tag:blogger.com,1999:blog-74940199126222365432024-03-13T13:25:06.845-07:00BWSBookfrenz Writing School - Sekolah Menulis KreatifElie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comBlogger40125tag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-7018120313880197912011-03-29T21:25:00.000-07:002011-03-29T21:31:40.377-07:00Terbit! Kumcer Remaja BWSAkhirnya terbit kembali<br />Koleksi cerpen remaja karya para siswa BWS<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/-4Mz6QgDmGbI/TZKxFJ8aC5I/AAAAAAAAAbA/3UFaPfBdkP8/s1600/Goodbye%2B-%2Bpromocover2.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 207px; height: 320px;" src="http://3.bp.blogspot.com/-4Mz6QgDmGbI/TZKxFJ8aC5I/AAAAAAAAAbA/3UFaPfBdkP8/s320/Goodbye%2B-%2Bpromocover2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5589724789646953362" /></a><br />Dunia remaja selalu penuh dengan kisah cinta, persahabatan, keluarga. Ada yang manis, romantis, komedi, tragis – semua terangkum dalam koleksi 15 cerpen buah karya para penulis remaja dari Bookfrenz Writing School (BWS) ini. Baca selengkapnya <a href="http://lombacerpenbws.blogspot.com/2011/03/baru-terbit-kumcer-remaja-bws.html">disini</a> <span class="fullpost"> </span><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-44847687675085927492011-03-11T00:59:00.000-08:002011-03-11T01:15:36.944-08:0012 Pertanyaan Terkait Antologi Cerpen BWS"Apa? Hasil karya lomba cerpen BWS mau dibukukan?"<br />"Karya saya dimuat nggak?"<br />"Kalau nggak dimuat, ngapain beli bukunya!"<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/-F6o0JunWtH8/TXnn2iJnuhI/AAAAAAAAAZo/MxI5zjwhDnQ/s1600/COVER%2BBUKU2.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 234px; height: 320px;" src="http://1.bp.blogspot.com/-F6o0JunWtH8/TXnn2iJnuhI/AAAAAAAAAZo/MxI5zjwhDnQ/s320/COVER%2BBUKU2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5582748137168550418" /></a><br /><br />Ketika pertama kali mengumumkan antologi hasil lomba cerpen BWS akan segera terbit pada 29 Maret, kami kebanjiran pertanyaan. Baik via email, sms, maupun telepon. Baik yang bernada gembira, penasaran, maupun marah. Semua berusaha kami tampung. Bila pun ada yang terlewat, mohon maaf karena pertanyaan yang masuk begitu banyak. <br /><br />Oleh sebab itu, untuk memudahkan kita semua, berikut ini kami sajikan daftar 12 pertanyaan yang sering muncul (FAQ). Silakan dibaca selengkapnya sebelum mengajukan pertanyaan ke redaksi BWS.<br /><br />P1: <span style="font-weight:bold;">Saya mendapat kabar dari BWS tentang rencana terbitnya antologi cerpen. Apakah itu berarti karya saya dimuat dalam antologi tersebut?</span><br /><br />J: Tidak. Kami menginformasikan rencana terbitnya buku ini kepada SEMUA peserta lomba. Akan tetapi tidak semua karya dimuat. Hanya 15 karya terpilih saja yang masuk dalam antologi ini.<br /><br />P2: <span style="font-weight:bold;">Saya mendapat sms dari BWS, tapi teman saya nggak –padahal dia juga peserta lomba. <br />Apakah itu berarti karya saya dimuat dan dia tidak?</span><br /><br />J: Tidak. Kami berusaha menyebarkan berita kepada semua peserta. Teman anda tidak mendapat sms karena mungkin nomor hp-nya tidak sesuai dengan yang ditulis dalam formulir lomba.<br /><br />P3: <span style="font-weight:bold;">Karya saya nggak menang, jadi nggak mungkin dimuat, kan?</span><br /><br />J: Belum tentu. Dalam antologi ini dimuat 15 cerpen, 5 cerpen pemenang dan 10 cerpen pilihan (tidak menang tapi layak muat). Meski tidak menang, karya anda bisa saja termasuk yang 10 itu.<br /><br />P4: <span style="font-weight:bold;">Kenapa BWS tidak segera memberitahukan karya siapa saja yang dimuat? BWS gak profesional!</span><br /> <br /> BWS adalah lembaga nonprofit yang berkomitmen penuh untuk memajukan para penulis di Indonesia. Kami mempunyai prosedur tersendiri dalam membuat keputusan-keputusan terkait even yang kami adakan. Bilapun ada sedikit keterlambatan pengumuman, itu karena masalah teknis saja. Jadi ini sama sekali TIDAK ada hubungannya dengan profesionalitas. <br /><br />P5: <span style="font-weight:bold;">Karya saya belum tentu dimuat, kenapa harus beli buku tersebut?</span><br /> <br />J: Anda TIDAK HARUS membeli buku tersebut. Tetapi bila anda ingin (lebih) sukses dalam menulis kreatif, buku ini memang “wajib punya.” Kami menyusun antologi ini dengan tujuan agar para peserta lomba dapat membaca karya terpilih dan belajar darinya. Sehingga nanti tidak akan ada pemikiran, “kok cerpen saya nggak menang sih?” atau “kok cerpen saya nggak dimuat sih?” Dengan membaca buku ini, diharapkan kita semua dapat berkarya lebih baik lagi di masa mendatang.<br /><br />P6: <span style="font-weight:bold;">Kalau karya saya dimuat, apakah harus tetap beli bukunya?</span><br /> <br />J: Sekali lagi anda TIDAK HARUS membeli. Buku ini dicetak terbatas, dan hanya ditujukan bagi mereka yang berminat serius untuk berkarya dan menambah wawasan. Terutama bagi anda yang ingin mengikuti “Lomba Cerpen BWS 2011”, buku ini wajib punya karena di dalamnya terdapat “Formulir beserta Nomor Urut Pendaftaran”. <br /><br />P7: <span style="font-weight:bold;">Lalu, karya siapa saja yang dimuat dalam antologi tersebut?</span> <br /><br />J: Pertanyaan ini paling sering muncul. Terima kasih sudah bersabar menunggu jawabannya. Karena kita tidak akan menjadi penulis SUKSES bila tidak punya modal KESABARAN! <br /><br />Untuk mengetahui karya siapa saja yang masuk, silakan <a href="http://www.4shared.com/get/xWxccZXO/BWS_book_preview.html">download di sini</a>. Kalau sudah bisa, bukalah dokumen bagian Daftar Isi (halaman 6).<br /><br />P8: <span style="font-weight:bold;">Apakah karya yang dimuat akan mendapat royalti?</span><br /><br />J: Tidak. Buku ini tidak dijual bebas di pasaran sehingga para penulis tidak akan mendapat royalti penjualan. Untuk insentif, kami telah menyediakan hadiah bagi 5 karya pemenang sesuai yang tertera pada pengumuman. Sedangkan untuk 10 karya yang tidak menang namun dimuat dalam antologi, kami menyediakan honor dalam bentuk bingkisan/paket buku Teenlit dan Chicklit keluaran penerbit yang berafiliasi dengan BWS. (Untuk lebih jelas silakan hubungi kami via email: <span style="font-style:italic;">bws.writing@gmail.com</span> )<br /><br />P9: <span style="font-weight:bold;">Saya tertarik dengan antologi BWS. Gimana cara pesannya? Dan apakah ada diskon?</span><br /><br />J: Untuk memesan buku BWS, silakan baca prosedurnya <a href="http://lombacerpenbws.blogspot.com/p/pemesanan-buku.html">di sini</a>. Kami memberikan diskon 10% hanya kepada mereka yang memesan dan mentransfer sebelum tanggal 15 Maret.<br /><br />P10: <span style="font-weight:bold;">Ingin pesan buku via transfer bank, tapi takutnya nanti paket tidak sampai. Gimana dong?</span><br /><br />J: Kami menjamin barang akan sampai ke tempat anda bila alamat yang diberikan jelas. Kecuali bila ada masalah di bagian kurir (TIKI), maka kami akan membantu agar paket tetap sampai dengan memberikan bukti nomor resi. Bila anda ingin lebih aman, silakan memesan langsung buku ke kantor BWS. Alamat: Jl. Nusantara Raya No 161 Kota Depok 16432, Telp 021 7522370.<br /><br />P11: <span style="font-weight:bold;">Terima kasih BWS sudah memberi kesempatan untuk berkarya. Kapan akan mengadakan lomba lagi?</span><br /><br />J: Kami akan mengadakan Lomba Cerpen BWS 2011 insya Allah pada bulan Oktober mendatang. Bagi yang sudah membeli buku antologi, anda akan mendapat formulir dan Nomor Urut Pendaftaran (NUP) di halaman terakhir buku. Silakan email NUP tersebut ke: <span style="font-style:italic;">bws.writing@gmail.com</span> agar kami bisa memberikan formulir dalam bentuk soft copy (file .doc).<br /><br />P12: <span style="font-weight:bold;">Saya dengar lomba cerpen mendatang hadiah utamanya “Wisata Menulis ke China”. Kok hadiahnya keluar negeri melulu? BWS punya dana besar dari mana?</span><br /><br />J: Kami tidak punya dana besar. Kami hanya lembaga independen yang terdiri atas segelintir orang yang peduli pada kemajuan para penulis di Indonesia. Setelah lama berkeliling ke daerah, kami tahu betapa besar potensi orang Indonesia (terutama remaja) dalam menulis. Ajang ini dibuat untuk memacu supaya kreativitas penulis dan calon penulis di berbagai pelosok Indonesia semakin maju, sebagai bagian dari “Gerakan Cinta Menulis Cerita Inspiratif untuk Indonesia yang Lebih Baik” (GMCI). Doakan saja agar kami tetap eksis.<br /><br /><br /><br /><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-48274020669113302092011-03-07T20:16:00.000-08:002011-03-07T20:24:30.282-08:00Segera Terbit! Buku Antologi Hasil Lomba Cerpen BWS 2010!<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/-f5YxqhUPI-Q/TXWuGIBcMqI/AAAAAAAAAZQ/P6j7NImm3TI/s1600/COVER%2BBUKU2.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 234px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/-f5YxqhUPI-Q/TXWuGIBcMqI/AAAAAAAAAZQ/P6j7NImm3TI/s320/COVER%2BBUKU2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5581558733451571874" /></a><br />Buku Kumpulan Cerpen Cinta Hasil Lomba Cerpen BWS 2010 akan segera terbit <span style="font-weight:bold;">29 Maret </span>ini!<br /><br />Ada 15 cerpen yang dimuat dalam buku ini. Yaitu 5 Karya Pemenang dan 10 Karya Pilihan (tidak menang tapi layak muat). Apakah karya Anda termasuk yang dimuat? Tentunya penasaran, kan?<br /><br />Di dalam buku ini juga terdapat formulir <span style="font-style:italic;">Lomba Cerpen BWS 2011 </span>dengan hadiah utama yang lebih heboh yaitu "<span style="font-weight:bold;">Wisata Menulis Ke Negeri China</span>". Info lengkapnya ada di dalam buku ini.<br /><br />Jadi kenapa masih bingung,yuk rame-rame pesan buku ini sekarang juga. Karena edisi ini dicetak <span style="font-weight:bold;">terbatas hanya untuk 100 (seratus) pembeli pertama</span>.<br /><br />Untuk info lengkap dan sinopsis buku ini <a href="http://lombacerpenbws.blogspot.com/2011/03/akan-segera-terbit.html">klik di sini!<br /></a><br /><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-4563731881075467932011-02-20T00:24:00.000-08:002011-02-20T00:56:48.050-08:00Sparkling with Blogging<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/-UEfSZT8iOjg/TWDU9rb6jKI/AAAAAAAAAZI/DO6pi7YMYq4/s1600/IMG00866-20101227-1325.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 160px; height: 120px;" src="http://3.bp.blogspot.com/-UEfSZT8iOjg/TWDU9rb6jKI/AAAAAAAAAZI/DO6pi7YMYq4/s320/IMG00866-20101227-1325.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5575690494781590690" /></a><br /><br />Berlibur di kota Garut yang asri sambil mengadakan pelatihan <span style="font-style:italic;">blogging</span> untuk siswa-siswa baru BWS, siapa yang tak mau? Melihat para remaja yang penuh semangat, bercita-cita menjadi penulis berbakat, wah...liburan terasa mengasyikkan. <br /><br />Seperti kita tahu, remaja garut memang penuh antusiasme. Ingat kan, buku-buku karya siswa BWS kebanyakan ditulis oleh mereka yang berasal dari Garut. Contohnya adalah Ranti Eka Pratiwi, yang telah menerbitkan novel "Blind Date Pinky" di usia 15 (sekarang sudah 17 tahun). <span class="fullpost"> Remaja berjilbab ini ikut serta hadir dalam pelatihan menulis via blog ini, dan memberikan semangat kepada siswa-siswa baru BWS. <br /><br />Pelatihan setengah hari ini terdiri atas dua sesi, yaitu sesi motivasi yang disampaikan oleh penulis sekaligus founder BWS, Teh Elie (Elie Mulyadi), dan kemudian sesi kedua berupa praktek dibantu oleh Hyla Lia Zakia (sekretaris redaksi BWS) yang kebetulan ikut berlibur ke Garut juga. Nah, yang pasti acara ini heboh banget. Dan pastinya Teh Ella (Lela Susilawaty Sy) sebagai direktur BWS wilayah Bandung dan sekitarnya senang banget. Apalagi di akhir sesi para siswa diberi tantangan oleh Teh Elie untuk membuat blog sebagus mungkin, dan Juli nanti akan dinilai untuk menentukan blog terbaik yang akan memenangkan hadiah istimewa berupa paket novel remaja yang keren. Wuihh, asyik kan? <br /><br />Sayangnya, banyak siswa angkatan baru ini tidak bisa hadir karena sakit atau hal lain. Dan juga sayang, para siswa ini semuanya perempuan, padahal angkatan sebelumnya banyak siswa laki-laki yang keren-keren (malah beberapa diantaranya berhasil memenangkan kompetisi Jajaka segala). Tidak apa-apa, laki-laki perempuan sama saja, yang penting semangatnya kan? Terus berkarya! (Teks: Hyla) </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-75355635441072408132011-02-16T17:44:00.000-08:002011-02-16T19:05:34.600-08:00Cerpen Pemenang Lomba<span style="color: rgb(0, 102, 0);"><span style="color: rgb(0, 102, 0);">Mulai edisi ini BWS akan memuat karya-karya <a href="http://lombacerpenbws.blogspot.com/2011/01/pengumuman-pemenang-lomba-cerpen-bws.html">pemenang Lomba Cerpen BWS 2010</a>, satu cerpen setiap bulannya. Karya yang tidak menang namun memenuhi syarat akan dimuat setelahnya. Bagi karya yang tidak menang namun dimuat, honor akan diberikan paling lambat 1 bulan setelah dimuat di blog ini. </span></span><span style="font-weight: bold; color: rgb(0, 102, 0);"><br /><br /><span style="color: rgb(204, 51, 204);font-size:180%;" >"Liburan Istimewa"</span></span><br /><span style="color: rgb(0, 153, 0);">Karya: </span><a href="http://prithamori.blogspot.com/"><span style="font-weight: bold; color: rgb(0, 153, 0);">Pritha Khalida</span></a><br /><br /><a href="http://lombacerpenbws.blogspot.com/2011/01/pengumuman-pemenang-lomba-cerpen-bws.html"><span style="font-weight: bold;">(Pemenang 5 Lomba Cerpen BWS 2010)</span></a><br /><br /><br />“<span style="font-style: italic;">All my bags are packed, I’m ready to go</span>…”<br /><br />Rasanya aku enggak mau berhenti menyanyikan lagu itu. Pasalnya weekend kali ini kakakku-Bang Dion mengajak berlibur ke Sukabumi. Dia baru dapat doorprize saat perayaan ulangtahun kantornya. Tebak dapat apa? Paket menginap di salah satu hotel di Sukabumi! Yuhuu, whadda wonderful holiday! Nah berhubung kamar hotel yang disediakan cuma satu, otomatis mama dan papa tidak mengizinkan Bang Dion mengajak serta pacarnya. Hihi, jadi lah aku yang ikut menikmati rezeki nomplok ini. Senangnya…<br />Kami pergi hari jumat sore sepulang Bang Dion dari kantor. Syukurlah sore itu masih ada bis menuju Sukabumi yang berangkat dari terminal Lebak Bulus. Kondekturnya bilang, itu bus terakhir. Ah kalau sudah rezeki memang enggak kemana.<br /><br />“Bangunkan aku kalau sudah sampai ya, Bang?” pintaku pada Bang Dion, yang dijawab dengan anggukan pelan. Matanya sudah sayup-sayup. Ah, percuma mengandalkannya.<br />Sepertinya kami berdua akan tertidur pulas dalam perjalanan menuju Sukabumi kali ini.<br />Jam 9 malam kami tiba di terminal Sukabumi. Untuk menuju hotel, masih harus naik angkutan umum berwarna merah. Brrr…dinginnya! Untung aku tak lupa mengenakan sweater kuning andalanku. Hmm, akhirnya sweater pemberian tante Ita ini terpakai juga. Lama ia hanya mendekam di lemari. Habis, mau dipakai kapan? Jakarta kan selalu panas.<br />Woow, keren sekali hotelnya! Lampu kerlap-kerlip yang disusun berbentuk bunga dan binatang-binatang kecil memberi kesan mewah pada hotel berdesain khas pedesaan ini. Ornamen kayu mendominasi sebagian besar bangunan hotel, dengan beberapa saung di bagian samping. Sepertinya itu restorannya. Ah,malam ini aku harus tidur nyenyak supaya tak kehabisan tenaga untuk menikmati sejuknya kota Sukabumi besok dan lusa.<br /><br />“Halo…”<br /><br />“Jeni! Kamu pasti masih tidur! Ayo banguuun pemalas!” suara cempreng Tatia mengejutkanku. Hingga sempat aku berpikir jangan-jangan sahabatku yang satu ini bukan berbicara di telepon tapi membuntutiku sampai ke Sukabumi!<br /><br />“Tia, ini kan liburan.” Elakku.<br /><br />“Iya tapi kan liburan ini kamu punya misi. Ingat enggak?”<br /><br />Misi? Apaan yaa? Syarafku mulai dipaksa untuk mengingat, dan… Ah iya!<br /><br />“Sudah ingat? Atau perlu aku…”<br /><br />“Enggak perlu! Memoriku enggak seburuk yang kau bayangkan, tau!”<br /><br />“Sip deh kalau begitu. Kabari aku kalau kamu sudah dapat pangerannya ya! Bye Jeni, mmuaaah!”<br /><br />Klik!<br /><br />Aaargh, rencana konyol itu! Aku hampir saja lupa! Oke mari kujelaskan. Sebentar lagi aku akan berulang tahun yang ke-17. Nah beberapa sahabatku memberikan tantangan apakah aku bisa mempunyai pacar di usia istimewaku tersebut? Jika aku berhasil, maka tidak akan ada ritual ceplok telur di kepala atau menceburkanku ke kolam di belakang sekolah, seperti yang dilakukan dengan semena-mena terhadap Ratih sahabatku sebulan yang lalu. Tapi masalahnya, cari pacar itu kan enggak segampang makan kacang! Sial…sial…sial… Apa sih pentingnya untuk punya pacar di usia tujuh belas?<br /><br />Hari pertama di Sukabumi, aku dan Bang Dion sepakat untuk sarapan di teras kamar saja. Udara yang dingin membuat kami yang terbiasa tinggal di Jakarta, malas untuk keluar kamar.<br />“Kita mau ngapain hari ini?” tanyaku pada Bang Dion.<br />“Nanti ya, aku hubungi temanku dulu, Tanya-tanya apa yang seru di sini? Mandi dulu saja lah.” Usulnya.<br />Selepas mandi, aku tak mendapati Bang Dion di kamar. Ah, mungkin dia sedang jalan-jalan atau menghubungi temannya. Maka aku pun memutuskan untuk jalan-jalan sendiri saja di sekitar hotel.<br />Baru beberapa meter meninggalkan kamar, mataku beradu pandang dengan seseorang. Aih, cowok ganteng banget! Oh Tuhan, Sukabumi ternyata menyembunyikan salah satu ciptaan-Mu yang terindah. Oke, jangan berpikir bahwa aku akan bertindak norak dengan mengucek-ngucek mata memastikan cowok itu betulan ada atau hanya imajinasiku saja. Tidak, aku tak senorak itu. Aku hanya sulit untuk mengalihkan pandangan darinya, itu saja. Dan tak sanggup untuk tidak membalas senyumnya.<br />“Jennifer Aquilla. Panggil saja Jeni.” Kataku pendek. Ya, cowok ini ternyata cukup ramah untuk mengajakku berkenalan duluan.<br />“Asep Surasep. Panggil ajah Asep.” Ucapnya dengan logat sunda yang kental.<br />Ya ampun, tak hanya logat. Namanya juga sangat mencerminkan nama orang sunda kebanyakan, memakai rumus X-Y-X. seperti tante kantin di sekolahku. Namanya Ice Juice. Nama yang menipu! Pertama masuk sekolah, aku berpikir kalau dia berjualan jus. Tapi ternyata itu adalah namanya. Kami memanggilnya tante Ice. Dia berjualan roti bakar dan tidak ada jus sama sekali!<br />“Gimana Sukabumi menurut kamu?” Asep bertanya padaku saat kami sudah sama-sama duduk di salah satu saung di hotel ini, dengan latar belakang musik tradisional sunda yang mengalun indah.<br />“Ummh, aku kan belum kemana-mana. Tapi sejauh ini pendapatku…dingin sekali!” jawabku jujur.<br />“Itu mah memang masalah semua orang Jakarta yang berkunjung kesini.” Ucapnya sambil tertawa renyah, memamerkan deretan giginya yang rapi.<br />Kami mengobrol panjang lebar. Asep ini ternyata belum lama lulus kuliah program D-3 perhotelan. Jadi sekarang dia bantu-bantu mengelola hotel yang ternyata milik kakeknya ini. Wow, luar biasa! Masih muda tapi berjiwa pengusaha.<br />Asep memberitahuku tentang banyaknya tempat makan yang enak untuk dikunjungi di Sukabumi ini. Tak hanya memberitahu rute, ia pun bersedia mengantarkan jika kami tak keberatan. Keberatan? Pasti aku sudah gila jika menolak tawarannya. Kuharap Bang Dion pun berpikiran sama denganku. Jika tidak, aku akan memaksanya. Serius!<br />“Jeni! Aku cari kemana-mana, eh kamu di sini rupanya.” Bang Dion sudah ada di belakangku. Panjang umur! Baru saja aku memikirkannya.