Asep. Kenalkan saya Dadang, saudaranya. Yuk masuk…” dengan ramah ia menawarkan kami untuk masuk ke dalam ruangan kantornya yang nyaman.
“Sudah janjian ya sama Asep?”
“Emmm… enggak juga sih. Cuma kemarin dia nawarin kalau-kalau hari ini kita masih mau jalan, dia mau anter.”
“Ooh… Kayaknya si Asep teh lupa. Soalnya tadi subuh dia pergi ke Jakarta, ke bandara.”
“Bandara? Memangnya Asep mau ke luar negeri?” tanpa sadar aku mencecar.
“Dia mau menjemput Audrey, tunangannya yang baru datang dari Belgia.”
Rasanya mukaku panas. Entah kenapa sebongkah perasaan tidak enak muncul di sela-sela hatiku. Tuhan, inikah namanya cemburu? Dan Bang Dion sepertinya menangkap hal ini.
“Ya udah kalau gitu, kita pamit aja. Yuk Jen, keburu siang. Kan masih mau beli oleh-oleh. Kita nanya-nanya jalan sama orang aja, yuk?” ajaknya sambil menggamit lenganku keluar dari kantor.
Aku berjalan dengan limbung. Hatiku rasanya patah jadi bongkahan-bongkahan kecil.
Audrey….Audrey…Audrey…
Entah cewek itu asli bule, blasteran atau cewek pribumi yang bernama keren. Yang jelas aku yakin seyakin-yakinnya kalau pas dia nerima cinta Asep, dia enggak sibuk memikirkan hal bodoh tentang nama Asep Surasep yang terdengar enggak keren itu.
Oh telur mentah, sambutlah aku di usia tujuh belasku!
Copyright@2011, dilarang meng-copy tanpa seizin BWS
Labels:
Stories Competition Winners 2010
Sunday, January 30, 2011
Pengumuman Pemenang Lomba Cerpen BWS 2010
Alhamdulillah,
Akhirnya setelah 2 bulan bergelut dengan proses seleksi yang cukup menguras pikiran dan tenaga, tibalah hari ini. Dari ratusan cerpen yang masuk, para juri akhirnya memutuskan para pemenang Lomba Cerpen BWS 2010 ini. Siapa saja mereka? Silakan klik di sini!
Akhirnya setelah 2 bulan bergelut dengan proses seleksi yang cukup menguras pikiran dan tenaga, tibalah hari ini. Dari ratusan cerpen yang masuk, para juri akhirnya memutuskan para pemenang Lomba Cerpen BWS 2010 ini. Siapa saja mereka? Silakan klik di sini!
Wednesday, December 8, 2010
Gaun Vintage Merah Muda
Cerpen Remaja: Elie Mulyadi
Aku menyapukan sedikit blush on di kedua pipiku yang pucat. Kemudian lipstik warna transparan di bibirku yang kering akibat dinginnya AC. Kuraih majalah remaja yang terletak di meja, kubuka-buka sebentar, lalu kuletakkan kembali dengan bosan. Mataku terus menerus menatap keluar, kemudian ke jam digital yang tertera di cash register. Ah, sudah jam 5 sore, belum ada satu pun pembeli datang. Apa tutup aja ya, batinku bimbang. Besok pagi ada ulangan Trigonometri, aku belum belajar sama sekali. Dan hari ini, tokoku sepi sekali, tak ada pemasukan. Tadi siang sebetulnya ada beberapa pengunjung, mereka antusias mengacak-acak koleksi baju-bajuku, memporak porandakan isi tokoku, dan berakhir dengan say goodbye manis tanda terima kasih – tanpa membeli satu pun. Wuaaa, sudah seminggu toko ini beroperasi, belum juga tampak tanda-tanda akan ada pelanggan setia. Kalau tiap hari begini sih kayaknya mendingan menyerah aja deh jadi pengusaha.
Sebetulnya toko ini bisa disebutmy dream coming true. Akulah yang mengerjakan semuanya, dari tidak ada menjadi ada. Aku yang menentukan desain tokonya, juga warna-warna cat dindingnya: perpaduan pink, hijau, kuning, dan biru muda – my favourite playful colors. Aku juga yang menentukan koleksinya: busana-busana vintage indah buatan perancang terkenal dan baju-baju lucu buatan Korea yang sedang trend – perpaduan antara klasik dan modern.
Toko ini berdiri gara-gara aku gila fashion. Mama sangat khawatir aku menjadi Imelda Marcos yang membuang kas negara demi 10.000 pasang sepatu. “Ck ck ck, Mama bisa bangkrut deh kalau kamu terus gila belanja kayak gitu,” ujar Mama, marah sekaligus kaget saat menginvestigasi lemariku yang sudah overloaded dengan puluhan pasang sepatu cantik buatan Giuseppe Zannoti, yang sebagian kubeli lewat eBay, sebagian lagi kucari di Pacific Place.
Itu baru lemari yang satu. Saat membuka lemari yang kedua, tumpahlah semua baju-baju lucu hasil hunting-ku ke Majestik dan Mangga Dua. Kedua mata Mama terbelalak, dan makin melotot saat membuka lemari yang ketiga: tas-tas dan dompet buatan desainer terkenal menumpuk dengan centil di sana.
“Valentino...Lanvin...Bottega Venetta,” Mama membaca satu per satu merk tas-tas itu.
“Ma, itu nggak original kok, cuma KW,” aku membela diri.
Mama membalikan badannya, menghadapku. Tatapannya setajam elang. “Oh jadi begitu cara kamu menghabiskan kartu kredit Mama?”
Aku tak berkutik. Seperti napi yang menunggu eksekusi.
“Baiklah kalau kamu sangat suka belanja. Mama beri tantangan buat kamu.”
Tiga hari kemudian, Mama menutup salah satu restorannya yang terletak di kompleks perumahan elit yang agak sepi. “Ruko ini akan jadi toko busanamu. Kamu yang akan merintis dan mengelolanya. Buktikan kalau kamu nggak hanya suka belanja, tapi juga bisa menghasilkan uang darinya.”
Mama seorang wanita yang tegas, jadi aku tak bisa menolaknya. Lagipula, hey, punya toko busana sendiri di mana kamulah yang menentukan semuanya termasuk koleksi-koleksinya, itu hal yang diimpikan semua orang kan? Aku benar-benar antusias dengan toko baruku. Belanja habis-habisan buat memenuhi pajangan tokoku. Menyebar iklan di poster-poster dan facebook. Mengundang teman-teman saat acara gunting pitanya. Wah, bahagia sekali jadi pengusaha selagi muda. Umurku baru 18 tahun, tapi rasanya telah memiliki dunia. Horeee....
Lalu di sinilah aku. Seminggu sejak peresmian “Monique Collection”. Berbagi keluh kesah dengan Sajna, staf freelance-ku yang bertugas jaga toko terutama saat aku sedang ada jam kuliah. Kalau Sajna sedang tak ada, seperti saat ini, aku hanya duduk bosan menunggu pembeli yang tak kunjung datang. Wuih, ternyata jualan tak seasyik belanjanya ya. Maybe I was not born to be a money maker, just to be a spender one. Rasanya dunia menertawakanku. “Hahaha, ternyata selera fashion-mu nggak sekeren itu, buktinya nggak ada satupun yang mau beli hahaha.”
DIAM! Aku membentak boneka manekin yang seakan mengejekku. “Kau bilang apa? Koleksi sepatu Christian Louboutin-ku nggak keren? Awas ya!” Kulempar majalah ke wajah manekin itu. Untunglah sebelum perang bodoh itu berlanjut, pintu kaca terbuka. Sepasang manusia masuk. Secepat kilat kuubah tampang beteku dengan senyum sapa yang paling cerah. “Hai selamat sore.”
Si cewek, yang kutaksir usianya tak jauh beda denganku, tersenyum. Lalu dengan penuh semangat ia melihat-lihat di bagian koleksi busana Korea.
Sementara si cowok, yang kurasa umurnya sepuluh tahun lebih tua, duduk di sofa jari, sibuk dengan BlackBerry.
Kuperhatikan mereka berdua. Tampaknya sih pasangan kekasih, tapi rasanya kurang serasi. Si cewek bertubuh mungil, begitu lembut dan cantik dengan rambut sebahu dan kulit warna olive. Sementara si cowok, dengan tinggi badan menjulang dan bahu lebar, wajahnya tampak ‘sangar’. Usia mereka yang terpaut jauh makin memperlebar ketidak serasian itu. Hanya penilaianku sih, tapi kurasa si cowok tipe mendominasi. Aku jadi langsung teringat tanteku yang menikah dengan tipe cowok seperti itu. Setiap hari dia dikekang, dipukuli, hanya karena si cowok merasa berkuasa dan punya uang. Yah, semoga yang ini tidak.
Hampir sepuluh menit si cewek menjelajah di bagian baju-baju Korea. Tampaknya belum ada satupun yang menarik hati. Lalu ia pindah ke bagian baju-baju vintage. Dan tatapannya langsung berbinar saat tangannya menyentuh sebuah gaun berwarna pink dengan aksen biru muda di bagian pinggang. “O my god, ini cantik sekali!” ia berseru. Lalu menoleh ke arah cowoknya yang sedang sibuk bbm-an atau apa.
“Lihat, menurutmu, ini bagus kan?”
Si cowok melirik ke arah gaun itu tanpa minat. “Nggak bagus,” lalu ia kembali sibuk dengan BlackBerry-nya. Wuih, aku jadi sebal. Tipe cowok yang nggak bisa act sensibly.
Si cewek menggigit bibir, tampak kecewa. Tapi ia tak kuasa untuk meninggalkan gaun itu. Ia menoleh kepada kekasihnya lagi. “Tapi boleh kan kucoba dulu?”
Dengan tampang bete si cowok menggumam, “Ya udah kalau kamu maksa. Tapi gaun itu terlalu ngejreng, tau.”
Hah, gaun selembut itu dibilang ngejreng? Dasar cowok buta warna, pikirku dengan kesal.
Si cewek menatap ke arahku dengan pandangan sedikit memohon. “Please, aku coba ya.” Aku tersenyum dan segera mengeluarkan gaun itu dari gantungannya. Kupersilakan ia menuju fitting room.
Semenit kemudian, sebuah pemandangan menakjubkan hadir di depanku. Cewek itu berdiri dengan gaun merah muda itu, tampak begitu cantik dan feminin. Ah, warna pink dan biru sangat cocok untuk warna kulitnya. Ikat pinggang biru muda membuat pinggangnya tampak langsing dan indah. “Gimana? Aku seperti Katy Perry kan?” tanyanya padaku. “It’s perfect,” jawabku sungguh-sungguh. “Katy Perry aja kalah.” Dia semakin berbinar.
“Berapa harganya?” si cewek bertanya sambil menatap dirinya di depan cermin. Menatap pantulan gaun itu dengan perasaan mendamba.
“899 ribu,” ujarku setelah melihat label harga di bagian kerahnya.
Kemudian si cewek menoleh ke arah kekasihnya. “Honey gimana? Aku mau banget gaun ini. Harga segitu nggak mahal kan?”
Si cowok memberengut. “Bukan masalah harga. Aku bilang itu terlalu ngejreng. Jamuan nanti malam kan formal, gaun itu nggak akan cocok.”
Tapi gaun itu cocok banget untuknya, bodoh! Pikirku gemas. Soalnya susah mencari gaun yang pas banget seperti itu, yang bikin si pemakainya tampak sejuta kali lebih bersinar.
Si cowok tiba-tiba berdiri lalu menunjuk dengan asal sebuah gaun warna hitam selutut berpotongan lebar di bagian bahu. “Yang ini saja, warna hitam bikin kamu kelihatan smart, juga seksi,” katanya.
Si cewek tampak merinding melihat gaun yang ditunjuk kekasihnya. “I hate black,” gumamnya. Tapi si cowok tak peduli, ia bertanya padaku tentang harganya.
“Oh cuma 299 ribu,” ujarku sambil melihat label harga.
“Try this,” si cowok memaksa kekasihnya untuk melepas gaun idamannya dan mencoba gaun hitam itu. Ini melanggar HAM, batinku, ikut geram kepada sikap mendominasi cowok itu. Huh, mentang-mentang dia yang punya uang, semuanya dia yang harus memutuskan! Aku berdoa semoga bila punya cowok nanti jangan sampai yang seperti dia.
Akhirnya dengan wajah kecewa, si cewek mencoba gaun hitam itu. Cantik sih, tapi tidak sekemilau yang tadi. Tidak mau berlama-lama, si cowok segera membayar gaun hitam itu dengan kartu kredit dan menarik tangan kekasihnya untuk pulang.
Yah, aku tak bisa berbuat apa-apa. Meski dalam hati menyayangkan gaun itu tak jadi dibeli. Mungkin gaun vintage merah muda itu bukan jodohnya. Meskipun yah, kurasa takkan ada cewek lain yang akan lebih bersinar dibanding cewek itu saat memakainya. Aku cuma bisa say goodbye dan berdoa supaya cewek itu bisa pasrah menerima keadaan dan melupakan gaun impiannya. Salah sendiri mau-maunya punya cowok bertabiat jelek seperti itu.
Huah, gimana ya kalau aku punya cowok seperti itu? Dalam soal memilih baju aja dikekang, gimana dalam urusan lainnya? Pasti deh hubungan nggak akan nyaman, dan nggak akan langgeng. Kecuali yah, bila si cewek tipe pasrah. Ah, sudahlah.
Aku kembali duduk melamun dan mencoba tak memikirkan cewek itu lagi. Lagipula dia kan cuma pembeli selintas yang kuyakin takkan pernah kembali lagi ke tokoku. Jadi aku sangat terkejut ketika lima hari kemudian, cewek itu datang lagi. Kali ini dia sendirian, tanpa ditemani kekasihnya yang nyebelin itu.
“Hai, gaun vintage pink itu masih ada kan?” dia bertanya dengan wajah berseri-seri, sadar betul kalau aku masih mengenalnya.
“Tentu,” ujarku, lalu mengeluarkan gaun yang dimaksud.
Wajahnya bersinar. Ada rasa percaya diri yang tak kulihat sebelumnya. Ia segera mengeluarkan kartu kredit-nya. “Kuambil,” katanya.
Dalam hitungan menit, gaun vintage merah muda itu menjadi miliknya. Ia berterima kasih padaku dan keluar dari toko dengan ekspresi berbunga-bunga.
Aku tidak tahu perubahan apa yang telah terjadi pada diri cewek itu. Tepatnya, pada hubungannya dengan kekasihnya. Seakan-akan kabut kelam telah berlalu, seakan-akan cewek itu baru saja bebas dari belenggu. Mungkin ia telah berhasil memutuskan hubungan dengan kekasihnya, yang selama ini tidak berani dilakukannya. Mungkin dengan cara halus: ia diam-diam pergi dari kekasihnya sambil tak lupa mencuri kartu kreditnya. Atau mungkin dengan cara kasar.........
“Kau lihat gadis berambut sebahu tadi?” tiba-tiba seorang wanita menghambur masuk ke tokoku. “Dia beli baju di sini?”
“G-gadis yang itu?” aku terkaget. “Ya, dia beli gaun vintage merah muda. Tapi dia sudah pergi, nggak tahu kemana.”
Wanita itu meremas rambutnya. “Astaga. Kau tahu? Tunangannya meninggal tadi pagi, dan dia malah asyik belanja sekarang.” Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Aku ibu tunangannya. Kurasa saat aku pergi, putraku terserang asma saat mau berenang. Kurasa gadis itu mendorongnya ke kolam, lalu mencuri semua kartu kreditnya dan pergi.”
Mataku membelalak tak percaya.
“Kau boleh tak percaya, tapi begitulah nyatanya,” wanita itu pergi dari tokoku dengan tampang sedih dan kecewa.
Ya, Tuhan...tokoku boleh sepi. Tapi sekalinya ada pembeli, sungguh tidak biasa....dia ‘pembeli istimewa’.
Yah, kurasa akan kututup saja toko ini, dan aku kapok jadi si gila belanja lagi!
Copyright@2010 by BWS, dilarang mencopy tulisan tanpa izin tertulis dari BWS
Aku menyapukan sedikit blush on di kedua pipiku yang pucat. Kemudian lipstik warna transparan di bibirku yang kering akibat dinginnya AC. Kuraih majalah remaja yang terletak di meja, kubuka-buka sebentar, lalu kuletakkan kembali dengan bosan. Mataku terus menerus menatap keluar, kemudian ke jam digital yang tertera di cash register. Ah, sudah jam 5 sore, belum ada satu pun pembeli datang. Apa tutup aja ya, batinku bimbang. Besok pagi ada ulangan Trigonometri, aku belum belajar sama sekali. Dan hari ini, tokoku sepi sekali, tak ada pemasukan. Tadi siang sebetulnya ada beberapa pengunjung, mereka antusias mengacak-acak koleksi baju-bajuku, memporak porandakan isi tokoku, dan berakhir dengan say goodbye manis tanda terima kasih – tanpa membeli satu pun. Wuaaa, sudah seminggu toko ini beroperasi, belum juga tampak tanda-tanda akan ada pelanggan setia. Kalau tiap hari begini sih kayaknya mendingan menyerah aja deh jadi pengusaha.
Sebetulnya toko ini bisa disebutmy dream coming true. Akulah yang mengerjakan semuanya, dari tidak ada menjadi ada. Aku yang menentukan desain tokonya, juga warna-warna cat dindingnya: perpaduan pink, hijau, kuning, dan biru muda – my favourite playful colors. Aku juga yang menentukan koleksinya: busana-busana vintage indah buatan perancang terkenal dan baju-baju lucu buatan Korea yang sedang trend – perpaduan antara klasik dan modern.
Toko ini berdiri gara-gara aku gila fashion. Mama sangat khawatir aku menjadi Imelda Marcos yang membuang kas negara demi 10.000 pasang sepatu. “Ck ck ck, Mama bisa bangkrut deh kalau kamu terus gila belanja kayak gitu,” ujar Mama, marah sekaligus kaget saat menginvestigasi lemariku yang sudah overloaded dengan puluhan pasang sepatu cantik buatan Giuseppe Zannoti, yang sebagian kubeli lewat eBay, sebagian lagi kucari di Pacific Place.
Itu baru lemari yang satu. Saat membuka lemari yang kedua, tumpahlah semua baju-baju lucu hasil hunting-ku ke Majestik dan Mangga Dua. Kedua mata Mama terbelalak, dan makin melotot saat membuka lemari yang ketiga: tas-tas dan dompet buatan desainer terkenal menumpuk dengan centil di sana.
“Valentino...Lanvin...Bottega Venetta,” Mama membaca satu per satu merk tas-tas itu.
“Ma, itu nggak original kok, cuma KW,” aku membela diri.
Mama membalikan badannya, menghadapku. Tatapannya setajam elang. “Oh jadi begitu cara kamu menghabiskan kartu kredit Mama?”
Aku tak berkutik. Seperti napi yang menunggu eksekusi.
“Baiklah kalau kamu sangat suka belanja. Mama beri tantangan buat kamu.”
Tiga hari kemudian, Mama menutup salah satu restorannya yang terletak di kompleks perumahan elit yang agak sepi. “Ruko ini akan jadi toko busanamu. Kamu yang akan merintis dan mengelolanya. Buktikan kalau kamu nggak hanya suka belanja, tapi juga bisa menghasilkan uang darinya.”
Mama seorang wanita yang tegas, jadi aku tak bisa menolaknya. Lagipula, hey, punya toko busana sendiri di mana kamulah yang menentukan semuanya termasuk koleksi-koleksinya, itu hal yang diimpikan semua orang kan? Aku benar-benar antusias dengan toko baruku. Belanja habis-habisan buat memenuhi pajangan tokoku. Menyebar iklan di poster-poster dan facebook. Mengundang teman-teman saat acara gunting pitanya. Wah, bahagia sekali jadi pengusaha selagi muda. Umurku baru 18 tahun, tapi rasanya telah memiliki dunia. Horeee....
Lalu di sinilah aku. Seminggu sejak peresmian “Monique Collection”. Berbagi keluh kesah dengan Sajna, staf freelance-ku yang bertugas jaga toko terutama saat aku sedang ada jam kuliah. Kalau Sajna sedang tak ada, seperti saat ini, aku hanya duduk bosan menunggu pembeli yang tak kunjung datang. Wuih, ternyata jualan tak seasyik belanjanya ya. Maybe I was not born to be a money maker, just to be a spender one. Rasanya dunia menertawakanku. “Hahaha, ternyata selera fashion-mu nggak sekeren itu, buktinya nggak ada satupun yang mau beli hahaha.”
DIAM! Aku membentak boneka manekin yang seakan mengejekku. “Kau bilang apa? Koleksi sepatu Christian Louboutin-ku nggak keren? Awas ya!” Kulempar majalah ke wajah manekin itu. Untunglah sebelum perang bodoh itu berlanjut, pintu kaca terbuka. Sepasang manusia masuk. Secepat kilat kuubah tampang beteku dengan senyum sapa yang paling cerah. “Hai selamat sore.”
Si cewek, yang kutaksir usianya tak jauh beda denganku, tersenyum. Lalu dengan penuh semangat ia melihat-lihat di bagian koleksi busana Korea.
Sementara si cowok, yang kurasa umurnya sepuluh tahun lebih tua, duduk di sofa jari, sibuk dengan BlackBerry.
Kuperhatikan mereka berdua. Tampaknya sih pasangan kekasih, tapi rasanya kurang serasi. Si cewek bertubuh mungil, begitu lembut dan cantik dengan rambut sebahu dan kulit warna olive. Sementara si cowok, dengan tinggi badan menjulang dan bahu lebar, wajahnya tampak ‘sangar’. Usia mereka yang terpaut jauh makin memperlebar ketidak serasian itu. Hanya penilaianku sih, tapi kurasa si cowok tipe mendominasi. Aku jadi langsung teringat tanteku yang menikah dengan tipe cowok seperti itu. Setiap hari dia dikekang, dipukuli, hanya karena si cowok merasa berkuasa dan punya uang. Yah, semoga yang ini tidak.
Hampir sepuluh menit si cewek menjelajah di bagian baju-baju Korea. Tampaknya belum ada satupun yang menarik hati. Lalu ia pindah ke bagian baju-baju vintage. Dan tatapannya langsung berbinar saat tangannya menyentuh sebuah gaun berwarna pink dengan aksen biru muda di bagian pinggang. “O my god, ini cantik sekali!” ia berseru. Lalu menoleh ke arah cowoknya yang sedang sibuk bbm-an atau apa.
“Lihat, menurutmu, ini bagus kan?”
Si cowok melirik ke arah gaun itu tanpa minat. “Nggak bagus,” lalu ia kembali sibuk dengan BlackBerry-nya. Wuih, aku jadi sebal. Tipe cowok yang nggak bisa act sensibly.
Si cewek menggigit bibir, tampak kecewa. Tapi ia tak kuasa untuk meninggalkan gaun itu. Ia menoleh kepada kekasihnya lagi. “Tapi boleh kan kucoba dulu?”
Dengan tampang bete si cowok menggumam, “Ya udah kalau kamu maksa. Tapi gaun itu terlalu ngejreng, tau.”
Hah, gaun selembut itu dibilang ngejreng? Dasar cowok buta warna, pikirku dengan kesal.
Si cewek menatap ke arahku dengan pandangan sedikit memohon. “Please, aku coba ya.” Aku tersenyum dan segera mengeluarkan gaun itu dari gantungannya. Kupersilakan ia menuju fitting room.