<br />“Eh bang, kenalin ini Asep.” Ujarku. Asep menyodorkan tangan pada Bang Dion dengan sopan.<br />“Dion. Wah sudah punya teman baru lagi, nih. Oya Jen, ada sedikit berita buruk. Temanku si Ardi ternyata lagi enggak di Sukabumi. Dia sedang menengok neneknya di Bandung. Jadi ya, kita terpaksa muter-muter sendiri di sini.” Bang Dion menuturkan.<br />Oh Tuhan, sekali lagi nasib baik berpihak padaku. Ini sih bukan berita buruk namanya, tapi pucuk di cinta ulam pun tiba alias gayung bersambut…atau apa lah istilahnya, terserah! Yang jelas kemungkinan bahwa Asep akan menjadi tour guide dadakan kami sepertinya akan segera terwujud. Tralala trilili, senangnya hatiku!<br />Dan benar saja, Asep memenuhi janjinya untuk mengantarkan kami jalan-jalan di Sukabumi memakai mobilnya. Bang Dion senang karena usia mereka hanya beda satu tahun, sehingga banyak tema obrolan yang bisa dibahas bersama. Bukan cuma itu sih, tadi sebelum berangkat secara jujur Bang Dion mengatakan padaku bahwa bantuan Asep ini lumayan mengirit isi dompetnya. Huh, dasar!<br />Tujuan pertama kami tadi sebetulnya ke Citarik untuk arung jeram. Hanya saja begitu kami tiba di sana, hujan turun dengan derasnya. Jadi kegiatan arung jeram pun terpaksa dicoret dari daftar. Sebagai gantinya, Asep mengajak kami untuk makan ikan bakar di resto terapung di dekat lokasi arung jeram. Wow asyiknya! Baru kali ini aku makan gurame bakar sambil naik sampan. Selesai makan, Asep banyak memberikan keterangan pada kami mengenai tempat tersebut. Betul-betul seperti tour guide professional deh! Aku makin kagum saja padanya.<br />Hari sudah malam ketika kami tiba kembali di hotel. Asep menyuruh kami segera beristirahat karena besok ia akan mengajak kami jalan-jalan lagi.<br />“Makasih banyak lho, Sep.” ujar Bang Dion.<br />“Sama-sama. Yuk, sampai besok yah.” Asep kembali memamerkan deretan giginya yang kurasa akan mengundang pujian dari dokter gigi mana pun yang ia datangi.<br />“Ih, baik banget ya si Asep itu, Bang? Udah baik, ganteng lagi.” Kataku spontan begitu Bang Dion menutup pintu kamar.<br />“Aah, kamu pasti naksir dia. Iya kan? Ngaku!”<br />“Mmmh…Gimana ya?”<br />“Alaah pake sok mikir segala. Gak papa lagi kalau kamu naksir dia juga. Lumayan, nanti kita bisa minta antar pulang ke Jakarta. kan enggak perlu naik bis tuh!” seloroh bang Dion dengan gayanya yang menyebalkan.<br />“Ih, matre!” Rutukku.<br />“Adikku yang cantik, itu namanya bukan matre, tapi memanfaatkan dengan optimal fasilitas yang ada.” Bang Dion ngeles sambil mengambil handuknya yang digantung di sandaran kursi. “Lagipula kayaknya si Asep juga naksir sama kamu, deh!” ujarnya sambil masuk ke dalam kamar mandi.<br />“Aaaargh!” terdengar jerit histeris bang Dion sesaat kemudian.<br />“Ada apaan, bang?” tanyaku.<br />“Gila airnya dingin banget! Aku enggak jadi mandi, ah!” katanya sambil ngibrit keluar dari kamar mandi. Aku mencibirnya.<br /><br />Tik…tok….tik…tok… sudah pukul satu dini hari saat aku terbangun karena pengin pipis. Tampak bang Dion tertidur pulas di balik selimut tebal di atas extra bed di samping kasur yang kutempati. Udara memang sangat dingin.<br />Ah penyakitku nyaris selalu begini, tak bisa tidur lagi jika sudah terjaga di malam hari. Kutarik selimutku sebatas dada, berharap kantuk akan datang. Tapi nihil, mataku tetap segar. Aargh, kenapa sih pakai pengin pipis segala?<br />Dan tiba-tiba saja bayangan itu datang… Bukan, bukan hantu. Maksudku bayangan tentang Asep. Duh, malam-malam begini kok ingatnya sama dia ya? Hmm, secara logis sih wajar saja sebetulnya kalau aku ingat sama dia. Soalnya Asep itu ganteng, keren, baik, plus nyetirnya asyik, enggak ngebut. Lalu, Asep itu sopan dan…hebat! Ya iya lah hebat, umurnya hanya terpaut sekitar 4-5 tahun di atasku tapi ia sudah memikul tanggung jawab mengelola bisnis keluarga yang demikian besar ini.<br />“Enggak cuma aku sendiri, kok. Kakak-kakak sepupuku banyak juga yang bantu. Ini kan hotel milik kakek, jadi ya kami kelola bersama-sama.” Ucapnya merendah ketika tadi siang Bang Doni mengutarakan kekagumannya atas pekerjaannya saat ini.<br />Eh, apa kata Bang Doni tadi? Asep kayak yang naksir aku? Masa sih? Ehmm, maunya sih begitu. Lucu kali yaa kalau aku jadian sama Asep? Enggak malu-maluin deh gandengnya! Sahabat-sahabatku juga pasti setuju kalau Asep itu seratus persen keren. Dan yang pasti nih, aku akan terbebas dari ceplokan telur di hari ulang tahunku yang ke-17 nanti, karena aku sudah berstatus sebagai pacarnya Asep. Asep Surasep!<br />Eit, kok agak janggal ya? Asep Surasep… iya bener! Aku baru ingat kalau itu adalah nama panjangnya. Idih, kok kayaknya enggak keren ya? Aduduh, bayangkan saja nanti di profile facebook-ku akan tertulis ‘Jennifer Aquilla is in relationship with Asep Surasep’. Oh my God! Asli enggak keren! Gimana dong? Haruskah aku menyuruh Asep mengganti namanya? Kayaknya ini pilihan yang enggak mungkin. Tampangan Asep sih sepertinya amat sangat sayang dan berbakti pada orangtua. Jadi enggak mungkin banget dia rela mengganti nama pemberian orangtuanya cuma karena aku. Siapa elo? Gitu kali kata Asep.<br />Tunggu…tunggu, pasti dan mesti ada solusinya. Think it on, Jeni! Oke, gimana kalau sekedar untuk di facebook aja dia pakai nama samaran? Misalnya Asep S. Ah, masih belum keren. Atau apa gitu, ganti aja sekalian jadi Alex! Cuma untuk di facebook. Ah, kalau ini kayaknya Asep enggak keberatan. Demi cintanya sama aku gitu lho! Eh, tapi justru kalau betulan cinta kan mestinya bisa nerima apa adanya? Aduh, bingung!<br />Ponselku bergetar, nama Tatia tertulis di situ.<br />“Halo Tia…”<br />“Jeni, aku enggak bisa tidur! Kenapa ya? Aku kok kepikiran kamu terus? Kangen deeh! Habis, kamu tadi enggak ikutan ngumpul di rumahku sih. Seru lho bareng Aurel, Ratih dan Inge kita rujakan bareng. Buahnya metik di kebun belakang rumah Inge. Segar dan sedaaaap!” Tatia nyerocos.<br />“Tia, ini jam satu pagi.” Aku mengingatkan.<br />“Iya siih. Tapi eh, suaramu juga enggak terdengar mengantuk. Belum tidur juga ya? Atau, enggak bisa tidur mikirin aku?”<br />“Ih, ge-er amat!”<br />“Biarin. By the way, gimana kamu udah dapat pangeran tampan yang duduk di atas kuda putih dan mengulurkan tangan sekedar untuk bilang Princess Jeni would you marry me?”<br />“Aaah Tia, norak banget sih kamu?”<br />“Lho, memang itu salah satu misi liburanmu kali ini, kan?”<br />“Ummh Tia…a…aku…”<br />“I got it! Kamu lagi jatuh cinta sama seseorang ya?” Tatia terkadang memang seperti cenayang, tebakannya nyaris selalu jitu.<br />“Tapi Tia…”<br />“Intinya iya kan kamu udah dapat orangnya? Yippie, congratulation Jeni!”<br />“Tia, dia itu…” dan bla bla bla… mengalirlah ceritaku tentang Asep dari A sampai Z. Entahlah Tatia sungguh-sungguh mendengarkan atau sempat tertidur. Sampai akhirnya dia bilang,<br />“Ah, kayak gitu sih enggak usah terlalu dipikirkan. Kamu itu apa-apa memang suka kebanyakan mikir, makanya enggak maju-maju. Cuek aja, kalau emang kalian sama-sama suka. Ya jalanin aja. Toh enggak bakalan nikah besok juga. Ummh, kecuali ternyata kamu enggak tahan untuk menjadi nyonya Asep Surasep, hihihi!” Tatia cekikikan.<br />“Are you sure, Tia?”<br />“Iyaa, seratus persen yakin. Udah cuek aja, kita-kita juga enggak masalah kok. Apalah arti sebuah nama, Jen? Melati kalau diganti namanya jadi bunga tokek juga tetap aja harum. Tapi bunga bangkai, sebaliknya, biar namanya keren Rafflesia Arnoldi, tetap aja bau!” seloroh Tatia setengah menasehatiku. Tanpa sadar aku membenarkan ucapan sahabatku ini.<br />“Pede aja lagi. Eh kan belum tentu juga si Asep itu punya facebook. Jadi untuk sementara kalau kamu masih belum pede, ya enggak usah publish tentang status.”<br />Iya ya…bener juga…<br />“Iya deh, thank you Tia. Kamu memang sahabat yang paling baik!”<br />“Paling pintar juga dong!”<br />“Iya, jenius!”<br />“Jangan lupa…”<br />“Apa?”<br />“Nanti traktirannya aku dapat dua porsi ya? Hahahaa!”<br />“Dasaaaar gentoooong!”<br />Telepon terputus. Kupingku panas karena kelamaan bertelepon dengan Tatia. Tapi enggak apa-apa, rasanya aku sudah mendapat solusi yang pas. Memang betul kata Tatia, aku ini suka kelamaan kalau mikir. Oh Asep, kok aku jadi tambah suka ya sama kamu??<br /><br />Minggu pagi aku dan Bang Dion memutuskan untuk…nyari Asep lagi! Hihihi, dasar memang kami enggak mau rugi. Maunya diantar aja. Ya, kan lumayan. Lagipula kami juga enggak hafal jalan. Nanti kalau nyasar kan repot. Tapi kemana Asep ya? Kok dia belum keliatan?<br />“Kita tanya sama resepsionis aja yuk?” usul Bang Dion, seolah tahu apa yang kupikirkan.<br />“Enggak kepagian, bang?”<br />“Udah jam Sembilan gini, Jen. Kita juga enggak bisa pulang terlalu sore, nanti enggak kebagian bis, lho! Ya, lain soal kalau Asep mau ngantar.” Ujar Bang Dion sambil mengerlingkan mata ke arahku. Kali ini aku enggak membantah atau pura-pura enggak tahu. Soalnya aku udah yakin kalau aku suka betulan sama Asep, dan berharap pandangan mata Bang Dion tepat saat dia melihat kalau Asep sepertinya suka juga sama aku.<br />Resepsionis menyuruh kami langsung saja ke kantor hotel mencari Asep. Walhasil kami celingukan di depan kantor hotel. Berharap dari pintu yang setengah terbuka itu Asep muncul dan langsung mengambil kunci mobilnya, untuk kembali mengajak kami jalan-jalan.<br />“Maaf, cari siapa ya?” sapa seorang cowok.<br />“Asep. Kami temannya.” Jawab bang Dion.<br />“Oh Asep. Kenalkan saya Dadang, saudaranya. Yuk masuk…” dengan ramah ia menawarkan kami untuk masuk ke dalam ruangan kantornya yang nyaman.<br />“Sudah janjian ya sama Asep?”<br />“Emmm… enggak juga sih. Cuma kemarin dia nawarin kalau-kalau hari ini kita masih mau jalan, dia mau anter.”<br />“Ooh… Kayaknya si Asep teh lupa. Soalnya tadi subuh dia pergi ke Jakarta, ke bandara.”<br />“Bandara? Memangnya Asep mau ke luar negeri?” tanpa sadar aku mencecar.<br />“Dia mau menjemput Audrey, tunangannya yang baru datang dari Belgia.”<br />Rasanya mukaku panas. Entah kenapa sebongkah perasaan tidak enak muncul di sela-sela hatiku. Tuhan, inikah namanya cemburu? Dan Bang Dion sepertinya menangkap hal ini.<br />“Ya udah kalau gitu, kita pamit aja. Yuk Jen, keburu siang. Kan masih mau beli oleh-oleh. Kita nanya-nanya jalan sama orang aja, yuk?” ajaknya sambil menggamit lenganku keluar dari kantor.<br />Aku berjalan dengan limbung. Hatiku rasanya patah jadi bongkahan-bongkahan kecil.<br />Audrey….Audrey…Audrey…<br />Entah cewek itu asli bule, blasteran atau cewek pribumi yang bernama keren. Yang jelas aku yakin seyakin-yakinnya kalau pas dia nerima cinta Asep, dia enggak sibuk memikirkan hal bodoh tentang nama Asep Surasep yang terdengar enggak keren itu.<br />Oh telur mentah, sambutlah aku di usia tujuh belasku!<br /><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Copyright@2011, dilarang meng-copy tanpa seizin BWS</span><br /><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-41528450496086786632011-01-30T19:00:00.000-08:002011-01-30T19:03:26.839-08:00Pengumuman Pemenang Lomba Cerpen BWS 2010Alhamdulillah,<br /><br />Akhirnya setelah 2 bulan bergelut dengan proses seleksi yang cukup menguras pikiran dan tenaga, tibalah hari ini. Dari ratusan cerpen yang masuk, para juri akhirnya memutuskan para pemenang Lomba Cerpen BWS 2010 ini. Siapa saja mereka? Silakan <a href="http://lombacerpenbws.blogspot.com/2011/01/pengumuman-pemenang-lomba-cerpen-bws.html">klik</a> di sini!Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-32585642254674887542010-12-08T01:21:00.000-08:002010-12-08T03:18:37.453-08:00Gaun Vintage Merah MudaCerpen Remaja: <a href="www.eliemulyadi.blogspot.com">Elie Mulyadi</a><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TP9h1Bt8myI/AAAAAAAAAX4/oMLQja9yA8c/s1600/BMP193.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 250px; height: 320px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TP9h1Bt8myI/AAAAAAAAAX4/oMLQja9yA8c/s320/BMP193.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5548260829565852450" /></a><br /><br /><br />Aku menyapukan sedikit <span style="font-style:italic;">blush on</span> di kedua pipiku yang pucat. Kemudian lipstik warna transparan di bibirku yang kering akibat dinginnya AC. Kuraih majalah remaja yang terletak di meja, kubuka-buka sebentar, lalu kuletakkan kembali dengan bosan. Mataku terus menerus menatap keluar, kemudian ke jam digital yang tertera di <span style="font-style:italic;">cash register</span>. Ah, sudah jam 5 sore, belum ada satu pun pembeli datang. <span style="font-style:italic;">Apa tutup aja ya</span>, batinku bimbang. Besok pagi ada ulangan Trigonometri, aku belum belajar sama sekali. Dan hari ini, tokoku sepi sekali, tak ada pemasukan. Tadi siang sebetulnya ada beberapa pengunjung, mereka antusias mengacak-acak koleksi baju-bajuku, memporak porandakan isi tokoku, dan berakhir dengan <span style="font-style:italic;">say goodbye</span> manis tanda terima kasih – tanpa membeli satu pun. Wuaaa, sudah seminggu toko ini beroperasi, belum juga tampak tanda-tanda akan ada pelanggan setia. Kalau tiap hari begini sih kayaknya mendingan menyerah aja deh jadi pengusaha.<br /><br />Sebetulnya toko ini bisa disebut<span style="font-style:italic;">my dream coming true</span>. Akulah yang mengerjakan semuanya, dari tidak ada menjadi ada. Aku yang menentukan desain tokonya, juga warna-warna cat dindingnya: perpaduan pink, hijau, kuning, dan biru muda – <span style="font-style:italic;">my favourite playful colors</span>. Aku juga yang menentukan koleksinya: busana-busana vintage indah buatan perancang terkenal dan baju-baju lucu buatan Korea yang sedang trend – perpaduan antara klasik dan modern. <br /><br />Toko ini berdiri gara-gara aku gila <span style="font-style:italic;">fashion</span>. Mama sangat khawatir aku menjadi Imelda Marcos yang membuang kas negara demi 10.000 pasang sepatu. “Ck ck ck, Mama bisa bangkrut deh kalau kamu terus gila belanja kayak gitu,” ujar Mama, marah sekaligus kaget saat menginvestigasi lemariku yang sudah <span style="font-style:italic;">overloaded</span> dengan puluhan pasang sepatu cantik buatan Giuseppe Zannoti, yang sebagian kubeli lewat eBay, sebagian lagi kucari di Pacific Place. <br /><br />Itu baru lemari yang satu. Saat membuka lemari yang kedua, tumpahlah semua baju-baju lucu hasil <span style="font-style:italic;">hunting</span>-ku ke Majestik dan Mangga Dua. Kedua mata Mama terbelalak, dan makin melotot saat membuka lemari yang ketiga: tas-tas dan dompet buatan desainer terkenal menumpuk dengan centil di sana.<br /><br />“Valentino...Lanvin...Bottega Venetta,” Mama membaca satu per satu merk tas-tas itu.<br /><br />“Ma, itu nggak original kok, cuma KW,” aku membela diri. <br /><br />Mama membalikan badannya, menghadapku. Tatapannya setajam elang. “Oh jadi begitu cara kamu menghabiskan kartu kredit Mama?”<br /><br />Aku tak berkutik. Seperti napi yang menunggu eksekusi.<br /><br />“Baiklah kalau kamu sangat suka belanja. Mama beri tantangan buat kamu.”<br /><br />Tiga hari kemudian, Mama menutup salah satu restorannya yang terletak di kompleks perumahan elit yang agak sepi. “Ruko ini akan jadi toko busanamu. Kamu yang akan merintis dan mengelolanya. Buktikan kalau kamu nggak hanya suka belanja, tapi juga bisa menghasilkan uang darinya.” <br /><br />Mama seorang wanita yang tegas, jadi aku tak bisa menolaknya. Lagipula, hey, punya toko busana sendiri di mana kamulah yang menentukan semuanya termasuk koleksi-koleksinya, itu hal yang diimpikan semua orang kan? Aku benar-benar antusias dengan toko baruku. Belanja habis-habisan buat memenuhi pajangan tokoku. Menyebar iklan di poster-poster dan <span style="font-style:italic;">facebook</span>. Mengundang teman-teman saat acara gunting pitanya. Wah, bahagia sekali jadi pengusaha selagi muda. Umurku baru 18 tahun, tapi rasanya telah memiliki dunia. Horeee....<br /><br />Lalu di sinilah aku. Seminggu sejak peresmian “Monique Collection”. Berbagi keluh kesah dengan Sajna, staf freelance-ku yang bertugas jaga toko terutama saat aku sedang ada jam kuliah. Kalau Sajna sedang tak ada, seperti saat ini, aku hanya duduk bosan menunggu pembeli yang tak kunjung datang. Wuih, ternyata jualan tak seasyik belanjanya ya. <span style="font-style:italic;">Maybe I was not born to be a money maker, just to be a spender one</span>. Rasanya dunia menertawakanku. “Hahaha, ternyata selera <span style="font-style:italic;">fashion</span>-mu nggak sekeren itu, buktinya nggak ada satupun yang mau beli hahaha.”<br /><br />DIAM! Aku membentak boneka manekin yang seakan mengejekku. “Kau bilang apa? Koleksi sepatu Christian Louboutin-ku nggak keren? Awas ya!” Kulempar majalah ke wajah manekin itu. Untunglah sebelum perang bodoh itu berlanjut, pintu kaca terbuka. Sepasang manusia masuk. Secepat kilat kuubah tampang beteku dengan senyum sapa yang paling cerah. “Hai selamat sore.”<br /><br />Si cewek, yang kutaksir usianya tak jauh beda denganku, tersenyum. Lalu dengan penuh semangat ia melihat-lihat di bagian koleksi busana Korea.<br /><br />Sementara si cowok, yang kurasa umurnya sepuluh tahun lebih tua, duduk di sofa jari, sibuk dengan BlackBerry.<br /><br />Kuperhatikan mereka berdua. Tampaknya sih pasangan kekasih, tapi rasanya kurang serasi. Si cewek bertubuh mungil, begitu lembut dan cantik dengan rambut sebahu dan kulit warna olive. Sementara si cowok, dengan tinggi badan menjulang dan bahu lebar, wajahnya tampak ‘sangar’. Usia mereka yang terpaut jauh makin memperlebar ketidak serasian itu. Hanya penilaianku sih, tapi kurasa si cowok tipe mendominasi. Aku jadi langsung teringat tanteku yang menikah dengan tipe cowok seperti itu. Setiap hari dia dikekang, dipukuli, hanya karena si cowok merasa berkuasa dan punya uang. Yah, semoga yang ini tidak.<br /><br />Hampir sepuluh menit si cewek menjelajah di bagian baju-baju Korea. Tampaknya belum ada satupun yang menarik hati. Lalu ia pindah ke bagian baju-baju vintage. Dan tatapannya langsung berbinar saat tangannya menyentuh sebuah gaun berwarna pink dengan aksen biru muda di bagian pinggang. “O my god, ini cantik sekali!” ia berseru. Lalu menoleh ke arah cowoknya yang sedang sibuk bbm-an atau apa.<br /><br />“Lihat, menurutmu, ini bagus kan?”<br /><br />Si cowok melirik ke arah gaun itu tanpa minat. “Nggak bagus,” lalu ia kembali sibuk dengan BlackBerry-nya. Wuih, aku jadi sebal. Tipe cowok yang nggak bisa <span style="font-style:italic;">act sensibly</span>.<br /><br />Si cewek menggigit bibir, tampak kecewa. Tapi ia tak kuasa untuk meninggalkan gaun itu. Ia menoleh kepada kekasihnya lagi. “Tapi boleh kan kucoba dulu?”<br />Dengan tampang bete si cowok menggumam, “Ya udah kalau kamu maksa. Tapi gaun itu terlalu ngejreng, tau.”<br /><br />Hah, gaun selembut itu dibilang ngejreng? Dasar cowok buta warna, pikirku dengan kesal. <br /><br />Si cewek menatap ke arahku dengan pandangan sedikit memohon. “<span style="font-style:italic;">Please</span>, aku coba ya.” Aku tersenyum dan segera mengeluarkan gaun itu dari gantungannya. Kupersilakan ia menuju <span style="font-style:italic;">fitting room</span>. <br /><br />Semenit kemudian, sebuah pemandangan menakjubkan hadir di depanku. Cewek itu berdiri dengan gaun merah muda itu, tampak begitu cantik dan feminin. Ah, warna pink dan biru sangat cocok untuk warna kulitnya. Ikat pinggang biru muda membuat pinggangnya tampak langsing dan indah. “Gimana? Aku seperti Katy Perry kan?” tanyanya padaku. “<span style="font-style:italic;">It’s perfect</span>,” jawabku sungguh-sungguh. “Katy Perry aja kalah.” Dia semakin berbinar.<br /><br />“Berapa harganya?” si cewek bertanya sambil menatap dirinya di depan cermin. Menatap pantulan gaun itu dengan perasaan mendamba.<br /><br />“899 ribu,” ujarku setelah melihat label harga di bagian kerahnya.<br /><br />Kemudian si cewek menoleh ke arah kekasihnya. “Honey gimana? Aku mau banget gaun ini. Harga segitu nggak mahal kan?”<br /><br />Si cowok memberengut. “Bukan masalah harga. Aku bilang itu terlalu ngejreng. Jamuan nanti malam kan formal, gaun itu nggak akan cocok.”<br /><br />Tapi gaun itu cocok banget untuknya, bodoh! Pikirku gemas. Soalnya susah mencari gaun yang pas banget seperti itu, yang bikin si pemakainya tampak sejuta kali lebih bersinar.<br /><br />Si cowok tiba-tiba berdiri lalu menunjuk dengan asal sebuah gaun warna hitam selutut berpotongan lebar di bagian bahu. “Yang ini saja, warna hitam bikin kamu kelihatan smart, juga seksi,” katanya.<br /><br />Si cewek tampak merinding melihat gaun yang ditunjuk kekasihnya. “<span style="font-style:italic;">I hate black</span>,” gumamnya. Tapi si cowok tak peduli, ia bertanya padaku tentang harganya.<br /><br />“Oh cuma 299 ribu,” ujarku sambil melihat label harga.<br /><br />“<span style="font-style:italic;">Try this</span>,” si cowok memaksa kekasihnya untuk melepas gaun idamannya dan mencoba gaun hitam itu. Ini melanggar HAM, batinku, ikut geram kepada sikap mendominasi cowok itu. Huh, mentang-mentang dia yang punya uang, semuanya dia yang harus memutuskan! Aku berdoa semoga bila punya cowok nanti jangan sampai yang seperti dia.<br /><br />Akhirnya dengan wajah kecewa, si cewek mencoba gaun hitam itu. Cantik sih, tapi tidak sekemilau yang tadi. Tidak mau berlama-lama, si cowok segera membayar gaun hitam itu dengan kartu kredit dan menarik tangan kekasihnya untuk pulang.<br /><br />Yah, aku tak bisa berbuat apa-apa. Meski dalam hati menyayangkan gaun itu tak jadi dibeli. Mungkin gaun vintage merah muda itu bukan jodohnya. Meskipun yah, kurasa takkan ada cewek lain yang akan lebih bersinar dibanding cewek itu saat memakainya. Aku cuma bisa <span style="font-style:italic;">say goodbye</span> dan berdoa supaya cewek itu bisa pasrah menerima keadaan dan melupakan gaun impiannya. Salah sendiri mau-maunya punya cowok bertabiat jelek seperti itu.<br /><br />Huah, gimana ya kalau aku punya cowok seperti itu? Dalam soal memilih baju aja dikekang, gimana dalam urusan lainnya? Pasti deh hubungan nggak akan nyaman, dan nggak akan langgeng. Kecuali yah, bila si cewek tipe pasrah. Ah, sudahlah.<br /><br />Aku kembali duduk melamun dan mencoba tak memikirkan cewek itu lagi. Lagipula dia kan cuma pembeli selintas yang kuyakin takkan pernah kembali lagi ke tokoku. Jadi aku sangat terkejut ketika lima hari kemudian, cewek itu datang lagi. Kali ini dia sendirian, tanpa ditemani kekasihnya yang nyebelin itu.<br /><br />“Hai, gaun vintage pink itu masih ada kan?” dia bertanya dengan wajah berseri-seri, sadar betul kalau aku masih mengenalnya.<br /><br />“Tentu,” ujarku, lalu mengeluarkan gaun yang dimaksud.<br /><br />Wajahnya bersinar. Ada rasa percaya diri yang tak kulihat sebelumnya. Ia segera mengeluarkan kartu kredit-nya. “Kuambil,” katanya.<br /><br />Dalam hitungan menit, gaun vintage merah muda itu menjadi miliknya. Ia berterima kasih padaku dan keluar dari toko dengan ekspresi berbunga-bunga.<br /><br />Aku tidak tahu perubahan apa yang telah terjadi pada diri cewek itu. Tepatnya, pada hubungannya dengan kekasihnya. Seakan-akan kabut kelam telah berlalu, seakan-akan cewek itu baru saja bebas dari belenggu. Mungkin ia telah berhasil memutuskan hubungan dengan kekasihnya, yang selama ini tidak berani dilakukannya. Mungkin dengan cara halus: ia diam-diam pergi dari kekasihnya sambil tak lupa mencuri kartu kreditnya. Atau mungkin dengan cara kasar.........<br /><br />“Kau lihat gadis berambut sebahu tadi?” tiba-tiba seorang wanita menghambur masuk ke tokoku. “Dia beli baju di sini?”<br /><br />“G-gadis yang itu?” aku terkaget. “Ya, dia beli gaun vintage merah muda. Tapi dia sudah pergi, nggak tahu kemana.”<br /><br />Wanita itu meremas rambutnya. “Astaga. Kau tahu? Tunangannya meninggal tadi pagi, dan dia malah asyik belanja sekarang.” Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Aku ibu tunangannya. Kurasa saat aku pergi, putraku terserang asma saat mau berenang. Kurasa gadis itu mendorongnya ke kolam, lalu mencuri semua kartu kreditnya dan pergi.”<br /><br />Mataku membelalak tak percaya.<br /><br />“Kau boleh tak percaya, tapi begitulah nyatanya,” wanita itu pergi dari tokoku dengan tampang sedih dan kecewa. <br /><br />Ya, Tuhan...tokoku boleh sepi. Tapi sekalinya ada pembeli, sungguh tidak biasa....dia ‘pembeli istimewa’. <br /><br />Yah, kurasa akan kututup saja toko ini, dan aku kapok jadi si gila belanja lagi!<br /><br /><span style="font-style:italic;">Copyright@2010 by BWS, dilarang mencopy tulisan tanpa izin tertulis dari BWS</span><br /><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-27371010132429079052010-10-23T10:17:00.000-07:002010-10-23T19:21:35.293-07:00My Boy, My Fantasy (Sindrom Nijikon)Cerpen: <span style="font-weight:bold;">Thifa Amakusa, 15 tahun<br /></span>(BWS Bekasi)<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMMg2Y_Bv8I/AAAAAAAAATY/fQspg-or0NM/s1600/wggi004018.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 226px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMMg2Y_Bv8I/AAAAAAAAATY/fQspg-or0NM/s320/wggi004018.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531300886132932546" /></a><br /><br /><br />Hai, kenalkan, namaku Amel! Aku percaya bahwa masa remaja itu indah. Gimana tidak? Hari-hariku selalu penuh rencana ala cewek 16 tahun dengan tiga sohib kentalku: Dita, Fifi, dan Agnes. Mulai dari ngebantu Dita dari masalah kelebihan berat badannya, atau malah Agnes yang terlalu kurus? Dan juga Fifi yang alergi makan coklat tapi demen banget sama benda yang satu itu! Padahal kalau dia kebanyakan makan coklat wajahnya bakal jerawatan lagi. Ujung ujungnya sih, dia sendiri yang nyesel. Tapi kalau udah ketemu coklat... kayaknya nggak bakalan berhenti makan, sampai coklatnya benar benar habis!<br /><br />Begitulah. Penuh canda, walau kadang ada juga derai air mata (kayak waktu Agnes digosipin bakal pindah ke Manado, padahal cuma papanya aja yang ke sana, tugas kantor!) Sebagai sahabat, kami kompak dan sangat dekat. Kami saling bantu memecahkan masalah masing masing. Termasuk soal cinta! Ketiga sohibku itu benar-¬benar mati matian mengejar cinta cowok yang mereka sukai. Aku membantu memecahkan masalah mereka, dan mereka pun membantuku memecahkan masalahku.<br />Masalahku? Apa masalahku?<br /><br />Itulah yang sedang kami bicarakan sekarang. Kami sedang berkumpul di kamarku seperti biasa. Tiduran dengan berbagai pose, dan ngemil sambil baca majalah cewek. Entah bagaimana ceritanya, tiba tiba saja pembicaraan kami mulai menyinggung 'masalahku’ itu.<br />“Jadi gimana, Mel? Apa udah nemuin cara buat nyembuhin 'kelainan' kamu?" tanya Dita tiba tiba sambil terus membaca majalah di hadapannya. Aku yang sedang memasukan sepotong kue ke mulutku jadi tersedak.<br />“Eh, a, apa?"<br />“Dita bilang, apa kamu udah nemuin cara buat nyembuhin 'kelainan' kamu itu?” Agnes mengulang pertanyaan Dita.<br />“Yaahh, ng... gimana ya?"<br />“Sebenarnya kamu niat sembuh nggak siih?" kali ini Fifi angkat suara.<br />“Jangan nanya kayak gitu dong. Kalau ditanya pengen sembuh atau nggak, jelas aku pengen sembuh! Tapi kalau ditanya niatnya lurus apa nggak... ya…”<br />"Yeeee! Gimana siih! Kalau niatnya nggak lurus ya nggak bakalan bisa sembuh!" sahut Agnes mendengar jawabanku. <br /><br />Dita menurunkan majalah yang dibacanya, menatapku tajam dan berteriak, “Aduh, Amel! Kamu itu udah 16 tahun. Ayolah, coba suka sama COWOK NYATA! Masa kamu suka sama COWOK DI KOMIK-KOMIK?! Mereka itu NGGAK NYATA, Mel! NGGAK NYATAAAA!"<br />Ya, itulah masalahku. Aku ini pengidap Syndrome Nijikon alias Dua Dimensi Complex, yang, kalau dilihat di internet, artinya adalah : 'Suatu kelainan di mana seseorang lebih menyukai (atau lebih parahnya mencintai) tokoh dua dimensi seperti dalam manga atau anime daripada manusia nyata'.<br />Persis seperti yang kualami sejak empat tahun lalu. Bayangkan. Aku telah menjadi pengidap syndrome itu sejak empat tahun lalu! Tepatnya, ng... setelah aku ditolak oleh cinta pertamaku...Duuhh, gara gara patah hati, malah berakhir seperti ini! Sang Nijikonners, begitulah teman temanku menyebutku.<br />Dan akhir-akhir ini aku berniat untuk sembuh. Ya, aku harus sembuh! Aku sadar kalau terus menyukai tokoh fiktif seperti itu sama sekali nggak baik. Nanti aku malah jadi cewek abnormal lagi! Aduuh, jangan sampai deh. Tapi masalahnya, niatku untuk sembuh selama ini belum serius, hehehehe...<br />“Jadi aku harus gimana doong?"<br />Ketiga sahabatku menghela nafas panjang sebelum akhirnya Fifi bicara, “Oke, sebelum melangkah jauh, ada baiknya kita definisikan dulu Syndrome Nijikon yang sedang kamu derita.”<br />Waah, sampai pake definisi segala?!<br />Setelah tiga jam lebih berpusing pusing ria mengenai Syndrome Nijikon, akhirnya lahirlah kesimpulan kesimpulan berikut:<br /><br />1. Syndrome NijIkon merupakan PERILAKU MENYIMPANG, sehingga wajib disembuhkan. (“Hehehe, jahat banget aku dikatain ‘menyimpang’!”)<br />2. Pengidap syndrome ini dapat menyadari dan mengakui, atau sebaliknya tidak menyadari dan menyanggah, bahwa dirinya mengidap syndrome ini (“Kamu termasuk yang sadar dan mengakui, Mel,” ujar Dita.)<br />3. Syndrome ini dapat berjangkit dalam waktu yang tak menentu (“Kyaaaa! Ini gawat!”)<br />4. Kesembuhan penderita sepenuhnya tergantung pada penderita itu sendiri. Akan sembuh bila ada NIAT YANG LURUS! (“Duuh, ini nih yang susah!”)<br /><br />“Dan sekarang saatnya kita susun strategi terapi untuk Sang Nijikonners,” usul Dita, disetujui oleh yang lainnya. <br />Mereka bertiga pun langsung sibuk membuat strategi terapi yang dibuat dalam file di komputerku. File itu diberi judul : "The Way To be a Normal Girl".<br />Beginilah isinya:<br /><br />1. LURUSKAN NIAT! Ini yang paling penting.<br />2. Yakin kalau kamu itu 'manusia normal', dan penyakit Syndrome Nijikon itu nggak normal. Makanya harus berjuang biar bisa sembuh!<br />3. Jangan mengaitkan segala hal dengan tokoh fiktif yang kamu sukai! (“Yee, nggak mungkinlah. Iwashi-kun kan tokoh pujaanku yang super keren. Wajar dong aku selalu mengaitkan segala hal dengan dia?”)<br />4. SUKAI COWOK NYATA!!! Karena ini bisa ngebuat kamu melupakan tokoh fiktif itu. (“Ngelupain Iwashi-kun? Mission impossible!”) <br />5. Kalau cara-cara di atas belum berhasil juga, buang, bakar singkirin, hancurkan, dan lenyapkan semua barang barang yang berhubungan dengan tokoh fiktif itu! (“Hwaaaaa! Jangan! Kalian tega banget siih! Masa aku harus ngebakar poster-poster Iwashi-kun yang super keren itu!”)<br /><br />Aku menatap tidak percaya pada kertas yang berisi strategi terapi itu. Agnes mengetiknya dengan huruf super besar dan di-bold. la bahkan mengeprint-nya dan menempelkannya di meja belajarku dan di cermin. Supaya aku selalu ingat, katanya.<br />“Apa aku benar benar harus melakukan ini semua?" tanyaku.<br />“Yup! Kan kamu sendiri yang kepingin sembuh!?" sahut Dita.<br />“Iya siih... tapi…” Rasanya berat mencoba menghilangkan sesuatu yang sudah menjadi sindrome.<br />“Amel, 'kelainan' kamu itu sudah keterlaluan banget! Lihat saja kamarmu ini!" teriak Fifi, nggak setuju melihat muka bimbangku. <br />Perkataan Fifi benar. Kamarku penuh dengan gambar Iwashi Naganuma, tokoh kesukaanku yang membuatku seperti ini. Gara-gara ngefans berat sama Iwashi, tak jarang aku berbuat aneh: menulis namaku Amel Naganuma, bukannya Amelia Rahmasari! Aku juga memajang foto di dompetku dengan gambar lwashi. Dan aku memanggil Iwashi dengan sebutan sayang: Iwashi kun!<br />"Tapi... Iwashi kun kan keren. Tampan, baik hati, pintar, ramah, cool, hebat...." elakku, tak mau membiarkan mereka ‘mengusik’ tokoh kesayanganku.<br />“JANGAN MULAI LAGI!!!!" teriak Dita Fifi Agnes bersamaan.<br />“Apa kamu udah lupa kejadian memalukan minggu lalu, hah?" tanya Dita. <br />Kejadian memalukan minggu lalu? Jelas aku tidak melupakannya. Waktu itu sedang pelajaran BP. Entah mengapa guru BP di kelasku malah membahas soal jodoh dan pasangan hidup. Aku yang tidak tertarik tidak terlalu memperhatikan. Tapi guru itu malah bertanya padaku!<br />“Amelia Rahmasari, kira kira bagaimana tipe cowok idamanmu?"<br />Aku tersentak mendengar pertanyaan itu, memandang dengan bingung wajah teman temanku yang menoleh padaku sambil menahan senyum dan memasang tampang sedikit penasaran. Hey, mau tak mau aku harus menjawab. Dan jawaban itulah yang keluar dari mulutku,<br />“Yang... yang kayak lwashi Naganuma, Bu!"<br />GUBRAAAKKK!!!<br />"Nah, gawat kan?! Sampai kapan kamu mau menganggap Iwashi itu cowok nyata?! Padahal jelas jelas dia cuma selembar kertas nggak berguna!" omel Fifi sambil merobek sebungkus coklat yang dia ambil dari kulkas yang ada di dapur rumahku. Hgg, muncul lagi deh kebiasaan buruknya ngemil coklatnya.<br />“APA?! Selembar kertas yang nggak berguna?! Enak aja! Dia itu..."<br />"Dia itu JELEK!" sambar Agnes sambil melempar bantal padaku. <br />Aku manyun. Paling nggak tahan kalau Iwashi kun dihina hina.<br />"Lagian Mel, ngapain sih kamu suka cowok ftktif kayak begitu? Cowok nyata yang keren juga banyak, kok, " tanya Dita. Sudah berulang kali ia menanyakan itu padaku. Dan sudah berulang kali juga aku menjelaskan. <br />"Cowok nyata itu nggak ada keren kerennya! Memperlakukan cewek seenaknya sendiri! Mereka itu nggak bisa ngerti perasaan cewek!”<br />Benar, sejak aku mengalami sakit hati karena cowok yang jadi cinta pertamaku, aku jadi nggak suka cowok nyata. Aku lebih suka Iwashi-kun. <br />Tapi sohib sohibku itu nggak mau ngerti.<br /> <br /><br />Setelah perundingan 'Terapi Sang Nijikonners' itu, teman-temanku benar-benar bekerja keras untuk menyembuhkan kelainanku.<br />“Mel, kamu udah siap belum?" tanya Agnes suatu hari, di telepon.<br />"Hm? Ah, iya... bentar lagi... Mungkin setengah jam lagi. Aku baru bangun tidur niih... " sahutku malas.<br />“Mel, plis dong... sekali ini aja kamu sungguh sungguh jalanin terapi. Cowok kali ini beda sama yang kemarin kemarin, kok. Dia ketua OSIS di skul nya! Orangnya baik, tampangnya oke, otaknya juga lumayan! Tajir lagi! Kamu nggak bakal nyesel deh, " kata Agnes, mulai berpromosi seperti biasa. Aku menghela nafas panjang. Itulah yang setiap minggu mereka lakukan: nyariin cowok nyata buat aku!<br />“Nes, Fi, kalau boleh jujur aku capek harus kayak begini terus... hampir tiap minggu kalian nyariin cowok buat aku. Ini udah yang kedelapan kalinya, kan? Tapi mana hasilnya? Nggak ada satu pun yang aku sukai! Yah, memang sih cowok cowok yang kalian cariin itu baik baik. Tapi perasaan suka itu nggak bisa dipaksain kayak gini..." kukeluarkan uneg unegku sambil mematut diri di cermin.<br />“Makanya ketemuan dulu aja. Kenalan dulu. Siapa tahu habis itu kamu jadi ada perasaan suka sama dia, dan kamu bisa ngelupain Si lwashi!” sahut Fifi. <br />Yeeee, nih anak, dibilangin bukannya ngerti malah masih ngotot juga. “Aduuuhh Iwashi kun itu nggak bakal bisa dilupakan begitu aja. Lagian di antara cowok cowok itu nggak ada yang kayak lwashi kun, sih!"<br />“Hiiihhh.... lwashi lagi, lwashi lagi! Sebenarnya mau sampai kapan sih kamu jadi seorang Nijikonners??!” omel kedua sohibku itu.<br />Hm... sampai kapan ya? Mungkin sampai aku bertemu Iwashi yang sesungguhnya. Aku percaya Tuhan akan memberikan seorang 'Iwashi' untukku…<br /> <br /><br />Selama ini acaraku ketemuan sama cowok cowok itu selalu gagal. Kami hanya sekedar ketemu, kenalan, jalan bareng sebentar, dan setelah itu nggak bakal berlanjut lagi. Begitu pun dengan cowok yang kutemui (dengan paksa) kali ini.<br />Namanya Daniel. Awalnya dia perhatian banget sama aku. Kami kenalan dan ia menanyakan macam macam tentangku. Aku menjawab ala kadarnya aja. Setelah itu ia mengajakku jalan. Agnes dan Fifi, dari tempat persembunyian mereka, sudah tersenyum penuh kemenangan melihatku menyetujui ajakan itu.<br />Aku juga tidak ingat bagaimana kejadiannya, pokoknya tiba tiba saja (sebenarnya hampir setiap saat) nijikon-ku kumat. Bukannya aku membicarakan hal-hal romantis di depan Daniel, aku malah membicarakan Iwashi kun. Cowok itu diam seribu bahasa, nggak ngerti apa yang kubicarakan. Dan kemudian Daniel bilang kalau dia masih ada urusan, harus nganter mamanya belanja, bla bla bla. Pokoknya secara nggak langsung dia pengen cepat cepat pulang. Yah, mana ada sih cowok yang tahan dibandingin sama cowok di komik komik???<br />Dan saat Agnes dan Fifi muncul, aku cuma angkat bahu sambil nyengir dan memasang tampang ‘tak berdosa’ seperti keahlianku selama ini. Hehehe...<br /> <br /><br />Tuhaaaan... terima kasih atas anugerah yang Engkau berikan padaku: tiga orang sahabat yang sungguh perhatian. Sangaat perhatian, namun sekarang malah aku yang kerepotan sendiri. Kemarin siang mereka datang ke kamarku, siap-siap dengan gunting dan cutter di tangan masing-masing. Mereka mau ngerobek dan ngebuang semua barang¬-barangku yang berhubungan dengan lwashi kun!<br />Aku langsung memohon mohon agar mereka jangan segarang itu. Aku berjanji akan bersungguh sungguh menjalani terapi ini. Oh... janji tanpa pikir panjang! Tapi mau bagaimana lagi, mereka terus mendesakku untuk sembuh dari Syndrome Nijikon. Mereka bilang, aku tak mungkin terus menjadi seorang Nijikonners. Nggak lucu dong kalau seandainya aku sudah berusia dua puluh tahun tapi masih ngejar ngejar tokoh fiktif. <br />“Kami nggak akan menghancurkan lwashi kun asal kamu bisa menyukai cowok nyata.... dalam waktu seminggu!” teriak Dita, Fifi dan Agnes serempak. SEMINGGU...?? Arrrgh, mereka emang sengaja menjebakku supaya dapat menghancurkan lwashi kun! Tapi kalau aku berhasil, mereka tidak akan memaksaku lagi untuk menjalani terapi gila ini.<br />Yaah, daripada aku melihat Iwashi kun hancur berkeping keping...Aku harus ‘menyelamatkan’ Iwashi kun dari tangan-tangan ketiga sohibku. Aku harus berjuang untuk menyukai cowok nyata. Fight, Amel! (lagi lagi niatnya salah ...)<br /> <br /><br />Hwaaaa! Gimana nih?! Udah hari keempat, dan aku sama sekali belum menyukai cowok nyata! Tiga hari kemarin aku berusaha menyukai cowok, tapi ternyata nggak seorang pun cowok yang jadi incaranku cowok baik baik. Cowok pertama berandalan di SMA ku. Cowok kedua cowok beken, tapi perokok. Cowok ketiga keren, kapten tim basket di sekolah, tapi udah punya cewek. Hhh, sama sekali nggak ada yang kayak lwashi kun! <br />Tadi pagi Agnes menanyakan perkembangan usahaku. Aku cuma bisa angkat bahu. Habiiiss, memang sama sekali belum ada perkembangan apapun!<br />Dan baru saja Dita meneleponku.<br />“Ini udah hari keempat Iho, Mel! Batas waktunya tinggal tiga hari lagi! Pokoknya sesuai kesepakatan kita : kalau kamu belum menyukai cowok nyata tiga hari lagi, siap siaplah berpisah dengan Iwashi!”<br />"Tapi Dit ......”<br />Klik. Dita memutuskan telepon. Tinggal aku yang sekarang bingung setengah mati. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Bagaimana iniiii!<br /><br /> <br />“Ameeel... " suara Mama memanggil, memecah lamunanku.