Semenit kemudian, sebuah pemandangan menakjubkan hadir di depanku. Cewek itu berdiri dengan gaun merah muda itu, tampak begitu cantik dan feminin. Ah, warna pink dan biru sangat cocok untuk warna kulitnya. Ikat pinggang biru muda membuat pinggangnya tampak langsing dan indah. “Gimana? Aku seperti Katy Perry kan?” tanyanya padaku. “It’s perfect,” jawabku sungguh-sungguh. “Katy Perry aja kalah.” Dia semakin berbinar.
“Berapa harganya?” si cewek bertanya sambil menatap dirinya di depan cermin. Menatap pantulan gaun itu dengan perasaan mendamba.
“899 ribu,” ujarku setelah melihat label harga di bagian kerahnya.
Kemudian si cewek menoleh ke arah kekasihnya. “Honey gimana? Aku mau banget gaun ini. Harga segitu nggak mahal kan?”
Si cowok memberengut. “Bukan masalah harga. Aku bilang itu terlalu ngejreng. Jamuan nanti malam kan formal, gaun itu nggak akan cocok.”
Tapi gaun itu cocok banget untuknya, bodoh! Pikirku gemas. Soalnya susah mencari gaun yang pas banget seperti itu, yang bikin si pemakainya tampak sejuta kali lebih bersinar.
Si cowok tiba-tiba berdiri lalu menunjuk dengan asal sebuah gaun warna hitam selutut berpotongan lebar di bagian bahu. “Yang ini saja, warna hitam bikin kamu kelihatan smart, juga seksi,” katanya.
Si cewek tampak merinding melihat gaun yang ditunjuk kekasihnya. “I hate black,” gumamnya. Tapi si cowok tak peduli, ia bertanya padaku tentang harganya.
“Oh cuma 299 ribu,” ujarku sambil melihat label harga.
“Try this,” si cowok memaksa kekasihnya untuk melepas gaun idamannya dan mencoba gaun hitam itu. Ini melanggar HAM, batinku, ikut geram kepada sikap mendominasi cowok itu. Huh, mentang-mentang dia yang punya uang, semuanya dia yang harus memutuskan! Aku berdoa semoga bila punya cowok nanti jangan sampai yang seperti dia.
Akhirnya dengan wajah kecewa, si cewek mencoba gaun hitam itu. Cantik sih, tapi tidak sekemilau yang tadi. Tidak mau berlama-lama, si cowok segera membayar gaun hitam itu dengan kartu kredit dan menarik tangan kekasihnya untuk pulang.
Yah, aku tak bisa berbuat apa-apa. Meski dalam hati menyayangkan gaun itu tak jadi dibeli. Mungkin gaun vintage merah muda itu bukan jodohnya. Meskipun yah, kurasa takkan ada cewek lain yang akan lebih bersinar dibanding cewek itu saat memakainya. Aku cuma bisa say goodbye dan berdoa supaya cewek itu bisa pasrah menerima keadaan dan melupakan gaun impiannya. Salah sendiri mau-maunya punya cowok bertabiat jelek seperti itu.
Huah, gimana ya kalau aku punya cowok seperti itu? Dalam soal memilih baju aja dikekang, gimana dalam urusan lainnya? Pasti deh hubungan nggak akan nyaman, dan nggak akan langgeng. Kecuali yah, bila si cewek tipe pasrah. Ah, sudahlah.
Aku kembali duduk melamun dan mencoba tak memikirkan cewek itu lagi. Lagipula dia kan cuma pembeli selintas yang kuyakin takkan pernah kembali lagi ke tokoku. Jadi aku sangat terkejut ketika lima hari kemudian, cewek itu datang lagi. Kali ini dia sendirian, tanpa ditemani kekasihnya yang nyebelin itu.
“Hai, gaun vintage pink itu masih ada kan?” dia bertanya dengan wajah berseri-seri, sadar betul kalau aku masih mengenalnya.
“Tentu,” ujarku, lalu mengeluarkan gaun yang dimaksud.
Wajahnya bersinar. Ada rasa percaya diri yang tak kulihat sebelumnya. Ia segera mengeluarkan kartu kredit-nya. “Kuambil,” katanya.
Dalam hitungan menit, gaun vintage merah muda itu menjadi miliknya. Ia berterima kasih padaku dan keluar dari toko dengan ekspresi berbunga-bunga.
Aku tidak tahu perubahan apa yang telah terjadi pada diri cewek itu. Tepatnya, pada hubungannya dengan kekasihnya. Seakan-akan kabut kelam telah berlalu, seakan-akan cewek itu baru saja bebas dari belenggu. Mungkin ia telah berhasil memutuskan hubungan dengan kekasihnya, yang selama ini tidak berani dilakukannya. Mungkin dengan cara halus: ia diam-diam pergi dari kekasihnya sambil tak lupa mencuri kartu kreditnya. Atau mungkin dengan cara kasar.........
“Kau lihat gadis berambut sebahu tadi?” tiba-tiba seorang wanita menghambur masuk ke tokoku. “Dia beli baju di sini?”
“G-gadis yang itu?” aku terkaget. “Ya, dia beli gaun vintage merah muda. Tapi dia sudah pergi, nggak tahu kemana.”
Wanita itu meremas rambutnya. “Astaga. Kau tahu? Tunangannya meninggal tadi pagi, dan dia malah asyik belanja sekarang.” Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Aku ibu tunangannya. Kurasa saat aku pergi, putraku terserang asma saat mau berenang. Kurasa gadis itu mendorongnya ke kolam, lalu mencuri semua kartu kreditnya dan pergi.”
Mataku membelalak tak percaya.
“Kau boleh tak percaya, tapi begitulah nyatanya,” wanita itu pergi dari tokoku dengan tampang sedih dan kecewa.
Ya, Tuhan...tokoku boleh sepi. Tapi sekalinya ada pembeli, sungguh tidak biasa....dia ‘pembeli istimewa’.
Yah, kurasa akan kututup saja toko ini, dan aku kapok jadi si gila belanja lagi!
Copyright@2010 by BWS, dilarang mencopy tulisan tanpa izin tertulis dari BWS
Labels:
Chicklit Short Stories
Saturday, October 23, 2010
My Boy, My Fantasy (Sindrom Nijikon)
Cerpen: Thifa Amakusa, 15 tahun
(BWS Bekasi)
Hai, kenalkan, namaku Amel! Aku percaya bahwa masa remaja itu indah. Gimana tidak? Hari-hariku selalu penuh rencana ala cewek 16 tahun dengan tiga sohib kentalku: Dita, Fifi, dan Agnes. Mulai dari ngebantu Dita dari masalah kelebihan berat badannya, atau malah Agnes yang terlalu kurus? Dan juga Fifi yang alergi makan coklat tapi demen banget sama benda yang satu itu! Padahal kalau dia kebanyakan makan coklat wajahnya bakal jerawatan lagi. Ujung ujungnya sih, dia sendiri yang nyesel. Tapi kalau udah ketemu coklat... kayaknya nggak bakalan berhenti makan, sampai coklatnya benar benar habis!
Begitulah. Penuh canda, walau kadang ada juga derai air mata (kayak waktu Agnes digosipin bakal pindah ke Manado, padahal cuma papanya aja yang ke sana, tugas kantor!) Sebagai sahabat, kami kompak dan sangat dekat. Kami saling bantu memecahkan masalah masing masing. Termasuk soal cinta! Ketiga sohibku itu benar-¬benar mati matian mengejar cinta cowok yang mereka sukai. Aku membantu memecahkan masalah mereka, dan mereka pun membantuku memecahkan masalahku.
Masalahku? Apa masalahku?
Itulah yang sedang kami bicarakan sekarang. Kami sedang berkumpul di kamarku seperti biasa. Tiduran dengan berbagai pose, dan ngemil sambil baca majalah cewek. Entah bagaimana ceritanya, tiba tiba saja pembicaraan kami mulai menyinggung 'masalahku’ itu.
“Jadi gimana, Mel? Apa udah nemuin cara buat nyembuhin 'kelainan' kamu?" tanya Dita tiba tiba sambil terus membaca majalah di hadapannya. Aku yang sedang memasukan sepotong kue ke mulutku jadi tersedak.
“Eh, a, apa?"
“Dita bilang, apa kamu udah nemuin cara buat nyembuhin 'kelainan' kamu itu?” Agnes mengulang pertanyaan Dita.
“Yaahh, ng... gimana ya?"
“Sebenarnya kamu niat sembuh nggak siih?" kali ini Fifi angkat suara.
“Jangan nanya kayak gitu dong. Kalau ditanya pengen sembuh atau nggak, jelas aku pengen sembuh! Tapi kalau ditanya niatnya lurus apa nggak... ya…”
"Yeeee! Gimana siih! Kalau niatnya nggak lurus ya nggak bakalan bisa sembuh!" sahut Agnes mendengar jawabanku.
Dita menurunkan majalah yang dibacanya, menatapku tajam dan berteriak, “Aduh, Amel! Kamu itu udah 16 tahun. Ayolah, coba suka sama COWOK NYATA! Masa kamu suka sama COWOK DI KOMIK-KOMIK?! Mereka itu NGGAK NYATA, Mel! NGGAK NYATAAAA!"
Ya, itulah masalahku. Aku ini pengidap Syndrome Nijikon alias Dua Dimensi Complex, yang, kalau dilihat di internet, artinya adalah : 'Suatu kelainan di mana seseorang lebih menyukai (atau lebih parahnya mencintai) tokoh dua dimensi seperti dalam manga atau anime daripada manusia nyata'.
Persis seperti yang kualami sejak empat tahun lalu. Bayangkan. Aku telah menjadi pengidap syndrome itu sejak empat tahun lalu! Tepatnya, ng... setelah aku ditolak oleh cinta pertamaku...Duuhh, gara gara patah hati, malah berakhir seperti ini! Sang Nijikonners, begitulah teman temanku menyebutku.
Dan akhir-akhir ini aku berniat untuk sembuh. Ya, aku harus sembuh! Aku sadar kalau terus menyukai tokoh fiktif seperti itu sama sekali nggak baik. Nanti aku malah jadi cewek abnormal lagi! Aduuh, jangan sampai deh. Tapi masalahnya, niatku untuk sembuh selama ini belum serius, hehehehe...
“Jadi aku harus gimana doong?"
Ketiga sahabatku menghela nafas panjang sebelum akhirnya Fifi bicara, “Oke, sebelum melangkah jauh, ada baiknya kita definisikan dulu Syndrome Nijikon yang sedang kamu derita.”
Waah, sampai pake definisi segala?!
Setelah tiga jam lebih berpusing pusing ria mengenai Syndrome Nijikon, akhirnya lahirlah kesimpulan kesimpulan berikut:
1. Syndrome NijIkon merupakan PERILAKU MENYIMPANG, sehingga wajib disembuhkan. (“Hehehe, jahat banget aku dikatain ‘menyimpang’!”)
2. Pengidap syndrome ini dapat menyadari dan mengakui, atau sebaliknya tidak menyadari dan menyanggah, bahwa dirinya mengidap syndrome ini (“Kamu termasuk yang sadar dan mengakui, Mel,” ujar Dita.)
3. Syndrome ini dapat berjangkit dalam waktu yang tak menentu (“Kyaaaa! Ini gawat!”)
4. Kesembuhan penderita sepenuhnya tergantung pada penderita itu sendiri. Akan sembuh bila ada NIAT YANG LURUS! (“Duuh, ini nih yang susah!”)
“Dan sekarang saatnya kita susun strategi terapi untuk Sang Nijikonners,” usul Dita, disetujui oleh yang lainnya.
Mereka bertiga pun langsung sibuk membuat strategi terapi yang dibuat dalam file di komputerku. File itu diberi judul : "The Way To be a Normal Girl".
Beginilah isinya:
1. LURUSKAN NIAT! Ini yang paling penting.
2. Yakin kalau kamu itu 'manusia normal', dan penyakit Syndrome Nijikon itu nggak normal. Makanya harus berjuang biar bisa sembuh!
3. Jangan mengaitkan segala hal dengan tokoh fiktif yang kamu sukai! (“Yee, nggak mungkinlah. Iwashi-kun kan tokoh pujaanku yang super keren. Wajar dong aku selalu mengaitkan segala hal dengan dia?”)
4. SUKAI COWOK NYATA!!! Karena ini bisa ngebuat kamu melupakan tokoh fiktif itu. (“Ngelupain Iwashi-kun? Mission impossible!”)
5. Kalau cara-cara di atas belum berhasil juga, buang, bakar singkirin, hancurkan, dan lenyapkan semua barang barang yang berhubungan dengan tokoh fiktif itu! (“Hwaaaaa! Jangan! Kalian tega banget siih! Masa aku harus ngebakar poster-poster Iwashi-kun yang super keren itu!”)
Aku menatap tidak percaya pada kertas yang berisi strategi terapi itu. Agnes mengetiknya dengan huruf super besar dan di-bold. la bahkan mengeprint-nya dan menempelkannya di meja belajarku dan di cermin. Supaya aku selalu ingat, katanya.
“Apa aku benar benar harus melakukan ini semua?" tanyaku.
“Yup! Kan kamu sendiri yang kepingin sembuh!?" sahut Dita.
“Iya siih... tapi…” Rasanya berat mencoba menghilangkan sesuatu yang sudah menjadi sindrome.
“Amel, 'kelainan' kamu itu sudah keterlaluan banget! Lihat saja kamarmu ini!" teriak Fifi, nggak setuju melihat muka bimbangku.
Perkataan Fifi benar. Kamarku penuh dengan gambar Iwashi Naganuma, tokoh kesukaanku yang membuatku seperti ini. Gara-gara ngefans berat sama Iwashi, tak jarang aku berbuat aneh: menulis namaku Amel Naganuma, bukannya Amelia Rahmasari! Aku juga memajang foto di dompetku dengan gambar lwashi. Dan aku memanggil Iwashi dengan sebutan sayang: Iwashi kun!
"Tapi... Iwashi kun kan keren. Tampan, baik hati, pintar, ramah, cool, hebat...." elakku, tak mau membiarkan mereka ‘mengusik’ tokoh kesayanganku.
“JANGAN MULAI LAGI!!!!" teriak Dita Fifi Agnes bersamaan.
“Apa kamu udah lupa kejadian memalukan minggu lalu, hah?" tanya Dita.
Kejadian memalukan minggu lalu? Jelas aku tidak melupakannya. Waktu itu sedang pelajaran BP. Entah mengapa guru BP di kelasku malah membahas soal jodoh dan pasangan hidup. Aku yang tidak tertarik tidak terlalu memperhatikan. Tapi guru itu malah bertanya padaku!
“Amelia Rahmasari, kira kira bagaimana tipe cowok idamanmu?"
Aku tersentak mendengar pertanyaan itu, memandang dengan bingung wajah teman temanku yang menoleh padaku sambil menahan senyum dan memasang tampang sedikit penasaran. Hey, mau tak mau aku harus menjawab. Dan jawaban itulah yang keluar dari mulutku,
“Yang... yang kayak lwashi Naganuma, Bu!"
GUBRAAAKKK!!!
"Nah, gawat kan?! Sampai kapan kamu mau menganggap Iwashi itu cowok nyata?! Padahal jelas jelas dia cuma selembar kertas nggak berguna!" omel Fifi sambil merobek sebungkus coklat yang dia ambil dari kulkas yang ada di dapur rumahku. Hgg, muncul lagi deh kebiasaan buruknya ngemil coklatnya.
“APA?! Selembar kertas yang nggak berguna?! Enak aja! Dia itu..."
"Dia itu JELEK!" sambar Agnes sambil melempar bantal padaku.
Aku manyun. Paling nggak tahan kalau Iwashi kun dihina hina.
"Lagian Mel, ngapain sih kamu suka cowok ftktif kayak begitu? Cowok nyata yang keren juga banyak, kok, " tanya Dita. Sudah berulang kali ia menanyakan itu padaku. Dan sudah berulang kali juga aku menjelaskan.
"Cowok nyata itu nggak ada keren kerennya! Memperlakukan cewek seenaknya sendiri! Mereka itu nggak bisa ngerti perasaan cewek!”
Benar, sejak aku mengalami sakit hati karena cowok yang jadi cinta pertamaku, aku jadi nggak suka cowok nyata. Aku lebih suka Iwashi-kun.
Tapi sohib sohibku itu nggak mau ngerti.
Setelah perundingan 'Terapi Sang Nijikonners' itu, teman-temanku benar-benar bekerja keras untuk menyembuhkan kelainanku.
“Mel, kamu udah siap belum?" tanya Agnes suatu hari, di telepon.
"Hm? Ah, iya... bentar lagi... Mungkin setengah jam lagi. Aku baru bangun tidur niih... " sahutku malas.
“Mel, plis dong... sekali ini aja kamu sungguh sungguh jalanin terapi. Cowok kali ini beda sama yang kemarin kemarin, kok. Dia ketua OSIS di skul nya! Orangnya baik, tampangnya oke, otaknya juga lumayan! Tajir lagi! Kamu nggak bakal nyesel deh, " kata Agnes, mulai berpromosi seperti biasa. Aku menghela nafas panjang. Itulah yang setiap minggu mereka lakukan: nyariin cowok nyata buat aku!
“Nes, Fi, kalau boleh jujur aku capek harus kayak begini terus... hampir tiap minggu kalian nyariin cowok buat aku. Ini udah yang kedelapan kalinya, kan? Tapi mana hasilnya? Nggak ada satu pun yang aku sukai! Yah, memang sih cowok cowok yang kalian cariin itu baik baik. Tapi perasaan suka itu nggak bisa dipaksain kayak gini..." kukeluarkan uneg unegku sambil mematut diri di cermin.
“Makanya ketemuan dulu aja. Kenalan dulu. Siapa tahu habis itu kamu jadi ada perasaan suka sama dia, dan kamu bisa ngelupain Si lwashi!” sahut Fifi.
Yeeee, nih anak, dibilangin bukannya ngerti malah masih ngotot juga. “Aduuuhh Iwashi kun itu nggak bakal bisa dilupakan begitu aja. Lagian di antara cowok cowok itu nggak ada yang kayak lwashi kun, sih!"
“Hiiihhh.... lwashi lagi, lwashi lagi! Sebenarnya mau sampai kapan sih kamu jadi seorang Nijikonners??!” omel kedua sohibku itu.
Hm... sampai kapan ya? Mungkin sampai aku bertemu Iwashi yang sesungguhnya. Aku percaya Tuhan akan memberikan seorang 'Iwashi' untukku…
Selama ini acaraku ketemuan sama cowok cowok itu selalu gagal. Kami hanya sekedar ketemu, kenalan, jalan bareng sebentar, dan setelah itu nggak bakal berlanjut lagi. Begitu pun dengan cowok yang kutemui (dengan paksa) kali ini.
Namanya Daniel. Awalnya dia perhatian banget sama aku. Kami kenalan dan ia menanyakan macam macam tentangku. Aku menjawab ala kadarnya aja. Setelah itu ia mengajakku jalan. Agnes dan Fifi, dari tempat persembunyian mereka, sudah tersenyum penuh kemenangan melihatku menyetujui ajakan itu.
Aku juga tidak ingat bagaimana kejadiannya, pokoknya tiba tiba saja (sebenarnya hampir setiap saat) nijikon-ku kumat. Bukannya aku membicarakan hal-hal romantis di depan Daniel, aku malah membicarakan Iwashi kun. Cowok itu diam seribu bahasa, nggak ngerti apa yang kubicarakan. Dan kemudian Daniel bilang kalau dia masih ada urusan, harus nganter mamanya belanja, bla bla bla. Pokoknya secara nggak langsung dia pengen cepat cepat pulang. Yah, mana ada sih cowok yang tahan dibandingin sama cowok di komik komik???
Dan saat Agnes dan Fifi muncul, aku cuma angkat bahu sambil nyengir dan memasang tampang ‘tak berdosa’ seperti keahlianku selama ini. Hehehe...
Tuhaaaan... terima kasih atas anugerah yang Engkau berikan padaku: tiga orang sahabat yang sungguh perhatian. Sangaat perhatian, namun sekarang malah aku yang kerepotan sendiri. Kemarin siang mereka datang ke kamarku, siap-siap dengan gunting dan cutter di tangan masing-masing. Mereka mau ngerobek dan ngebuang semua barang¬-barangku yang berhubungan dengan lwashi kun!
Aku langsung memohon mohon agar mereka jangan segarang itu. Aku berjanji akan bersungguh sungguh menjalani terapi ini. Oh... janji tanpa pikir panjang! Tapi mau bagaimana lagi, mereka terus mendesakku untuk sembuh dari Syndrome Nijikon. Mereka bilang, aku tak mungkin terus menjadi seorang Nijikonners. Nggak lucu dong kalau seandainya aku sudah berusia dua puluh tahun tapi masih ngejar ngejar tokoh fiktif.
“Kami nggak akan menghancurkan lwashi kun asal kamu bisa menyukai cowok nyata.... dalam waktu seminggu!” teriak Dita, Fifi dan Agnes serempak. SEMINGGU...?? Arrrgh, mereka emang sengaja menjebakku supaya dapat menghancurkan lwashi kun! Tapi kalau aku berhasil, mereka tidak akan memaksaku lagi untuk menjalani terapi gila ini.
Yaah, daripada aku melihat Iwashi kun hancur berkeping keping...Aku harus ‘menyelamatkan’ Iwashi kun dari tangan-tangan ketiga sohibku. Aku harus berjuang untuk menyukai cowok nyata. Fight, Amel! (lagi lagi niatnya salah ...)
Hwaaaa! Gimana nih?! Udah hari keempat, dan aku sama sekali belum menyukai cowok nyata! Tiga hari kemarin aku berusaha menyukai cowok, tapi ternyata nggak seorang pun cowok yang jadi incaranku cowok baik baik. Cowok pertama berandalan di SMA ku. Cowok kedua cowok beken, tapi perokok. Cowok ketiga keren, kapten tim basket di sekolah, tapi udah punya cewek. Hhh, sama sekali nggak ada yang kayak lwashi kun!
Tadi pagi Agnes menanyakan perkembangan usahaku. Aku cuma bisa angkat bahu. Habiiiss, memang sama sekali belum ada perkembangan apapun!
Dan baru saja Dita meneleponku.
“Ini udah hari keempat Iho, Mel! Batas waktunya tinggal tiga hari lagi! Pokoknya sesuai kesepakatan kita : kalau kamu belum menyukai cowok nyata tiga hari lagi, siap siaplah berpisah dengan Iwashi!”
"Tapi Dit ......”
Klik. Dita memutuskan telepon. Tinggal aku yang sekarang bingung setengah mati. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Bagaimana iniiii!
“Ameeel... " suara Mama memanggil, memecah lamunanku.
“Apa Ma?" sahutku malas sambil menuruni tangga, menemui beliau.
“Katanya hari ini kamu mau belanja di mal? Jadi nggak? Uang di ATM kamu masih ada kan? O ya, sekalian beilin Mama baju ya. Nanti uangnya Mama ganti. Sekarang Mama mau pergi arisan..." Mama berkata panjang lebar dan kemudian mengecup pipiku sebelum ia keluar.
Aku mendesah panjang. Kayaknya aku nggak pernah bilang kalau hari ini mau ke mal, deh? Lagi pusing pusing masalah lwashi, malah... Mh... ya sudahlah, aku akan ke mal. Hitung hitung refreshing...