<br />“Apa Ma?" sahutku malas sambil menuruni tangga, menemui beliau.<br />“Katanya hari ini kamu mau belanja di mal? Jadi nggak? Uang di ATM kamu masih ada kan? O ya, sekalian beilin Mama baju ya. Nanti uangnya Mama ganti. Sekarang Mama mau pergi arisan..." Mama berkata panjang lebar dan kemudian mengecup pipiku sebelum ia keluar.<br />Aku mendesah panjang. Kayaknya aku nggak pernah bilang kalau hari ini mau ke mal, deh? Lagi pusing pusing masalah lwashi, malah... Mh... ya sudahlah, aku akan ke mal. Hitung hitung refreshing...<br />Satu jam kemudian aku sudah duduk manis di metromini. Sendirian. Ya, sendirian. Aku sudah mengajak ketiga sohibku. Tapi tak satu pun dari mereka yang bisa ikut. Dita lagi fitness, biar kurusan katanya. Agnes lagi ikut bimbel dan baru pulang jam delapan malam. Kalau Fifi, sebenarnya mau ikut asal aku mau menunggunya dua jam lagi, soalnya dia lagi pakai masker penghilang jerawat...<br />Setengah jam kemudian aku sudah sampai. Berebut turun dengan beberapa orang yang juga punya tujuan yang sama denganku. Lho, kenapa tasku terbuka? Buru buru aku menutupnya dan melenggang turun dari metromini itu.<br />Aku berjalan dari toko ke toko, dari satu butik ke butik yang lain. Mal pada hari Minggu memang ramai. Sudah tiga tempat dimasuki, tapi aku belum menemukan baju yang cocok. Saat di toko keempat lah aku menemukan baju yang pas untuk Mamaku. Aku segera membawanya ke kasir.<br />“Dua ratus tujuh puluh ribu lima ratus rupiah," kata Si Mbak kasir.<br />Aku membuka tas, hendak mengambil dompetku. Tapi…hey, di mana dompetku?<br />Aku semakin bernafsu mengaduk aduk isi tasku. Di mana siih? Masa nggak ada?<br />“Kenapa?" petugas kasir memandang penasaran.<br />“A, anu, dompet saya…” kataku mulai panik. Lalu kutumpahkan semua isi tasku di meja kasir (malu maluin banget!) Tapi hasilnya nihil.<br />“Mungkin ketinggalan di rumah kali, Mbak?" kata kasir, simpati. Mana ada siih orang yang ke mal tapi lupa bawa dompet???!<br />“I, iya kali ya? Maaf ya Mbak... jadi berantakan begini. Aduuuh, tuh dompet ke mana siih?"<br />Aku kembali memasukkan isi tasku dan keluar dari toko itu. Bingung dan panik mulai menguasai diriku. Bagaimana dompet itu bisa hilang? Ng... ah! Jangan¬-jangan, waktu di metromini? Sebelum turun tasku sempat terbuka, kan? Ahhh! Kenapa aku bisa begitu ceroboh?!<br />Aku t1dak membawa handphone ku karena belum ku cas, jadi tidak bisa menghubungi siapa pun. Terlebih... aku sama sekali tidak memiliki uang untuk bisa melakukan apapun! Bagaimana aku akan pulang? Kalau aku naik ojek dari sini pun percuma. Di rumah nggak ada orang dan aku sama sekali nggak punya tabungan. Hhh... bagaimana ini?<br />Aku berjalan mondar mandir tak tentu arah. Panik. Dan tidak tahu harus berbuat apa. Seandainya aku bertemu dengan sescorang yang kukenal... Ah, bukan saatnya berandai andai!<br />Hm..hm ... hm...sebentar…<br />Apa saja isi dompetku? Uang? Jelas. Berapa? Entah berapa ratus ribu ada di dalamnya. Oh ya, kartu ATM ku. Kartu pelajarku. Kartu asuransi kesehatan. Dan... dan... foto lwashi kun!!!!<br />Sadar kalau foto lwashi kun hilang membuat lututku lemas. Foto... Iwashi kun... hilang ... ! Foto Iwashi hilang... foto Iwashi hilang... Dan aku tidak bisa pulang ke rumah!<br />Aku semakin panik. Terus berjalan mondar mandir, bahkan beberapa kali menarik rambutku sendiri. Mirip seperti orang stress. Tapi sekarang aku memang lagi stress. Hingga akhimya... aku mulai menangis.<br />Banyak orang memandang heran. Mungkin mereka pikir aku menangis karena baru diputusin pacar. Ah, terserahlah! Aku nggak peduli... Aku hanya ingin pulang ke rumah...(dan juga ingin foto Iwashi kun kembali. ) Tapi gimana bisa pulang? Aku tak bisa menghubungi siapa pun, tak mengenal seorang pun... <br />Aku terus saja menangis hingga seseorang menepuk bahuku. Aku terkejut dan segera membalik badan. Seorang cowok berusia sekitar 19 tahun berdiri di hadapanku¬. Badannya tinggi tegap. Kulitnya putih, matanya agak sipit, dan berhidung mancung. la memakai kacamata.<br />“Dek, kenapa? Saya perhatiin dari tadi kamu mondar-mandir terus," cowok itu bertanya dengan ramah. Tapi berhubung dia bukan orang yang kukenal, aku mundur selangkah dan menjaga jarak darinya.<br />“Ah.. ng... nggak kok. Saya... saya cuma ... jalan jalan aja di sini..." <br />Cowok itu tersenyum mendengar jawabanku.<br />“Kalau cuma jalan jalan kenapa nangis?"<br />Wajahku jadi merona. Aku terdiam untuk waktu yang lama. Tidak tahu apakah aku harus bilang kalau dompetku hilang pada seorang cowok asing.<br />“Nggak, saya nggak kenapa kenapa kok," kuputuskan untuk tidak menceritakannya.<br />“Bener nih nggak ada apa apa? Kalau gitu ya sudah," cowok itu berbalik hendak pergi. Tapi tiba tiba saja, di luar kendaliku, aku menahan langkahnya.<br />“Ng, anu...” mataku kembali berkaca-kaca. "Dompet saya hilang... saya nggak bisa pulang ke rumah."<br />Cowok itu mengajakku duduk di sebuah cafe di mal ini. Aku duduk kikuk berhadapan dengannya. Rasanya konyol sekali. <br />“Mau pesan apa?"<br />"Tapi... saya nggak punya uang...”<br />“Aku tahu dompetmu hilang. Makanya aku yang bayarin. Mau pesan apa? Ini sudah lewat jam makan siang, tapi pasti kamu belum makan, kan?" katanya. Aku tak memungkiri kalau sekarang perutku sudah menjerit minta diisi.<br />“Ng... terserah deh...”<br />Cowok itu memesankan menu yang sama untukku dan dirinya.<br />Sambil menunggu pesanan datang, kami pun berkenalan. Namanya Ari. Cuma itu. Tiga huruf yang simpel dan mudah diingat. Dia mahasiswa tingkat tiga jurusan fisika di UI. Dan sesuai dugaanku, umurnya 19 tahun. Dan walaupun matanya agak sipit, dia mengaku kalau dia bukan keturunan Chinese. Lama kelamaan, aku mulai merasa santai ¬seolah telah lama mengenalnya. Kami ngobrol berbagai hal, termasuk soal hilangnya dompetku.<br />“Oh, pantas kamu nangis. Yang hilang barang barang penting ya?"<br />"Ng...iya sih. Gara gara copet, foto Iwashi kun yang ada di dompetku hilang…”<br />“lwashi kun?"<br />“Iya. lwashi kun! Dia tokoh yang ada di…”<br />Dan bla bla bla. Tanpa sadar aku mulai membicarakan komik Iwashi Naganuma's Adventures. Bahkan ketika pesanan kami telah datang dan kami mulai makan. Ari hanya diam mendengarkan ocehanku.<br />"Ternyata kamu itu seorang Nijikonners, ya?" komentar Ari setelah selesai mengunyah. la tersenyum melihatku begitu bersemangat menceritakan Iwashi kun. Dan yang membuatku tersentak, ia sama sekali tidak merasa aneh dengan 'kelainan'ku ini.<br />“Ah, ya... Teman temanku juga bilang begitu. Kalau aku sudah mulai membicarakan Iwashi kun... mereka pasti langsung mengalihkan pembicaraan ke hal lain! Bete. "<br />"Tapi kalau dari ceritamu, Iwashi kedengarannya nggak buruk, kok."<br />Sekali lagi aku tersentak. Dia... dia.... dia orang pertama yang mengakui Iwashi¬-kun! Kyaaaaa…Senangnya!<br />“Iya, lwashi kun memang sama sekali nggak buruk! Tapi aku juga sadar kalau terus menyukai tokoh fiktif seperti itu nggak baik. Akhirnya teman temanku membantuku untuk sembuh. Tapi yaa, gitu deh! Hehehe. Habisnya mereka pakai cara yang benar benar gila!"<br />Dan aku pun menceritakan apa saja yang sudah terjadi beberapa bulan belakangan ini. Bahwa aku sudah delapan kali dipertemukan dengan cowok nyata, dan kesemuanya berakhir gagal total.<br />“Memangnya kenapa sama cowok nyata?" tanya Ari.<br />"Ya... ng... aku ngerasa nggak enak aja... Dulu aku pernah suka sama cowok. Kukira dia juga suka sama aku, habis dia baik banget sih. Eh, tau taunya dia cuma manfaatin aku biar bisa PDKT sama sohibku Agnes. Aku jadi sakit hati. Dan setelah itu... aku jadi alergi – nggak bisa menyukai cowok nyata...."<br />Ari mengangguk angguk paham.<br />“Menurut kamu, apa aku bisa benar benar sembuh?" tanyaku pada Ari.<br />“Bisa! Kalau kamu udah nemuin 'Iwashi' kamu sendiri....” ujar Ari. “Pasti suatu saat Tuhan akan memberikan seorang 'Iwashi yang nyata' buat kamu."<br />Aku terperangah. Kata katanya.... sama seperti kata kata yang sering aku ucapkan : Tuhan pasti akan memberikan seorang 'Iwashi' untukku...<br />Dan tiba tiba saja aku merasa jantungku berdetak dua kali lebih cepat!<br /> <br /><br />Seminggu sudah berlalu. Saatnya ketiga sohibku menagih janji. Mereka datang ke kamarku sambil membawa benda-benda tajam, bersiap menghancur-leburkan semua benda yang berbau Iwashi-kun. <br />“Eh…eh, tunggu dulu. Jangan, plis….” Aku memohon.<br />“Kenapa?” tanya Dita. “Kamu nggak berhasil nemuin cowok nyata sesuai waktu yang telah ditentuin, jadi inilah konsekuensinya…” Dita mengacungkan gunting, siap-siap merobek poster Iwashi kesayanganku.<br />“Ehm…sebenarnya…sebenarnya….”<br />“Sebenarnya apa?” Dita-Fifi-Agnes memandangku penasaran.<br />“Mmm….sebenarnya aku udah nemuin seorang cowok yang kusukai kok.”<br />Jujur, saat itu aku nggak yakin dengan kata-kataku. Tapi demi menyelamatkan Iwashi-kun. Dan eh – siapa tahu…<br />“Siapaaaa?” ketiga sohibku berteriak penasaran. <br />Jelas aku nggak bisa menjawab. “Mm…belum pasti sih, tapi…ada kok.” <br />Tiga bulan kemudian, barulah kami mengetahu jawabannya.<br />Dita Fifi Agnes melihat perubahan dalam diriku. Aku semakin jarang membicarakan Iwashi kun. Aku juga sudah jarang menulis namaku 'Amel Naganuma'. Mereka mulai percaya bahwa aku sudah benar-benar menyukai cowok nyata, dan ingin tahu siapa cowok itu. Aku cuma angkat bahu dan tersenyum misterius saat ditanya tentang cowok itu.<br />Pukul sembilan malam dan aku baru saja tiba di rumah. Sabtu ini aku ada janji sama Ari. Masih ingat Ari kan? Cowok penyelamatku yang nggak alergi sama Iwashi. Kami sudah bertukar nomor telepon, dan aku sudah gantian mentraktirnya (untunglah dia mau ditraktir). Dan ini pertemuan kami yang kesekian sejak yang pertama kali di mal itu. <br />Baru saja aku membuka pintu kamar ketika handphone-ku berdering. <br />“Mel, tadi aku lihat kamu jalan bareng cowok! Hayo ngaku...Dia ‘cowok nyata’ mu kan?" berondong Fifi.<br />“Eh?" aku jadi kaget. Jadi mereka diam-diam mengintai nih?<br />“Iya! Tadi kamu jalan sama cowok di Plaza Senayan. Itu lho, Mel, yang tinggi, putih, rada sipit, terus pakai kacamata. Siapa namanya? Udah, sekarang jangan rahasia-rahasiaan lagi," teriak Dita setelah merebut gagang telepon Fifi.<br />“Dia itu Iwashi-mu kan?” tebak Agnes, merebut gagang telepon Dita.<br />Ah, dasar ketiga sohibku memang jail…tapi perhatian. Perhatian, tapi jail.<br />Aku nggak bisa menjawab pertanyaan mereka. Namun perlahan tapi pasti, wajahku merona merah. Ari adalah Iwashi-ku? Hmm…hmm…bibirku pun tersenyum. <span style="font-style:italic;">Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS</span><br /><br /><br /><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-2219163666882736382010-10-23T10:16:00.000-07:002010-10-23T19:45:58.598-07:00The ClosetOleh: <span style="font-weight:bold;">Lammaida RN, 11 tahun</span><br />(BWS Garut)<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOdy6U0VuI/AAAAAAAAATw/19-61xBsL54/s1600/zz016048.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 222px; height: 320px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOdy6U0VuI/AAAAAAAAATw/19-61xBsL54/s320/zz016048.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531438265316693730" /></a><br /><br /><br />Seringkali waktu berjalan dengan kecepatan yang menegangkan. Akselerasinya setara dengan laju Valentino Rossi ngibrit diatas Motor-GP. Namun kadang waktu juga dapat berjalan demikian lambat, hingga membuat Suster Ngesot terlihat The Flash.....<br /><br />Itulah yang dirasakan Dion, salah satu murid kelas 2-I, yang sedang berbengong ria saat belajar Bahasa Inggris. Disadari-tidak disadari tangannya sibuk mencorat-coret kertas, menggambar karikatur Bu Grace, sang guru tersayang dengan tingkat kekurangajaran kronis.<br /><br />Bolak balik Dion melihat catatannya dengan frustasi. Dengan cepat ia berlatih pada Evan, teman sebangkunya.<br /><br />“Van, jadi yang namanya past perfect tense itu perstiwanya udah kejadian apa belom? Truz bedanya apa sama past tense?”<br />Evan, yang kadar intelejensinya nggak beda jauh pun menjawab, “Kalo past perfect itu berarti udah bener-bener nampol kejadiannya. Liat aja, udah PAST, trus PERFECT pula. Nah kalo past tense itu berarti past-nya udah ada sepuluh biji. Jadi past ten, gitu! Masa yang kayak gitu loe gak bisa sih??”<br />“YAH NGGAK GITU LAH DODOLLL!!!!!” protes Dion, mendengar penjelasan Evan yang nyeleneh.<br />“Hah, siapa yang Dodol??” suara tegas wanita dari arah belakang kelas.<br />Jantung Dion serasa mau jatoh, saat disadarinya itu suara Bu Grace. Perlahan ia menoleh ke arah sang guru Bahasa Inggris yang sedang melihatnya dengan pandangan mengancam. Guru yang terkenal killer itu menatapnya dengan ekspresi keantagonisan akut.<br />“Ehm....anu Bu, tadi saya nanya ke Evan soal tenses,” Dion menjelaskan dengan pelan, sadar betul akan tatapan iba dari anak-anak sekelas. <br />“Sebenarnya kalian gak perlu bikin sesi tanya-jawab sendiri. Kalau dari tadi dengerin penjelasan saya, pasti dari tadi udah pada ngerti,” dengus Bu Grace.<br />Baik Dion maupun Evan terdiam. Dion selalu berpikir diam adalah cara terbaik untuk membebaskan diri dari situasi menyulitkan, namun ternyata anggapannya salah saat Bu Grace menarik selembar kertas yang ada di atas meja Dion. Keadaan berubah menjadi malapetaka.<br />“Jadi...”Bu Grace berseru penuh kemenangan, seraya melihat sketsa asusila di kertas, “Bukannya mencatat pelajaran, tapi kamu malah menggambar-gambar KAMBING?? Bagus!Bagus!”<br />Dion menggeluarkan bunyi seperti burung kenari tersedak oleh biji salak. Nggak ngerti harus ketawa atau panik. Kalau saja Bu Grace menyadari siapa yang sebetulnya digambar dalam sketsa itu...<br />“Huahaha....Bu itu sih bukan gambar kambing. Itu kan gambar – AAWW!” kaki Evan ditendang oleh Dion dengan kenafsuan tinggi.<br />Bu Grace malah ketawa. Nggak sadar-sadar.<br />“Memang nggak mirip sama kambing,” Bu Grace memperlihatkan sketsa tersebut ke depan kelas, “Lihat, mana ada kambing gambarnya kayak gini? Huahahaha...Payah kamu. Ini sih mirip...mirip...hmmm...”<br />Seolah adegan diputar secara extra slow motion, Dion melihat wajah Bu Grace bertransformasi menjadi The Vampire. Saat itulah ia merasa tak ada gunanya lagi Dion melanjutkan hidup...<br />Keheningan yang mencekam itu dibuat menjadi semakin ancur dengan terdengarnya tawa lepas tanpa empati. “HAHAHAHAHAHAHAHAHA..”<br />Kontan, seisi kelas menoleh pada insan yang bersangkutan. Orang tersebut adalah Reno, cowok yang selama ini terkenal paling kalem, sopan dan bermoral. Nyadar sedang jadi pusat perhatian, Reno salting dan langsung mengucapkan kalimat yang langsung bikin naek darah. “Maaf Bu, kelepasan........”<br />Dion dan Reno cuma bisa memasang tampang “Hidup Ini Tidak Adil” saat Bu Grace mengiring mereka menyusuri koridor sekolah seusai jam pelajaran. Saat itu pukul empat sore, dan mereka berdua seharusnya sudah bisa guling-guling di rumah seperti seluruh anak SMP lainnya.Tapi tentu saja akibat perbuatan kriminal mereka terhadap sang guru Bahasa Inggris, Dion dan Reno dijatuhi hukuman terberat dalam sejarah umat manusia: MEMBERSIHKAN TOILET!<br />“Nah, kalian berdua harus membersihkan toilet ini,” Bu Grace berlaku selayaknya majikan terhadap pembantu. “Dan saya mau toilet ini bersih, sebersih-bersihnya, setiap sudut, setiap sisi, setiap lubang!”<br />Baik Dion maupun Reno berjengit. Terlihat Reno menghisap-hisap in haler-nya untuk mengantisipasi serangan asma.<br />“Bu, saya nggak kuat kalo disuruh kerja kayak gini,” Reno memohon. “Lagian... kan bukan saya yang NGEGAMBAR muka ibu!”<br />“IYA TAPI LOE KETAWA, SETAN!” Dion membalas dengan nafsu.<br />Dion dan Reno langsung ribut. Sebagai guru yang bijak.....Bu Grace menengahi. “Reno benar, kesalahannya tidak sefatal kamu, Dion.”<br />Dion menggaruk-garuk kepala merana. Reno jejingkrakan.<br />“Karena itu akan saya suruh Reno untuk ngawasin kamu aja sampe kamu selesai membersihkan toilet.”<br />Reno ketawa. Dion ngerasa sebel. Huh, enak amat jadi pengawas!<br />Bu Grace berjalan ke dalam toilet cowok yang kondisinya kelewat menyeramkan hingga membuat sumur pun terlihat seperti hotel berbintang.<br />“Nah, Dion, kamu mulai dari sini,” Bu Grace memberi petunjuk. Dion cuma bisa manggut-manggut. Dilihatnya Bu Grace berjalan menuju salah satu bilik di dalam toilet. Bilik itu tertutup. Sang guru berusaha membukanya, namun pintu tersebut tetap bergeming.<br />“Halo?Ada orang ya?” Bu Grace mengetuk.Tidak ada yang terdengar. Jawaban datang dalam bentuk asap yang membubung dari dalam bilik. Baik Dion maupun Reno langsung berseru,”KEBAKARAN!”<br />Sementara Dion dan Reno panik dan histeris, Bu Grace tetap menjaga ketenangannya. Ekspresinya tetap lurus dan normal sampai.....<br />“HIYYYYYA!” dengan teriakan membara Bu Grace melayangkan tendangan ala Eva Arnaz ke pintu toilet dan membuatnya jebol seketika.<br />Melihat adegan tersebut, Dion cuma bisa mangap, sedangkan Reno kembali menghirup-hirup inhaler-nya dengan liar.<br />Namun, tampang paling shock datang dari insan yang duduk di atas kloset, di balik pintu yang jebol. Cowok tersebut cuma bisa bengong tanpa bisa berkata sepatah pun, melihat pintu biliknya penyok ditendang guru nan perkasa. Dion langsung mengenali cowok tersebut. Dia Adi, cowok bertampang sporty, penghuni kelas 2-H....Ketua OSIS.<br />Bu Grace langsung mengeluarkan senyum kemenangan saat dilihatnya sebuah rokok menggantung di tangan Adi. Saat itulah wajah Bu Grace kembali mengalami transformasi, dari Ratu Vampir, menjadi Suzanna. Kemudian sang guru menggumamkan kata-kata maut.<br />“Hmmmmm.......so interesting.”<br />Dion dan Adi mengeluarkan tampang merana selayaknya korban-korban Romusha. Keduanya bekerja seperti yang diperintahkan: menjangkau setiap sudut, menjamah setiap sisi, membersihkan setiap lubang. Untung saja Bu Grace cukup berbaik hati memberikan dua buah jepit jemuran kepada kedua buruh barunya untuk mencegah keracunan dan kejang-kejang. Toilet cowok sekolah memang terkenal memiliki aroma yang khas hingga mampu merenggut korban jiwa.<br />“ADUUUH! GUA GAK TAHAN! BANGET!” lolongan sengsara keluar dari Adi yang sedang asyik menyodok-nyodok kloset. “Gak kuaat! Sepuluh menit pake jepit jemuran bisa bikin hidung gua coplok!”<br />Dion menyadari Adi benar. Sekarang saja ia sudah merasa hidungnya mengalami dislokasi.<br />“Emang dasar nggak berperikemanusiaan,” Adi menggerutu. “Mana ada guru yang seenaknya maen tendang pintu sampe jebol? Dikira gua nggak jantungan apa?”<br />“Kalo udah tau jantungan kenapa loe ngerokok, dodol!?”<br />“Siapa bilang gua ngerokok! Itu cuma coba-coba, tahu!”<br />Dion dan Adi sudah siap ribut, namun seseorang kembali menengahi.<br />“Udah, udah!” Reno, sang pengawas berusaha menormalkan suasana, “Kenapa sih loe berdua nggak bisa bersikap selayaknya manusia beradab?”<br />Dion panas,”Yaelah, kayak loe beradab aja. Padahal loe ketawa paling kenceng waktu ngeliat gambarnya Bu Grace!”<br />Giliran Reno panas,”Nggak beradab mana sama ketua osis yang diem-diem ngerokok di atas kloset?”<br />Dion yang memang ketua OSIS tambah naik pitam. Sekarang tiga-tiganya ribut. Semuanya saling bersahut-sahutan layaknya burung-burung beo di Pasar Pramuka. Setiap Adi membantah, akan disahut dengan suara yang lebih tinggi oleh Dion, kemudian dipuncaki oleh Reno. Begitu seterusnya sampai akhirnya tercipta sebuah harmonisasi antara mereka bertiga.<br />Setelah capek, Dion meminta time out.<br />“Udah......hoh....hoh...capek nih...”<br />Adi menggangguk, “Iyahh....jantung gua .....udah nggak kuat...”<br />“Yaelah, gitu aja udah nyerah. masa sih?”<br />“Udah Ren, berantemnya udah selesai......”<br />Dion berusaha menenangkan diri, “Pokoknya kita harus selesain dulu tugas ini.”<br />Adi ngos-ngosan, “Jujur ya, Di, gua nggak sanggup. Ntar malem gua mesti ngerjain tugas makalah...”<br />“Trus gimana dong? Masa gue kerjain ini sendirian?” Dion protes.<br />Adi berpikir sejenak, kemudian melontarkan ide,”Gimana kalo kita kabur aja sekarang bareng-bareng?”<br />Ide kriminal ini disambut dengan semangat empat lima oleh Dion dan nada ketidaksetujuan oleh Reno.<br />“NGGAK BISA! Tadi Bu Grace jelas-jelas bilang sama gue kalo gue mesti ngawasin elo berdua sampe selesai!”<br />“Cuek aja kali, Ren. Udah, kabur aja!” Dion memprovokasi, “Lagian emangnya loe tahan di sini terus sampe malem? Mending kalo aroma toiletnya bisa bikin pinter.Ini aromanya bisa bikin kita jadi pingsan!”<br />“Gua nggak bisa!” Reno tiba-tiba histeris, “Tadi gua diancem sama Bu Grace. Katanya kalo sampe elo berdua kabur, gua....gua bakal...”<br />“Loe bakal kenapa? Loe bakal diapain Ren?”Dion langsung panik ngeliat wajah Reno yang membiru.<br />Reno menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak sanggup bicara.<br />“Katakan pada kami Ren, loe bakal diapain kalo kita kabur?”Dion mengguncang-guncang tubuh Reno. Reno kembali menggeleng.<br />“Ren plisss,” Dion memohon, “Sini, loe mesti tau apa yang membuat gua dan Adi nggak kuat lama-lama di sini.’<br />Dion menggiring Reno untuk masuk lebih dalam ke toilet. Belum apa-apa Reno udah mulai menghisap-hisap in-halernya.<br />“Parah, gila bau banget......”<br />“Ini belon seberapa Ren.”<br />Dion menunjukan lantai-lantai yang basah kecoklatan yang akan dia pel. Sedangkan Adi menunjukan benda-benda ajaib yang di temukan di dalam kloset. Pemandangan tersebut membuat Reno terguncang. Ia menghisap inhaler-nya secara non-stop sampai akhirnya...<br />“Hah...hah....hah,” Reno gelagapan, menyadari bahwa in-halernya telah habis. Dion dan Adi langsung panik.<br />“Gawat Reno kumat!” Dion dan Adi gelagapan, “Gimana dong? Gimana Dong? Gimana Dong?”<br />Dion tidak menjawab. Ia hanya menyaksikan Reno yang sedang sesak nafas, jatuh ke lantai, dan pingsan.<br />“Aduh Ren ...Ren... sadar dong...jangan bikin kita tambah susah donk!”Adi meratap. Diguncang-guncangnya tubuh Reno, namun temannya itu tidak sama sekali menunjukan reaksi.<br />“Gimana dong? Gimana dong? Gimana Dong?” ratap Adi kebingungan.<br />“Parah nih. Kayaknya dia beneran pingsan deh,” ujar Dion.<br />“Hah? Pingsan? Aduh gimana nih? Gim....”<br />“Will you just shut up???”<br />Adi akhirnya menjadi tenang. Dion sebagai pemecah masalah yang handal mulai berpikir.<br />“Kita gak boleh gegabah,” Dion memulai. “Keadaan kita udah gawat.”<br />“Trus kita mesti gimana?” Adi berkeringat. “Gerbang sekolah pasti udah ditutup, kalaupun nggak pasti satpamnya sudah dipesenin Bu Grace buat nahan kita di sini.”<br />Dion menatap Adi, dan akhirnya ia berteriak, “KABURR!!!”<br />Bagai dipecut cambuk, keduanya bangkit dan berlari memasuki salah satu bilik. Baik Dion maupun Adi menatap jendela besar di atas kloset. Setelah itu mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan.<br />“Aduh berat sih loe, cepetan donk!”Adi sewot saat dirinya digunakan sebagai pijakan kaki Dion untuk memanjat jendela. Dion akhirnya berhasil meraih jendela tersebut dan mendorongnya hingga terbuka, kemudian dikeluarkannya kepala melalui jendela tersebut, dan melihat sekeliling.<br />Halaman belakang sekolah tampak sepi. Para siswa sudah pada pulang ke rumah masing-masing sejak satu jam yang lalu. Dion menghela nafas lega, namun kembali bete saat melihat jarak jendela ke bawah lumayan tinggi.<br />“Udah belom sih? Gua keberatan tau!”<br />“Yaelah bentar dikit napa sih? Sabar donk!” sahut Dion. Dilayangkan matanya ke segala arah, berusaha menemukan seseorang yang lewat yang bisa membantunya.<br />“Lexa!” Dion memanggil dengan suara yang sangat keras. Lexa ketawa ngakak melihat sang Ketua OSIS nyangkut di jendela.<br />“Hahaha. Ngapain loe disitu? Lo mo ngeliat pemandangan? Lo aneh juga ya, ngeliat pemandangan di sini.Dasar gokil lo!” Lexa menertawakan Dion.<br />“Udah nggak usah bawel. Bantuin gua turun donk!”<br />“Nggak pernah kenal sama yang namanya pintu ya Mas?”<br />“Udah jangan berisik! Gua lagi disuruh ngebersihin toilet. Mau kabur nih.”<br />Lexa mengeleng-geleng kepala,”Ck...ck...masih kelas 2 aja udah lari dari hukuman. Gimana entar kalo udah jadi pejabat? Pantes aja negara kita...”<br />“Gua nggak butuh kultum sekarang! Lo mau bantuin gua apa enggak?”<br />Melihat Dion menjerit-jerit seperti orang gak waras, hati Lexa tersentuh juga. Cewek itu akhirnya membawakan sebuah tangga yang untungnya tersandar di dinding dekat situ. Dion langsung turun, diikuti oleh Adi. Setelah keduanya sukses berada kabur dari toilet, Lexa mendengus ketus dan pergi.<br />“Truss...si Reno gimana tuh? Masa kita tinggalin dia begitu aja?” tanya Adi kepada Dion. Mereka berdua pun mikir. Tapi kesimpulannya kemudian: cuekin Reno, lanjutkan kabur dan pulang ke rumah masing-masing. <br />Sementara itu Reno sudah siuman. Beberapa jam kemudian, Bu Grace tersenyum sinis sambil menepuk-nepuk punggung Reno.<br />“Jadi, kedua murid itu kabur dan kamu tidak menghalangi mereka?” sang guru bertanya dengan tingkat kekejaman setara tingkatnya dengan The Predator.<br />Reno meratap, “Saya sudah berusaha Bu...sumpah...tapi asma saya mendadak kumat...truss saya pingsan...maafkan saya Bu...”<br />“Huh, tidak ada maaf bagimu! Semua yang tidak melaksanakan kewajiban harus dihukum dengan seberat-beratnya. Besok kamu sendiri yang harus membersihkan toilet ini!”<br />“Hah? Kalo gitu saya bisa pingsan lagi dong, Bu.....”<br />“Biar gak pingsan, sekarang kamu beli inhaler buat persediaan besok!”<br />Setelah Dion dan Adi lepas dari hukuman, Reno Sang Pengawas-lah yang harus menanggung hukuman mereka. Itulah kejadian yang mengenaskan di toilet pria di sekolah. Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS<br /><br /><br /><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-14338637771683750822010-10-23T10:14:00.000-07:002010-10-23T19:47:59.115-07:00We Love HerOleh: <span style="font-weight:bold;">Yudhan Triyana, 16 tahun</span><br />(BWS Garut)<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOeQj3chEI/AAAAAAAAAT4/BRWLqt08w5g/s1600/ist2_9155611-female-flirting-with-two-guys.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 227px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOeQj3chEI/AAAAAAAAAT4/BRWLqt08w5g/s320/ist2_9155611-female-flirting-with-two-guys.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531438774683993154" /></a><br /><br /><br />Pagi datang tanpa diundang. Cahaya matahari yang membias di permukaan air laut membuatnya bersinar berkilauan. Aku sudah mengenakan pakaian seragam. Aku, Fernan Alergo Stacatisimo, anak kelas satu SMA Global, sebuah sekolah yang terbilang elite di kota ini.<br /><br />Pagi itu aku membawa Honda Jazz Sport-ku memasuki lapangan parkir sekolah. Pagi yang sangat mengejutkan karena aku berpapasan dengan Melone. Dia menyapaku ramah, tersenyum manis, membuat raut mukaku memerah karena tersipu. <br /><br />“Met pagi? Apa kabarnya nih? Jarang ketemu sejak perpisahan waktu SMP!!!” sapanya. <br />Benar, dia dan aku memang pernah sahabatan sewaktu SMP. Tapi semenjak masuk bangku SMU yang sudah berlangsung seminggu ini, kami jarang menyapa. Mungkin karena kesibukan MOS, tugas-tugas, dan sebagainya. <br />“Eh, pagi juga, kabar aku baik kok, kamu aja yang jarang nyapa aku,” jawabku malu-malu.<br />“Oh, ya sudah ya, aku ada tugas yang belum dikerjakan, jadi aku duluan ke kelas ya?” pintanya dengan raut tergesa-gesa.<br />“O, Oke…,” jawabku kikuk.<br />Melone adalah gadis cantik berumur 16 tahun, seumuran denganku. Aku mengaguminya sejak pertama kali kami masuk SMP, hingga sekarang, kalau mau jujur. Meski yah, sekarang dia sudah menjadi milik cowok lain, namun rasa itu masih tetap ada. Dulu sewaktu Melone dan Dimas jadian, aku terkapar dalam rasa sakit hati yang dalam, sebagaimana layaknya orang yang jatuh cinta bertepuk sebelah tangan. Namun, di luar itu aku sangat menghargai hubungan mereka. Karena keduanya adalah sahabat yang kusayangi semasa SMP. Meski Dimas sekarang melanjutkan ke SMU yang berbeda dengan kami, yakni sebuah SMU di Sidney, Australia, aku tetap berusaha menjaga hubungan mereka dan tidak memanfaatkan situasi.<br />Bel masuk sekolah meraung-raung, memanggil seluruh siswa untuk memasuki kelas masing-masing. Aku segera masuk kelas dan mengikuti jam pelajaran dengan baik.<br />Mata pelajaran pertama di kelasku seni musik. Aku menyukainya, karena para siswa disuruh masuk ke ruangan musik, dan di sanalah aku mempraktekkan keterampilan jari-jariku menekan tuts piano. Gara-gara permainan jariku yang terlatih, guru memilihku menjadi pianis untuk paduan suara sekolah.<br />Tak terasa jam pulang sudah tiba. Bel memanggil seluruh siswa untuk segera meninggalkan kelas. Aku menatap langit yang berwarna biru laut. Entah kenapa, aku sangat menikmati hari itu, hari yang sangat berarti dalam hidupku. Aku termangu di tengah lapangan rumput sambil tiduran, mencari inspirasi untuk menciptakan lagu dan puisi buat Melone, seperti yang selama ini sering kulakukan. Berpapasan dengan Melone tadi pagi, membuat imajinasiku lebih melayang di banding hari-hari tanpa dia.<br />Benar-benar seperti mendapat durian runtuh, siang itu kami bertemu lagi. Ketika aku selesai mencari inspirasi dan hendak pulang, tahu-tahu Melone muncul dan menghampiriku.<br />“Fer kok sendirian? Gak pulang bareng temen-temen?” tanya dia tiba-tiba.<br />“Ah nggak juga kok, aku memang suka menyendiri, tapi emangnya kenapa gitu?” jawabku antusias.<br />“Ah cuman nanya aja kok, tapi hari ini kamu ada waktu gak? Aku mau minta kamu mengantarku pergi ke Mall, soalnya gak da temen??? Mau ya???” jawabnya setengah memelas.<br />“Boleh aja kok, yuk ke parkiran….,” ajaku sambil tertawa bahagia. Sejak masuk SMU, inilah pertama kalinya kami bisa bersama lagi.<br />Sesampainya di parkiran aku membukakan pintu mobil untuknya. Kustarter mobil dengan rasa bahagia, plus deg-degan. Jantungku berdebar tiada henti. Meski ada rasa bersalah pada Dimas nun jauh di sana.<br />“I’ts my first time with my princes in my car,” bisikku dalam hati.<br />Sepanjang perjalanan menuju Mall, aku hanya bisa terdiam dan sesekali mencuri-curi pandang melihat wajah manis Melone. <br />Ketika sampai di mall, kuparkir mobilku di lantai basement, dan kubukakan pintu untuk Melone. Dia say thanks dan memintaku untuk menunggu saja di parkiran, tetapi aku memaksa ikut. Melone setuju asal kami berada di jarak yang jauh. Aku langsung menenteng tas yang berisi laptop pribadiku, masuk ke sebuah resto yang berada dilantai 3. Dari sini bisa kulihat Melone dengan jelas. Dia sedang menunggu seseorang dengan raut cemas.<br />Tiba-tiba seorang cowok seusiaku menghampiri Melone dan langsung disambut dengan ciuman di pipi. Aku sangat terkejut dengan apa yang kulihat. Siapa cowok itu? Apakah ini perselingkuhan? Jika ya, ini mimpi buruk. Bukan hanya menyakiti hatiku. Tapi juga tak disangka, seorang Melone berani selingkuh di hadapan sahabat pacarnya sendiri. Yang bener aja?!<br />Aku melihat Melone tersenyum dan tertawa bersama cowok itu, di depan sebuah kafe. Tak ingin berprasangka, kubuka laptop sambil memesan segelas ice capuccino. Sebagaimana yang sering kulakukan begitu bertemu layar laptop, aku segera membuat sebuah puisi. Kutulis apa yang kurasakan, sebab aku tahu, aku takkan pernah bisa bicara tentang perasaanku kepada siapapun. Duniaku hanya kertas berisi coretan hati, atau file komputer yang penuh dengan lirik lagu dan puisi.<br />Sore itu aku benar-benar merasa kaget dan sakit hati. Apa yang kusaksikan tak bisa kusangka sebelumnya. Melone bertemu dengan cowok lain yang mungkin pacar ke-2, ke-3, atau kesekiannya. Tak disangka gadis yang kusayang bermuka dua. <br />Setelah puas mengobrol dengan cowok itu, sambil ada adegan peluk-pelukan segala, Melone masuk ke kafe di mana aku berada. Dia langsung mengajakku pulang. Dia terlihat sangat senang. Aku tak bicara sepatah kata. Kami berjalan menuju basement, dan aku langsung mengantarkan Melone pulang.<br />Rumah Melone cukup dekat dengan Mall itu. Kubukakan pintu untuknya. Ia mengucap terima kasih atas tumpangannya, tanpa raut bersalah atau apapun di wajahnya. Dia benar-benar tak mencoba memahami perasaanku. Apakah dia sudah lupa bahwa aku adalah sahabat pacarnya? Jangan-jangan, dia sudah putus dengan Dimas tanpa sepengetahuanku. Makanya dia cuek-cuek saja saat nge-date dengan cowok lain di hadapanku. <br />Di rumah aku segera bergegas ke kamar tidur. Kurebahkan badan di atas springbed yang nyaman. Kuterawang jauh langit-langit di atas sana. Tak mengerti, mengapa gadis yang selama ini kukagumi, justru mengkhianati pacarnya sendiri. Mengkhianati sahabat kecil kami, Dimas Permana. Aku benar benar tak menduga.<br />Dari lantai bawah, kakakku memanggil untuk makan malam. Namun saat ini nafsu makanku berkurang. Aku bilang kalau aku lelah dan ingin segera istirahat, lalu segera kukunci kamar tidur.<br />Malam yang larut membuat udara dingin menusuk. Aku kembali membuka laptop dan membuka folder dimana aku menyimpan foto-foto Melone yang selama ini kuambil dan kukumpulkan secara diam-diam tanpa sepengetahuannya. Melihat foto-fotonya, kembali kuberpikir, apa yang harus kulakukan setelah tahu sisi lain Melone? Apakah aku harus tetap mencintainya? Atau malah balik membencinya?<br />Mataku terasa sesak oleh air mata. Aku menangis. Mungkin karena merasa telah mengecewakan Dimas, bahwa aku tak bisa mencegah apa yang dilakukan Melone. Atau mungkin, karena gadis itu ternyata berbeda dengan harapanku – dia mengejar cowok lain dan bukannya aku.<br />Perlahan kelopak mataku tertutup. Aku tertidur dengan sebuah pertanyaan tanpa jawab. <br /><br />Udara pagi yang menyelinap melalui jendela kamar membuatku terbangun. Aku segera menuju kamar mandi, cuci muka dan gosok gigi. Lalu mengenakan pakaian olahraga dan mengenakan sepatu kets putih kesayangan ku. Hangatnya cahaya matahari Minggu pagi, membuatku bersemangat untuk berlari pagi mengitari kompleks perumahan. Yah, meskipun agak kesiangan. <br />Siangnya, ceriaku kembali sirna. Di sudut kamar, aku membuka grand piano yang tersimpan di sudut. Aku memang senang bermain piano, dan ingin menjadi pianis terkenal. Aku bisa memainkan beberapa musik Classic dan Jazz. Aku juga sering memainkan beberapa lagu yang sengaja kuciptakan untuk Melone.<br />Kini tampak matahari jatuh dan seperti tenggelam dalam air laut yang membias merah. Sore yang sunyi bagi hatiku yang sedang dilanda dilema. Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Dari Dimas.<br />“Hallo, ada apa brother? (panggilan kecil untuk Dimas).” <br />Tapi yang menjawab di seberang sana bukanlah suara Dimas yang nge-bass, melainkan suara wanita yang sedang menangis.<br />“Halo… ini dengan Fernan?” tanyanya.<br />“Ya, dengan siapa ya?” heranku.<br />“Fernan, ini tante Jasmine, ibunya Dimas.” <br />“Ooo,,,, ada apa Tante kok tiba-tiba? Dan kenapa tante menangis?” tanyaku.<br />“Fernan, Dimas…Dimas…kecelakaan. Sekarang Dimas sedang kritis di rumah sakit,” jawabnya sembari menangis.<br />“Loh, bukannya Dimas sedang di Sidney?” tanyaku dengan nada cemas dan kaget.<br />“Sebenarnya Dimas sudah kembali ke Indonesia. Dia tidak ingin memberi kabar karena ingin membuat kejutan. Begitu pulang kemarin siang, Dimas segera menuju rumah kamu, tetapi kamu tidak ada di rumah. Terus dia memberi kabar ke ibu kalau dia mau ke rumah Melone. Dan ketika pulang, Dimas kecelakaan…” <br />Aku termangu. Berarti Dimas ke rumah ketika aku sedang pergi mengantar Melone selingkuh. Anjrit, aku memang tolol… Oh my… <br />Apakah…apakah…oh jangan-jangan Dimas tahu soal perselingkuhan Melone, dan karena itulah dia mengalami kecelakaan? Otakku berputar-putar.<br />Tanpa menunggu, aku segera menuju rumah sakit. Kukemudikan Honda Jazz Sport-ku tanpa konsentrasi. Sesampainya di gerbang rumah sakit aku menghampiri resepsionis dan menanyakan ruang rawat Dimas. Lalu berlari dengan langkah cepat yang membuat jantungku sesak.<br />Di lorong rumah sakit yang sepi terlihat keluarga Dimas yang sedang dilanda duka. Kuhampiri mereka dan duduk di samping orang tuanya Dimas.<br />“Sebenarnya Dimas kecelakaan kemarin sore, tetapi pihak rumah sakit baru memberi tahu kami tadi pagi,” ujar ayahnya Dimas.<br />Aku dipeluk kedua orangtua Dimas yang telah menganggapku sebagai anaknya. Keadaan itu membuatku tak kuat menahan air mata. Aku meminta izin untuk memasuki ruang rawat. Kukenakan pakaian khusus dan masker. Dan di sanalah Dimas terbaring lemah, diliputi banyak selang dan perban. <br />Wajah Dimas terlihat sangat tenang. Tapi aku duduk di sampingnya dan menangis. Dimas sahabat kecilku yang kucintai. Di saat seperti ini, Melone seharusnya mendampinginya. Tapi gadis itu entah ke mana, padahal tadi aku sudah menghubunginya lewat ponsel. Jangan-jangan dia malah sedang enak-enakan bersama cowok itu…<br />Malam yang semakin dingin memaksaku untuk segera kembali pulang. Orangtuaku sudah menelepon. Aku harus berpamitan kepada keluarga Dimas, dan memintanya untuk memberikan kabar perkembangan kondisi sahabatku. Aku pulang ke rumah, tidur di kamarku, namun sampai dinihari mataku masih terbuka. <br />Esoknya aku tak masuk sekolah. Karena pagi-pagi, sebuah mobil warna hitam sudah terparkir di depan rumahku. Aku terheran-heran melihat lelaki yang keluar dari mobil itu. Siapa dia? Aku tak mengenal sosok itu. Tapi tunggu, bukankah dia cowok yang kulihat janjian dengan Melone di mall waktu itu? Ya benar. Dia menuju pintu gerbang rumahku.<br />Pintu depan yang sudah terbuka dari tadi, membuatku tak bisa mengelak darinya. Wajah yang sedikit kukenal itu tersenyum gelisah. <br />“Ini Fernan kan?” tanyanya.<br />“Ya saya Fernan, ada apa?”<br />“Gue Justin, ingin ngasih tahu kalau Melone ada di rumah sakit,” jawabnya dengan tampang sedih.<br />Aku tersentak. “Memangnya Melone kenapa?” <br />“Penyakitnya kambuh lagi. Tadi dia menyuruhku menjemput lo. Katanya, dia ingin lo segera menemuinya di rumah sakit,” paparnya.<br />“Baik kalau begitu, aku segera ikut ke sana,” jawabku. Lalu… “Eh, siapa namamu tadi – Justin. Kamu siapanya Melone?”<br />Cowok itu tersenyum. “Gue temannya,” katanya. “Tadi pagi ortunya Melone mengabari gue kalau anaknya sakit. Trus saat gue mengunjunginya di rumah sakit, Melone malah nyuruh gue jemput lo.”<br />Oh, jadi dia temannya. Eh, teman apa teman? Apakah Melone ternyata tidak selingkuh? Apakah cowok itu hanya nggak tahu harus menjawab apa. Itu kan masalah pribadi. <br />Tapi tak ada waktu untuk berdebat sekarang. Aku harus segera lari ke kamar untuk berpakaian. Semenit kemudian, aku dan Justin sudah melaju ke rumah sakit. <br />Kata dokter, penyakit kanker jantung Melone kambuh lagi. Padahal sejak SMP dia selalu terlihat sehat. Sungguh tak menyangka. Yang lebih mengejutkan, rumah sakit tempat gadis itu dirawat ternyata sama dengan tempat Dimas dirawat. Ah, aku jadi teringat sebuah adegan film Heart. <br />Di ruangan VIP itu, Melone terbaring lemah sendirian. Aku menghampirinya. Kedua matanya terpejam. Kupegang tangannya, kugenggam dan tanpa sadar, kusimpan di dada. Saat itu hatiku sangat tak karuan. Sedih, cemas, juga bingung.