Satu jam kemudian aku sudah duduk manis di metromini. Sendirian. Ya, sendirian. Aku sudah mengajak ketiga sohibku. Tapi tak satu pun dari mereka yang bisa ikut. Dita lagi fitness, biar kurusan katanya. Agnes lagi ikut bimbel dan baru pulang jam delapan malam. Kalau Fifi, sebenarnya mau ikut asal aku mau menunggunya dua jam lagi, soalnya dia lagi pakai masker penghilang jerawat...
Setengah jam kemudian aku sudah sampai. Berebut turun dengan beberapa orang yang juga punya tujuan yang sama denganku. Lho, kenapa tasku terbuka? Buru buru aku menutupnya dan melenggang turun dari metromini itu.
Aku berjalan dari toko ke toko, dari satu butik ke butik yang lain. Mal pada hari Minggu memang ramai. Sudah tiga tempat dimasuki, tapi aku belum menemukan baju yang cocok. Saat di toko keempat lah aku menemukan baju yang pas untuk Mamaku. Aku segera membawanya ke kasir.
“Dua ratus tujuh puluh ribu lima ratus rupiah," kata Si Mbak kasir.
Aku membuka tas, hendak mengambil dompetku. Tapi…hey, di mana dompetku?
Aku semakin bernafsu mengaduk aduk isi tasku. Di mana siih? Masa nggak ada?
“Kenapa?" petugas kasir memandang penasaran.
“A, anu, dompet saya…” kataku mulai panik. Lalu kutumpahkan semua isi tasku di meja kasir (malu maluin banget!) Tapi hasilnya nihil.
“Mungkin ketinggalan di rumah kali, Mbak?" kata kasir, simpati. Mana ada siih orang yang ke mal tapi lupa bawa dompet???!
“I, iya kali ya? Maaf ya Mbak... jadi berantakan begini. Aduuuh, tuh dompet ke mana siih?"
Aku kembali memasukkan isi tasku dan keluar dari toko itu. Bingung dan panik mulai menguasai diriku. Bagaimana dompet itu bisa hilang? Ng... ah! Jangan¬-jangan, waktu di metromini? Sebelum turun tasku sempat terbuka, kan? Ahhh! Kenapa aku bisa begitu ceroboh?!
Aku t1dak membawa handphone ku karena belum ku cas, jadi tidak bisa menghubungi siapa pun. Terlebih... aku sama sekali tidak memiliki uang untuk bisa melakukan apapun! Bagaimana aku akan pulang? Kalau aku naik ojek dari sini pun percuma. Di rumah nggak ada orang dan aku sama sekali nggak punya tabungan. Hhh... bagaimana ini?
Aku berjalan mondar mandir tak tentu arah. Panik. Dan tidak tahu harus berbuat apa. Seandainya aku bertemu dengan sescorang yang kukenal... Ah, bukan saatnya berandai andai!
Hm..hm ... hm...sebentar…
Apa saja isi dompetku? Uang? Jelas. Berapa? Entah berapa ratus ribu ada di dalamnya. Oh ya, kartu ATM ku. Kartu pelajarku. Kartu asuransi kesehatan. Dan... dan... foto lwashi kun!!!!
Sadar kalau foto lwashi kun hilang membuat lututku lemas. Foto... Iwashi kun... hilang ... ! Foto Iwashi hilang... foto Iwashi hilang... Dan aku tidak bisa pulang ke rumah!
Aku semakin panik. Terus berjalan mondar mandir, bahkan beberapa kali menarik rambutku sendiri. Mirip seperti orang stress. Tapi sekarang aku memang lagi stress. Hingga akhimya... aku mulai menangis.
Banyak orang memandang heran. Mungkin mereka pikir aku menangis karena baru diputusin pacar. Ah, terserahlah! Aku nggak peduli... Aku hanya ingin pulang ke rumah...(dan juga ingin foto Iwashi kun kembali. ) Tapi gimana bisa pulang? Aku tak bisa menghubungi siapa pun, tak mengenal seorang pun...
Aku terus saja menangis hingga seseorang menepuk bahuku. Aku terkejut dan segera membalik badan. Seorang cowok berusia sekitar 19 tahun berdiri di hadapanku¬. Badannya tinggi tegap. Kulitnya putih, matanya agak sipit, dan berhidung mancung. la memakai kacamata.
“Dek, kenapa? Saya perhatiin dari tadi kamu mondar-mandir terus," cowok itu bertanya dengan ramah. Tapi berhubung dia bukan orang yang kukenal, aku mundur selangkah dan menjaga jarak darinya.
“Ah.. ng... nggak kok. Saya... saya cuma ... jalan jalan aja di sini..."
Cowok itu tersenyum mendengar jawabanku.
“Kalau cuma jalan jalan kenapa nangis?"
Wajahku jadi merona. Aku terdiam untuk waktu yang lama. Tidak tahu apakah aku harus bilang kalau dompetku hilang pada seorang cowok asing.
“Nggak, saya nggak kenapa kenapa kok," kuputuskan untuk tidak menceritakannya.
“Bener nih nggak ada apa apa? Kalau gitu ya sudah," cowok itu berbalik hendak pergi. Tapi tiba tiba saja, di luar kendaliku, aku menahan langkahnya.
“Ng, anu...” mataku kembali berkaca-kaca. "Dompet saya hilang... saya nggak bisa pulang ke rumah."
Cowok itu mengajakku duduk di sebuah cafe di mal ini. Aku duduk kikuk berhadapan dengannya. Rasanya konyol sekali.
“Mau pesan apa?"
"Tapi... saya nggak punya uang...”
“Aku tahu dompetmu hilang. Makanya aku yang bayarin. Mau pesan apa? Ini sudah lewat jam makan siang, tapi pasti kamu belum makan, kan?" katanya. Aku tak memungkiri kalau sekarang perutku sudah menjerit minta diisi.
“Ng... terserah deh...”
Cowok itu memesankan menu yang sama untukku dan dirinya.
Sambil menunggu pesanan datang, kami pun berkenalan. Namanya Ari. Cuma itu. Tiga huruf yang simpel dan mudah diingat. Dia mahasiswa tingkat tiga jurusan fisika di UI. Dan sesuai dugaanku, umurnya 19 tahun. Dan walaupun matanya agak sipit, dia mengaku kalau dia bukan keturunan Chinese. Lama kelamaan, aku mulai merasa santai ¬seolah telah lama mengenalnya. Kami ngobrol berbagai hal, termasuk soal hilangnya dompetku.
“Oh, pantas kamu nangis. Yang hilang barang barang penting ya?"
"Ng...iya sih. Gara gara copet, foto Iwashi kun yang ada di dompetku hilang…”
“lwashi kun?"
“Iya. lwashi kun! Dia tokoh yang ada di…”
Dan bla bla bla. Tanpa sadar aku mulai membicarakan komik Iwashi Naganuma's Adventures. Bahkan ketika pesanan kami telah datang dan kami mulai makan. Ari hanya diam mendengarkan ocehanku.
"Ternyata kamu itu seorang Nijikonners, ya?" komentar Ari setelah selesai mengunyah. la tersenyum melihatku begitu bersemangat menceritakan Iwashi kun. Dan yang membuatku tersentak, ia sama sekali tidak merasa aneh dengan 'kelainan'ku ini.
“Ah, ya... Teman temanku juga bilang begitu. Kalau aku sudah mulai membicarakan Iwashi kun... mereka pasti langsung mengalihkan pembicaraan ke hal lain! Bete. "
"Tapi kalau dari ceritamu, Iwashi kedengarannya nggak buruk, kok."
Sekali lagi aku tersentak. Dia... dia.... dia orang pertama yang mengakui Iwashi¬-kun! Kyaaaaa…Senangnya!
“Iya, lwashi kun memang sama sekali nggak buruk! Tapi aku juga sadar kalau terus menyukai tokoh fiktif seperti itu nggak baik. Akhirnya teman temanku membantuku untuk sembuh. Tapi yaa, gitu deh! Hehehe. Habisnya mereka pakai cara yang benar benar gila!"
Dan aku pun menceritakan apa saja yang sudah terjadi beberapa bulan belakangan ini. Bahwa aku sudah delapan kali dipertemukan dengan cowok nyata, dan kesemuanya berakhir gagal total.
“Memangnya kenapa sama cowok nyata?" tanya Ari.
"Ya... ng... aku ngerasa nggak enak aja... Dulu aku pernah suka sama cowok. Kukira dia juga suka sama aku, habis dia baik banget sih. Eh, tau taunya dia cuma manfaatin aku biar bisa PDKT sama sohibku Agnes. Aku jadi sakit hati. Dan setelah itu... aku jadi alergi – nggak bisa menyukai cowok nyata...."
Ari mengangguk angguk paham.
“Menurut kamu, apa aku bisa benar benar sembuh?" tanyaku pada Ari.
“Bisa! Kalau kamu udah nemuin 'Iwashi' kamu sendiri....” ujar Ari. “Pasti suatu saat Tuhan akan memberikan seorang 'Iwashi yang nyata' buat kamu."
Aku terperangah. Kata katanya.... sama seperti kata kata yang sering aku ucapkan : Tuhan pasti akan memberikan seorang 'Iwashi' untukku...
Dan tiba tiba saja aku merasa jantungku berdetak dua kali lebih cepat!
Seminggu sudah berlalu. Saatnya ketiga sohibku menagih janji. Mereka datang ke kamarku sambil membawa benda-benda tajam, bersiap menghancur-leburkan semua benda yang berbau Iwashi-kun.
“Eh…eh, tunggu dulu. Jangan, plis….” Aku memohon.
“Kenapa?” tanya Dita. “Kamu nggak berhasil nemuin cowok nyata sesuai waktu yang telah ditentuin, jadi inilah konsekuensinya…” Dita mengacungkan gunting, siap-siap merobek poster Iwashi kesayanganku.
“Ehm…sebenarnya…sebenarnya….”
“Sebenarnya apa?” Dita-Fifi-Agnes memandangku penasaran.
“Mmm….sebenarnya aku udah nemuin seorang cowok yang kusukai kok.”
Jujur, saat itu aku nggak yakin dengan kata-kataku. Tapi demi menyelamatkan Iwashi-kun. Dan eh – siapa tahu…
“Siapaaaa?” ketiga sohibku berteriak penasaran.
Jelas aku nggak bisa menjawab. “Mm…belum pasti sih, tapi…ada kok.”
Tiga bulan kemudian, barulah kami mengetahu jawabannya.
Dita Fifi Agnes melihat perubahan dalam diriku. Aku semakin jarang membicarakan Iwashi kun. Aku juga sudah jarang menulis namaku 'Amel Naganuma'. Mereka mulai percaya bahwa aku sudah benar-benar menyukai cowok nyata, dan ingin tahu siapa cowok itu. Aku cuma angkat bahu dan tersenyum misterius saat ditanya tentang cowok itu.
Pukul sembilan malam dan aku baru saja tiba di rumah. Sabtu ini aku ada janji sama Ari. Masih ingat Ari kan? Cowok penyelamatku yang nggak alergi sama Iwashi. Kami sudah bertukar nomor telepon, dan aku sudah gantian mentraktirnya (untunglah dia mau ditraktir). Dan ini pertemuan kami yang kesekian sejak yang pertama kali di mal itu.
Baru saja aku membuka pintu kamar ketika handphone-ku berdering.
“Mel, tadi aku lihat kamu jalan bareng cowok! Hayo ngaku...Dia ‘cowok nyata’ mu kan?" berondong Fifi.
“Eh?" aku jadi kaget. Jadi mereka diam-diam mengintai nih?
“Iya! Tadi kamu jalan sama cowok di Plaza Senayan. Itu lho, Mel, yang tinggi, putih, rada sipit, terus pakai kacamata. Siapa namanya? Udah, sekarang jangan rahasia-rahasiaan lagi," teriak Dita setelah merebut gagang telepon Fifi.
“Dia itu Iwashi-mu kan?” tebak Agnes, merebut gagang telepon Dita.
Ah, dasar ketiga sohibku memang jail…tapi perhatian. Perhatian, tapi jail.
Aku nggak bisa menjawab pertanyaan mereka. Namun perlahan tapi pasti, wajahku merona merah. Ari adalah Iwashi-ku? Hmm…hmm…bibirku pun tersenyum. Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS
(BWS Bekasi)
Hai, kenalkan, namaku Amel! Aku percaya bahwa masa remaja itu indah. Gimana tidak? Hari-hariku selalu penuh rencana ala cewek 16 tahun dengan tiga sohib kentalku: Dita, Fifi, dan Agnes. Mulai dari ngebantu Dita dari masalah kelebihan berat badannya, atau malah Agnes yang terlalu kurus? Dan juga Fifi yang alergi makan coklat tapi demen banget sama benda yang satu itu! Padahal kalau dia kebanyakan makan coklat wajahnya bakal jerawatan lagi. Ujung ujungnya sih, dia sendiri yang nyesel. Tapi kalau udah ketemu coklat... kayaknya nggak bakalan berhenti makan, sampai coklatnya benar benar habis!
Begitulah. Penuh canda, walau kadang ada juga derai air mata (kayak waktu Agnes digosipin bakal pindah ke Manado, padahal cuma papanya aja yang ke sana, tugas kantor!) Sebagai sahabat, kami kompak dan sangat dekat. Kami saling bantu memecahkan masalah masing masing. Termasuk soal cinta! Ketiga sohibku itu benar-¬benar mati matian mengejar cinta cowok yang mereka sukai. Aku membantu memecahkan masalah mereka, dan mereka pun membantuku memecahkan masalahku.
Masalahku? Apa masalahku?
Itulah yang sedang kami bicarakan sekarang. Kami sedang berkumpul di kamarku seperti biasa. Tiduran dengan berbagai pose, dan ngemil sambil baca majalah cewek. Entah bagaimana ceritanya, tiba tiba saja pembicaraan kami mulai menyinggung 'masalahku’ itu.
“Jadi gimana, Mel? Apa udah nemuin cara buat nyembuhin 'kelainan' kamu?" tanya Dita tiba tiba sambil terus membaca majalah di hadapannya. Aku yang sedang memasukan sepotong kue ke mulutku jadi tersedak.
“Eh, a, apa?"
“Dita bilang, apa kamu udah nemuin cara buat nyembuhin 'kelainan' kamu itu?” Agnes mengulang pertanyaan Dita.
“Yaahh, ng... gimana ya?"
“Sebenarnya kamu niat sembuh nggak siih?" kali ini Fifi angkat suara.
“Jangan nanya kayak gitu dong. Kalau ditanya pengen sembuh atau nggak, jelas aku pengen sembuh! Tapi kalau ditanya niatnya lurus apa nggak... ya…”
"Yeeee! Gimana siih! Kalau niatnya nggak lurus ya nggak bakalan bisa sembuh!" sahut Agnes mendengar jawabanku.
Dita menurunkan majalah yang dibacanya, menatapku tajam dan berteriak, “Aduh, Amel! Kamu itu udah 16 tahun. Ayolah, coba suka sama COWOK NYATA! Masa kamu suka sama COWOK DI KOMIK-KOMIK?! Mereka itu NGGAK NYATA, Mel! NGGAK NYATAAAA!"
Ya, itulah masalahku. Aku ini pengidap Syndrome Nijikon alias Dua Dimensi Complex, yang, kalau dilihat di internet, artinya adalah : 'Suatu kelainan di mana seseorang lebih menyukai (atau lebih parahnya mencintai) tokoh dua dimensi seperti dalam manga atau anime daripada manusia nyata'.
Persis seperti yang kualami sejak empat tahun lalu. Bayangkan. Aku telah menjadi pengidap syndrome itu sejak empat tahun lalu! Tepatnya, ng... setelah aku ditolak oleh cinta pertamaku...Duuhh, gara gara patah hati, malah berakhir seperti ini! Sang Nijikonners, begitulah teman temanku menyebutku.
Dan akhir-akhir ini aku berniat untuk sembuh. Ya, aku harus sembuh! Aku sadar kalau terus menyukai tokoh fiktif seperti itu sama sekali nggak baik. Nanti aku malah jadi cewek abnormal lagi! Aduuh, jangan sampai deh. Tapi masalahnya, niatku untuk sembuh selama ini belum serius, hehehehe...
“Jadi aku harus gimana doong?"
Ketiga sahabatku menghela nafas panjang sebelum akhirnya Fifi bicara, “Oke, sebelum melangkah jauh, ada baiknya kita definisikan dulu Syndrome Nijikon yang sedang kamu derita.”
Waah, sampai pake definisi segala?!
Setelah tiga jam lebih berpusing pusing ria mengenai Syndrome Nijikon, akhirnya lahirlah kesimpulan kesimpulan berikut:
1. Syndrome NijIkon merupakan PERILAKU MENYIMPANG, sehingga wajib disembuhkan. (“Hehehe, jahat banget aku dikatain ‘menyimpang’!”)
2. Pengidap syndrome ini dapat menyadari dan mengakui, atau sebaliknya tidak menyadari dan menyanggah, bahwa dirinya mengidap syndrome ini (“Kamu termasuk yang sadar dan mengakui, Mel,” ujar Dita.)
3. Syndrome ini dapat berjangkit dalam waktu yang tak menentu (“Kyaaaa! Ini gawat!”)
4. Kesembuhan penderita sepenuhnya tergantung pada penderita itu sendiri. Akan sembuh bila ada NIAT YANG LURUS! (“Duuh, ini nih yang susah!”)
“Dan sekarang saatnya kita susun strategi terapi untuk Sang Nijikonners,” usul Dita, disetujui oleh yang lainnya.
Mereka bertiga pun langsung sibuk membuat strategi terapi yang dibuat dalam file di komputerku. File itu diberi judul : "The Way To be a Normal Girl".
Beginilah isinya:
1. LURUSKAN NIAT! Ini yang paling penting.
2. Yakin kalau kamu itu 'manusia normal', dan penyakit Syndrome Nijikon itu nggak normal. Makanya harus berjuang biar bisa sembuh!
3. Jangan mengaitkan segala hal dengan tokoh fiktif yang kamu sukai! (“Yee, nggak mungkinlah. Iwashi-kun kan tokoh pujaanku yang super keren. Wajar dong aku selalu mengaitkan segala hal dengan dia?”)
4. SUKAI COWOK NYATA!!! Karena ini bisa ngebuat kamu melupakan tokoh fiktif itu. (“Ngelupain Iwashi-kun? Mission impossible!”)
5. Kalau cara-cara di atas belum berhasil juga, buang, bakar singkirin, hancurkan, dan lenyapkan semua barang barang yang berhubungan dengan tokoh fiktif itu! (“Hwaaaaa! Jangan! Kalian tega banget siih! Masa aku harus ngebakar poster-poster Iwashi-kun yang super keren itu!”)
Aku menatap tidak percaya pada kertas yang berisi strategi terapi itu. Agnes mengetiknya dengan huruf super besar dan di-bold. la bahkan mengeprint-nya dan menempelkannya di meja belajarku dan di cermin. Supaya aku selalu ingat, katanya.
“Apa aku benar benar harus melakukan ini semua?" tanyaku.
“Yup! Kan kamu sendiri yang kepingin sembuh!?" sahut Dita.
“Iya siih... tapi…” Rasanya berat mencoba menghilangkan sesuatu yang sudah menjadi sindrome.
“Amel, 'kelainan' kamu itu sudah keterlaluan banget! Lihat saja kamarmu ini!" teriak Fifi, nggak setuju melihat muka bimbangku.
Perkataan Fifi benar. Kamarku penuh dengan gambar Iwashi Naganuma, tokoh kesukaanku yang membuatku seperti ini. Gara-gara ngefans berat sama Iwashi, tak jarang aku berbuat aneh: menulis namaku Amel Naganuma, bukannya Amelia Rahmasari! Aku juga memajang foto di dompetku dengan gambar lwashi. Dan aku memanggil Iwashi dengan sebutan sayang: Iwashi kun!
"Tapi... Iwashi kun kan keren. Tampan, baik hati, pintar, ramah, cool, hebat...." elakku, tak mau membiarkan mereka ‘mengusik’ tokoh kesayanganku.
“JANGAN MULAI LAGI!!!!" teriak Dita Fifi Agnes bersamaan.
“Apa kamu udah lupa kejadian memalukan minggu lalu, hah?" tanya Dita.
Kejadian memalukan minggu lalu? Jelas aku tidak melupakannya. Waktu itu sedang pelajaran BP. Entah mengapa guru BP di kelasku malah membahas soal jodoh dan pasangan hidup. Aku yang tidak tertarik tidak terlalu memperhatikan. Tapi guru itu malah bertanya padaku!
“Amelia Rahmasari, kira kira bagaimana tipe cowok idamanmu?"
Aku tersentak mendengar pertanyaan itu, memandang dengan bingung wajah teman temanku yang menoleh padaku sambil menahan senyum dan memasang tampang sedikit penasaran. Hey, mau tak mau aku harus menjawab. Dan jawaban itulah yang keluar dari mulutku,
“Yang... yang kayak lwashi Naganuma, Bu!"
GUBRAAAKKK!!!
"Nah, gawat kan?! Sampai kapan kamu mau menganggap Iwashi itu cowok nyata?! Padahal jelas jelas dia cuma selembar kertas nggak berguna!" omel Fifi sambil merobek sebungkus coklat yang dia ambil dari kulkas yang ada di dapur rumahku. Hgg, muncul lagi deh kebiasaan buruknya ngemil coklatnya.
“APA?! Selembar kertas yang nggak berguna?! Enak aja! Dia itu..."
"Dia itu JELEK!" sambar Agnes sambil melempar bantal padaku.
Aku manyun. Paling nggak tahan kalau Iwashi kun dihina hina.
"Lagian Mel, ngapain sih kamu suka cowok ftktif kayak begitu? Cowok nyata yang keren juga banyak, kok, " tanya Dita. Sudah berulang kali ia menanyakan itu padaku. Dan sudah berulang kali juga aku menjelaskan.
"Cowok nyata itu nggak ada keren kerennya! Memperlakukan cewek seenaknya sendiri! Mereka itu nggak bisa ngerti perasaan cewek!”
Benar, sejak aku mengalami sakit hati karena cowok yang jadi cinta pertamaku, aku jadi nggak suka cowok nyata. Aku lebih suka Iwashi-kun.
Tapi sohib sohibku itu nggak mau ngerti.
Setelah perundingan 'Terapi Sang Nijikonners' itu, teman-temanku benar-benar bekerja keras untuk menyembuhkan kelainanku.
“Mel, kamu udah siap belum?" tanya Agnes suatu hari, di telepon.
"Hm? Ah, iya... bentar lagi... Mungkin setengah jam lagi. Aku baru bangun tidur niih... " sahutku malas.
“Mel, plis dong... sekali ini aja kamu sungguh sungguh jalanin terapi. Cowok kali ini beda sama yang kemarin kemarin, kok. Dia ketua OSIS di skul nya! Orangnya baik, tampangnya oke, otaknya juga lumayan! Tajir lagi! Kamu nggak bakal nyesel deh, " kata Agnes, mulai berpromosi seperti biasa. Aku menghela nafas panjang. Itulah yang setiap minggu mereka lakukan: nyariin cowok nyata buat aku!
“Nes, Fi, kalau boleh jujur aku capek harus kayak begini terus... hampir tiap minggu kalian nyariin cowok buat aku. Ini udah yang kedelapan kalinya, kan? Tapi mana hasilnya? Nggak ada satu pun yang aku sukai! Yah, memang sih cowok cowok yang kalian cariin itu baik baik. Tapi perasaan suka itu nggak bisa dipaksain kayak gini..." kukeluarkan uneg unegku sambil mematut diri di cermin.
“Makanya ketemuan dulu aja. Kenalan dulu. Siapa tahu habis itu kamu jadi ada perasaan suka sama dia, dan kamu bisa ngelupain Si lwashi!” sahut Fifi.