<br />Aku bingung, apa yang harus kulakukan? Tak di sangka di saat yang bersamaan, sepasang kekasih terbaring lemah di rumah sakit yang sama.<br />Tiba-tiba tanganku serasa ada yang menggenggam. Ternyata Melone sudah terjaga. Aku segera memegang keningnya, panas. Dia demam. Tapi dia masih tampak tegar. Dia tersenyum samar dan memintaku membantunya duduk. <br />“Aku memintamu ke sini, sebab aku punya pesan untuk Dimas. Berikan padanya kalau dia sudah sembuh nanti.”<br />Melone dengan susah payah mengambil sebuah surat beramplop dari bawah bantalnya. Tanpa bertanya, aku segera menerimanya dan memasukkan ke dalam saku celana.<br />“Berita kecelakaan Dimas membuatku shock dan sakit jantungku kumat,” jelas Melone. <br />Oh, jadi dia sudah tahu soal itu. Melone syok? Apakah dia masih mencintai Dimas? <br />Aku berusaha menghiburnya. Namun aku tahu, aku bukan ahli masalah itu. Yah, dengan sedikit kata-kata penghiburan, paling tidak Melone bisa tersenyum. <br />Dan tiba-tiba saja Melone bicara tentang masa lalu kami bertiga – Melone, Dimas, dan aku. Ia mengingatkanku tentang sebuah kaleng rahasia yang kami bertiga kubur bersama di kebun belakang SMP kami dulu. <br /><br />“Woi, cepetan entar keburu ketahuan pak guru,” teriak Melone kepada aku dan Dimas dengan raut cemas.<br />“Iya sabar,” jawabku. “Ayo cepat gali tanahnya yang dalem biar gak mudah ditemuin orang,” ujarku pada Dimas.<br />“Sabar-sabar, bentar lagi kok, ini juga tinggal sedikit lagi,” ujar Dimas sambil terus menggali tanah di kebun belakang SMP kami.<br />Waktu itu jam istirahat. Seharusnya kami berada di kantin dan ngobrol dengan teman-teman. Tapi kami malah mengubur sebuah kaleng. Dimas, Melone, dan aku, telah menaruh benda kesayangan beserta selembar kertas berisi harapan masing-masing ke dalam kaleng itu. Masing-masing di antara kami tak ada yang tahu apa isinya kecuali miliknya sendiri. Kami berjanji untuk terus bersahabat dan membuka kaleng itu pada saat kelas 3 SMA nanti. Itulah kesepakatan kami bertiga saat itu. <br /><br />“Fer, kamu gak kenapa-kenapa,?” tanya Melone melihatku bengong.<br />“Ah enggak, cuman inget waktu kita ngubur kaleng itu,” jawabku.<br />Melone tersenyum dan wajahnya sangat pucat. Aku segera membantunya kembali berbaring. Kupakaikan selimut di tubuh Melone dan segera memanggil Suster, karena Melone tampak kelelahan setelah bicara tadi.<br />Suster yang merawat Melone menyuruhku menunggu di luar ruangan. Kesempatan itu kugunakan untuk mengunjungi Dimas.<br />Dimas yang masih belum sadarkan diri, diam tak bergerak. Aku menghampirinya perlahan. Kulihat wajahnya tersenyum. Mungkin Dimas sedang menemukan surga dalam tidurnya.<br />Saat itu ibunya Dimas menghampiri. <br />“Fer, Dimas gak bisa hidup lebih lama lagi,” ujarnya, menangis.<br />Aku kaget. “A…apa? Oh, Tante masak sih? Sebaiknya kita tenang dulu, mungkin takdir Tuhan nanti berkata lain.” <br />“Tapi pembuluh darah di otak Dimas sudah menggumpal dan kalau pembuluh darah itu pecah, Dimas….akan meninggal,” wanita itu semakin membuncah tangisnya.<br />Bukannya tenang seperti yang barusan kukatakan, aku malah ikut-ikutan menangis. Pada dasarnya jiwaku memang melankolis. Mungkin itulah kenapa aku senang musik dan puisi. <br />Kecelakaan yang menimpa Dimas memang tergolong sangat parah. Menurut dokter, kalaupun Dimas bisa bertahan hidup, nyawanya tetap terancam. <br />Aku benar-benar tak berharap Dimas meninggal. Kesedihan menggerogoti, namun tak tahu apa yang harus kulakukan. Kecuali, menunggu saja takdir Tuhan. <br />Setelah ibu Dimas lebih tenang, aku kembali ke ruangan Melone. <br />Melone sudah tertidur. Justin juga tak ada. Kuputuskan untuk pulang dulu ke rumah. <br />Dalam perjalanan pulang, hatiku tak bisa tenang. Dua sahabatku yang saling mencintai sedang berjuang melawan maut.<br />Di kamarku, kubuka laptop. Foto-fotoku bersama Dimas dan Melone, menorehkan kenangan manis bersama. Meski di antara kenangan manis itu ada juga kenangan perih, yakni saat mereka jadian, namun foto-foto itu menjelaskan bahwa kami pernah merasakan indahnya kebersamaan. Aku tak kuasa untuk tidak segera menulis sebuah lagu untuk mereka. Kutulis lirik, kumainkan melodi di grand piano.<br />Lelah dan cemas. Berpikir tentang bagaimana perasaan Dimas kalau tahu apa yang dilakukan Melone. Dan juga aku memikirkan perasaan Melone, apakah dia masih sayang sama Dimas? Karena sepertinya misteri hubungan Melone dan Justin belum terungkap. Meski Justin mengaku teman, namun kata ‘teman’ menyimpan banyak arti yang takkan bisa kuterjemahkan sendiri. <br />Mataku sudah mulai terasa berat, aku merebahkan diri di kasur. Menerawang ke atas, membayangkan masa silam saat di SMP. Terbayang wajah cemas Dimas yang berbinar harapan, saat dia mengutarakan padaku rasa cintanya pada Melone. Masih ingat di benakku, saat Melone datang padaku dan curhat soal perilaku Dimas yang beda. Gadis itu bertanya apakah Dimas ada rasa padanya. Masih ingat di benakku, saat kami berlarian bertiga dalam hujan, aku dan Dimas berebut payung Melone. Aku tak ingat kepada siapa akhirnya payung itu diberikan. Aku hanya ingat, tiba-tiba esoknya ada yang berubah di antara kami bertiga. Dimas dan Melone menjadi lebih akrab dari sebelumnya, dan di hari ultah Melone, Dimas mengumumkan kepada semua yang hadir, bahwa ia sudah jadian dengan Melone. “Kuharap kamu merestui hubungan kami,” ujar Dimas kepadaku di sela acara ulang tahun itu. Dan aku hanya mematung. Lalu…mengangguk. “Selamat, Man,” ujarku pada Dimas. Saat itulah aku merasa jadi orang termunafik di dunia!<br />Kini aku tak yakin kami masih akan bisa bersama. Dimas dan Melone sama-sama sedang kritis. Tiba-tiba menelusup dalam hatiku, andai Melone dan Dimas bisa tetap hidup, aku berjanji takkan lagi menyimpan cinta untuk Melone. Aku berjanji untuk menjauhi mereka, dan membiarkan mereka bahagia bersama. <br />Masalahnya tinggal satu… <br /><br />Hari masih pagi, ketika kurogoh saku celana. Surat yang Melone titipkan padaku kemarin. Segera kusimpan di laci mejaku. Aku akan berikan itu kalau Dimas sudah sembuh. Meski peluangnya tipis…<br />Lorong rumah sakit pagi itu masih sangat sepi, para Dokter dan Suster masih sibuk menyiapkan alat kerja mereka. Pintu ruang rawat Melone masih tertutup. Kubuka perlahan, Melone masih tertidur. Tapi wajahnya sudah tak sepucat kemarin. Mungkin dia akan segera membaik. Sebaiknya kujenguk dulu Dimas.<br />“Pagi semua,” sapaku pada ayah dan ibu Dimas yang masih menunggui pasien. “Sekarang keadaan Dimas gimana ,Om?” tanyaku kepada ayah Dimas.<br />“Belum ada perkembangan, masih seperti kemarin,” jawabnya lemas dengan wajah kurang tidur.<br />“Kalo gitu, kita semua sabar aja ya,” kataku menenangkan. Padahal aku juga tidak tenang. Dimas adalah sahabat terbaik. Bagaimana bisa tenang melihat kondisinya yang tetap parah?<br />Pagi itu mendung. Hujan turun perlahan, membasahi taman rumah sakit. Aku teringat saat kami bertiga pergi bermain ke sebuah bukit. <br /><br />Udara dingin pegunungan memaksa kami untuk mengenakan jaket yang tebal. Saat itu aku, Dimas, dan Melone sudah berada di kaki bukit. Di sini pemandangan terlihat sangat indah. Kami bisa melihat langit bersama bintang yang berjajar rapi, menghiasi kota. Lampu-lampu rumah ikut menambah indahnya malam ini.<br />Tiba-tiba kami terjebak hujan gerimis. Menambah malam makin romantis. Sebetulnya suasana ini tak sesuai, karena rencana kami ke sini bukan untuk happy. Tapi untuk perpisahan dengan Dimas yang akan melanjutkan SMU ke Sidney. <br />Kami berfoto dan bermain hujan-hujanan.<br />Melone yang memulai. Dia melepas jaketnya dan berhujan ria. Lalu menarik aku dan Dimas untuk mengikuti apa yang dilakukannya. Kami mengabadikan momen tersebut dengan kamera digital. Foto itu sampai sekarang masih terpajang di kamarku. <br /><br />Aku duduk di samping ranjangnya. Melone tampak rapuh, padahal wajahnya tak sepucat kemarin. Penyakit dalam memang sulit dideteksi dengan mata kasat.<br />“Fer, aku ingin kamu bisa menjaga suratku dengan baik. Aku ingin Dimas membacanya,” ucap Melone memohon, seolah ini akan menjadi kata-kata terakhirnya.<br />“Tenang Mel, aku akan simpan surat itu sampai Dimas sembuh, jangan khawatir,” jawabku, menenangkan diri sendiri. <br />“Fer, aku percaya sama kamu. Tetapi saat Dimas membaca surat itu, aku mungkin sudah tidak ada lagi. Aku harus pergi berobat ke Singapore.”<br />“Iya aku tahu dari ayahmu. Aku yakin kamu pasti sembuh, dan harus sembuh.” <br />Karena aku sayang kamu, Melone. <br />Aku ingin bertanya tentang Justin. Tapi tampaknya belum saatnya. Melone keburu tertidur. <br /><br />Hidup dalam Realita<br /><br /> Bilamana matahari yang sudah goyah dengan konsistennya<br /> Bulan yang manis tak lagi benderang dalam kelam<br /> Cahaya tak lagi bersinar dan hanya ada<br /> Cahaya yang kelabu<br /><br /> Mereka yang sudah goyah dan tak lagi setia<br /> Dalam gelap tak bersinar<br />Dalam kelam tak bercahaya<br />Sebuah realita yang tak bisa kami tolak<br /><br />Hanya bisa memilih dalam sebuah dilema,<br />Yang membuat hati turut tak konsisten<br />Karena kita sudah tak bisa membuat <br />Kenyataan berubah<br /><br />Kutemukan puisi dalam lembar diaryku. Puisi yang kubuat ketika Dimas pergi ke Sydney dan Melone menjauh sejak kami masuk SMA. Apakah aku bisa hidup tanpa memikirkan mereka? <br />Jam menunjukan pukul 03.30 dinihari, namun ponselku berdering. Aku tidak kenal nomor siapa yang memanggil. Kucoba mengangkatnya meski mataku masih berat.<br />“Haloo? Dengan siapa ya?” <br />“Fernan, ini dengan Justin.” <br />Justin? Mendadak aku bangkit. <br />“Ya ada apa? Apa yang terjadi, Justin?” <br />“Melone, Fer. Melone, sudah tak ada!!!” <br />A, apa???? “Maksud lo, sudah tak ada di rumah sakit? Sudah berangkat ke Singapur untuk berobat?”<br />“Bukan. Dia sudah tak ada. Sudah meninggal.”<br />Aku tak kuasa menahan tubuhku. Ponselku terjatuh. Apa katanya, Melone meninggal? Secepat ini? <br />“Lo bohong, Justin,” aku berteriak sambil memukul cermin. <br /><br />Tak lama kemudian pihak keluarga memberi tahu kalau jenazah Melone sudah ada di rumahnya. Dengan sangat berusaha aku membawa diriku untuk segera pergi ke rumah Melone, aku ditemani kakakku. Aku tak menyangka Melone pergi secepat ini. <br />Jenazah Melone sudah dipulangkan ke rumahnya. Orang-orang berkerumun, ingin mengantar kepergiannya. Aku menerobos masuk. Kulihat sosok Melone sudah terbujur kaku, tertutup kain putih. <br />Kamu pergi meninggalkan hati dan misteri, Melone.<br />Pemakaman berlangsung siang itu, dan Melone istirahat untuk selamanya. Pemakaman telah usai, namun aku masih berada di samping nisannya. Aku bersimpuh dan berjanji untuk merawat Dimas untuk Melone. Seperti dulu aku berjanji pada Dimas untuk menjaga Melone. <br />Aku akan memberikan surat itu kepada Dimas. <br /><br />2 tahun kemudian…….<br />Udara pagi begitu sejuk. Aku membuka laci meja. Tak sadar kalau surat dari Melone masih tersimpan di sana. Surat untuk Dimas. Sejak Melone pergi untuk selamanya, aku memang tenggelam dalam kegiatan musikku di sekolah, dan melupakan surat itu.<br />Segera kuambil surat itu dan kukemudikan mobil menuju rumah Dimas. Keadaan Dimas sudah membaik. Ia tidak meninggal seperti dugaan dokter. Ia hanya harus dirawat jalan dan menggunakan kursi roda. Tuhan memang Maha Aneh dengan skenarionya. Melone yang lebih optimis hidup malah lebih dulu dipanggil-Nya.<br />Dimas tampak rapuh dan sedih. Meski ia bertahan hidup, namun apa artinya kalau gadis yang dicintainya meninggalkannya. Untung saja dia lelaki yang tabah. Lelaki yang selaras untuk Melone. <br />Kami berdua membuka surat itu.<br /><br />Dear, Dimas.<br />Aku tahu bahwa aku hidup untuk mati. Mungkin saja hari ini aku masih bisa menulis, tetapi entah besok. Aku sadar dengan kondisi penyakitku ini. Aku telah merasakan ada yang memanggilku untuk pergi dan meninggalkan kamu dan Fernan. Tapi aku tak menyesal dengan apapun yang akan ditentukan Tuhan untukku nanti. <br />Sekarang kita masih kelas 1 SMA. Tapi aku ingin kamu dan Fernan tidak lupa membuka kaleng yang terkubur di belakang sekolah. Ingat, kita telah berjanji untuk membuka kaleng itu saat kelas 3 SMA.<br />Sekali lagi aku ingin meminta maaf. Untuk kamu, Fernan, dan juga …Justin.<br />Oya, mungkin Fernan sudah tahu. Sejak kamu pergi ke Sydney, aku diam-diam menerima cinta Justin. Dia cowok yang telah dijodohkan denganku oleh orangtua kami. Aku baru diberitahu hal itu setelah acara perpisahan kita di malam yang hujan, di kaki bukit malam itu.<br />Maafin aku, Dimas. Bukannya aku ingin mengkhianatimu. Tapi karena sejak lama aku ditimpa dilemma. Aku sangat bingung karena tahu satu hal. Bahwa tidak hanya kamu yang mencintaiku, tapi juga sahabat kita yang satu. Tak mungkin aku memilih hanya untuk melukai salah satu di antara kalian. Jadi kupilih Justin sebagai jalan keluar. Meski sebenarnya, jauh di lubuk hatiku, aku menyimpan perasaan yang berbeda. Perasaan yang tak semestinya. <br />Kalian bisa mengetahui perasaanku di dalam kaleng yang kita kubur itu… (Melone )<br /><br />Aku dan Dimas saling pandang. Belum mengerti apa yang dimaksud Melone dengan ‘perasaan yang tak semestinya’. Aku dan Dimas sepakat untuk pergi bersama menuju sekolah SMP kami yang dulu. Kubawa cangkul dan sekop, menuju taman belakang sekolah itu. Dimas mengikutiku dengan kursi rodanya.<br />Tanah yang sudah mengeras sulit digali, namun dengan usaha akhirnya aku bisa. Sama seperti menggali kenangan masa lalu bersama Melone. Begitu sulit dilupakan, namun begitu pahit untuk dikenang.<br />Kaleng itu sudah usang dan berkarat. Perlahan kubuka isinya. Barang kesayangan dan ‘surat harapan’ milik tiga sahabat. <br />Sebuah bola bilyard kesayangan Dimas, dan surat harapannya:<br /><br />Oh God I will go to Sidney. Aku ingin sekolah di sana, katanya di sana bagus. <br /><br />Lalu, sebuah cincin yang Melone berikan padaku dulu, dan surat harapanku:<br /><br />Harapanku hanya satu: Melone bahagia. <br /><br />Barang yang disimpan Melone adalah sebuah rekaman video waktu kami bertiga pergi liburan ke pantai. Harapan Melone tertulis dalam sebuah surat yang unik:<br /><br />ezAqurt quKel Unique zoMinxia Enigieq Noxitaqexa mofiCexImNxoqTy AqIMozq uqiE RmeqnErise qulapaKo Aniqmazuqix aBnEzaRt zeDaiq Unique ezAre.<br /><br />Bacalah huruf-huruf besarnya saja. Semua akan tahu, ternyata Melone mencintai kami berdua – aku dan Dimas. Sebuah ‘perasaan yang tak semestinya’. Perasaan yang membuat Melone bimbang dan terpaksa memilih pilihan yang tak ingin dipilihnya – Justin.<br />Dimas dan aku saling berpandangan. Ada rasa saling bersalah dalam diri masing-masing. Lama kemudian, Dimas menepuk bahuku. “Maafin gue selama ini. Gue…gue egois telah memiliki Melone sendirian.” <br />Aku tersenyum. “It’s oke. Gue yang harusnya minta maaf.” <br />Akhirnya kami tahu perasaan Melone yang sesungguhnya. Dan itu lebih dari cukup untuk aku dan Dimas. Untuk menyematkan kenangan tentang persahabatan dan cinta, abadi di hati kami berdua. <span style="font-style:italic;">Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS</span><br /><br /><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-21498555021223665162010-10-23T10:12:00.000-07:002010-10-23T19:49:50.116-07:00The Prince and The Pauper (Another Version)Oleh: <span style="font-weight:bold;">Ranti Eka Pratiwi, 14 tahun</span><br />(BWS Garut)<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOepucCQrI/AAAAAAAAAUA/onxcUMq1tXk/s1600/sara1038.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 307px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOepucCQrI/AAAAAAAAAUA/onxcUMq1tXk/s320/sara1038.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531439207018545842" /></a><br /><br /><br />Royal Education School atau disingkat RES, merupakan sekolahnya para anak bangsawan. Maka dari itu, tak aneh apabila RES dijuluki sebagai sekolah nomor satu, termewah, terbesar dan paling berkualitas di Dublin, Irlandia. RES memiliki tiga tingkat pendidikan. Diantaranya, yaitu Basis, Exavation dan Excellence. Kalau disamakan dengan sekolah biasa, sama dengan tingkatan SD, SMP dan SMU.<br />Hari ini, yaitu hari Sabtu dibulan Juli, sedang diadakan kelulusan diseluruh sekolah di Irlandia, begitu juga di RES. Dan para pers tidak akan melewatkan hal itu. <br />“Selanjutnya, siswa yang mendapatkan nilai tertinggi dikelas Excelence. Dengan perolehan nilai 90,19 jatuh pada Andreas Thompson!” <br />‘PROK PROK PROK’<br />Tak lama kemudian, seorang pemuda tinggi, berkulit putih, berambut pirang, bermata biru dan tampan--sempurna, dengan gagah dan tenang melangkah menuju ke atas panggung untuk menerima ijazahnya dan memberi beberapa sambutan. Setelah itu, dia kembali menyambut orang tuanya yang merupakan bangsawan dari keluarga Thompson. Andreas Thompson terkenal dengan kepintarannya, kesopanannya, kedermawanannya dan ketampanannya. Dia adalah anak semata wayang Simon Thompson dan berarti pula, pewaris tunggal harta kekayaan keluarga Thompson. <br />Setelah acara pembagian ijazah selesai, kini saatnya berfoto. Di taman, terlihat Andreas Thompson dan beberapa orang sahabatnya, yaitu Richie Kipner, Frank Mason, Caroline Hockley, Paula Cosgrave dan Priscilla Byrne sedang berfoto ria. <br />Begitu juga dengan sekolah biasa, bernama SMU Kildare pun, sedang diadakan kelulusan. <br />“Selanjutnya, siswa yang mendapatkan nilai terendah dengan perolehan nilai 53,90 diraih oleh Maureen Walsh!”<br />‘HUHUHUHU…’<br />Tak lama kemudian, seorang gadis tinggi, berkulit putih, berambut merah dan manis, melangkah sambil mengunyah permen karetnya dengan gaya cueknya. Di atas panggung, ia menerima ijazahnya dan memberi beberapa sambutan kecil, “Thank’s!”. <br />‘HAHAHA…’<br />Merupakan hal yang wajar, jika Maureen Walsh mendapatkan nilai rendah. Selain pemalas dan pemarah, Maureen juga terkenal sebagai gadis tomboy pembuat onar. Maureen adalah anak yatim piatu yang tinggal bersama nenek dan adik perempuan, yang merupakan adik satu-satunya, bernama Emma Walsh. Hidupnya, cukup miskin, untuk membeli sebuah sepeda motor.<br />Emma masih duduk di kelas 2 SMU, di SMU Dublin. Sifat Emma dan Maureen sangat kontras. Sifat Emma, feminin, pintar, rajin dan jujur. Neneknya bernama Julie Walsh, ia adalah seorang nenek yang sangat luar biasa dan bersemangat dalam menjalani hidupnya. Dia membuka sebuah kantin yang terletak di depan rumahnya, bernama Foodies Walsh. Kantin itu merupakan sumber penghidupan bagi mereka bertiga.<br />Setelah acara pembagian ijazah selesai, Maureen Walsh bersama teman-teman yang senasib dengannya, yaitu Jeremy Murphy, Sara Bell, Billy McMahon, Maria Taylor dan Mick Power berfoto ria. Setelah itu, mereka pergi jalan-jalan menuju Ireland Fair, merayakan kelulusannya. Dalam perjalanan menuju Ireland Fair, mereka berenam melewati RES. <br />“Hei, lihat sekolah itu!” seru Jeremy.<br />“Maksudmu RES?” tanya Billy.<br />“Sekolah yang penuh para bangsawan yang tampan nan gagah,” ucap Sara, dengan nada centilnya. <br />“Sekolah yang keren, ya?” salut Maria.<br />“Ya, sekolah keren dengan penuh orang-orang sombong di dalamnya,” ucap Maureen, menyepelekan.