Yeeee, nih anak, dibilangin bukannya ngerti malah masih ngotot juga. “Aduuuhh Iwashi kun itu nggak bakal bisa dilupakan begitu aja. Lagian di antara cowok cowok itu nggak ada yang kayak lwashi kun, sih!"
“Hiiihhh.... lwashi lagi, lwashi lagi! Sebenarnya mau sampai kapan sih kamu jadi seorang Nijikonners??!” omel kedua sohibku itu.
Hm... sampai kapan ya? Mungkin sampai aku bertemu Iwashi yang sesungguhnya. Aku percaya Tuhan akan memberikan seorang 'Iwashi' untukku…
Selama ini acaraku ketemuan sama cowok cowok itu selalu gagal. Kami hanya sekedar ketemu, kenalan, jalan bareng sebentar, dan setelah itu nggak bakal berlanjut lagi. Begitu pun dengan cowok yang kutemui (dengan paksa) kali ini.
Namanya Daniel. Awalnya dia perhatian banget sama aku. Kami kenalan dan ia menanyakan macam macam tentangku. Aku menjawab ala kadarnya aja. Setelah itu ia mengajakku jalan. Agnes dan Fifi, dari tempat persembunyian mereka, sudah tersenyum penuh kemenangan melihatku menyetujui ajakan itu.
Aku juga tidak ingat bagaimana kejadiannya, pokoknya tiba tiba saja (sebenarnya hampir setiap saat) nijikon-ku kumat. Bukannya aku membicarakan hal-hal romantis di depan Daniel, aku malah membicarakan Iwashi kun. Cowok itu diam seribu bahasa, nggak ngerti apa yang kubicarakan. Dan kemudian Daniel bilang kalau dia masih ada urusan, harus nganter mamanya belanja, bla bla bla. Pokoknya secara nggak langsung dia pengen cepat cepat pulang. Yah, mana ada sih cowok yang tahan dibandingin sama cowok di komik komik???
Dan saat Agnes dan Fifi muncul, aku cuma angkat bahu sambil nyengir dan memasang tampang ‘tak berdosa’ seperti keahlianku selama ini. Hehehe...
Tuhaaaan... terima kasih atas anugerah yang Engkau berikan padaku: tiga orang sahabat yang sungguh perhatian. Sangaat perhatian, namun sekarang malah aku yang kerepotan sendiri. Kemarin siang mereka datang ke kamarku, siap-siap dengan gunting dan cutter di tangan masing-masing. Mereka mau ngerobek dan ngebuang semua barang¬-barangku yang berhubungan dengan lwashi kun!
Aku langsung memohon mohon agar mereka jangan segarang itu. Aku berjanji akan bersungguh sungguh menjalani terapi ini. Oh... janji tanpa pikir panjang! Tapi mau bagaimana lagi, mereka terus mendesakku untuk sembuh dari Syndrome Nijikon. Mereka bilang, aku tak mungkin terus menjadi seorang Nijikonners. Nggak lucu dong kalau seandainya aku sudah berusia dua puluh tahun tapi masih ngejar ngejar tokoh fiktif.
“Kami nggak akan menghancurkan lwashi kun asal kamu bisa menyukai cowok nyata.... dalam waktu seminggu!” teriak Dita, Fifi dan Agnes serempak. SEMINGGU...?? Arrrgh, mereka emang sengaja menjebakku supaya dapat menghancurkan lwashi kun! Tapi kalau aku berhasil, mereka tidak akan memaksaku lagi untuk menjalani terapi gila ini.
Yaah, daripada aku melihat Iwashi kun hancur berkeping keping...Aku harus ‘menyelamatkan’ Iwashi kun dari tangan-tangan ketiga sohibku. Aku harus berjuang untuk menyukai cowok nyata. Fight, Amel! (lagi lagi niatnya salah ...)
Hwaaaa! Gimana nih?! Udah hari keempat, dan aku sama sekali belum menyukai cowok nyata! Tiga hari kemarin aku berusaha menyukai cowok, tapi ternyata nggak seorang pun cowok yang jadi incaranku cowok baik baik. Cowok pertama berandalan di SMA ku. Cowok kedua cowok beken, tapi perokok. Cowok ketiga keren, kapten tim basket di sekolah, tapi udah punya cewek. Hhh, sama sekali nggak ada yang kayak lwashi kun!
Tadi pagi Agnes menanyakan perkembangan usahaku. Aku cuma bisa angkat bahu. Habiiiss, memang sama sekali belum ada perkembangan apapun!
Dan baru saja Dita meneleponku.
“Ini udah hari keempat Iho, Mel! Batas waktunya tinggal tiga hari lagi! Pokoknya sesuai kesepakatan kita : kalau kamu belum menyukai cowok nyata tiga hari lagi, siap siaplah berpisah dengan Iwashi!”
"Tapi Dit ......”
Klik. Dita memutuskan telepon. Tinggal aku yang sekarang bingung setengah mati. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Bagaimana iniiii!
“Ameeel... " suara Mama memanggil, memecah lamunanku.
“Apa Ma?" sahutku malas sambil menuruni tangga, menemui beliau.
“Katanya hari ini kamu mau belanja di mal? Jadi nggak? Uang di ATM kamu masih ada kan? O ya, sekalian beilin Mama baju ya. Nanti uangnya Mama ganti. Sekarang Mama mau pergi arisan..." Mama berkata panjang lebar dan kemudian mengecup pipiku sebelum ia keluar.
Aku mendesah panjang. Kayaknya aku nggak pernah bilang kalau hari ini mau ke mal, deh? Lagi pusing pusing masalah lwashi, malah... Mh... ya sudahlah, aku akan ke mal. Hitung hitung refreshing...
Satu jam kemudian aku sudah duduk manis di metromini. Sendirian. Ya, sendirian. Aku sudah mengajak ketiga sohibku. Tapi tak satu pun dari mereka yang bisa ikut. Dita lagi fitness, biar kurusan katanya. Agnes lagi ikut bimbel dan baru pulang jam delapan malam. Kalau Fifi, sebenarnya mau ikut asal aku mau menunggunya dua jam lagi, soalnya dia lagi pakai masker penghilang jerawat...
Setengah jam kemudian aku sudah sampai. Berebut turun dengan beberapa orang yang juga punya tujuan yang sama denganku. Lho, kenapa tasku terbuka? Buru buru aku menutupnya dan melenggang turun dari metromini itu.
Aku berjalan dari toko ke toko, dari satu butik ke butik yang lain. Mal pada hari Minggu memang ramai. Sudah tiga tempat dimasuki, tapi aku belum menemukan baju yang cocok. Saat di toko keempat lah aku menemukan baju yang pas untuk Mamaku. Aku segera membawanya ke kasir.
“Dua ratus tujuh puluh ribu lima ratus rupiah," kata Si Mbak kasir.
Aku membuka tas, hendak mengambil dompetku. Tapi…hey, di mana dompetku?
Aku semakin bernafsu mengaduk aduk isi tasku. Di mana siih? Masa nggak ada?
“Kenapa?" petugas kasir memandang penasaran.
“A, anu, dompet saya…” kataku mulai panik. Lalu kutumpahkan semua isi tasku di meja kasir (malu maluin banget!) Tapi hasilnya nihil.
“Mungkin ketinggalan di rumah kali, Mbak?" kata kasir, simpati. Mana ada siih orang yang ke mal tapi lupa bawa dompet???!
“I, iya kali ya? Maaf ya Mbak... jadi berantakan begini. Aduuuh, tuh dompet ke mana siih?"
Aku kembali memasukkan isi tasku dan keluar dari toko itu. Bingung dan panik mulai menguasai diriku. Bagaimana dompet itu bisa hilang? Ng... ah! Jangan¬-jangan, waktu di metromini? Sebelum turun tasku sempat terbuka, kan? Ahhh! Kenapa aku bisa begitu ceroboh?!
Aku t1dak membawa handphone ku karena belum ku cas, jadi tidak bisa menghubungi siapa pun. Terlebih... aku sama sekali tidak memiliki uang untuk bisa melakukan apapun! Bagaimana aku akan pulang? Kalau aku naik ojek dari sini pun percuma. Di rumah nggak ada orang dan aku sama sekali nggak punya tabungan. Hhh... bagaimana ini?
Aku berjalan mondar mandir tak tentu arah. Panik. Dan tidak tahu harus berbuat apa. Seandainya aku bertemu dengan sescorang yang kukenal... Ah, bukan saatnya berandai andai!
Hm..hm ... hm...sebentar…
Apa saja isi dompetku? Uang? Jelas. Berapa? Entah berapa ratus ribu ada di dalamnya. Oh ya, kartu ATM ku. Kartu pelajarku. Kartu asuransi kesehatan. Dan... dan... foto lwashi kun!!!!
Sadar kalau foto lwashi kun hilang membuat lututku lemas. Foto... Iwashi kun... hilang ... ! Foto Iwashi hilang... foto Iwashi hilang... Dan aku tidak bisa pulang ke rumah!
Aku semakin panik. Terus berjalan mondar mandir, bahkan beberapa kali menarik rambutku sendiri. Mirip seperti orang stress. Tapi sekarang aku memang lagi stress. Hingga akhimya... aku mulai menangis.
Banyak orang memandang heran. Mungkin mereka pikir aku menangis karena baru diputusin pacar. Ah, terserahlah! Aku nggak peduli... Aku hanya ingin pulang ke rumah...(dan juga ingin foto Iwashi kun kembali. ) Tapi gimana bisa pulang? Aku tak bisa menghubungi siapa pun, tak mengenal seorang pun...
Aku terus saja menangis hingga seseorang menepuk bahuku. Aku terkejut dan segera membalik badan. Seorang cowok berusia sekitar 19 tahun berdiri di hadapanku¬. Badannya tinggi tegap. Kulitnya putih, matanya agak sipit, dan berhidung mancung. la memakai kacamata.
“Dek, kenapa? Saya perhatiin dari tadi kamu mondar-mandir terus," cowok itu bertanya dengan ramah. Tapi berhubung dia bukan orang yang kukenal, aku mundur selangkah dan menjaga jarak darinya.
“Ah.. ng... nggak kok. Saya... saya cuma ... jalan jalan aja di sini..."
Cowok itu tersenyum mendengar jawabanku.
“Kalau cuma jalan jalan kenapa nangis?"
Wajahku jadi merona. Aku terdiam untuk waktu yang lama. Tidak tahu apakah aku harus bilang kalau dompetku hilang pada seorang cowok asing.
“Nggak, saya nggak kenapa kenapa kok," kuputuskan untuk tidak menceritakannya.
“Bener nih nggak ada apa apa? Kalau gitu ya sudah," cowok itu berbalik hendak pergi. Tapi tiba tiba saja, di luar kendaliku, aku menahan langkahnya.
“Ng, anu...” mataku kembali berkaca-kaca. "Dompet saya hilang... saya nggak bisa pulang ke rumah."
Cowok itu mengajakku duduk di sebuah cafe di mal ini. Aku duduk kikuk berhadapan dengannya. Rasanya konyol sekali.
“Mau pesan apa?"
"Tapi... saya nggak punya uang...”
“Aku tahu dompetmu hilang. Makanya aku yang bayarin. Mau pesan apa? Ini sudah lewat jam makan siang, tapi pasti kamu belum makan, kan?" katanya. Aku tak memungkiri kalau sekarang perutku sudah menjerit minta diisi.
“Ng... terserah deh...”
Cowok itu memesankan menu yang sama untukku dan dirinya.
Sambil menunggu pesanan datang, kami pun berkenalan. Namanya Ari. Cuma itu. Tiga huruf yang simpel dan mudah diingat. Dia mahasiswa tingkat tiga jurusan fisika di UI. Dan sesuai dugaanku, umurnya 19 tahun. Dan walaupun matanya agak sipit, dia mengaku kalau dia bukan keturunan Chinese. Lama kelamaan, aku mulai merasa santai ¬seolah telah lama mengenalnya. Kami ngobrol berbagai hal, termasuk soal hilangnya dompetku.
“Oh, pantas kamu nangis. Yang hilang barang barang penting ya?"
"Ng...iya sih. Gara gara copet, foto Iwashi kun yang ada di dompetku hilang…”
“lwashi kun?"
“Iya. lwashi kun! Dia tokoh yang ada di…”
Dan bla bla bla. Tanpa sadar aku mulai membicarakan komik Iwashi Naganuma's Adventures. Bahkan ketika pesanan kami telah datang dan kami mulai makan. Ari hanya diam mendengarkan ocehanku.
"Ternyata kamu itu seorang Nijikonners, ya?" komentar Ari setelah selesai mengunyah. la tersenyum melihatku begitu bersemangat menceritakan Iwashi kun. Dan yang membuatku tersentak, ia sama sekali tidak merasa aneh dengan 'kelainan'ku ini.
“Ah, ya... Teman temanku juga bilang begitu. Kalau aku sudah mulai membicarakan Iwashi kun... mereka pasti langsung mengalihkan pembicaraan ke hal lain! Bete. "
"Tapi kalau dari ceritamu, Iwashi kedengarannya nggak buruk, kok."
Sekali lagi aku tersentak. Dia... dia.... dia orang pertama yang mengakui Iwashi¬-kun! Kyaaaaa…Senangnya!
“Iya, lwashi kun memang sama sekali nggak buruk! Tapi aku juga sadar kalau terus menyukai tokoh fiktif seperti itu nggak baik. Akhirnya teman temanku membantuku untuk sembuh. Tapi yaa, gitu deh! Hehehe. Habisnya mereka pakai cara yang benar benar gila!"
Dan aku pun menceritakan apa saja yang sudah terjadi beberapa bulan belakangan ini. Bahwa aku sudah delapan kali dipertemukan dengan cowok nyata, dan kesemuanya berakhir gagal total.
“Memangnya kenapa sama cowok nyata?" tanya Ari.
"Ya... ng... aku ngerasa nggak enak aja... Dulu aku pernah suka sama cowok. Kukira dia juga suka sama aku, habis dia baik banget sih. Eh, tau taunya dia cuma manfaatin aku biar bisa PDKT sama sohibku Agnes. Aku jadi sakit hati. Dan setelah itu... aku jadi alergi – nggak bisa menyukai cowok nyata...."
Ari mengangguk angguk paham.
“Menurut kamu, apa aku bisa benar benar sembuh?" tanyaku pada Ari.
“Bisa! Kalau kamu udah nemuin 'Iwashi' kamu sendiri....” ujar Ari. “Pasti suatu saat Tuhan akan memberikan seorang 'Iwashi yang nyata' buat kamu."
Aku terperangah. Kata katanya.... sama seperti kata kata yang sering aku ucapkan : Tuhan pasti akan memberikan seorang 'Iwashi' untukku...
Dan tiba tiba saja aku merasa jantungku berdetak dua kali lebih cepat!
Seminggu sudah berlalu. Saatnya ketiga sohibku menagih janji. Mereka datang ke kamarku sambil membawa benda-benda tajam, bersiap menghancur-leburkan semua benda yang berbau Iwashi-kun.
“Eh…eh, tunggu dulu. Jangan, plis….” Aku memohon.
“Kenapa?” tanya Dita. “Kamu nggak berhasil nemuin cowok nyata sesuai waktu yang telah ditentuin, jadi inilah konsekuensinya…” Dita mengacungkan gunting, siap-siap merobek poster Iwashi kesayanganku.
“Ehm…sebenarnya…sebenarnya….”
“Sebenarnya apa?” Dita-Fifi-Agnes memandangku penasaran.
“Mmm….sebenarnya aku udah nemuin seorang cowok yang kusukai kok.”
Jujur, saat itu aku nggak yakin dengan kata-kataku. Tapi demi menyelamatkan Iwashi-kun. Dan eh – siapa tahu…
“Siapaaaa?” ketiga sohibku berteriak penasaran.
Jelas aku nggak bisa menjawab. “Mm…belum pasti sih, tapi…ada kok.”
Tiga bulan kemudian, barulah kami mengetahu jawabannya.
Dita Fifi Agnes melihat perubahan dalam diriku. Aku semakin jarang membicarakan Iwashi kun. Aku juga sudah jarang menulis namaku 'Amel Naganuma'. Mereka mulai percaya bahwa aku sudah benar-benar menyukai cowok nyata, dan ingin tahu siapa cowok itu. Aku cuma angkat bahu dan tersenyum misterius saat ditanya tentang cowok itu.
Pukul sembilan malam dan aku baru saja tiba di rumah. Sabtu ini aku ada janji sama Ari. Masih ingat Ari kan? Cowok penyelamatku yang nggak alergi sama Iwashi. Kami sudah bertukar nomor telepon, dan aku sudah gantian mentraktirnya (untunglah dia mau ditraktir). Dan ini pertemuan kami yang kesekian sejak yang pertama kali di mal itu.
Baru saja aku membuka pintu kamar ketika handphone-ku berdering.
“Mel, tadi aku lihat kamu jalan bareng cowok! Hayo ngaku...Dia ‘cowok nyata’ mu kan?" berondong Fifi.
“Eh?" aku jadi kaget. Jadi mereka diam-diam mengintai nih?
“Iya! Tadi kamu jalan sama cowok di Plaza Senayan. Itu lho, Mel, yang tinggi, putih, rada sipit, terus pakai kacamata. Siapa namanya? Udah, sekarang jangan rahasia-rahasiaan lagi," teriak Dita setelah merebut gagang telepon Fifi.
“Dia itu Iwashi-mu kan?” tebak Agnes, merebut gagang telepon Dita.
Ah, dasar ketiga sohibku memang jail…tapi perhatian. Perhatian, tapi jail.
Aku nggak bisa menjawab pertanyaan mereka. Namun perlahan tapi pasti, wajahku merona merah. Ari adalah Iwashi-ku? Hmm…hmm…bibirku pun tersenyum. Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS
Labels:
Teen Short Stories
The Closet
Oleh: Lammaida RN, 11 tahun
(BWS Garut)
Seringkali waktu berjalan dengan kecepatan yang menegangkan. Akselerasinya setara dengan laju Valentino Rossi ngibrit diatas Motor-GP. Namun kadang waktu juga dapat berjalan demikian lambat, hingga membuat Suster Ngesot terlihat The Flash.....
Itulah yang dirasakan Dion, salah satu murid kelas 2-I, yang sedang berbengong ria saat belajar Bahasa Inggris. Disadari-tidak disadari tangannya sibuk mencorat-coret kertas, menggambar karikatur Bu Grace, sang guru tersayang dengan tingkat kekurangajaran kronis.
Bolak balik Dion melihat catatannya dengan frustasi. Dengan cepat ia berlatih pada Evan, teman sebangkunya.
“Van, jadi yang namanya past perfect tense itu perstiwanya udah kejadian apa belom? Truz bedanya apa sama past tense?”
Evan, yang kadar intelejensinya nggak beda jauh pun menjawab, “Kalo past perfect itu berarti udah bener-bener nampol kejadiannya. Liat aja, udah PAST, trus PERFECT pula. Nah kalo past tense itu berarti past-nya udah ada sepuluh biji. Jadi past ten, gitu! Masa yang kayak gitu loe gak bisa sih??”
“YAH NGGAK GITU LAH DODOLLL!!!!!” protes Dion, mendengar penjelasan Evan yang nyeleneh.
“Hah, siapa yang Dodol??” suara tegas wanita dari arah belakang kelas.
Jantung Dion serasa mau jatoh, saat disadarinya itu suara Bu Grace. Perlahan ia menoleh ke arah sang guru Bahasa Inggris yang sedang melihatnya dengan pandangan mengancam. Guru yang terkenal killer itu menatapnya dengan ekspresi keantagonisan akut.
“Ehm....anu Bu, tadi saya nanya ke Evan soal tenses,” Dion menjelaskan dengan pelan, sadar betul akan tatapan iba dari anak-anak sekelas.
“Sebenarnya kalian gak perlu bikin sesi tanya-jawab sendiri. Kalau dari tadi dengerin penjelasan saya, pasti dari tadi udah pada ngerti,” dengus Bu Grace.
Baik Dion maupun Evan terdiam. Dion selalu berpikir diam adalah cara terbaik untuk membebaskan diri dari situasi menyulitkan, namun ternyata anggapannya salah saat Bu Grace menarik selembar kertas yang ada di atas meja Dion. Keadaan berubah menjadi malapetaka.
“Jadi...”Bu Grace berseru penuh kemenangan, seraya melihat sketsa asusila di kertas, “Bukannya mencatat pelajaran, tapi kamu malah menggambar-gambar KAMBING?? Bagus!Bagus!”
Dion menggeluarkan bunyi seperti burung kenari tersedak oleh biji salak. Nggak ngerti harus ketawa atau panik. Kalau saja Bu Grace menyadari siapa yang sebetulnya digambar dalam sketsa itu...
“Huahaha....Bu itu sih bukan gambar kambing. Itu kan gambar – AAWW!” kaki Evan ditendang oleh Dion dengan kenafsuan tinggi.
Bu Grace malah ketawa. Nggak sadar-sadar.
“Memang nggak mirip sama kambing,” Bu Grace memperlihatkan sketsa tersebut ke depan kelas, “Lihat, mana ada kambing gambarnya kayak gini? Huahahaha...Payah kamu. Ini sih mirip...mirip...hmmm...”
Seolah adegan diputar secara extra slow motion, Dion melihat wajah Bu Grace bertransformasi menjadi The Vampire. Saat itulah ia merasa tak ada gunanya lagi Dion melanjutkan hidup...
Keheningan yang mencekam itu dibuat menjadi semakin ancur dengan terdengarnya tawa lepas tanpa empati. “HAHAHAHAHAHAHAHAHA..”
Kontan, seisi kelas menoleh pada insan yang bersangkutan. Orang tersebut adalah Reno, cowok yang selama ini terkenal paling kalem, sopan dan bermoral. Nyadar sedang jadi pusat perhatian, Reno salting dan langsung mengucapkan kalimat yang langsung bikin naek darah. “Maaf Bu, kelepasan........”
Dion dan Reno cuma bisa memasang tampang “Hidup Ini Tidak Adil” saat Bu Grace mengiring mereka menyusuri koridor sekolah seusai jam pelajaran. Saat itu pukul empat sore, dan mereka berdua seharusnya sudah bisa guling-guling di rumah seperti seluruh anak SMP lainnya.Tapi tentu saja akibat perbuatan kriminal mereka terhadap sang guru Bahasa Inggris, Dion dan Reno dijatuhi hukuman terberat dalam sejarah umat manusia: MEMBERSIHKAN TOILET!
“Nah, kalian berdua harus membersihkan toilet ini,” Bu Grace berlaku selayaknya majikan terhadap pembantu. “Dan saya mau toilet ini bersih, sebersih-bersihnya, setiap sudut, setiap sisi, setiap lubang!”
Baik Dion maupun Reno berjengit. Terlihat Reno menghisap-hisap in haler-nya untuk mengantisipasi serangan asma.
“Bu, saya nggak kuat kalo disuruh kerja kayak gini,” Reno memohon. “Lagian... kan bukan saya yang NGEGAMBAR muka ibu!”
“IYA TAPI LOE KETAWA, SETAN!” Dion membalas dengan nafsu.
Dion dan Reno langsung ribut. Sebagai guru yang bijak.....Bu Grace menengahi. “Reno benar, kesalahannya tidak sefatal kamu, Dion.”
Dion menggaruk-garuk kepala merana. Reno jejingkrakan.
“Karena itu akan saya suruh Reno untuk ngawasin kamu aja sampe kamu selesai membersihkan toilet.”
Reno ketawa. Dion ngerasa sebel. Huh, enak amat jadi pengawas!
Bu Grace berjalan ke dalam toilet cowok yang kondisinya kelewat menyeramkan hingga membuat sumur pun terlihat seperti hotel berbintang.
“Nah, Dion, kamu mulai dari sini,” Bu Grace memberi petunjuk. Dion cuma bisa manggut-manggut. Dilihatnya Bu Grace berjalan menuju salah satu bilik di dalam toilet. Bilik itu tertutup. Sang guru berusaha membukanya, namun pintu tersebut tetap bergeming.
“Halo?Ada orang ya?” Bu Grace mengetuk.Tidak ada yang terdengar. Jawaban datang dalam bentuk asap yang membubung dari dalam bilik. Baik Dion maupun Reno langsung berseru,”KEBAKARAN!”
Sementara Dion dan Reno panik dan histeris, Bu Grace tetap menjaga ketenangannya. Ekspresinya tetap lurus dan normal sampai.....
“HIYYYYYA!” dengan teriakan membara Bu Grace melayangkan tendangan ala Eva Arnaz ke pintu toilet dan membuatnya jebol seketika.
Melihat adegan tersebut, Dion cuma bisa mangap, sedangkan Reno kembali menghirup-hirup inhaler-nya dengan liar.
Namun, tampang paling shock datang dari insan yang duduk di atas kloset, di balik pintu yang jebol. Cowok tersebut cuma bisa bengong tanpa bisa berkata sepatah pun, melihat pintu biliknya penyok ditendang guru nan perkasa. Dion langsung mengenali cowok tersebut. Dia Adi, cowok bertampang sporty, penghuni kelas 2-H....Ketua OSIS.
Bu Grace langsung mengeluarkan senyum kemenangan saat dilihatnya sebuah rokok menggantung di tangan Adi. Saat itulah wajah Bu Grace kembali mengalami transformasi, dari Ratu Vampir, menjadi Suzanna. Kemudian sang guru menggumamkan kata-kata maut.
“Hmmmmm.......so interesting.”
Dion dan Adi mengeluarkan tampang merana selayaknya korban-korban Romusha. Keduanya bekerja seperti yang diperintahkan: menjangkau setiap sudut, menjamah setiap sisi, membersihkan setiap lubang. Untung saja Bu Grace cukup berbaik hati memberikan dua buah jepit jemuran kepada kedua buruh barunya untuk mencegah keracunan dan kejang-kejang. Toilet cowok sekolah memang terkenal memiliki aroma yang khas hingga mampu merenggut korban jiwa.
“ADUUUH! GUA GAK TAHAN! BANGET!” lolongan sengsara keluar dari Adi yang sedang asyik menyodok-nyodok kloset. “Gak kuaat! Sepuluh menit pake jepit jemuran bisa bikin hidung gua coplok!”
Dion menyadari Adi benar. Sekarang saja ia sudah merasa hidungnya mengalami dislokasi.
“Emang dasar nggak berperikemanusiaan,” Adi menggerutu. “Mana ada guru yang seenaknya maen tendang pintu sampe jebol? Dikira gua nggak jantungan apa?”
“Kalo udah tau jantungan kenapa loe ngerokok, dodol!?”
“Siapa bilang gua ngerokok! Itu cuma coba-coba, tahu!”
Dion dan Adi sudah siap ribut, namun seseorang kembali menengahi.
“Udah, udah!” Reno, sang pengawas berusaha menormalkan suasana, “Kenapa sih loe berdua nggak bisa bersikap selayaknya manusia beradab?”
Dion panas,”Yaelah, kayak loe beradab aja. Padahal loe ketawa paling kenceng waktu ngeliat gambarnya Bu Grace!”
Giliran Reno panas,”Nggak beradab mana sama ketua osis yang diem-diem ngerokok di atas kloset?”
Dion yang memang ketua OSIS tambah naik pitam. Sekarang tiga-tiganya ribut. Semuanya saling bersahut-sahutan layaknya burung-burung beo di Pasar Pramuka. Setiap Adi membantah, akan disahut dengan suara yang lebih tinggi oleh Dion, kemudian dipuncaki oleh Reno. Begitu seterusnya sampai akhirnya tercipta sebuah harmonisasi antara mereka bertiga.
Setelah capek, Dion meminta time out.
“Udah......hoh....hoh...capek nih...”
Adi menggangguk, “Iyahh....jantung gua .....udah nggak kuat...”
“Yaelah, gitu aja udah nyerah. masa sih?”
“Udah Ren, berantemnya udah selesai......”
Dion berusaha menenangkan diri, “Pokoknya kita harus selesain dulu tugas ini.”
Adi ngos-ngosan, “Jujur ya, Di, gua nggak sanggup. Ntar malem gua mesti ngerjain tugas makalah...”
“Trus gimana dong? Masa gue kerjain ini sendirian?” Dion protes.
Adi berpikir sejenak, kemudian melontarkan ide,”Gimana kalo kita kabur aja sekarang bareng-bareng?”
Ide kriminal ini disambut dengan semangat empat lima oleh Dion dan nada ketidaksetujuan oleh Reno.
“NGGAK BISA! Tadi Bu Grace jelas-jelas bilang sama gue kalo gue mesti ngawasin elo berdua sampe selesai!”
“Cuek aja kali, Ren. Udah, kabur aja!” Dion memprovokasi, “Lagian emangnya loe tahan di sini terus sampe malem? Mending kalo aroma toiletnya bisa bikin pinter.Ini aromanya bisa bikin kita jadi pingsan!”
“Gua nggak bisa!” Reno tiba-tiba histeris, “Tadi gua diancem sama Bu Grace. Katanya kalo sampe elo berdua kabur, gua....gua bakal...”
“Loe bakal kenapa? Loe bakal diapain Ren?”Dion langsung panik ngeliat wajah Reno yang membiru.
Reno menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak sanggup bicara.
“Katakan pada kami Ren, loe bakal diapain kalo kita kabur?”Dion mengguncang-guncang tubuh Reno. Reno kembali menggeleng.
“Ren plisss,” Dion memohon, “Sini, loe mesti tau apa yang membuat gua dan Adi nggak kuat lama-lama di sini.’
Dion menggiring Reno untuk masuk lebih dalam ke toilet. Belum apa-apa Reno udah mulai menghisap-hisap in-halernya.
“Parah, gila bau banget......”
“Ini belon seberapa Ren.”
Dion menunjukan lantai-lantai yang basah kecoklatan yang akan dia pel. Sedangkan Adi menunjukan benda-benda ajaib yang di temukan di dalam kloset. Pemandangan tersebut membuat Reno terguncang. Ia menghisap inhaler-nya secara non-stop sampai akhirnya...
“Hah...hah....hah,” Reno gelagapan, menyadari bahwa in-halernya telah habis. Dion dan Adi langsung panik.
“Gawat Reno kumat!” Dion dan Adi gelagapan, “Gimana dong? Gimana Dong? Gimana Dong?”
Dion tidak menjawab. Ia hanya menyaksikan Reno yang sedang sesak nafas, jatuh ke lantai, dan pingsan.
“Aduh Ren ...Ren... sadar dong...jangan bikin kita tambah susah donk!”Adi meratap. Diguncang-guncangnya tubuh Reno, namun temannya itu tidak sama sekali menunjukan reaksi.
“Gimana dong? Gimana dong? Gimana Dong?” ratap Adi kebingungan.
“Parah nih. Kayaknya dia beneran pingsan deh,” ujar Dion.
“Hah? Pingsan? Aduh gimana nih? Gim....”
“Will you just shut up???”
Adi akhirnya menjadi tenang. Dion sebagai pemecah masalah yang handal mulai berpikir.
“Kita gak boleh gegabah,” Dion memulai. “Keadaan kita udah gawat.”
“Trus kita mesti gimana?” Adi berkeringat. “Gerbang sekolah pasti udah ditutup, kalaupun nggak pasti satpamnya sudah dipesenin Bu Grace buat nahan kita di sini.”
Dion menatap Adi, dan akhirnya ia berteriak, “KABURR!!!”
Bagai dipecut cambuk, keduanya bangkit dan berlari memasuki salah satu bilik. Baik Dion maupun Adi menatap jendela besar di atas kloset. Setelah itu mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan.
“Aduh berat sih loe, cepetan donk!”Adi sewot saat dirinya digunakan sebagai pijakan kaki Dion untuk memanjat jendela. Dion akhirnya berhasil meraih jendela tersebut dan mendorongnya hingga terbuka, kemudian dikeluarkannya kepala melalui jendela tersebut, dan melihat sekeliling.
Halaman belakang sekolah tampak sepi. Para siswa sudah pada pulang ke rumah masing-masing sejak satu jam yang lalu. Dion menghela nafas lega, namun kembali bete saat melihat jarak jendela ke bawah lumayan tinggi.
“Udah belom sih? Gua keberatan tau!”
“Yaelah bentar dikit napa sih? Sabar donk!” sahut Dion. Dilayangkan matanya ke segala arah, berusaha menemukan seseorang yang lewat yang bisa membantunya.
“Lexa!” Dion memanggil dengan suara yang sangat keras. Lexa ketawa ngakak melihat sang Ketua OSIS nyangkut di jendela.
“Hahaha. Ngapain loe disitu? Lo mo ngeliat pemandangan? Lo aneh juga ya, ngeliat pemandangan di sini.Dasar gokil lo!” Lexa menertawakan Dion.
“Udah nggak usah bawel. Bantuin gua turun donk!”
“Nggak pernah kenal sama yang namanya pintu ya Mas?”
“Udah jangan berisik! Gua lagi disuruh ngebersihin toilet. Mau kabur nih.”
Lexa mengeleng-geleng kepala,”Ck...ck...masih kelas 2 aja udah lari dari hukuman. Gimana entar kalo udah jadi pejabat? Pantes aja negara kita...”
“Gua nggak butuh kultum sekarang! Lo mau bantuin gua apa enggak?”
Melihat Dion menjerit-jerit seperti orang gak waras, hati Lexa tersentuh juga. Cewek itu akhirnya membawakan sebuah tangga yang untungnya tersandar di dinding dekat situ. Dion langsung turun, diikuti oleh Adi. Setelah keduanya sukses berada kabur dari toilet, Lexa mendengus ketus dan pergi.
“Truss...si Reno gimana tuh? Masa kita tinggalin dia begitu aja?” tanya Adi kepada Dion. Mereka berdua pun mikir. Tapi kesimpulannya kemudian: cuekin Reno, lanjutkan kabur dan pulang ke rumah masing-masing.
Sementara itu Reno sudah siuman. Beberapa jam kemudian, Bu Grace tersenyum sinis sambil menepuk-nepuk punggung Reno.
“Jadi, kedua murid itu kabur dan kamu tidak menghalangi mereka?” sang guru bertanya dengan tingkat kekejaman setara tingkatnya dengan The Predator.
Reno meratap, “Saya sudah berusaha Bu...sumpah...tapi asma saya mendadak kumat...truss saya pingsan...maafkan saya Bu...”
“Huh, tidak ada maaf bagimu! Semua yang tidak melaksanakan kewajiban harus dihukum dengan seberat-beratnya. Besok kamu sendiri yang harus membersihkan toilet ini!”
“Hah? Kalo gitu saya bisa pingsan lagi dong, Bu.....”
“Biar gak pingsan, sekarang kamu beli inhaler buat persediaan besok!”
Setelah Dion dan Adi lepas dari hukuman, Reno Sang Pengawas-lah yang harus menanggung hukuman mereka. Itulah kejadian yang mengenaskan di toilet pria di sekolah. Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS
(BWS Garut)
Seringkali waktu berjalan dengan kecepatan yang menegangkan. Akselerasinya setara dengan laju Valentino Rossi ngibrit diatas Motor-GP. Namun kadang waktu juga dapat berjalan demikian lambat, hingga membuat Suster Ngesot terlihat The Flash.....
Itulah yang dirasakan Dion, salah satu murid kelas 2-I, yang sedang berbengong ria saat belajar Bahasa Inggris. Disadari-tidak disadari tangannya sibuk mencorat-coret kertas, menggambar karikatur Bu Grace, sang guru tersayang dengan tingkat kekurangajaran kronis.
Bolak balik Dion melihat catatannya dengan frustasi. Dengan cepat ia berlatih pada Evan, teman sebangkunya.
“Van, jadi yang namanya past perfect tense itu perstiwanya udah kejadian apa belom? Truz bedanya apa sama past tense?”
Evan, yang kadar intelejensinya nggak beda jauh pun menjawab, “Kalo past perfect itu berarti udah bener-bener nampol kejadiannya. Liat aja, udah PAST, trus PERFECT pula. Nah kalo past tense itu berarti past-nya udah ada sepuluh biji. Jadi past ten, gitu! Masa yang kayak gitu loe gak bisa sih??”
“YAH NGGAK GITU LAH DODOLLL!!!!!” protes Dion, mendengar penjelasan Evan yang nyeleneh.
“Hah, siapa yang Dodol??” suara tegas wanita dari arah belakang kelas.
Jantung Dion serasa mau jatoh, saat disadarinya itu suara Bu Grace. Perlahan ia menoleh ke arah sang guru Bahasa Inggris yang sedang melihatnya dengan pandangan mengancam. Guru yang terkenal killer itu menatapnya dengan ekspresi keantagonisan akut.
“Ehm....anu Bu, tadi saya nanya ke Evan soal tenses,” Dion menjelaskan dengan pelan, sadar betul akan tatapan iba dari anak-anak sekelas.
“Sebenarnya kalian gak perlu bikin sesi tanya-jawab sendiri. Kalau dari tadi dengerin penjelasan saya, pasti dari tadi udah pada ngerti,” dengus Bu Grace.
Baik Dion maupun Evan terdiam. Dion selalu berpikir diam adalah cara terbaik untuk membebaskan diri dari situasi menyulitkan, namun ternyata anggapannya salah saat Bu Grace menarik selembar kertas yang ada di atas meja Dion. Keadaan berubah menjadi malapetaka.
“Jadi...”Bu Grace berseru penuh kemenangan, seraya melihat sketsa asusila di kertas, “Bukannya mencatat pelajaran, tapi kamu malah menggambar-gambar KAMBING?? Bagus!Bagus!”
Dion menggeluarkan bunyi seperti burung kenari tersedak oleh biji salak. Nggak ngerti harus ketawa atau panik. Kalau saja Bu Grace menyadari siapa yang sebetulnya digambar dalam sketsa itu...
“Huahaha....Bu itu sih bukan gambar kambing. Itu kan gambar – AAWW!” kaki Evan ditendang oleh Dion dengan kenafsuan tinggi.
Bu Grace malah ketawa. Nggak sadar-sadar.
“Memang nggak mirip sama kambing,” Bu Grace memperlihatkan sketsa tersebut ke depan kelas, “Lihat, mana ada kambing gambarnya kayak gini? Huahahaha...Payah kamu. Ini sih mirip...mirip...hmmm...”
Seolah adegan diputar secara extra slow motion, Dion melihat wajah Bu Grace bertransformasi menjadi The Vampire. Saat itulah ia merasa tak ada gunanya lagi Dion melanjutkan hidup...
Keheningan yang mencekam itu dibuat menjadi semakin ancur dengan terdengarnya tawa lepas tanpa empati. “HAHAHAHAHAHAHAHAHA..”
Kontan, seisi kelas menoleh pada insan yang bersangkutan. Orang tersebut adalah Reno, cowok yang selama ini terkenal paling kalem, sopan dan bermoral. Nyadar sedang jadi pusat perhatian, Reno salting dan langsung mengucapkan kalimat yang langsung bikin naek darah. “Maaf Bu, kelepasan........”
Dion dan Reno cuma bisa memasang tampang “Hidup Ini Tidak Adil” saat Bu Grace mengiring mereka menyusuri koridor sekolah seusai jam pelajaran. Saat itu pukul empat sore, dan mereka berdua seharusnya sudah bisa guling-guling di rumah seperti seluruh anak SMP lainnya.Tapi tentu saja akibat perbuatan kriminal mereka terhadap sang guru Bahasa Inggris, Dion dan Reno dijatuhi hukuman terberat dalam sejarah umat manusia: MEMBERSIHKAN TOILET!
“Nah, kalian berdua harus membersihkan toilet ini,” Bu Grace berlaku selayaknya majikan terhadap pembantu. “Dan saya mau toilet ini bersih, sebersih-bersihnya, setiap sudut, setiap sisi, setiap lubang!”
Baik Dion maupun Reno berjengit. Terlihat Reno menghisap-hisap in haler-nya untuk mengantisipasi serangan asma.
“Bu, saya nggak kuat kalo disuruh kerja kayak gini,” Reno memohon. “Lagian... kan bukan saya yang NGEGAMBAR muka ibu!”
“IYA TAPI LOE KETAWA, SETAN!” Dion membalas dengan nafsu.
Dion dan Reno langsung ribut. Sebagai guru yang bijak.....Bu Grace menengahi. “Reno benar, kesalahannya tidak sefatal kamu, Dion.”
Dion menggaruk-garuk kepala merana. Reno jejingkrakan.
“Karena itu akan saya suruh Reno untuk ngawasin kamu aja sampe kamu selesai membersihkan toilet.”
Reno ketawa. Dion ngerasa sebel. Huh, enak amat jadi pengawas!
Bu Grace berjalan ke dalam toilet cowok yang kondisinya kelewat menyeramkan hingga membuat sumur pun terlihat seperti hotel berbintang.
“Nah, Dion, kamu mulai dari sini,” Bu Grace memberi petunjuk. Dion cuma bisa manggut-manggut. Dilihatnya Bu Grace berjalan menuju salah satu bilik di dalam toilet. Bilik itu tertutup. Sang guru berusaha membukanya, namun pintu tersebut tetap bergeming.
“Halo?Ada orang ya?” Bu Grace mengetuk.Tidak ada yang terdengar. Jawaban datang dalam bentuk asap yang membubung dari dalam bilik. Baik Dion maupun Reno langsung berseru,”KEBAKARAN!”
Sementara Dion dan Reno panik dan histeris, Bu Grace tetap menjaga ketenangannya. Ekspresinya tetap lurus dan normal sampai.....
“HIYYYYYA!” dengan teriakan membara Bu Grace melayangkan tendangan ala Eva Arnaz ke pintu toilet dan membuatnya jebol seketika.
Melihat adegan tersebut, Dion cuma bisa mangap, sedangkan Reno kembali menghirup-hirup inhaler-nya dengan liar.
Namun, tampang paling shock datang dari insan yang duduk di atas kloset, di balik pintu yang jebol. Cowok tersebut cuma bisa bengong tanpa bisa berkata sepatah pun, melihat pintu biliknya penyok ditendang guru nan perkasa. Dion langsung mengenali cowok tersebut. Dia Adi, cowok bertampang sporty, penghuni kelas 2-H....Ketua OSIS.
Bu Grace langsung mengeluarkan senyum kemenangan saat dilihatnya sebuah rokok menggantung di tangan Adi. Saat itulah wajah Bu Grace kembali mengalami transformasi, dari Ratu Vampir, menjadi Suzanna. Kemudian sang guru menggumamkan kata-kata maut.
“Hmmmmm.......so interesting.”
Dion dan Adi mengeluarkan tampang merana selayaknya korban-korban Romusha. Keduanya bekerja seperti yang diperintahkan: menjangkau setiap sudut, menjamah setiap sisi, membersihkan setiap lubang. Untung saja Bu Grace cukup berbaik hati memberikan dua buah jepit jemuran kepada kedua buruh barunya untuk mencegah keracunan dan kejang-kejang. Toilet cowok sekolah memang terkenal memiliki aroma yang khas hingga mampu merenggut korban jiwa.
“ADUUUH! GUA GAK TAHAN! BANGET!” lolongan sengsara keluar dari Adi yang sedang asyik menyodok-nyodok kloset. “Gak kuaat! Sepuluh menit pake jepit jemuran bisa bikin hidung gua coplok!”
Dion menyadari Adi benar. Sekarang saja ia sudah merasa hidungnya mengalami dislokasi.
“Emang dasar nggak berperikemanusiaan,” Adi menggerutu. “Mana ada guru yang seenaknya maen tendang pintu sampe jebol? Dikira gua nggak jantungan apa?”
“Kalo udah tau jantungan kenapa loe ngerokok, dodol!?”
“Siapa bilang gua ngerokok! Itu cuma coba-coba, tahu!”
Dion dan Adi sudah siap ribut, namun seseorang kembali menengahi.
“Udah, udah!” Reno, sang pengawas berusaha menormalkan suasana, “Kenapa sih loe berdua nggak bisa bersikap selayaknya manusia beradab?”
Dion panas,”Yaelah, kayak loe beradab aja. Padahal loe ketawa paling kenceng waktu ngeliat gambarnya Bu Grace!”
Giliran Reno panas,”Nggak beradab mana sama ketua osis yang diem-diem ngerokok di atas kloset?”
Dion yang memang ketua OSIS tambah naik pitam. Sekarang tiga-tiganya ribut. Semuanya saling bersahut-sahutan layaknya burung-burung beo di Pasar Pramuka. Setiap Adi membantah, akan disahut dengan suara yang lebih tinggi oleh Dion, kemudian dipuncaki oleh Reno. Begitu seterusnya sampai akhirnya tercipta sebuah harmonisasi antara mereka bertiga.
Setelah capek, Dion meminta time out.
“Udah......hoh....hoh...capek nih...”
Adi menggangguk, “Iyahh....jantung gua .....udah nggak kuat...”
“Yaelah, gitu aja udah nyerah. masa sih?”
“Udah Ren, berantemnya udah selesai......”
Dion berusaha menenangkan diri, “Pokoknya kita harus selesain dulu tugas ini.”
Adi ngos-ngosan, “Jujur ya, Di, gua nggak sanggup. Ntar malem gua mesti ngerjain tugas makalah...”
“Trus gimana dong? Masa gue kerjain ini sendirian?” Dion protes.
Adi berpikir sejenak, kemudian melontarkan ide,”Gimana kalo kita kabur aja sekarang bareng-bareng?”
Ide kriminal ini disambut dengan semangat empat lima oleh Dion dan nada ketidaksetujuan oleh Reno.
“NGGAK BISA! Tadi Bu Grace jelas-jelas bilang sama gue kalo gue mesti ngawasin elo berdua sampe selesai!”
“Cuek aja kali, Ren. Udah, kabur aja!” Dion memprovokasi, “Lagian emangnya loe tahan di sini terus sampe malem? Mending kalo aroma toiletnya bisa bikin pinter.Ini aromanya bisa bikin kita jadi pingsan!”
“Gua nggak bisa!” Reno tiba-tiba histeris, “Tadi gua diancem sama Bu Grace. Katanya kalo sampe elo berdua kabur, gua....gua bakal...”
“Loe bakal kenapa? Loe bakal diapain Ren?”Dion langsung panik ngeliat wajah Reno yang membiru.
Reno menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak sanggup bicara.
“Katakan pada kami Ren, loe bakal diapain kalo kita kabur?”Dion mengguncang-guncang tubuh Reno. Reno kembali menggeleng.
“Ren plisss,” Dion memohon, “Sini, loe mesti tau apa yang membuat gua dan Adi nggak kuat lama-lama di sini.’
Dion menggiring Reno untuk masuk lebih dalam ke toilet. Belum apa-apa Reno udah mulai menghisap-hisap in-halernya.
“Parah, gila bau banget......”
“Ini belon seberapa Ren.”