<br />“Kita itu, masih lebih baik dari mereka!” dukung Mick.<br />Setibanya mereka di Ireland Fair, mereka bersenang-senang ria. Setelah puas, mereka mengisi perutnya disebuah kantin bernama Fast Food, yang mampu menyajikan makanan secepat kilat, dengan harga yang terjangkau. Setelah mereka memesan makanan, tiga menit kemudian mereka bisa memakan pesanan mereka. Sambil makan, mereka berbincang-bincang.<br />“Nanti, kalian akan meneruskan ke mana? Kalau aku akan disekolahkan di Perguruan Tinggi Galway,” tanya Maria.<br />“Aku akan disekolahkan di Perguruan Tinggi Wexford,” jawab Mick.<br />“Kalau aku, aku akan sekolah di Perguruan Tinggi Belfash,” jawab Sara.<br />“Aku juga di Belfash, bersama Sara,” jawab Jeremy.<br />“Aku di Perguruan Tinggi Tipperary,” jawab Billy.<br />“Kalau kamu Maureen?” tanya Maria.<br />“Aku tidak mau sekolah lagi. Buang-buang uang saja. Lebih baik bekerja, menghasilkan uang,” ucap Maureen, simple.<br />Setelah beberapa lama, mereka berenam kembali pulang ke rumahnya masing-masing. Setibanya di rumah, Maureen mengganti pakaiannya dan membantu neneknya di kantin. “Hai, Maureen!” sapa neneknya, Julie.<br />“Hai, Nek!” balas Maureen, santai.<br />“Bagaimana kelulusanmu?” tanya Julie.<br />“Seperti biasa,” singkat Maureen.<br />“Ooh, it’s oke. Kamu mau meneruskan sekolahmu lagi?” tanya Julie.<br />“Tidak, lebih baik bekerja,” jawab Maureen.<br />“Terserah padamu,” ucap Julie, hangat.<br />“Hey, aku pesan satu beef burger dan segelas cola!” seru salah seorang pelanggan. <br />Sementara itu, di kediaman keluarga Thompson. Di sana, terlihat Andreas yang sedang bersantai di ruang keluarganya, sambil membaca buku. “Hai, Nak!” sapa ayahnya, Simon Thompson.<br />“Hai, Ayah!” jawab Andreas, santai.<br />“Ibu dan ayah punya ide bagus. Ibu harap, kamu menyukainya,” susul ibunya, Joanne Thompson. <br />Andreas menghentikan kegiatannya. “Ide bagus?”<br />“Ya, kami berdua bermaksud untuk menyekolahkanmu ke Jerman. Kau suka?” ucap Simon, yang langsung mendapat sambutan dingin dari Andreas.<br />“Kenapa?” tanya Joanne.<br />“Ayah, ibu, untuk sekarang ini aku ingin cuti dulu. Keinginanku, aku ingin mengisi masa mudaku ini dengan menjelajahi alam dan berburu,” ucap Andreas.<br />“Izin untuk cuti, it’s oke. Tapi untuk menjelajahi alam dan berburu, ibu tidak akan mengizinkanmu. Ibu tidak ingin kau ada dalam bahaya!” ucap Joanne.<br />“Ibu, masa mudaku akan cepat hilang jika aku mengisinya dengan keinginan ibu dan ayah. Sedangkan keinginanku diabaikan. Apa ibu dan ayah mau, kalau aku disebut anak yang kurang bahagia?” timpal Andreas.<br />“M… Ayah izinkan,” ucap Simon.<br />“Simon,” seru Joanne.<br />“Joanne, benar apa yang dikatakan Andreas. Biarkan dia mengisi masa mudanya dengan keinginannya sendiri. Apa kau mau, anak kita jadi tidak bahagia karena kekhawatiranmu?” ucap Simon.<br />“M.. Baiklah. Apa rencanamu?” ucap Joanne pada Andreas.<br />Andreas bahagia. “Terima kasih ayah, ibu. Rencanaku, seminggu lagi aku ingin berpetualang selama dua minggu ke Pegunungan Connemara,” <br />“Baiklah, catat semua keperluanmu. Biar nanti, Biff yang membelikannya,” ucap Simon. <br />“M, tidak ayah. Biarkan aku sendiri yang membelinya,” sangkal Andreas. <br />“Terserahlah,” ucap Simon.<br />“Satu lagi. Ibu mohon, kau pergi bersama Biff,” ucap Joanne.<br />Sementara itu, malam hari di kediaman keluarga Walsh. Maureen, Emma dan neneknya, Julie sedang makan malam bersama.<br />“Seminggu lagi, kita akan ke Westport. Nenek ingin mengunjungi makam kakek dan orangtua kalian. Sekalian, kita akan berlibur di sana,” ucap Julie. <br />“HOREEE!!!”<br />“Di sana, kita bisa bersenang-senang sambil menjelajahi Pegunungan Connemara!” ujar Emma. <br />“Kalau begitu, catat apa yang kalian butuhkan, biar aku yang berbelanja!” seru Maureen. <br /><br />Enam hari kemudian…<br />Di kediamanan keluarga Thompson, terlihat Andreas yang memakai t-shirt berwarna putih dan celana jins berwarna hitam sedang memerintahkan Biff, sopirnya, untuk segera menyiapkan mobil. Karena hari itu, Andreas akan berbelanja untuk kebutuhan petualangannya. <br />Begitu juga dengan keluarga Walsh, terlihat Maureen dengan celana panjang berwarna putih, tank top putih dan jaket olahraga putihnya dengan rambut diikat, sedang bersiap-siap untuk pergi berbelanja dengan skateboard-nya. Setelah siap, Maureen berangkat dengan skateboard kesayangannya. Begitu juga dengan Andreas, dia pun pergi dengan mobil limo-nya bersama Biff.<br />Saat baru keluar dari pintu halaman rumah keluarga Thompson, tiba-tiba Biff hampir saja menabrak Maureen yang terlihat melintasi mobil limo itu. Tapi untung saja, Biff sempat menginjak rem-nya, walaupun terlambat dan berhasil menyenggol Maureen.<br />“Biff, kau menabrak seseorang,” ucap Andreas, dengan expresi kagetnya. Dengan cepat, Biff keluar dari mobil itu dan menolong Maureen yang sedang terduduk di depan limo, sambil meringis kesakitan.<br />“Nona, maafkan saya. Saya sama sekali tidak melihat anda, tadi!” ucap Biff, sambil membangunkan Maureen. <br />“Tak apa,” singkat Maureen sambil berusaha menginjakkan kaki, di atas skateboardnya. <br />Tapi, Andreas langusng keluar dari limonya. “Tunggu!”<br />Maureen terdiam tanpa membalikan badannya. “Ya?”<br />“Apa kau butuh tumpangan?” tanya Andreas.<br />“Kurasa tidak,” akhir Maureen, seraya meninggalakan Biff dan Andreas.<br />“Sepertinya, gadis itu bukan gadis gampangan,” ucap Biff pada Andreas. <br />“Kurasa begitu,” dukung Andreas.<br />Mereka pun melanjutkan perjalanan. Setibanya disebuah mall, Andreas turun dari mobilnya dan mulai berbelanja. Pada saat Andreas pergi ke tempat penjualan barang-barang untuk hiking, tak disengaja dia menabrak seseorang dan orang itu pun terjatuh. <br />“Aduh!” seru Maureen.<br />“Maaf. Anda tidak apa-apa?” tanya Andreas seraya membantu Maureen berdiri.<br />“Lain kali, kalau jalan hati-hati!” nasihat Maureen, bernada keras.<br />“Baiklah,” ucap Andreas.<br />Maureen pun mulai melangkahkan kakinya. Tapi Andreas menghentikannya. “Tunggu, kurasa kita pernah bertemu!” ucap Andreas. “Bertemu?” bingung Maureen. “Apa kau yang tertabrak tadi?” tanya Andreas. <br />“Oooh, jadi kau pemilik limo itu?”<br />“Ya,”<br />“Ya sudah kalau gitu, aku pergi dulu, ya!” akhir Maureen dan langsung meninggalkan Andreas.<br />“Dingin sekali,” ucap Andreas. Mereka berdua pun mengurus dirinya masing-masing. Beberapa jam kemudian, Andreas dan Maureen berhenti berbelanja dan kembali ke rumahnya masing-masing. <br />Dua hari kemudian, Andreas dan Biff berpamitan pada Joanne dan Simon Thompson, untuk pergi ke Pegunungan Connemara. Sedangkan di rumah keluarga Walsh, terlihat Maureen, Emma dan Julie sedang mengunci pintu rumah dan kantinnya. Setelah siap, mereka pun pergi ke Westport, yang masih dalam kawasan Pegunungan Connemara.<br />Setibanya di sana, keluarga Walsh beristirahat di vila mereka yang sederhana. Sedangkan Andreas dan Biff, mereka mendirikan perkemahan di wilayah Pegunungan Connemara. Keesokan harinya, Andreas dan Biff memulai petualangannya. Sedangkan keluarga Walsh, mereka pergi ke makam keluarganya, untuk berziarah. <br />Dua hari kemudian, Maureen, Emma dan Julie berpiknik ke Pegunungan Connemara dan bersenang-senang. Sedangkan dengan Andreas, dia pun menikmati masa mudanya dengan berpetualang dan berburu. Dua minggu pun berlalu dengan sangat cepat. Esok hari, Andreas Thompson dan Biff akan kembali ke Dublin atau kembali ke rumahnya.<br />Keesokan harinya, Andreas dan Biff, yang pada saat itu sedang ada di tengah hutan, mulai bersiap-siap untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, mereka melintasi jurang yang cukup curam. <br />“Perhatikan langkahmu, Tuan muda!” ucap Biff. <br />“Baiklah,” ucap Andreas. <br />Namun tiba-tiba, Andreas tidak bisa berhati-hati, karena jalanannya licin. Akhirnya, dia pun jatuh ke dalam jurang. <br />“TUAAANN!!!” teriak Biff. <br />Setelah lama Biff berusaha mencari Andreas, hasilnya tetap saja nihil. Terpaksa, Biff kembali tanpa Andreas dan melaporkannya pada kedua orang tua Andreas, Simon dan Joanne Thompson. Setibanya di rumah keluarga Thompson, setelah Biff melaporkan kejadian yang dialami Andreas, akhirnya dia dipecat.<br />Malam harinya di vila kediaman Walsh. <br />“Emma, nenek, aku pergi dulu!” ucap Maureen.<br />“Mau kemana, Kak?” tanya Emma.<br />“Mau keluar, cari angin. Tiga jam lagi aku akan kembali!” akhir Maureen dan langsung pergi sambil membawa senternya.<br />“Kakak itu bagaimana, sih. Dia kan, perempuan. Masa’ malam-malam begini keluyuran?” ucap Emma.<br />“Biarkan saja. Hem.. kalo dipikir-pikir, dia itu seperti ayah dan kakekmu!” ucap neneknya, Julie.<br />Di luar, Maureen mulai berjalan-jalan, menelusuri daerah hutan. <br />‘GUK GUK AUUUUUUUUU!!!!’ suara serigala.<br />“Menyeramkan sekali. Sebaiknya, aku kembali saja!” ucap Maureen.<br />Dia pun berlari kecil untuk kembali. Tapi tiba-tiba, dia terpeleset dan jatuh ke dalam jurang. <br />“KYAAAAAA!!!” teriak Maureen.<br />Tak lama kemudian, dia tiba di dasar jurang. Untungnya, tak terjadi suatu apapun pada Maureen. Tanpa pikir panjang, Maureen kembali meneruskan perjalanannya. Tapi tiba-tiba, kakinya merasakan sesuatu. Setelah dia memusatkan pandangan ke bawah, dia melihat seseorang sedang tergeletak tak berdaya.<br />“Ya ampun, siapa dia?” hentak Maureen, langsung menyalakan senter dalam sakunya, dan melihat orang itu. Betapa kagetnya Maureen, ketika dia melihat wajah orang itu.<br />“Si pemilik limo!”<br />Dengan cepat, Maureen mengangkat si pemilik limo itu dan dia bawa ke vilanya.<br />‘TOK TOK TOK!!!’<br />Emma pun membuka pintunya.<br />“Ya ampun, siap yang kakak bawa?!” kaget Emma. <br />“Sudah, jangan banyak bertanya. Siapkan air!” seru Maureen, yang langsung menidurkan si pemilik limo ke atas sofanya.<br />“Maureen, siapa dia?” tanya neneknya, Julie.<br />“Aku juga tidak tau. Aku menemukannya di dasar jurang!” ucap Maureen.<br />Lalu, datanglah Emma dengan semangkuk air hangat beserta lapnya. Tanpa diperintah, Maureen pun mencuci muka si pemilik limo.<br />“Nek, bagaimana ini?” tanya Emma, cemas.<br />“Kita tunggu besok. Jika besok dia tidak sadarkan diri, kita panggil dokter ke sini!” ucap Julie.<br />“Emma, siapkan tempat tidurku. Aku akan menidurkannya di sana!” perintah Maureen.<br />“Iya, Kak!” ucap Emma, seraya pergi ke kamar Maureen.<br />Beberapa lama kemudian, kamar pun siap. Dengan tenaganya, Maureen mengangkat si pemilik limo itu ke kamarnya. Setelah selesai, Maureen mandi air hangat dan tidur bersama adiknya.<br />Keesokan harinya. Ternyata, sampai saat ini, si pemilik limo itu belum juga sadarkan diri. Tapi anehnya, mata si pemilik limo itu terbuka. Kini, dia seperti mayat hidup. Dengan cepat, Julie menelepon seorang dokter untuk memeriksa keadaan si pemilik limo. Satu jam kemudian, dokter pun datang dan mulai memeriksa.<br />Setelah selesai.<br />“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Julie.<br />“Karena peralatan yang kubawa tidak memadai, aku pun tidak tau dia kenapa. Tapi gejala-gejala seperti ini, sepertinya dia terkena koma,” ucap Dokter.<br />“Koma?!” kaget semua. <br />“Sebaikanya, dia ditangani di Dublin oleh dokter dengan peralatan yang memadai. Satu lagi, biarkan dia beristirahat!” akhir Dokter.<br />Dokter pun pergi dari vila itu.<br />“Nenek, sebaiknya kita kembali ke Dublin. Aku akan kembalikan dia ke rumahnya,” ucap Maureen.<br />“Ke rumahnya?” bingung Julie.<br />“Berarti, kakak tau siapa dia?” tanya Emma.<br />“Aku tidak tau. Tapi aku pernah bertemu dengan orang ini di depan rumahnya,” jawab Maureen.<br />“Baiklah. Kalau begitu, kalian siap-siap. Nanti siang, kita kembali ke Dublin,” ucap Julie.<br />Siang harinya, Maureen, Emma dan Julie sudah siap untuk kembali ke Dublin. Sesampainya di Dublin, Emma dan Julie berpisah dengan Maureen, karena dia harus mengantarkan si pemilik limo itu ke rumahnya. Setibanya di depan halaman rumahnya, Maureen keluar dari taksi dan menghubungi satpam.<br />“Pak, aku ada perlu dengan pemilik rumah ini!” ucap Maureen, meyakinkan.<br />“Sudah ada janji?” tanya satpam.<br />“Ini bukan saatnya janji-janjian. Cepat buka pintu halamannya dan biarkan taksi itu masuk!” tekan Maureen. <br />Dengan wajah Maureen yang begitu meyakinkan, satpam pun membuka pintu halamannya dan membiarkan taksi yang ditumpangi Maureen masuk. Setelah sampai di depan pintu rumah, Maureen pun menekan bel pintu. Pintu terbuka oleh seorang pembantu. “Ya, ada perlu apa?” tanya pembantu itu.<br />“Mana pemilik rumah ini?” tanya Maureen. <br />“Ada di dalam. Ada perlu apa, ya?” tanya pembantu. <br />“Tolong panggilkan mereka ke sini, ada sesuatu yang penting!” perintah Maureen.<br />“M… Baiklah,” <br />Pembantu itu pun masuk ke dalam dan memanggilkan tuan dan nyonya Thompson. Akhirnya, mereka berdua pun datang.<br />“Siapa anda?” tanya Simon.<br />“Saya Maureen Walsh. Saya membawakan sesuatu,” ucap Maureen dan langsung membuka pintu taksi.<br />“ANDREAAAS!!!” seru Simon dan Joanne.<br />“Andreas?” desis Maureen.<br />“John, Phay!” teriak Simon.<br />Tak lama kemudian, dua orang tukang kebun datang menghampiri.<br />“Ya, ada apa tuan?” tanya John dan Phay.<br />“Tolong angkat Andreas ke kamarnya!” perintahnya.<br />Kedua tukang kebun itu pun akhirnya mengangkat Andreas ke kamarnya. Maureen dipersilahkan masuk oleh Joanne Thompson. Tak lama kemudian, Simon menelepon seorang Dokter. Sambil menunggu, Maureen diajak mengobrol oleh pemilik rumah itu.<br />“Perkenalkan, namaku Joanne Thompson dan suamiku, Simon Thompson. Dimana kau menemukan Andreas?” tanay Joanne.<br />“Aku menemukannya di dasar jurang, Pegunungan Connemara. Setelah tau, aku pernah melihatnya di depan rumah ini. Akhirnya, aku pun membawanya ke sini,” jawab Maureen.<br />“Anda baik sekali. Kami berdua sangat berterima kasih padamu!” ucap Joanne.<br />Tak lama kemudian, Dokter pun datang dan langsung memeriksa Andreas. Setelah selesai, Dokter itu berbicara dengan tuan Thompson.<br />“Tuan Thompson, putra anda terkena koma yang diakibatkan oleh benturan yang sangat keras di kepala dan sampai pada saraf otaknya,” ucap Dokter.<br />“Lalu, apa dia bisa sembuh?” tanya Simon.<br />“Bisa dan sepertinya ini akan cepat. Lambat laun, dia akan sembuh. Walaupun dia tidak sadar, tapi dia bisa melihat dan mendengar. Terus ajak dia berkomunuikasi. Dan sebaiknya, ada seorang perawat untuk merawatnya,” akhir Dokter, dan langsung berpamitan dengan Simon.<br />“Joanne, kita harus mencarikan perawat untuk Andreas,” ucap Simon pada Joanne.<br />“Perawat?” pikir Joanne.<br />Mendengar hal itu, Maureen langsung menyela pembicaraan. “Kalian membutuhkan perawat?” <br />“Ya,” jawab mereka berdua. <br />“Saya bersedia menjadi perawatnya!” ucap Maureen, yang langsung disambut dengan tatapan curiga. “Kumohon percayalah padaku. Saya sedang membutuhkan pekerjaan. Lagi pula, saya sudah berpengalaman merawat seseorang,” ucapnya, dusta.<br />“Baiklah. Mulai besok, kau sudah bisa kerja di sini!” ucap Joanne.<br />“Terima kasih!”<br />Beberapa lama kemudian, Maureen berpamitan untuk kembali ke rumahnya. Sesampainya di rumah keluarga Walsh.<br />“Bagaimana, Kak?” tanya Emma.<br />“Kalian tau, aku baru mendapatkan sebuah pekerjaan!” seru Maureen.<br />“Pekerjaan?” tanya Julie.<br />“Aku baru mendapat pekerjaan sebagai perawat si pemilik limo itu!” jawab Maureen, girang.<br />“Kapan kau mulai bekerja?” tanya Julie.<br />“Besok pagi,” jawab Maureen.<br />Keesokan paginya, Maureen sudah berada di kediaman Thompson.<br />“Kau boleh mulai bekerja. Tapi sebelum itu, ganti pakaianmu dengan ini!” perintah Joanne sambil memberikan sebuah seragam. <br />Dengan terpaksa, Maureen memakai baju perawat dengan rok mini, yang tidak ia sukai. Setelah selesai berganti pakaian, dia pun memulai harinya sebagai seorang perawat. Dengan teliti, dia merawat Andreas sambil mengajaknya mengobrol. Sebelum mengajak Andreas mengobrol, Maureen melihat-lihat foto-foto yang ada di kamar itu. Lalu, terlihat foto Andreas bersama kelima temannya, dengan sebuah papan nama besar di dada mereka.<br />“Hai, namaku Maureen Walsh. Mereka bilang, kalau aku adalah si pembuat onar. Kau tau, sebenarnya aku itu tomboy, lho! Tapi dengan terpaksa, aku menerima pekerjaan orang lemah ini, karena aku sedang memerlukan uang. Aku menyebut pekerjaan ini adalah pekerjaan orang lemah, karena rata-rata wanita feminin itu lemah. Kalau aku, aku tidak suka kalau dibilang orang lemah,” ucap Maureen.<br />Tak lama kemudian, pintu kamar Andreas terbuka dan datanglah lima orang sahabatnya, yaitu Richie Kipner, Frank Mason, Caroline Hockley, Paula Cosgrave dan Priscilla Byrne datang menjenguk. “Kenapa ini bisa terjadi?” tanya Caroline. “Dia jatuh dari jurang sewaktu berada di Pegunungan Connemara,” jawab Maureen.<br />“Siapa kamu?” tanya Paula.<br />“Aku perawat Andreas. Ups.. maksudku, Tuan Andreas,” jawab Maureen.<br />“Dia memang senang dengan pengalaman yang menantang,” ucap Richie.<br />“Dasar, Andreas!” seru Frank.<br />“Lain kali, aku akan memarahinya jika ia berpetualang lagi!” seru Priscilla, berlinangan air mata.<br />“Memarahinya? Memangnya, dia pacarnya? Percaya diri sekali,” ucap Maureen dalam hati.<br />Setelah lama, akhirnya mereka semua pergi dari tempat itu. “Andreas, apa Priscilla itu pacarmu? Katanya dia akan memarahimu, jika kamu berpetualang lagi. Hm, percaya diri sekali,” ucap Maureen. <br />Seminggu kemudian. <br />Maureen sudah berada di dalam kamar Andreas untuk bekerja. <br />“Hai, Andreas. Cepat sadar, ya. Aku sudah tidak tahan lagi, memakai rok mini ini!” sapa Maureen.<br />Setelah itu, Maureen melihat-lihat kamar Andreas. “Hm, udah seminggu aku kerja di sini. Tapi dari dulu, aku belum pernah melihat isi lemari-lemari itu,” ucap Maureen. Dengan penuh rasa penasaraan, Maureen melihat-lihat lemarinya. Tapi ketika dia membuka lemari bagian atas, tiba-tiba ia tertimpa tumpukan baju-baju bekas, sampai akhirnya dia tertutup tumpukan itu. Tanpa disadari, Andreas berusaha menggerakkan jari-jemari kakinya. Beberapa lama kemudian, Maureen kembali membereskan tumpukan baju itu ke dalam lemari. Setelah itu, Maureen menonton TV di kamar Andreas.<br />Tiga hari kemudian.<br />Paginya, Maureen sudah mengajak Andreas keluar kamar dengan menggunakan kursi roda dan menghirup udara segar di taman. “Andreas, udaranya sejuk, ya?” ucap Maureen sambil mengirup udara. “Di udara yang sesejuk ini, paling baik adalah berolahraga!” tambahnya, sambil berlari ditempat. <br />“Kau tau, aku jago berkelahi, lho. Pengalamanku banyak, pertama aku berhasil mengusir para rentenir, yang bermaksud akan menghancurkan kantinku. Kedua, aku pernah naik benteng sekolah, karena terlambat. Dan ketiga, aku pernah berkelahi dengan si centil Marry, anak pemilik yayasan sekolahku. Tapi untungnya, aku tidak sampai dikeluarkan, karena beberapa hari lagi dari itu, aku sudah lulus,” akhirnya. Tanpa disadari, tangan Andreas mulai bergerak sangat pelan. <br />Beberpa lama kemudian, Priscilla datang menghampiri Maureen dan Andreas. <br />“Heh, perawat dekil. Siapa suruh, kamu bawa Andreas keluar kamar?!” sentaknya. <br />“Heh, apa haknya kamu memarahiku. Yang berhak memarahiku, hanyalah tuan dan nyonya Thompson, tau?!” balas Maureen. <br />“Dasar, orang miskin. Beraninya kamu bicara begitu padaku. Awas, nanti!” akhir Priscilla. <br />“Heuh, dasar orang sombong!” desis Maureen. <br />Sore harinya, Maureen pun pulang ke rumahnya. Setibanya di rumah, Maureen sangat kaget ketika melihat kantinnya porak poranda. Tak lama kemudian, dia masuk ke dalam rumahnya dan melihat Emma juga neneknya, Julie didapatinya sedang menangis. “Emma, nenek, ada apa ini?” tanya Maureen penasaran.