Dion menunjukan lantai-lantai yang basah kecoklatan yang akan dia pel. Sedangkan Adi menunjukan benda-benda ajaib yang di temukan di dalam kloset. Pemandangan tersebut membuat Reno terguncang. Ia menghisap inhaler-nya secara non-stop sampai akhirnya...
“Hah...hah....hah,” Reno gelagapan, menyadari bahwa in-halernya telah habis. Dion dan Adi langsung panik.
“Gawat Reno kumat!” Dion dan Adi gelagapan, “Gimana dong? Gimana Dong? Gimana Dong?”
Dion tidak menjawab. Ia hanya menyaksikan Reno yang sedang sesak nafas, jatuh ke lantai, dan pingsan.
“Aduh Ren ...Ren... sadar dong...jangan bikin kita tambah susah donk!”Adi meratap. Diguncang-guncangnya tubuh Reno, namun temannya itu tidak sama sekali menunjukan reaksi.
“Gimana dong? Gimana dong? Gimana Dong?” ratap Adi kebingungan.
“Parah nih. Kayaknya dia beneran pingsan deh,” ujar Dion.
“Hah? Pingsan? Aduh gimana nih? Gim....”
“Will you just shut up???”
Adi akhirnya menjadi tenang. Dion sebagai pemecah masalah yang handal mulai berpikir.
“Kita gak boleh gegabah,” Dion memulai. “Keadaan kita udah gawat.”
“Trus kita mesti gimana?” Adi berkeringat. “Gerbang sekolah pasti udah ditutup, kalaupun nggak pasti satpamnya sudah dipesenin Bu Grace buat nahan kita di sini.”
Dion menatap Adi, dan akhirnya ia berteriak, “KABURR!!!”
Bagai dipecut cambuk, keduanya bangkit dan berlari memasuki salah satu bilik. Baik Dion maupun Adi menatap jendela besar di atas kloset. Setelah itu mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan.
“Aduh berat sih loe, cepetan donk!”Adi sewot saat dirinya digunakan sebagai pijakan kaki Dion untuk memanjat jendela. Dion akhirnya berhasil meraih jendela tersebut dan mendorongnya hingga terbuka, kemudian dikeluarkannya kepala melalui jendela tersebut, dan melihat sekeliling.
Halaman belakang sekolah tampak sepi. Para siswa sudah pada pulang ke rumah masing-masing sejak satu jam yang lalu. Dion menghela nafas lega, namun kembali bete saat melihat jarak jendela ke bawah lumayan tinggi.
“Udah belom sih? Gua keberatan tau!”
“Yaelah bentar dikit napa sih? Sabar donk!” sahut Dion. Dilayangkan matanya ke segala arah, berusaha menemukan seseorang yang lewat yang bisa membantunya.
“Lexa!” Dion memanggil dengan suara yang sangat keras. Lexa ketawa ngakak melihat sang Ketua OSIS nyangkut di jendela.
“Hahaha. Ngapain loe disitu? Lo mo ngeliat pemandangan? Lo aneh juga ya, ngeliat pemandangan di sini.Dasar gokil lo!” Lexa menertawakan Dion.
“Udah nggak usah bawel. Bantuin gua turun donk!”
“Nggak pernah kenal sama yang namanya pintu ya Mas?”
“Udah jangan berisik! Gua lagi disuruh ngebersihin toilet. Mau kabur nih.”
Lexa mengeleng-geleng kepala,”Ck...ck...masih kelas 2 aja udah lari dari hukuman. Gimana entar kalo udah jadi pejabat? Pantes aja negara kita...”
“Gua nggak butuh kultum sekarang! Lo mau bantuin gua apa enggak?”
Melihat Dion menjerit-jerit seperti orang gak waras, hati Lexa tersentuh juga. Cewek itu akhirnya membawakan sebuah tangga yang untungnya tersandar di dinding dekat situ. Dion langsung turun, diikuti oleh Adi. Setelah keduanya sukses berada kabur dari toilet, Lexa mendengus ketus dan pergi.
“Truss...si Reno gimana tuh? Masa kita tinggalin dia begitu aja?” tanya Adi kepada Dion. Mereka berdua pun mikir. Tapi kesimpulannya kemudian: cuekin Reno, lanjutkan kabur dan pulang ke rumah masing-masing.
Sementara itu Reno sudah siuman. Beberapa jam kemudian, Bu Grace tersenyum sinis sambil menepuk-nepuk punggung Reno.
“Jadi, kedua murid itu kabur dan kamu tidak menghalangi mereka?” sang guru bertanya dengan tingkat kekejaman setara tingkatnya dengan The Predator.
Reno meratap, “Saya sudah berusaha Bu...sumpah...tapi asma saya mendadak kumat...truss saya pingsan...maafkan saya Bu...”
“Huh, tidak ada maaf bagimu! Semua yang tidak melaksanakan kewajiban harus dihukum dengan seberat-beratnya. Besok kamu sendiri yang harus membersihkan toilet ini!”
“Hah? Kalo gitu saya bisa pingsan lagi dong, Bu.....”
“Biar gak pingsan, sekarang kamu beli inhaler buat persediaan besok!”
Setelah Dion dan Adi lepas dari hukuman, Reno Sang Pengawas-lah yang harus menanggung hukuman mereka. Itulah kejadian yang mengenaskan di toilet pria di sekolah. Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS
Labels:
Teen Short Stories
We Love Her
Oleh: Yudhan Triyana, 16 tahun
(BWS Garut)
Pagi datang tanpa diundang. Cahaya matahari yang membias di permukaan air laut membuatnya bersinar berkilauan. Aku sudah mengenakan pakaian seragam. Aku, Fernan Alergo Stacatisimo, anak kelas satu SMA Global, sebuah sekolah yang terbilang elite di kota ini.
Pagi itu aku membawa Honda Jazz Sport-ku memasuki lapangan parkir sekolah. Pagi yang sangat mengejutkan karena aku berpapasan dengan Melone. Dia menyapaku ramah, tersenyum manis, membuat raut mukaku memerah karena tersipu.
“Met pagi? Apa kabarnya nih? Jarang ketemu sejak perpisahan waktu SMP!!!” sapanya.
Benar, dia dan aku memang pernah sahabatan sewaktu SMP. Tapi semenjak masuk bangku SMU yang sudah berlangsung seminggu ini, kami jarang menyapa. Mungkin karena kesibukan MOS, tugas-tugas, dan sebagainya.
“Eh, pagi juga, kabar aku baik kok, kamu aja yang jarang nyapa aku,” jawabku malu-malu.
“Oh, ya sudah ya, aku ada tugas yang belum dikerjakan, jadi aku duluan ke kelas ya?” pintanya dengan raut tergesa-gesa.
“O, Oke…,” jawabku kikuk.
Melone adalah gadis cantik berumur 16 tahun, seumuran denganku. Aku mengaguminya sejak pertama kali kami masuk SMP, hingga sekarang, kalau mau jujur. Meski yah, sekarang dia sudah menjadi milik cowok lain, namun rasa itu masih tetap ada. Dulu sewaktu Melone dan Dimas jadian, aku terkapar dalam rasa sakit hati yang dalam, sebagaimana layaknya orang yang jatuh cinta bertepuk sebelah tangan. Namun, di luar itu aku sangat menghargai hubungan mereka. Karena keduanya adalah sahabat yang kusayangi semasa SMP. Meski Dimas sekarang melanjutkan ke SMU yang berbeda dengan kami, yakni sebuah SMU di Sidney, Australia, aku tetap berusaha menjaga hubungan mereka dan tidak memanfaatkan situasi.
Bel masuk sekolah meraung-raung, memanggil seluruh siswa untuk memasuki kelas masing-masing. Aku segera masuk kelas dan mengikuti jam pelajaran dengan baik.
Mata pelajaran pertama di kelasku seni musik. Aku menyukainya, karena para siswa disuruh masuk ke ruangan musik, dan di sanalah aku mempraktekkan keterampilan jari-jariku menekan tuts piano. Gara-gara permainan jariku yang terlatih, guru memilihku menjadi pianis untuk paduan suara sekolah.
Tak terasa jam pulang sudah tiba. Bel memanggil seluruh siswa untuk segera meninggalkan kelas. Aku menatap langit yang berwarna biru laut. Entah kenapa, aku sangat menikmati hari itu, hari yang sangat berarti dalam hidupku. Aku termangu di tengah lapangan rumput sambil tiduran, mencari inspirasi untuk menciptakan lagu dan puisi buat Melone, seperti yang selama ini sering kulakukan. Berpapasan dengan Melone tadi pagi, membuat imajinasiku lebih melayang di banding hari-hari tanpa dia.
Benar-benar seperti mendapat durian runtuh, siang itu kami bertemu lagi. Ketika aku selesai mencari inspirasi dan hendak pulang, tahu-tahu Melone muncul dan menghampiriku.
“Fer kok sendirian? Gak pulang bareng temen-temen?” tanya dia tiba-tiba.
“Ah nggak juga kok, aku memang suka menyendiri, tapi emangnya kenapa gitu?” jawabku antusias.
“Ah cuman nanya aja kok, tapi hari ini kamu ada waktu gak? Aku mau minta kamu mengantarku pergi ke Mall, soalnya gak da temen??? Mau ya???” jawabnya setengah memelas.
“Boleh aja kok, yuk ke parkiran….,” ajaku sambil tertawa bahagia. Sejak masuk SMU, inilah pertama kalinya kami bisa bersama lagi.
Sesampainya di parkiran aku membukakan pintu mobil untuknya. Kustarter mobil dengan rasa bahagia, plus deg-degan. Jantungku berdebar tiada henti. Meski ada rasa bersalah pada Dimas nun jauh di sana.
“I’ts my first time with my princes in my car,” bisikku dalam hati.
Sepanjang perjalanan menuju Mall, aku hanya bisa terdiam dan sesekali mencuri-curi pandang melihat wajah manis Melone.
Ketika sampai di mall, kuparkir mobilku di lantai basement, dan kubukakan pintu untuk Melone. Dia say thanks dan memintaku untuk menunggu saja di parkiran, tetapi aku memaksa ikut. Melone setuju asal kami berada di jarak yang jauh. Aku langsung menenteng tas yang berisi laptop pribadiku, masuk ke sebuah resto yang berada dilantai 3. Dari sini bisa kulihat Melone dengan jelas. Dia sedang menunggu seseorang dengan raut cemas.
Tiba-tiba seorang cowok seusiaku menghampiri Melone dan langsung disambut dengan ciuman di pipi. Aku sangat terkejut dengan apa yang kulihat. Siapa cowok itu? Apakah ini perselingkuhan? Jika ya, ini mimpi buruk. Bukan hanya menyakiti hatiku. Tapi juga tak disangka, seorang Melone berani selingkuh di hadapan sahabat pacarnya sendiri. Yang bener aja?!
Aku melihat Melone tersenyum dan tertawa bersama cowok itu, di depan sebuah kafe. Tak ingin berprasangka, kubuka laptop sambil memesan segelas ice capuccino. Sebagaimana yang sering kulakukan begitu bertemu layar laptop, aku segera membuat sebuah puisi. Kutulis apa yang kurasakan, sebab aku tahu, aku takkan pernah bisa bicara tentang perasaanku kepada siapapun. Duniaku hanya kertas berisi coretan hati, atau file komputer yang penuh dengan lirik lagu dan puisi.
Sore itu aku benar-benar merasa kaget dan sakit hati. Apa yang kusaksikan tak bisa kusangka sebelumnya. Melone bertemu dengan cowok lain yang mungkin pacar ke-2, ke-3, atau kesekiannya. Tak disangka gadis yang kusayang bermuka dua.
Setelah puas mengobrol dengan cowok itu, sambil ada adegan peluk-pelukan segala, Melone masuk ke kafe di mana aku berada. Dia langsung mengajakku pulang. Dia terlihat sangat senang. Aku tak bicara sepatah kata. Kami berjalan menuju basement, dan aku langsung mengantarkan Melone pulang.
Rumah Melone cukup dekat dengan Mall itu. Kubukakan pintu untuknya. Ia mengucap terima kasih atas tumpangannya, tanpa raut bersalah atau apapun di wajahnya. Dia benar-benar tak mencoba memahami perasaanku. Apakah dia sudah lupa bahwa aku adalah sahabat pacarnya? Jangan-jangan, dia sudah putus dengan Dimas tanpa sepengetahuanku. Makanya dia cuek-cuek saja saat nge-date dengan cowok lain di hadapanku.
Di rumah aku segera bergegas ke kamar tidur. Kurebahkan badan di atas springbed yang nyaman. Kuterawang jauh langit-langit di atas sana. Tak mengerti, mengapa gadis yang selama ini kukagumi, justru mengkhianati pacarnya sendiri. Mengkhianati sahabat kecil kami, Dimas Permana. Aku benar benar tak menduga.
Dari lantai bawah, kakakku memanggil untuk makan malam. Namun saat ini nafsu makanku berkurang. Aku bilang kalau aku lelah dan ingin segera istirahat, lalu segera kukunci kamar tidur.
Malam yang larut membuat udara dingin menusuk. Aku kembali membuka laptop dan membuka folder dimana aku menyimpan foto-foto Melone yang selama ini kuambil dan kukumpulkan secara diam-diam tanpa sepengetahuannya. Melihat foto-fotonya, kembali kuberpikir, apa yang harus kulakukan setelah tahu sisi lain Melone? Apakah aku harus tetap mencintainya? Atau malah balik membencinya?
Mataku terasa sesak oleh air mata. Aku menangis. Mungkin karena merasa telah mengecewakan Dimas, bahwa aku tak bisa mencegah apa yang dilakukan Melone. Atau mungkin, karena gadis itu ternyata berbeda dengan harapanku – dia mengejar cowok lain dan bukannya aku.
Perlahan kelopak mataku tertutup. Aku tertidur dengan sebuah pertanyaan tanpa jawab.
Udara pagi yang menyelinap melalui jendela kamar membuatku terbangun. Aku segera menuju kamar mandi, cuci muka dan gosok gigi. Lalu mengenakan pakaian olahraga dan mengenakan sepatu kets putih kesayangan ku. Hangatnya cahaya matahari Minggu pagi, membuatku bersemangat untuk berlari pagi mengitari kompleks perumahan. Yah, meskipun agak kesiangan.
Siangnya, ceriaku kembali sirna. Di sudut kamar, aku membuka grand piano yang tersimpan di sudut. Aku memang senang bermain piano, dan ingin menjadi pianis terkenal. Aku bisa memainkan beberapa musik Classic dan Jazz. Aku juga sering memainkan beberapa lagu yang sengaja kuciptakan untuk Melone.
Kini tampak matahari jatuh dan seperti tenggelam dalam air laut yang membias merah. Sore yang sunyi bagi hatiku yang sedang dilanda dilema. Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Dari Dimas.
“Hallo, ada apa brother? (panggilan kecil untuk Dimas).”
Tapi yang menjawab di seberang sana bukanlah suara Dimas yang nge-bass, melainkan suara wanita yang sedang menangis.
“Halo… ini dengan Fernan?” tanyanya.
“Ya, dengan siapa ya?” heranku.
“Fernan, ini tante Jasmine, ibunya Dimas.”
“Ooo,,,, ada apa Tante kok tiba-tiba? Dan kenapa tante menangis?” tanyaku.
“Fernan, Dimas…Dimas…kecelakaan. Sekarang Dimas sedang kritis di rumah sakit,” jawabnya sembari menangis.
“Loh, bukannya Dimas sedang di Sidney?” tanyaku dengan nada cemas dan kaget.
“Sebenarnya Dimas sudah kembali ke Indonesia. Dia tidak ingin memberi kabar karena ingin membuat kejutan. Begitu pulang kemarin siang, Dimas segera menuju rumah kamu, tetapi kamu tidak ada di rumah. Terus dia memberi kabar ke ibu kalau dia mau ke rumah Melone. Dan ketika pulang, Dimas kecelakaan…”
Aku termangu. Berarti Dimas ke rumah ketika aku sedang pergi mengantar Melone selingkuh. Anjrit, aku memang tolol… Oh my…
Apakah…apakah…oh jangan-jangan Dimas tahu soal perselingkuhan Melone, dan karena itulah dia mengalami kecelakaan? Otakku berputar-putar.
Tanpa menunggu, aku segera menuju rumah sakit. Kukemudikan Honda Jazz Sport-ku tanpa konsentrasi. Sesampainya di gerbang rumah sakit aku menghampiri resepsionis dan menanyakan ruang rawat Dimas. Lalu berlari dengan langkah cepat yang membuat jantungku sesak.
Di lorong rumah sakit yang sepi terlihat keluarga Dimas yang sedang dilanda duka. Kuhampiri mereka dan duduk di samping orang tuanya Dimas.
“Sebenarnya Dimas kecelakaan kemarin sore, tetapi pihak rumah sakit baru memberi tahu kami tadi pagi,” ujar ayahnya Dimas.
Aku dipeluk kedua orangtua Dimas yang telah menganggapku sebagai anaknya. Keadaan itu membuatku tak kuat menahan air mata. Aku meminta izin untuk memasuki ruang rawat. Kukenakan pakaian khusus dan masker. Dan di sanalah Dimas terbaring lemah, diliputi banyak selang dan perban.
Wajah Dimas terlihat sangat tenang. Tapi aku duduk di sampingnya dan menangis. Dimas sahabat kecilku yang kucintai. Di saat seperti ini, Melone seharusnya mendampinginya. Tapi gadis itu entah ke mana, padahal tadi aku sudah menghubunginya lewat ponsel. Jangan-jangan dia malah sedang enak-enakan bersama cowok itu…
Malam yang semakin dingin memaksaku untuk segera kembali pulang. Orangtuaku sudah menelepon. Aku harus berpamitan kepada keluarga Dimas, dan memintanya untuk memberikan kabar perkembangan kondisi sahabatku. Aku pulang ke rumah, tidur di kamarku, namun sampai dinihari mataku masih terbuka.
Esoknya aku tak masuk sekolah. Karena pagi-pagi, sebuah mobil warna hitam sudah terparkir di depan rumahku. Aku terheran-heran melihat lelaki yang keluar dari mobil itu. Siapa dia? Aku tak mengenal sosok itu. Tapi tunggu, bukankah dia cowok yang kulihat janjian dengan Melone di mall waktu itu? Ya benar. Dia menuju pintu gerbang rumahku.
Pintu depan yang sudah terbuka dari tadi, membuatku tak bisa mengelak darinya. Wajah yang sedikit kukenal itu tersenyum gelisah.
“Ini Fernan kan?” tanyanya.
“Ya saya Fernan, ada apa?”
“Gue Justin, ingin ngasih tahu kalau Melone ada di rumah sakit,” jawabnya dengan tampang sedih.
Aku tersentak. “Memangnya Melone kenapa?”
“Penyakitnya kambuh lagi. Tadi dia menyuruhku menjemput lo. Katanya, dia ingin lo segera menemuinya di rumah sakit,” paparnya.
“Baik kalau begitu, aku segera ikut ke sana,” jawabku. Lalu… “Eh, siapa namamu tadi – Justin. Kamu siapanya Melone?”
Cowok itu tersenyum. “Gue temannya,” katanya. “Tadi pagi ortunya Melone mengabari gue kalau anaknya sakit. Trus saat gue mengunjunginya di rumah sakit, Melone malah nyuruh gue jemput lo.”
Oh, jadi dia temannya. Eh, teman apa teman? Apakah Melone ternyata tidak selingkuh? Apakah cowok itu hanya nggak tahu harus menjawab apa. Itu kan masalah pribadi.
Tapi tak ada waktu untuk berdebat sekarang. Aku harus segera lari ke kamar untuk berpakaian. Semenit kemudian, aku dan Justin sudah melaju ke rumah sakit.
Kata dokter, penyakit kanker jantung Melone kambuh lagi. Padahal sejak SMP dia selalu terlihat sehat. Sungguh tak menyangka. Yang lebih mengejutkan, rumah sakit tempat gadis itu dirawat ternyata sama dengan tempat Dimas dirawat. Ah, aku jadi teringat sebuah adegan film Heart.
Di ruangan VIP itu, Melone terbaring lemah sendirian. Aku menghampirinya. Kedua matanya terpejam. Kupegang tangannya, kugenggam dan tanpa sadar, kusimpan di dada. Saat itu hatiku sangat tak karuan. Sedih, cemas, juga bingung.
Aku bingung, apa yang harus kulakukan? Tak di sangka di saat yang bersamaan, sepasang kekasih terbaring lemah di rumah sakit yang sama.
Tiba-tiba tanganku serasa ada yang menggenggam. Ternyata Melone sudah terjaga. Aku segera memegang keningnya, panas. Dia demam. Tapi dia masih tampak tegar. Dia tersenyum samar dan memintaku membantunya duduk.
“Aku memintamu ke sini, sebab aku punya pesan untuk Dimas. Berikan padanya kalau dia sudah sembuh nanti.”
Melone dengan susah payah mengambil sebuah surat beramplop dari bawah bantalnya. Tanpa bertanya, aku segera menerimanya dan memasukkan ke dalam saku celana.
“Berita kecelakaan Dimas membuatku shock dan sakit jantungku kumat,” jelas Melone.
Oh, jadi dia sudah tahu soal itu. Melone syok? Apakah dia masih mencintai Dimas?
Aku berusaha menghiburnya. Namun aku tahu, aku bukan ahli masalah itu. Yah, dengan sedikit kata-kata penghiburan, paling tidak Melone bisa tersenyum.
Dan tiba-tiba saja Melone bicara tentang masa lalu kami bertiga – Melone, Dimas, dan aku. Ia mengingatkanku tentang sebuah kaleng rahasia yang kami bertiga kubur bersama di kebun belakang SMP kami dulu.
“Woi, cepetan entar keburu ketahuan pak guru,” teriak Melone kepada aku dan Dimas dengan raut cemas.
“Iya sabar,” jawabku. “Ayo cepat gali tanahnya yang dalem biar gak mudah ditemuin orang,” ujarku pada Dimas.
“Sabar-sabar, bentar lagi kok, ini juga tinggal sedikit lagi,” ujar Dimas sambil terus menggali tanah di kebun belakang SMP kami.
Waktu itu jam istirahat. Seharusnya kami berada di kantin dan ngobrol dengan teman-teman. Tapi kami malah mengubur sebuah kaleng. Dimas, Melone, dan aku, telah menaruh benda kesayangan beserta selembar kertas berisi harapan masing-masing ke dalam kaleng itu. Masing-masing di antara kami tak ada yang tahu apa isinya kecuali miliknya sendiri. Kami berjanji untuk terus bersahabat dan membuka kaleng itu pada saat kelas 3 SMA nanti. Itulah kesepakatan kami bertiga saat itu.
“Fer, kamu gak kenapa-kenapa,?” tanya Melone melihatku bengong.
“Ah enggak, cuman inget waktu kita ngubur kaleng itu,” jawabku.
Melone tersenyum dan wajahnya sangat pucat. Aku segera membantunya kembali berbaring. Kupakaikan selimut di tubuh Melone dan segera memanggil Suster, karena Melone tampak kelelahan setelah bicara tadi.
Suster yang merawat Melone menyuruhku menunggu di luar ruangan. Kesempatan itu kugunakan untuk mengunjungi Dimas.
Dimas yang masih belum sadarkan diri, diam tak bergerak. Aku menghampirinya perlahan. Kulihat wajahnya tersenyum. Mungkin Dimas sedang menemukan surga dalam tidurnya.
Saat itu ibunya Dimas menghampiri.
“Fer, Dimas gak bisa hidup lebih lama lagi,” ujarnya, menangis.
Aku kaget. “A…apa? Oh, Tante masak sih? Sebaiknya kita tenang dulu, mungkin takdir Tuhan nanti berkata lain.”
“Tapi pembuluh darah di otak Dimas sudah menggumpal dan kalau pembuluh darah itu pecah, Dimas….akan meninggal,” wanita itu semakin membuncah tangisnya.
Bukannya tenang seperti yang barusan kukatakan, aku malah ikut-ikutan menangis. Pada dasarnya jiwaku memang melankolis. Mungkin itulah kenapa aku senang musik dan puisi.
Kecelakaan yang menimpa Dimas memang tergolong sangat parah. Menurut dokter, kalaupun Dimas bisa bertahan hidup, nyawanya tetap terancam.
Aku benar-benar tak berharap Dimas meninggal. Kesedihan menggerogoti, namun tak tahu apa yang harus kulakukan. Kecuali, menunggu saja takdir Tuhan.
Setelah ibu Dimas lebih tenang, aku kembali ke ruangan Melone.
Melone sudah tertidur. Justin juga tak ada. Kuputuskan untuk pulang dulu ke rumah.
Dalam perjalanan pulang, hatiku tak bisa tenang. Dua sahabatku yang saling mencintai sedang berjuang melawan maut.
Di kamarku, kubuka laptop. Foto-fotoku bersama Dimas dan Melone, menorehkan kenangan manis bersama. Meski di antara kenangan manis itu ada juga kenangan perih, yakni saat mereka jadian, namun foto-foto itu menjelaskan bahwa kami pernah merasakan indahnya kebersamaan. Aku tak kuasa untuk tidak segera menulis sebuah lagu untuk mereka. Kutulis lirik, kumainkan melodi di grand piano.
Lelah dan cemas. Berpikir tentang bagaimana perasaan Dimas kalau tahu apa yang dilakukan Melone. Dan juga aku memikirkan perasaan Melone, apakah dia masih sayang sama Dimas? Karena sepertinya misteri hubungan Melone dan Justin belum terungkap. Meski Justin mengaku teman, namun kata ‘teman’ menyimpan banyak arti yang takkan bisa kuterjemahkan sendiri.
Mataku sudah mulai terasa berat, aku merebahkan diri di kasur. Menerawang ke atas, membayangkan masa silam saat di SMP. Terbayang wajah cemas Dimas yang berbinar harapan, saat dia mengutarakan padaku rasa cintanya pada Melone. Masih ingat di benakku, saat Melone datang padaku dan curhat soal perilaku Dimas yang beda. Gadis itu bertanya apakah Dimas ada rasa padanya. Masih ingat di benakku, saat kami berlarian bertiga dalam hujan, aku dan Dimas berebut payung Melone. Aku tak ingat kepada siapa akhirnya payung itu diberikan. Aku hanya ingat, tiba-tiba esoknya ada yang berubah di antara kami bertiga. Dimas dan Melone menjadi lebih akrab dari sebelumnya, dan di hari ultah Melone, Dimas mengumumkan kepada semua yang hadir, bahwa ia sudah jadian dengan Melone. “Kuharap kamu merestui hubungan kami,” ujar Dimas kepadaku di sela acara ulang tahun itu. Dan aku hanya mematung. Lalu…mengangguk. “Selamat, Man,” ujarku pada Dimas. Saat itulah aku merasa jadi orang termunafik di dunia!
Kini aku tak yakin kami masih akan bisa bersama. Dimas dan Melone sama-sama sedang kritis. Tiba-tiba menelusup dalam hatiku, andai Melone dan Dimas bisa tetap hidup, aku berjanji takkan lagi menyimpan cinta untuk Melone. Aku berjanji untuk menjauhi mereka, dan membiarkan mereka bahagia bersama.
Masalahnya tinggal satu…
Hari masih pagi, ketika kurogoh saku celana. Surat yang Melone titipkan padaku kemarin. Segera kusimpan di laci mejaku. Aku akan berikan itu kalau Dimas sudah sembuh. Meski peluangnya tipis…
Lorong rumah sakit pagi itu masih sangat sepi, para Dokter dan Suster masih sibuk menyiapkan alat kerja mereka. Pintu ruang rawat Melone masih tertutup. Kubuka perlahan, Melone masih tertidur. Tapi wajahnya sudah tak sepucat kemarin. Mungkin dia akan segera membaik. Sebaiknya kujenguk dulu Dimas.
“Pagi semua,” sapaku pada ayah dan ibu Dimas yang masih menunggui pasien. “Sekarang keadaan Dimas gimana ,Om?” tanyaku kepada ayah Dimas.
“Belum ada perkembangan, masih seperti kemarin,” jawabnya lemas dengan wajah kurang tidur.
“Kalo gitu, kita semua sabar aja ya,” kataku menenangkan. Padahal aku juga tidak tenang. Dimas adalah sahabat terbaik. Bagaimana bisa tenang melihat kondisinya yang tetap parah?
Pagi itu mendung. Hujan turun perlahan, membasahi taman rumah sakit. Aku teringat saat kami bertiga pergi bermain ke sebuah bukit.
Udara dingin pegunungan memaksa kami untuk mengenakan jaket yang tebal. Saat itu aku, Dimas, dan Melone sudah berada di kaki bukit. Di sini pemandangan terlihat sangat indah. Kami bisa melihat langit bersama bintang yang berjajar rapi, menghiasi kota. Lampu-lampu rumah ikut menambah indahnya malam ini.
Tiba-tiba kami terjebak hujan gerimis. Menambah malam makin romantis. Sebetulnya suasana ini tak sesuai, karena rencana kami ke sini bukan untuk happy. Tapi untuk perpisahan dengan Dimas yang akan melanjutkan SMU ke Sidney.
Kami berfoto dan bermain hujan-hujanan.
Melone yang memulai. Dia melepas jaketnya dan berhujan ria. Lalu menarik aku dan Dimas untuk mengikuti apa yang dilakukannya. Kami mengabadikan momen tersebut dengan kamera digital. Foto itu sampai sekarang masih terpajang di kamarku.
Aku duduk di samping ranjangnya. Melone tampak rapuh, padahal wajahnya tak sepucat kemarin. Penyakit dalam memang sulit dideteksi dengan mata kasat.
“Fer, aku ingin kamu bisa menjaga suratku dengan baik. Aku ingin Dimas membacanya,” ucap Melone memohon, seolah ini akan menjadi kata-kata terakhirnya.
“Tenang Mel, aku akan simpan surat itu sampai Dimas sembuh, jangan khawatir,” jawabku, menenangkan diri sendiri.
“Fer, aku percaya sama kamu. Tetapi saat Dimas membaca surat itu, aku mungkin sudah tidak ada lagi. Aku harus pergi berobat ke Singapore.”
“Iya aku tahu dari ayahmu. Aku yakin kamu pasti sembuh, dan harus sembuh.”
Karena aku sayang kamu, Melone.
Aku ingin bertanya tentang Justin. Tapi tampaknya belum saatnya. Melone keburu tertidur.
Hidup dalam Realita
Bilamana matahari yang sudah goyah dengan konsistennya
Bulan yang manis tak lagi benderang dalam kelam
Cahaya tak lagi bersinar dan hanya ada
Cahaya yang kelabu
Mereka yang sudah goyah dan tak lagi setia
Dalam gelap tak bersinar
Dalam kelam tak bercahaya
Sebuah realita yang tak bisa kami tolak
Hanya bisa memilih dalam sebuah dilema,
Yang membuat hati turut tak konsisten
Karena kita sudah tak bisa membuat
Kenyataan berubah
Kutemukan puisi dalam lembar diaryku. Puisi yang kubuat ketika Dimas pergi ke Sydney dan Melone menjauh sejak kami masuk SMA. Apakah aku bisa hidup tanpa memikirkan mereka?
Jam menunjukan pukul 03.30 dinihari, namun ponselku berdering. Aku tidak kenal nomor siapa yang memanggil. Kucoba mengangkatnya meski mataku masih berat.
“Haloo? Dengan siapa ya?”
“Fernan, ini dengan Justin.”
Justin? Mendadak aku bangkit.
“Ya ada apa? Apa yang terjadi, Justin?”
“Melone, Fer. Melone, sudah tak ada!!!”
A, apa???? “Maksud lo, sudah tak ada di rumah sakit? Sudah berangkat ke Singapur untuk berobat?”
“Bukan. Dia sudah tak ada. Sudah meninggal.”
Aku tak kuasa menahan tubuhku. Ponselku terjatuh. Apa katanya, Melone meninggal? Secepat ini?
“Lo bohong, Justin,” aku berteriak sambil memukul cermin.
Tak lama kemudian pihak keluarga memberi tahu kalau jenazah Melone sudah ada di rumahnya. Dengan sangat berusaha aku membawa diriku untuk segera pergi ke rumah Melone, aku ditemani kakakku. Aku tak menyangka Melone pergi secepat ini.
Jenazah Melone sudah dipulangkan ke rumahnya. Orang-orang berkerumun, ingin mengantar kepergiannya. Aku menerobos masuk. Kulihat sosok Melone sudah terbujur kaku, tertutup kain putih.
Kamu pergi meninggalkan hati dan misteri, Melone.
Pemakaman berlangsung siang itu, dan Melone istirahat untuk selamanya. Pemakaman telah usai, namun aku masih berada di samping nisannya. Aku bersimpuh dan berjanji untuk merawat Dimas untuk Melone. Seperti dulu aku berjanji pada Dimas untuk menjaga Melone.
Aku akan memberikan surat itu kepada Dimas.
2 tahun kemudian…….
Udara pagi begitu sejuk. Aku membuka laci meja. Tak sadar kalau surat dari Melone masih tersimpan di sana. Surat untuk Dimas. Sejak Melone pergi untuk selamanya, aku memang tenggelam dalam kegiatan musikku di sekolah, dan melupakan surat itu.
Segera kuambil surat itu dan kukemudikan mobil menuju rumah Dimas. Keadaan Dimas sudah membaik. Ia tidak meninggal seperti dugaan dokter. Ia hanya harus dirawat jalan dan menggunakan kursi roda. Tuhan memang Maha Aneh dengan skenarionya. Melone yang lebih optimis hidup malah lebih dulu dipanggil-Nya.
Dimas tampak rapuh dan sedih. Meski ia bertahan hidup, namun apa artinya kalau gadis yang dicintainya meninggalkannya. Untung saja dia lelaki yang tabah. Lelaki yang selaras untuk Melone.
Kami berdua membuka surat itu.
Dear, Dimas.
Aku tahu bahwa aku hidup untuk mati. Mungkin saja hari ini aku masih bisa menulis, tetapi entah besok. Aku sadar dengan kondisi penyakitku ini. Aku telah merasakan ada yang memanggilku untuk pergi dan meninggalkan kamu dan Fernan. Tapi aku tak menyesal dengan apapun yang akan ditentukan Tuhan untukku nanti.
Sekarang kita masih kelas 1 SMA. Tapi aku ingin kamu dan Fernan tidak lupa membuka kaleng yang terkubur di belakang sekolah. Ingat, kita telah berjanji untuk membuka kaleng itu saat kelas 3 SMA.
Sekali lagi aku ingin meminta maaf. Untuk kamu, Fernan, dan juga …Justin.
Oya, mungkin Fernan sudah tahu. Sejak kamu pergi ke Sydney, aku diam-diam menerima cinta Justin. Dia cowok yang telah dijodohkan denganku oleh orangtua kami. Aku baru diberitahu hal itu setelah acara perpisahan kita di malam yang hujan, di kaki bukit malam itu.
Maafin aku, Dimas. Bukannya aku ingin mengkhianatimu. Tapi karena sejak lama aku ditimpa dilemma. Aku sangat bingung karena tahu satu hal. Bahwa tidak hanya kamu yang mencintaiku, tapi juga sahabat kita yang satu. Tak mungkin aku memilih hanya untuk melukai salah satu di antara kalian. Jadi kupilih Justin sebagai jalan keluar. Meski sebenarnya, jauh di lubuk hatiku, aku menyimpan perasaan yang berbeda. Perasaan yang tak semestinya.
Kalian bisa mengetahui perasaanku di dalam kaleng yang kita kubur itu… (Melone )
Aku dan Dimas saling pandang. Belum mengerti apa yang dimaksud Melone dengan ‘perasaan yang tak semestinya’. Aku dan Dimas sepakat untuk pergi bersama menuju sekolah SMP kami yang dulu. Kubawa cangkul dan sekop, menuju taman belakang sekolah itu. Dimas mengikutiku dengan kursi rodanya.
Tanah yang sudah mengeras sulit digali, namun dengan usaha akhirnya aku bisa. Sama seperti menggali kenangan masa lalu bersama Melone. Begitu sulit dilupakan, namun begitu pahit untuk dikenang.
Kaleng itu sudah usang dan berkarat. Perlahan kubuka isinya. Barang kesayangan dan ‘surat harapan’ milik tiga sahabat.
Sebuah bola bilyard kesayangan Dimas, dan surat harapannya:
Oh God I will go to Sidney. Aku ingin sekolah di sana, katanya di sana bagus.
Lalu, sebuah cincin yang Melone berikan padaku dulu, dan surat harapanku:
Harapanku hanya satu: Melone bahagia.
Barang yang disimpan Melone adalah sebuah rekaman video waktu kami bertiga pergi liburan ke pantai. Harapan Melone tertulis dalam sebuah surat yang unik:
ezAqurt quKel Unique zoMinxia Enigieq Noxitaqexa mofiCexImNxoqTy AqIMozq uqiE RmeqnErise qulapaKo Aniqmazuqix aBnEzaRt zeDaiq Unique ezAre.
Bacalah huruf-huruf besarnya saja. Semua akan tahu, ternyata Melone mencintai kami berdua – aku dan Dimas. Sebuah ‘perasaan yang tak semestinya’. Perasaan yang membuat Melone bimbang dan terpaksa memilih pilihan yang tak ingin dipilihnya – Justin.
Dimas dan aku saling berpandangan. Ada rasa saling bersalah dalam diri masing-masing. Lama kemudian, Dimas menepuk bahuku. “Maafin gue selama ini. Gue…gue egois telah memiliki Melone sendirian.”
Aku tersenyum. “It’s oke. Gue yang harusnya minta maaf.”
Akhirnya kami tahu perasaan Melone yang sesungguhnya. Dan itu lebih dari cukup untuk aku dan Dimas. Untuk menyematkan kenangan tentang persahabatan dan cinta, abadi di hati kami berdua. Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS
(BWS Garut)
Pagi datang tanpa diundang. Cahaya matahari yang membias di permukaan air laut membuatnya bersinar berkilauan. Aku sudah mengenakan pakaian seragam. Aku, Fernan Alergo Stacatisimo, anak kelas satu SMA Global, sebuah sekolah yang terbilang elite di kota ini.
Pagi itu aku membawa Honda Jazz Sport-ku memasuki lapangan parkir sekolah. Pagi yang sangat mengejutkan karena aku berpapasan dengan Melone. Dia menyapaku ramah, tersenyum manis, membuat raut mukaku memerah karena tersipu.
“Met pagi? Apa kabarnya nih? Jarang ketemu sejak perpisahan waktu SMP!!!” sapanya.
Benar, dia dan aku memang pernah sahabatan sewaktu SMP. Tapi semenjak masuk bangku SMU yang sudah berlangsung seminggu ini, kami jarang menyapa. Mungkin karena kesibukan MOS, tugas-tugas, dan sebagainya.
“Eh, pagi juga, kabar aku baik kok, kamu aja yang jarang nyapa aku,” jawabku malu-malu.
“Oh, ya sudah ya, aku ada tugas yang belum dikerjakan, jadi aku duluan ke kelas ya?” pintanya dengan raut tergesa-gesa.
“O, Oke…,” jawabku kikuk.
Melone adalah gadis cantik berumur 16 tahun, seumuran denganku. Aku mengaguminya sejak pertama kali kami masuk SMP, hingga sekarang, kalau mau jujur. Meski yah, sekarang dia sudah menjadi milik cowok lain, namun rasa itu masih tetap ada. Dulu sewaktu Melone dan Dimas jadian, aku terkapar dalam rasa sakit hati yang dalam, sebagaimana layaknya orang yang jatuh cinta bertepuk sebelah tangan. Namun, di luar itu aku sangat menghargai hubungan mereka. Karena keduanya adalah sahabat yang kusayangi semasa SMP. Meski Dimas sekarang melanjutkan ke SMU yang berbeda dengan kami, yakni sebuah SMU di Sidney, Australia, aku tetap berusaha menjaga hubungan mereka dan tidak memanfaatkan situasi.
Bel masuk sekolah meraung-raung, memanggil seluruh siswa untuk memasuki kelas masing-masing. Aku segera masuk kelas dan mengikuti jam pelajaran dengan baik.
Mata pelajaran pertama di kelasku seni musik. Aku menyukainya, karena para siswa disuruh masuk ke ruangan musik, dan di sanalah aku mempraktekkan keterampilan jari-jariku menekan tuts piano. Gara-gara permainan jariku yang terlatih, guru memilihku menjadi pianis untuk paduan suara sekolah.
Tak terasa jam pulang sudah tiba. Bel memanggil seluruh siswa untuk segera meninggalkan kelas. Aku menatap langit yang berwarna biru laut. Entah kenapa, aku sangat menikmati hari itu, hari yang sangat berarti dalam hidupku. Aku termangu di tengah lapangan rumput sambil tiduran, mencari inspirasi untuk menciptakan lagu dan puisi buat Melone, seperti yang selama ini sering kulakukan. Berpapasan dengan Melone tadi pagi, membuat imajinasiku lebih melayang di banding hari-hari tanpa dia.
Benar-benar seperti mendapat durian runtuh, siang itu kami bertemu lagi. Ketika aku selesai mencari inspirasi dan hendak pulang, tahu-tahu Melone muncul dan menghampiriku.
“Fer kok sendirian? Gak pulang bareng temen-temen?” tanya dia tiba-tiba.
“Ah nggak juga kok, aku memang suka menyendiri, tapi emangnya kenapa gitu?” jawabku antusias.
“Ah cuman nanya aja kok, tapi hari ini kamu ada waktu gak? Aku mau minta kamu mengantarku pergi ke Mall, soalnya gak da temen??? Mau ya???” jawabnya setengah memelas.
“Boleh aja kok, yuk ke parkiran….,” ajaku sambil tertawa bahagia. Sejak masuk SMU, inilah pertama kalinya kami bisa bersama lagi.
Sesampainya di parkiran aku membukakan pintu mobil untuknya. Kustarter mobil dengan rasa bahagia, plus deg-degan. Jantungku berdebar tiada henti. Meski ada rasa bersalah pada Dimas nun jauh di sana.
“I’ts my first time with my princes in my car,” bisikku dalam hati.
Sepanjang perjalanan menuju Mall, aku hanya bisa terdiam dan sesekali mencuri-curi pandang melihat wajah manis Melone.
Ketika sampai di mall, kuparkir mobilku di lantai basement, dan kubukakan pintu untuk Melone. Dia say thanks dan memintaku untuk menunggu saja di parkiran, tetapi aku memaksa ikut. Melone setuju asal kami berada di jarak yang jauh. Aku langsung menenteng tas yang berisi laptop pribadiku, masuk ke sebuah resto yang berada dilantai 3. Dari sini bisa kulihat Melone dengan jelas. Dia sedang menunggu seseorang dengan raut cemas.
Tiba-tiba seorang cowok seusiaku menghampiri Melone dan langsung disambut dengan ciuman di pipi. Aku sangat terkejut dengan apa yang kulihat. Siapa cowok itu? Apakah ini perselingkuhan? Jika ya, ini mimpi buruk. Bukan hanya menyakiti hatiku. Tapi juga tak disangka, seorang Melone berani selingkuh di hadapan sahabat pacarnya sendiri. Yang bener aja?!
Aku melihat Melone tersenyum dan tertawa bersama cowok itu, di depan sebuah kafe. Tak ingin berprasangka, kubuka laptop sambil memesan segelas ice capuccino. Sebagaimana yang sering kulakukan begitu bertemu layar laptop, aku segera membuat sebuah puisi. Kutulis apa yang kurasakan, sebab aku tahu, aku takkan pernah bisa bicara tentang perasaanku kepada siapapun. Duniaku hanya kertas berisi coretan hati, atau file komputer yang penuh dengan lirik lagu dan puisi.
Sore itu aku benar-benar merasa kaget dan sakit hati. Apa yang kusaksikan tak bisa kusangka sebelumnya. Melone bertemu dengan cowok lain yang mungkin pacar ke-2, ke-3, atau kesekiannya. Tak disangka gadis yang kusayang bermuka dua.
Setelah puas mengobrol dengan cowok itu, sambil ada adegan peluk-pelukan segala, Melone masuk ke kafe di mana aku berada. Dia langsung mengajakku pulang. Dia terlihat sangat senang. Aku tak bicara sepatah kata. Kami berjalan menuju basement, dan aku langsung mengantarkan Melone pulang.
Rumah Melone cukup dekat dengan Mall itu. Kubukakan pintu untuknya. Ia mengucap terima kasih atas tumpangannya, tanpa raut bersalah atau apapun di wajahnya. Dia benar-benar tak mencoba memahami perasaanku. Apakah dia sudah lupa bahwa aku adalah sahabat pacarnya? Jangan-jangan, dia sudah putus dengan Dimas tanpa sepengetahuanku. Makanya dia cuek-cuek saja saat nge-date dengan cowok lain di hadapanku.
Di rumah aku segera bergegas ke kamar tidur. Kurebahkan badan di atas springbed yang nyaman. Kuterawang jauh langit-langit di atas sana. Tak mengerti, mengapa gadis yang selama ini kukagumi, justru mengkhianati pacarnya sendiri. Mengkhianati sahabat kecil kami, Dimas Permana. Aku benar benar tak menduga.
Dari lantai bawah, kakakku memanggil untuk makan malam. Namun saat ini nafsu makanku berkurang. Aku bilang kalau aku lelah dan ingin segera istirahat, lalu segera kukunci kamar tidur.
Malam yang larut membuat udara dingin menusuk. Aku kembali membuka laptop dan membuka folder dimana aku menyimpan foto-foto Melone yang selama ini kuambil dan kukumpulkan secara diam-diam tanpa sepengetahuannya. Melihat foto-fotonya, kembali kuberpikir, apa yang harus kulakukan setelah tahu sisi lain Melone? Apakah aku harus tetap mencintainya? Atau malah balik membencinya?
Mataku terasa sesak oleh air mata. Aku menangis. Mungkin karena merasa telah mengecewakan Dimas, bahwa aku tak bisa mencegah apa yang dilakukan Melone. Atau mungkin, karena gadis itu ternyata berbeda dengan harapanku – dia mengejar cowok lain dan bukannya aku.
Perlahan kelopak mataku tertutup. Aku tertidur dengan sebuah pertanyaan tanpa jawab.
Udara pagi yang menyelinap melalui jendela kamar membuatku terbangun. Aku segera menuju kamar mandi, cuci muka dan gosok gigi. Lalu mengenakan pakaian olahraga dan mengenakan sepatu kets putih kesayangan ku. Hangatnya cahaya matahari Minggu pagi, membuatku bersemangat untuk berlari pagi mengitari kompleks perumahan. Yah, meskipun agak kesiangan.
Siangnya, ceriaku kembali sirna. Di sudut kamar, aku membuka grand piano yang tersimpan di sudut. Aku memang senang bermain piano, dan ingin menjadi pianis terkenal. Aku bisa memainkan beberapa musik Classic dan Jazz. Aku juga sering memainkan beberapa lagu yang sengaja kuciptakan untuk Melone.
Kini tampak matahari jatuh dan seperti tenggelam dalam air laut yang membias merah. Sore yang sunyi bagi hatiku yang sedang dilanda dilema. Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Dari Dimas.
“Hallo, ada apa brother? (panggilan kecil untuk Dimas).”
Tapi yang menjawab di seberang sana bukanlah suara Dimas yang nge-bass, melainkan suara wanita yang sedang menangis.
“Halo… ini dengan Fernan?” tanyanya.
“Ya, dengan siapa ya?” heranku.
“Fernan, ini tante Jasmine, ibunya Dimas.”
“Ooo,,,, ada apa Tante kok tiba-tiba? Dan kenapa tante menangis?” tanyaku.
“Fernan, Dimas…Dimas…kecelakaan. Sekarang Dimas sedang kritis di rumah sakit,” jawabnya sembari menangis.
“Loh, bukannya Dimas sedang di Sidney?” tanyaku dengan nada cemas dan kaget.
“Sebenarnya Dimas sudah kembali ke Indonesia. Dia tidak ingin memberi kabar karena ingin membuat kejutan. Begitu pulang kemarin siang, Dimas segera menuju rumah kamu, tetapi kamu tidak ada di rumah. Terus dia memberi kabar ke ibu kalau dia mau ke rumah Melone. Dan ketika pulang, Dimas kecelakaan…”
Aku termangu. Berarti Dimas ke rumah ketika aku sedang pergi mengantar Melone selingkuh. Anjrit, aku memang tolol… Oh my…
Apakah…apakah…oh jangan-jangan Dimas tahu soal perselingkuhan Melone, dan karena itulah dia mengalami kecelakaan? Otakku berputar-putar.
Tanpa menunggu, aku segera menuju rumah sakit. Kukemudikan Honda Jazz Sport-ku tanpa konsentrasi. Sesampainya di gerbang rumah sakit aku menghampiri resepsionis dan menanyakan ruang rawat Dimas. Lalu berlari dengan langkah cepat yang membuat jantungku sesak.
Di lorong rumah sakit yang sepi terlihat keluarga Dimas yang sedang dilanda duka. Kuhampiri mereka dan duduk di samping orang tuanya Dimas.
“Sebenarnya Dimas kecelakaan kemarin sore, tetapi pihak rumah sakit baru memberi tahu kami tadi pagi,” ujar ayahnya Dimas.
Aku dipeluk kedua orangtua Dimas yang telah menganggapku sebagai anaknya. Keadaan itu membuatku tak kuat menahan air mata. Aku meminta izin untuk memasuki ruang rawat. Kukenakan pakaian khusus dan masker. Dan di sanalah Dimas terbaring lemah, diliputi banyak selang dan perban.
Wajah Dimas terlihat sangat tenang. Tapi aku duduk di sampingnya dan menangis. Dimas sahabat kecilku yang kucintai. Di saat seperti ini, Melone seharusnya mendampinginya. Tapi gadis itu entah ke mana, padahal tadi aku sudah menghubunginya lewat ponsel. Jangan-jangan dia malah sedang enak-enakan bersama cowok itu…
Malam yang semakin dingin memaksaku untuk segera kembali pulang. Orangtuaku sudah menelepon. Aku harus berpamitan kepada keluarga Dimas, dan memintanya untuk memberikan kabar perkembangan kondisi sahabatku. Aku pulang ke rumah, tidur di kamarku, namun sampai dinihari mataku masih terbuka.
Esoknya aku tak masuk sekolah. Karena pagi-pagi, sebuah mobil warna hitam sudah terparkir di depan rumahku. Aku terheran-heran melihat lelaki yang keluar dari mobil itu. Siapa dia? Aku tak mengenal sosok itu. Tapi tunggu, bukankah dia cowok yang kulihat janjian dengan Melone di mall waktu itu? Ya benar. Dia menuju pintu gerbang rumahku.
Pintu depan yang sudah terbuka dari tadi, membuatku tak bisa mengelak darinya. Wajah yang sedikit kukenal itu tersenyum gelisah.
“Ini Fernan kan?” tanyanya.
“Ya saya Fernan, ada apa?”
“Gue Justin, ingin ngasih tahu kalau Melone ada di rumah sakit,” jawabnya dengan tampang sedih.
Aku tersentak. “Memangnya Melone kenapa?”
“Penyakitnya kambuh lagi. Tadi dia menyuruhku menjemput lo. Katanya, dia ingin lo segera menemuinya di rumah sakit,” paparnya.
“Baik kalau begitu, aku segera ikut ke sana,” jawabku. Lalu… “Eh, siapa namamu tadi – Justin. Kamu siapanya Melone?”
Cowok itu tersenyum. “Gue temannya,” katanya. “Tadi pagi ortunya Melone mengabari gue kalau anaknya sakit. Trus saat gue mengunjunginya di rumah sakit, Melone malah nyuruh gue jemput lo.”
Oh, jadi dia temannya. Eh, teman apa teman? Apakah Melone ternyata tidak selingkuh? Apakah cowok itu hanya nggak tahu harus menjawab apa. Itu kan masalah pribadi.
Tapi tak ada waktu untuk berdebat sekarang. Aku harus segera lari ke kamar untuk berpakaian. Semenit kemudian, aku dan Justin sudah melaju ke rumah sakit.
Kata dokter, penyakit kanker jantung Melone kambuh lagi. Padahal sejak SMP dia selalu terlihat sehat. Sungguh tak menyangka. Yang lebih mengejutkan, rumah sakit tempat gadis itu dirawat ternyata sama dengan tempat Dimas dirawat. Ah, aku jadi teringat sebuah adegan film Heart.
Di ruangan VIP itu, Melone terbaring lemah sendirian. Aku menghampirinya. Kedua matanya terpejam. Kupegang tangannya, kugenggam dan tanpa sadar, kusimpan di dada. Saat itu hatiku sangat tak karuan. Sedih, cemas, juga bingung.
Aku bingung, apa yang harus kulakukan? Tak di sangka di saat yang bersamaan, sepasang kekasih terbaring lemah di rumah sakit yang sama.
Tiba-tiba tanganku serasa ada yang menggenggam. Ternyata Melone sudah terjaga. Aku segera memegang keningnya, panas. Dia demam. Tapi dia masih tampak tegar. Dia tersenyum samar dan memintaku membantunya duduk.
“Aku memintamu ke sini, sebab aku punya pesan untuk Dimas. Berikan padanya kalau dia sudah sembuh nanti.”
Melone dengan susah payah mengambil sebuah surat beramplop dari bawah bantalnya. Tanpa bertanya, aku segera menerimanya dan memasukkan ke dalam saku celana.
“Berita kecelakaan Dimas membuatku shock dan sakit jantungku kumat,” jelas Melone.
Oh, jadi dia sudah tahu soal itu. Melone syok? Apakah dia masih mencintai Dimas?
Aku berusaha menghiburnya. Namun aku tahu, aku bukan ahli masalah itu. Yah, dengan sedikit kata-kata penghiburan, paling tidak Melone bisa tersenyum.
Dan tiba-tiba saja Melone bicara tentang masa lalu kami bertiga – Melone, Dimas, dan aku. Ia mengingatkanku tentang sebuah kaleng rahasia yang kami bertiga kubur bersama di kebun belakang SMP kami dulu.
“Woi, cepetan entar keburu ketahuan pak guru,” teriak Melone kepada aku dan Dimas dengan raut cemas.
“Iya sabar,” jawabku. “Ayo cepat gali tanahnya yang dalem biar gak mudah ditemuin orang,” ujarku pada Dimas.
“Sabar-sabar, bentar lagi kok, ini juga tinggal sedikit lagi,” ujar Dimas sambil terus menggali tanah di kebun belakang SMP kami.
Waktu itu jam istirahat. Seharusnya kami berada di kantin dan ngobrol dengan teman-teman. Tapi kami malah mengubur sebuah kaleng. Dimas, Melone, dan aku, telah menaruh benda kesayangan beserta selembar kertas berisi harapan masing-masing ke dalam kaleng itu. Masing-masing di antara kami tak ada yang tahu apa isinya kecuali miliknya sendiri. Kami berjanji untuk terus bersahabat dan membuka kaleng itu pada saat kelas 3 SMA nanti. Itulah kesepakatan kami bertiga saat itu.
“Fer, kamu gak kenapa-kenapa,?” tanya Melone melihatku bengong.
“Ah enggak, cuman inget waktu kita ngubur kaleng itu,” jawabku.
Melone tersenyum dan wajahnya sangat pucat. Aku segera membantunya kembali berbaring. Kupakaikan selimut di tubuh Melone dan segera memanggil Suster, karena Melone tampak kelelahan setelah bicara tadi.
Suster yang merawat Melone menyuruhku menunggu di luar ruangan. Kesempatan itu kugunakan untuk mengunjungi Dimas.
Dimas yang masih belum sadarkan diri, diam tak bergerak. Aku menghampirinya perlahan. Kulihat wajahnya tersenyum. Mungkin Dimas sedang menemukan surga dalam tidurnya.
Saat itu ibunya Dimas menghampiri.
“Fer, Dimas gak bisa hidup lebih lama lagi,” ujarnya, menangis.
Aku kaget. “A…apa? Oh, Tante masak sih? Sebaiknya kita tenang dulu, mungkin takdir Tuhan nanti berkata lain.”
“Tapi pembuluh darah di otak Dimas sudah menggumpal dan kalau pembuluh darah itu pecah, Dimas….akan meninggal,” wanita itu semakin membuncah tangisnya.
Bukannya tenang seperti yang barusan kukatakan, aku malah ikut-ikutan menangis. Pada dasarnya jiwaku memang melankolis. Mungkin itulah kenapa aku senang musik dan puisi.
Kecelakaan yang menimpa Dimas memang tergolong sangat parah. Menurut dokter, kalaupun Dimas bisa bertahan hidup, nyawanya tetap terancam.
Aku benar-benar tak berharap Dimas meninggal. Kesedihan menggerogoti, namun tak tahu apa yang harus kulakukan. Kecuali, menunggu saja takdir Tuhan.
Setelah ibu Dimas lebih tenang, aku kembali ke ruangan Melone.
Melone sudah tertidur. Justin juga tak ada. Kuputuskan untuk pulang dulu ke rumah.
Dalam perjalanan pulang, hatiku tak bisa tenang. Dua sahabatku yang saling mencintai sedang berjuang melawan maut.
Di kamarku, kubuka laptop. Foto-fotoku bersama Dimas dan Melone, menorehkan kenangan manis bersama. Meski di antara kenangan manis itu ada juga kenangan perih, yakni saat mereka jadian, namun foto-foto itu menjelaskan bahwa kami pernah merasakan indahnya kebersamaan. Aku tak kuasa untuk tidak segera menulis sebuah lagu untuk mereka. Kutulis lirik, kumainkan melodi di grand piano.
Lelah dan cemas. Berpikir tentang bagaimana perasaan Dimas kalau tahu apa yang dilakukan Melone. Dan juga aku memikirkan perasaan Melone, apakah dia masih sayang sama Dimas? Karena sepertinya misteri hubungan Melone dan Justin belum terungkap. Meski Justin mengaku teman, namun kata ‘teman’ menyimpan banyak arti yang takkan bisa kuterjemahkan sendiri.
Mataku sudah mulai terasa berat, aku merebahkan diri di kasur. Menerawang ke atas, membayangkan masa silam saat di SMP. Terbayang wajah cemas Dimas yang berbinar harapan, saat dia mengutarakan padaku rasa cintanya pada Melone. Masih ingat di benakku, saat Melone datang padaku dan curhat soal perilaku Dimas yang beda. Gadis itu bertanya apakah Dimas ada rasa padanya. Masih ingat di benakku, saat kami berlarian bertiga dalam hujan, aku dan Dimas berebut payung Melone. Aku tak ingat kepada siapa akhirnya payung itu diberikan. Aku hanya ingat, tiba-tiba esoknya ada yang berubah di antara kami bertiga. Dimas dan Melone menjadi lebih akrab dari sebelumnya, dan di hari ultah Melone, Dimas mengumumkan kepada semua yang hadir, bahwa ia sudah jadian dengan Melone. “Kuharap kamu merestui hubungan kami,” ujar Dimas kepadaku di sela acara ulang tahun itu. Dan aku hanya mematung. Lalu…mengangguk. “Selamat, Man,” ujarku pada Dimas. Saat itulah aku merasa jadi orang termunafik di dunia!
Kini aku tak yakin kami masih akan bisa bersama. Dimas dan Melone sama-sama sedang kritis. Tiba-tiba menelusup dalam hatiku, andai Melone dan Dimas bisa tetap hidup, aku berjanji takkan lagi menyimpan cinta untuk Melone. Aku berjanji untuk menjauhi mereka, dan membiarkan mereka bahagia bersama.
Masalahnya tinggal satu…
Hari masih pagi, ketika kurogoh saku celana. Surat yang Melone titipkan padaku kemarin. Segera kusimpan di laci mejaku. Aku akan berikan itu kalau Dimas sudah sembuh. Meski peluangnya tipis…
Lorong rumah sakit pagi itu masih sangat sepi, para Dokter dan Suster masih sibuk menyiapkan alat kerja mereka. Pintu ruang rawat Melone masih tertutup. Kubuka perlahan, Melone masih tertidur. Tapi wajahnya sudah tak sepucat kemarin. Mungkin dia akan segera membaik. Sebaiknya kujenguk dulu Dimas.
“Pagi semua,” sapaku pada ayah dan ibu Dimas yang masih menunggui pasien. “Sekarang keadaan Dimas gimana ,Om?” tanyaku kepada ayah Dimas.
“Belum ada perkembangan, masih seperti kemarin,” jawabnya lemas dengan wajah kurang tidur.
“Kalo gitu, kita semua sabar aja ya,” kataku menenangkan. Padahal aku juga tidak tenang. Dimas adalah sahabat terbaik. Bagaimana bisa tenang melihat kondisinya yang tetap parah?
Pagi itu mendung. Hujan turun perlahan, membasahi taman rumah sakit. Aku teringat saat kami bertiga pergi bermain ke sebuah bukit.
Udara dingin pegunungan memaksa kami untuk mengenakan jaket yang tebal. Saat itu aku, Dimas, dan Melone sudah berada di kaki bukit. Di sini pemandangan terlihat sangat indah. Kami bisa melihat langit bersama bintang yang berjajar rapi, menghiasi kota. Lampu-lampu rumah ikut menambah indahnya malam ini.
Tiba-tiba kami terjebak hujan gerimis. Menambah malam makin romantis. Sebetulnya suasana ini tak sesuai, karena rencana kami ke sini bukan untuk happy. Tapi untuk perpisahan dengan Dimas yang akan melanjutkan SMU ke Sidney.
Kami berfoto dan bermain hujan-hujanan.
Melone yang memulai. Dia melepas jaketnya dan berhujan ria. Lalu menarik aku dan Dimas untuk mengikuti apa yang dilakukannya. Kami mengabadikan momen tersebut dengan kamera digital. Foto itu sampai sekarang masih terpajang di kamarku.
Aku duduk di samping ranjangnya. Melone tampak rapuh, padahal wajahnya tak sepucat kemarin. Penyakit dalam memang sulit dideteksi dengan mata kasat.
“Fer, aku ingin kamu bisa menjaga suratku dengan baik. Aku ingin Dimas membacanya,” ucap Melone memohon, seolah ini akan menjadi kata-kata terakhirnya.
“Tenang Mel, aku akan simpan surat itu sampai Dimas sembuh, jangan khawatir,” jawabku, menenangkan diri sendiri.
“Fer, aku percaya sama kamu. Tetapi saat Dimas membaca surat itu, aku mungkin sudah tidak ada lagi. Aku harus pergi berobat ke Singapore.”
“Iya aku tahu dari ayahmu. Aku yakin kamu pasti sembuh, dan harus sembuh.”
Karena aku sayang kamu, Melone.
Aku ingin bertanya tentang Justin. Tapi tampaknya belum saatnya. Melone keburu tertidur.
Hidup dalam Realita
Bilamana matahari yang sudah goyah dengan konsistennya
Bulan yang manis tak lagi benderang dalam kelam
Cahaya tak lagi bersinar dan hanya ada
Cahaya yang kelabu
Mereka yang sudah goyah dan tak lagi setia
Dalam gelap tak bersinar
Dalam kelam tak bercahaya
Sebuah realita yang tak bisa kami tolak
Hanya bisa memilih dalam sebuah dilema,
Yang membuat hati turut tak konsisten
Karena kita sudah tak bisa membuat
Kenyataan berubah
Kutemukan puisi dalam lembar diaryku. Puisi yang kubuat ketika Dimas pergi ke Sydney dan Melone menjauh sejak kami masuk SMA. Apakah aku bisa hidup tanpa memikirkan mereka?
Jam menunjukan pukul 03.30 dinihari, namun ponselku berdering. Aku tidak kenal nomor siapa yang memanggil. Kucoba mengangkatnya meski mataku masih berat.
“Haloo? Dengan siapa ya?”
“Fernan, ini dengan Justin.”
Justin? Mendadak aku bangkit.
“Ya ada apa? Apa yang terjadi, Justin?”
“Melone, Fer. Melone, sudah tak ada!!!”
A, apa???? “Maksud lo, sudah tak ada di rumah sakit? Sudah berangkat ke Singapur untuk berobat?”
“Bukan. Dia sudah tak ada. Sudah meninggal.”
Aku tak kuasa menahan tubuhku. Ponselku terjatuh. Apa katanya, Melone meninggal? Secepat ini?
“Lo bohong, Justin,” aku berteriak sambil memukul cermin.
Tak lama kemudian pihak keluarga memberi tahu kalau jenazah Melone sudah ada di rumahnya. Dengan sangat berusaha aku membawa diriku untuk segera pergi ke rumah Melone, aku ditemani kakakku. Aku tak menyangka Melone pergi secepat ini.
Jenazah Melone sudah dipulangkan ke rumahnya. Orang-orang berkerumun, ingin mengantar kepergiannya. Aku menerobos masuk. Kulihat sosok Melone sudah terbujur kaku, tertutup kain putih.
Kamu pergi meninggalkan hati dan misteri, Melone.
Pemakaman berlangsung siang itu, dan Melone istirahat untuk selamanya. Pemakaman telah usai, namun aku masih berada di samping nisannya. Aku bersimpuh dan berjanji untuk merawat Dimas untuk Melone. Seperti dulu aku berjanji pada Dimas untuk menjaga Melone.
Aku akan memberikan surat itu kepada Dimas.
2 tahun kemudian…….
Udara pagi begitu sejuk. Aku membuka laci meja. Tak sadar kalau surat dari Melone masih tersimpan di sana. Surat untuk Dimas. Sejak Melone pergi untuk selamanya, aku memang tenggelam dalam kegiatan musikku di sekolah, dan melupakan surat itu.
Segera kuambil surat itu dan kukemudikan mobil menuju rumah Dimas. Keadaan Dimas sudah membaik. Ia tidak meninggal seperti dugaan dokter. Ia hanya harus dirawat jalan dan menggunakan kursi roda. Tuhan memang Maha Aneh dengan skenarionya. Melone yang lebih optimis hidup malah lebih dulu dipanggil-Nya.
Dimas tampak rapuh dan sedih. Meski ia bertahan hidup, namun apa artinya kalau gadis yang dicintainya meninggalkannya. Untung saja dia lelaki yang tabah. Lelaki yang selaras untuk Melone.
Kami berdua membuka surat itu.
Dear, Dimas.
Aku tahu bahwa aku hidup untuk mati. Mungkin saja hari ini aku masih bisa menulis, tetapi entah besok. Aku sadar dengan kondisi penyakitku ini. Aku telah merasakan ada yang memanggilku untuk pergi dan meninggalkan kamu dan Fernan. Tapi aku tak menyesal dengan apapun yang akan ditentukan Tuhan untukku nanti.
Sekarang kita masih kelas 1 SMA. Tapi aku ingin kamu dan Fernan tidak lupa membuka kaleng yang terkubur di belakang sekolah. Ingat, kita telah berjanji untuk membuka kaleng itu saat kelas 3 SMA.
Sekali lagi aku ingin meminta maaf. Untuk kamu, Fernan, dan juga …Justin.
Oya, mungkin Fernan sudah tahu. Sejak kamu pergi ke Sydney, aku diam-diam menerima cinta Justin. Dia cowok yang telah dijodohkan denganku oleh orangtua kami. Aku baru diberitahu hal itu setelah acara perpisahan kita di malam yang hujan, di kaki bukit malam itu.
Maafin aku, Dimas. Bukannya aku ingin mengkhianatimu. Tapi karena sejak lama aku ditimpa dilemma. Aku sangat bingung karena tahu satu hal. Bahwa tidak hanya kamu yang mencintaiku, tapi juga sahabat kita yang satu. Tak mungkin aku memilih hanya untuk melukai salah satu di antara kalian. Jadi kupilih Justin sebagai jalan keluar. Meski sebenarnya, jauh di lubuk hatiku, aku menyimpan perasaan yang berbeda. Perasaan yang tak semestinya.
Kalian bisa mengetahui perasaanku di dalam kaleng yang kita kubur itu… (Melone )
Aku dan Dimas saling pandang. Belum mengerti apa yang dimaksud Melone dengan ‘perasaan yang tak semestinya’. Aku dan Dimas sepakat untuk pergi bersama menuju sekolah SMP kami yang dulu. Kubawa cangkul dan sekop, menuju taman belakang sekolah itu. Dimas mengikutiku dengan kursi rodanya.
Tanah yang sudah mengeras sulit digali, namun dengan usaha akhirnya aku bisa. Sama seperti menggali kenangan masa lalu bersama Melone. Begitu sulit dilupakan, namun begitu pahit untuk dikenang.
Kaleng itu sudah usang dan berkarat. Perlahan kubuka isinya. Barang kesayangan dan ‘surat harapan’ milik tiga sahabat.
Sebuah bola bilyard kesayangan Dimas, dan surat harapannya:
Oh God I will go to Sidney. Aku ingin sekolah di sana, katanya di sana bagus.
Lalu, sebuah cincin yang Melone berikan padaku dulu, dan surat harapanku:
Harapanku hanya satu: Melone bahagia.
Barang yang disimpan Melone adalah sebuah rekaman video waktu kami bertiga pergi liburan ke pantai. Harapan Melone tertulis dalam sebuah surat yang unik:
ezAqurt quKel Unique zoMinxia Enigieq Noxitaqexa mofiCexImNxoqTy AqIMozq uqiE RmeqnErise qulapaKo Aniqmazuqix aBnEzaRt zeDaiq Unique ezAre.
Bacalah huruf-huruf besarnya saja. Semua akan tahu, ternyata Melone mencintai kami berdua – aku dan Dimas. Sebuah ‘perasaan yang tak semestinya’. Perasaan yang membuat Melone bimbang dan terpaksa memilih pilihan yang tak ingin dipilihnya – Justin.
Dimas dan aku saling berpandangan. Ada rasa saling bersalah dalam diri masing-masing. Lama kemudian, Dimas menepuk bahuku. “Maafin gue selama ini. Gue…gue egois telah memiliki Melone sendirian.”
Aku tersenyum. “It’s oke. Gue yang harusnya minta maaf.”
Akhirnya kami tahu perasaan Melone yang sesungguhnya. Dan itu lebih dari cukup untuk aku dan Dimas. Untuk menyematkan kenangan tentang persahabatan dan cinta, abadi di hati kami berdua. Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS
Labels:
Teen Short Stories
Subscribe to:
Posts (Atom)