<br />“Kak, tadi para rentenir itu datang lagi. Dia menagih utangnya. Padahal, hari ini bukan waktunya menagih utang. Karena uang kami belum cukup, mereka mengusir langganan kami dan memporak-porandakan kantin. Sepertinya, besok kita tidak makan siang,” jelas Emma, sambil menangis. Sedangkan neneknya, Julie tidak berkata apapun. “Kurang ajar. Mereka hanya berani saat aku tidak ada di rumah!” desis Maureen. <br />Keesokan harinya. Seperti biasa, Maureen sudah berada di rumah keluarga Thompson. Tanpa menyapa Andreas, Maureen langsung duduk lemas dan menundukan kepalanya di atas tempat tidur, yang sedang di tempati Andreas. Tak lama kemudian, Maureen menangis terisak-isak. “Hiiks hiiks,” <br />“Andreas, andai kamu dapat menolongku, aku ingin meminta bantuanmu. Kau tau, aku sangat prihatin dengan keadaan keluargaku. Kemarin, kantinku baru saja dirusak oleh para rentenir jahat itu. Mereka menagih utangnya, padahal belum waktunya mereka menagih. Sumber penghasilan keluargaku sudah hancur. Dan untuk siang ini, kami tidak tau akan makan apa. Dan tadi pagi, aku lihat nenekku bekerja sambilan, sebagai pembantu. Sebagai seorang cucu, aku tidak rela membuatnya sengsara seperti itu!” jelas Maureen.<br />Tanpa disadari, mata Andreas mulai berkedip. Kemudian disusul oleh gerakan kaki dan tangnnya. Setelah selesai menangis, Maureen pergi ke kamar kecil di belakang, untuk mencuci mukanya. Dan setelah kembali, alangkah kagetnya dia, saat melihat Andreas tidak ada di atas tempat tidur.<br />“HAH?! Kemana dia?!” seru Maureen sambil kebingungan mencari Andreas. Tak lama kemudian, dia melihat Andreas yang baru keluar dari toilet kamarnya. Setelah Andreas memberikan senyuman manis pada Maureen, akhirnya Maureen tak sadarkan diri. <br />Tak berapa lama kemudian, Maureen pun sadar. <br />“Kau tidak apa-apa, kan?” tanya Andreas. “Kau sudah sembuh?” tanya Maureen, setengah sadar. “Ya, berkat pertolonganmu,” jawab Andreas. “Jadi, benar kamu sudah sembuh?!” tanya Maureen dengan nada keras. <br />“Iya, berkat pertolonganmu. Apa kau tidak percaya?”<br />“Oooh, ini pasti mimpi. Aku berhasil menyembuhkan orang koma?! Tidak mungkin!”<br />Lalu, Andreas mencubit lengan Maureen. <br />“Wadaw!! Sakit, tau!” teriak Maureen.<br />“Berarti, kamu tidak mimpi!” ucap Andreas.<br />Setelah itu, Maureen memberi kabar gembira itu pada Simon dan Joanne Thompson. Sebagai penghargaan, Maureen diberi uang banyak. Suatu keberuntungan bagi Maureen, karena uang itu cukup untuk membayar utang-utangnya pada rentenir. Untuk merayakan kebahagiaan itu, keluarga Thompson bermaksud untuk membuat pesta besar, nanti malam di rumahnya. Dan Maureen diundang sebagai tamu kehormatan.<br />Sore harinya, Maureen memberikan hasil jerih payahnya kepada Emma dan nenek tercinta, Julie. Setelah itu, dia bersiap-siap untuk pergi ke pesta Thompson, dengan menggunakan gaun yang sederhana dan dandanan yang sederhana pula. Setelah siap, Maureen pun pergi ke rumah Thompson. Setibanya di sana, Maureen begitu terpesona dengan kemeriahan pesta itu. Semua para tamu undangan adalah bangsawan Irlandia. Adapun beberapa dari mereka, para wartawan yang sengaja meliput pesta kesembuhan Andreas. <br />“Waah, aku yang ternyata orang miskin, bisa diundang di pestanya para bangsawan. Apalagi, sebagai tamu kehormatan. Luar biasa!” seru Maureen dalam hati. <br />Kemudian, seorang sosok gagah datang menghampiri Maureen dan mengajaknya ke tempat pesta, yaitu di sekitar kolam renang, di halaman belakang rumah keluarga Thompson. Sosok itu adalah Andreas Thompson.<br />“Perhatian semuanya. Kita beri tepuk tangan kepada tamu kehormatan kita, Maureen Walsh!” seru Simon Thompson.<br />‘PROK PROK PROK’ <br />“Berkat bantuannya, putraku Andreas Thompson yang sakit koma saat itu, bisa kembali sembuh. Sebagai tanda terima kasih keluarga Thompson, aku berikan dia sebuah rumah dan restoran di pesisir Laut Eire!” lanjutnya.<br />“HAH?! Rumah? Restoran? Restoran itu, kan rajanya kantin. Berarti, aku akan kaya raya!” seru Maureen dalam hati. “Terima kasih, atas semuanya!” ucap Maureen. Seketika, para wartawan yang ada di tempat itu, langsung menyilaui mata Maureen.<br />‘PROK PROK PROK’<br />Kemudian, Andreas mengajak Maureen untuk bergabung bersama kelima temannya. Semua teman-teman Andreas memberikan ucapan selamat pada Maureen. Terkecuali, Priscilla Byrne, sang bangsawan sombong. Tak lama kemudian, Maureen dan Priscilla ditinggal oleh semuanya karena suatu hal. Kini, tinggal Maureen dan Priscilla di tempat itu.<br />“Senangnya, jadi orang kaya!” sindir Priscilla.<br />“Ya senang, dong. Besok pagi, headline majalah Boom akan menjadi miliku!” jawab Maureen, santai.<br />“Aku penasaran, apa keberuntunganmu sudah diperhitungkan dari dulu, atau tidak?” ucap Priscilla.<br />“Maksudmu, aku memanfaatkan Andreas untuk memperolah keberuntungan, begitu?” tanya Maureen, emosi.<br />“Tak lebih,” ucap Priscilla.<br />“Asal kamu tau, ya. Dulu, aku tidak pernah memperhitungkan ini semua. Lagi pula, aku tidak tau, kalau Andreas akan sembuh. Selain itu, dua minggu lebih bersama Andreas, lumayan. Daripada kamu, yang jelas-jelas menyukainya, malah tak dilihat olehnya. Aku lebih beruntung daripada kamu, tau!” goda Maureen.<br />Tiba-tiba, terdengar suara musik dansa dan terlihat Andreas dan lainnya, berjalan menuju ke tempat semula, yaitu tempat Maureen dan Priscilla berada.<br />“Siapa bilang, aku tidak dilihat Andreas? Lihat itu, pasti Andreas akan berdansa. Jika dia memilihku untuk menjadi pasangannya, maka kau kalah. Tapi apabila kau yang diajak untuk menjadi pasangannya, maka aku menyerah,” tantang Priscilla.<br />“Oke, siapa takut?!” balas Maureen.<br />Dengan tegang, mereka berdua menanti Andreas. Setelah Andreas berada di depan mereka berdua, dengan perlahan dia mengulurkan tangannya ke salah satu dari Maureen dan Priscilla. Siapakah orangnya? (Setiap orang punya versi ending sendiri-sendiri kan?) Inilah versi saya:<br />Setelah Andreas menentukan gadis pilihan untuk berdansa, sang gadis tak lupa menjulurkan lidahnya terlebih dahulu kepada gadis satunya yang sedang kesal karena tak terpilih. Dengan penuh rasa kesal dan emosi, gadis yang ditolak itu berusaha pergi meninggalkan tempat pesta. Tapi ketika ia melangkah, ia tertubruk oleh pasangan yang sedang berdansa dan akhirnya, dia pun terjatuh ke dalam kolam renang. <br />‘GBYUUUURRR’<br />Serentak, semua tamu undangan di pesta itu tertawa, menertawakannya. ‘HUAHAHAHAHAH…!!!!’<br />“Uuugghh…!!!”<br />Andreas tersenyum dari lantai dansa sambil melihat ke kolam. Ia berteriak. “Itulah kenapa aku memilih gadis ini untuk dansa,” Andreas menunjuk pasangan dansanya, lalu kembali menatap gadis di kolam. “Pertama, karena kamu tomboy, kamu pasti tak bisa dansa, dan aku nggak mau bikin kamu malu kalau nanti terjatuh di dance floor. Kedua, kamu gadis yang kuat, pasti akan bisa dengan mudah keluar dari kolam renang itu. HAHAHA…”<br />Maureen memukul air kolam sekuat-kuatnya karena kesal.<br />“Tapi tenang aja,” teriak Andreas lagi. “Pasangan dansa bukan berarti pasangan hidup.”<br />Mendengar kalimat itu, Priscilla yang sedang berdansa dengan Andreas langsung kesal dan melepaskan genggaman tangan Andreas di pinggangnya.<br />“Hey kamu mau kemana?” tanya Andreas pada Priscilla. “Aku kan belum memutuskan siapa yang akan jadi pasangan hidupku nanti. Masih terlalu dini untuk menentukan gadis pilihanku. Lagipula, aku akan melanjutkan sekolah tinggi sesuai kemauan ayah ibuku dulu, baru kemudian mencari soulmate. Jadi, kalian berdua, dan semua gadis yang ada di pesta ini, sama-sama masih punya peluang.”<br />Maureen dan Priscilla saling pandang. Suasana pesta malam itu menjadi semakin meriah. <br /><br />Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS<br /><br /><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-68021560745404678062010-10-23T10:10:00.000-07:002010-10-23T20:23:37.121-07:00Confession of You and MeOleh: <span style="font-weight:bold;">Hana Afifah, 15 tahun</span><br />(BWS Garut)<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOlqiuGROI/AAAAAAAAAVQ/QJm8zDv6CO8/s1600/wggi006038.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 229px; height: 320px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOlqiuGROI/AAAAAAAAAVQ/QJm8zDv6CO8/s320/wggi006038.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531446917634344162" /></a><br /><br />Dia cowok berwajah ‘cantik’. Hidungnya kecil mancung, bibirnya tipis kemerahan, sepasang matanya sayu. Aku saja yang perempuan tidaklah se’cantik’ itu. <br /><br />Rasanya aneh sekali ketika aku harus memanggilnya kakak atau my brother. Soalnya kami berdua tidak mirip sih. Juga tidak begitu akrab layaknya kakak beradik biasa. Di sekolah, dia ketua OSIS yang populer. Tapi dia sangat pendiam, dan saat berpapasan denganku, dia jarang menyapaku. Di rumah, dia juga jarang bicara. Sikapnya sangat tertutup. Dan itu membuat Roa kelihatan misterius. Kadang aku merasa begitu ingin lebih memahami tentang dirinya.<br /><br />Malam itu, seusai makan malam bersama ayah dan ibu, aku menghampiri Roa. Aku punya suatu ide acara untuk mengisi event ulang tahun sekolah yang akan segera tiba. Aku memang anak buah Roa dalam kepengurusan OSIS, jadi aku ingin minta pendapatnya soal ide yang sudah lama kupikirkan ini.<br />“Confession of You and Me?” kening Roa berkerut. <br /> “Iya!” ujarku. “Itu nama acaranya. Di hari ultah sekolah nanti, kita akan memanggil semua murid satu per satu ke atas panggung, menghadap para penonton. Mereka harus mengungkapkan isi hati secara jujur – tentang apa saja!” <br />Aku berusaha meyakinkan Roa agar mau menyetujui ide ini. Kupasang tampang bersemangat dan penuh harap. Dia nggak boleh menolaknya! Dia kan ketua OSIS, pembuat keputusan. Meskipun banyak proposal lain yang masuk, idekulah yang harus dia terima. Ini semua demi aku dan Roa. <br /> Roa tampak berpikir. Tangannya masih menggenggam kertas proposalku. Lalu dia menghela napas, bangkit dan berjalan gontai menuju kamarnya. Dia masuk, langsung menutup pintu, dan mematikan lampu. <br />Dia tidur. Sementara aku masih mematung di ruang TV. Tersinggung berat karena merasa dicuekkin.<br /> <br /><br />Aku bukan cewek yang suka hang-out setiap pulang sekolah atau akhir pekan. Bukannya aku jomblo. Aku punya pacar kok. Hanya saja aku memang nggak terlalu suka bepergian, bahkan dengan pacarku sendiri.<br />Pacarku ini bernama Ivan. Orangnya biasa, nggak cakep-cakep amat. Yang pasti dia nggak ‘cantik’ seperti Roa. Salah satu hal yang kusukai dari Ivan adalah kelucuannya. Dia gokil abis. Senyumnya lebar, alisnya tebal. Mukanya aja udah bisa bikin orang tersenyum.<br />Ivan adalah seniorku di sekolah, seangkatan dengan Roa. Dia juga pengurus OSIS sepertiku, hanya saja jabatannya lebih tinggi dariku. Roa pernah membawanya ke rumah, dan saat itulah aku dan Ivan berkenalan. Dua bulan sejak perkenalan itu, tiba-tiba Ivan bilang suka padaku – di depan semua pengurus OSIS, termasuk Roa. <br />“Anna, aku suka kamuuuuuuu!!!” teriak Ivan di hari penembakan itu. Suaranya nyaring, membuat semua mata menuju ke arah kami. Senior-senior cowok langsung pada menyemangati. Teman-teman cewekku pada melotot kaget – sama kagetnya denganku. Wajah Ivan memerah, mungkin karena telah berjuang mengucapkan sesuatu yang sudah sejak lama ingin diungkapkannya. <br />Aku terbata-bata. Salah tingkah. Tak tahu harus berbuat apa. <br />Kulirik Roa, niatnya sih minta bantuan. Tapi dia malah cuek....<br />Kejadian itu sudah cukup lama berselang. Kini Ivan resmi jadi pacarku dan aku tidak memanggilnya ‘Kak’ lagi.<br />Sebenarnya aneh juga selama ini aku memanggilnya ‘Kak Ivan’. Padahal Roa saja tidak pernah kupanggil dengan sebutan Kakak. Aku merasa lebih nyaman memanggil namanya saja. Ayah dan Ibu sering menegurku gara-gara masalah ini. Tapi aku tetap memanggilnya Roa. Entah kenapa. Lagi pula orangnya nggak peduli dengan sebutan kok.<br />Meski saling berteman dekat, Roa dan Ivan sangat berbeda. Ivan sangat perhatian padaku, sedangkan Roa tidak. Dia nggak peduli pada apapun, kecuali pelajaran dan kegiatan OSIS-nya. Dia cowok paling tidak sensitif yang pernah kukenal. Dan ayah dan ibu sering membelanya kalau kukatakan hal itu padanya.<br />“Halo, Anna Sayang,” handphone-ku bergetar. Itu suara Ivan. “Hari ini kamu nggak ada acara kan? Jalan-jalan keluar yuk.” Seperti biasa kalau akhir pekan, Ivan selalu mengajakku keluar. Sebetulnya aku tak ingin menolak kali ini. Tapi aku benar-benar sedang tidak mood pergi. Aku ingin di rumah saja.<br />Untunglah Ivan nggak marah. Dia memang selalu sabar padaku, meski selama ini keinginannya sering kutolak. Dia cowok yang baik.<br /> <br />“Anna, aku bakal pake acara anehmu buat event ultah sekolah nanti,” kata Roa tiba-tiba. Malam itu aku sedang menonton TV bersama Ibu dan Ayah. Sementara Roa sedang asyik mengerjakan matematika.<br />“Hah? Jadi proposalku diterima nih? Serius?” tanyaku girang.<br />“Iya,” jawab Roa, tanpa berpaling sedikitpun. Dia konsentrasi pada buku tugasnya.<br />“Alasannya apa?” aku penasaran, karena sepertinya beberapa malam yang lalu dia nggak berminat tuh sama ideku.<br />“Kayaknya seru aja,” katanya singkat. Lalu dia membereskan bukunya dan masuk ke kamar, tanpa menghiraukanku. <br />Aneh sekali. Ada nada tidak ramah saat Roa mengucapkan kalimat terakhir. Sepertinya...dia nggak ikhlas menyetujui proposalku. Ada apa sih dengannya? Padahal kalimat itulah yang sudah kutunggu-tunggu sejak beberapa hari lalu.<br />Sikap Roa membuatku berpikir selama berhari-hari. Sebenarnya, ide acara Confession of You and Me itu kubuat karena satu tujuan. Di ultah sekolah nanti, aku ingin semua pengurus OSIS maju satu per satu ke atas panggung, meraih mikrofon, lalu bicara blak-blakan tentang diri sendiri tanpa ada hal yang ditutupi. Aku ingin mendengar suara hati anak-anak di sekolahku. <br />Aku ingin mendengar suara hati Roa.<br />Suara hati yang jujur. Karena selama ini Roa begitu misterius. Begitu banyak pertanyaan tentang dia namun belum terjawab. Kenapa dia begitu pendiam? Kenapa dia tidak responsif terhadap orang-orang di sekelilingnya? Kenapa dia tidak responsif terhadapku? Dulu sewaktu kami kanak-kanak, kami sangat akrab, dan rumah ini terasa hangat. Tapi sekarang...dia sangat tertutup. Aku jadi sering bete menghadapi sikapnya yang dingin. <br />Acara Confession of You and Me mungkin akan berhasil untuk ‘memaksa’nya bicara jujur tentang dirinya. Tapi Roa mungkin sudah menduga niat terselubungku ini. Makanya dia kelihatan nggak ikhlas saat menyetujui proposalku.<br />Ah, whatever....lihat saja nanti. Yang penting dia sudah menyetujui.<br /> <br /><br />Aku sedang duduk di kantin bersama Ivan dan beberapa pengurus OSIS lainnya. Kami sedang membicarakan event ulang tahun sekolah. Semua orang berbicara tentang apa yang akan mereka katakan nanti. Confession of You and Me benar-benar mendatangkan reaksi heboh. Senior-senior yang sudah mau lulus, termasuk Ivan, ributnya minta ampun. Ada yang berencana mau ngomongin cita-cita, ngungkapin kebencian, menyatakan cinta, nyeritain semua kesan-kesan selama di sekolah, ngeritik semua guru-guru, dll.<br />Ivan berencana mau ngelawak di atas panggung, lalu menyanyi lagu cinta buatku. Mia sahabatku masih bingung. “Tenang, masih lama ini kok,” katanya. Pas aku yang giliran ditanya mau ngomong apa, aku malah kebingungan.<br />“Gimana sih, yang punya ide malah gak tau mau ngomong apa!” protes Mia.<br />“Kalo gitu nyanyi lagu cinta aja buat si Ivan,” usul yang lain.<br />“Iya tuh, biar samaan! Buktiin cinta kalian berdua ke seisi sekolah! Ha ha ha ha! Best couple deh!”<br />Semuanya kelihatan bersemangat begitu ngomongin aku dan Ivan. Ivan cuma cengar-cengir. Tapi aku tahu dia bahagia banget. <br />“Eh, gua penasaran, ketua OSIS bakal ngomong apa ya di panggung nanti?”<br />“Iya, ya. Kita kan nggak pernah tahu banyak soal dia,”<br />“Makanya ini kesempatan buat ‘nelanjangi’ dia!”<br />Topik mengarah ke Roa. Aku kaget. Ternyata orang-orang juga bertanya-tanya tentang Roa. Sama seperti aku. <br />Para senior terus membicarakan Roa. Aku mendengar beberapa hal yang tidak pernah kuketahui sebelumnya. Bahwa ternyata Ivan dan Roa sudah bersahabat sejak SMP. Karena itulah Ivan tahu cukup banyak tentang Roa, termasuk bahwa Roa selalu menolak pernyataan cinta dari cewek-cewek. Dia tahu lebih banyak tentang Roa daripada aku. <br />Dulu sewaktu SMP, aku dan Roa berbeda sekolah. Itulah kenapa kami jadi tidak begitu akrab, tidak seperti waktu kami kanak-kanak. Roa begitu sibuk di ekskul sekolah, dan sering telat pulang ke rumah, demikian juga aku. Kami jarang berkomunikasi, kecuali bila sedang berkumpul dengan Ayah dan Ibu. Sewaktu SMP, Roa pernah sakit, tapi aku tak tahu sakit apa persisnya. Ayah dan Ibu seakan merahasiakannya dariku. Yang aku tahu hanyalah Roa pernah dirawat di rumah sakit cukup lama, dan sesekali aku menjenguknya. <br />“Anna! Kamu ini keseringan melamun ya?” tanya Ivan. “Ada apa sih?”<br />Aku seperti baru sadar dari lamunan. Aku tak menjawab pertanyaan Ivan.<br /> <br /><br />“Kamu bakal ngapain nanti?” tanyaku pada Roa malam itu.<br />Roa menengok ke arahku, lalu menjawab, “Mau sikat gigi terus langsung tidur.”<br />“Ini tentang Confession of You and Me!” tukasku jengkel.<br />Tiba-tiba Roa terbatuk-batuk. Cukup berat dan agak lama. Aku tidak tahu dia memang batuk karena kata-kataku barusan, atau karena memang sedang gatal tenggorokan.<br />Roa menarik napas dalam-dalam. Kemudian dia memandang meja kopi dengan pandangan kosong. Aku masih menunggu jawabannya. Cukup lama Roa terdiam. Kemudian dia berkata, “Gimana nanti aja. Biarin ngalir apa adanya.”<br />Lagi-lagi dia masuk ke kamarnya, ‘menggantung’ pertanyaanku begitu saja. Aku sama sekali tidak puas dengan jawabannya! Cowok macam apa sih dia?<br /> <br /><br />Ulang tahun sekolah masih dua minggu lagi. Tapi semua murid sudah tak sabar menantikan perayaan itu. Mereka penasaran akan seperti apa acaranya. Aku tahu, mereka pengen dengar apa yang bakal orang lain katakan di atas panggung. Mereka sendiri tegang menunggu saat-saat tampil nanti.<br />Sementara itu, para pengurus OSIS super sibuk. Kami semua bertekad menjadikan acara ini sukses, demi mendekatkan semua warga sekolah. Sebagai pencetus ide, akulah yang otomatis pegang komando. Sebenarnya aku sendiri juga tegang. Masih belum tahu bakal ngomong apa saat giliranku di panggung nanti!<br />Belum lagi karena waktunya tidak akan cukup, acara akan dibagi menjadi tiga babak. Satu babak satu hari. Aku mati-matian menyusun agenda yang ruwet. <br />Roa tidak ikut mempersiapkan acara. Dia jatuh sakit dan sudah dua hari terkapar di rumah. Ivan menjenguknya dan mengobrol lama dengan Roa di kamarnya. Setelah Ivan keluar dari kamar Roa, aku mengajaknya bicara. Aku mencoba mengorek-ngorek keterangan dari Ivan, tentang Roa. <br />“Lho? Aku kira kamu lebih kenal Roa daripada aku. Kalian kan kakak beradik, gimana sih?”<br />“Iya, tapi Roa akhir-akhir ini tertutup. Dan entah kenapa, aku yakin dia sedang menyembunyikan sesuatu,” ujarku. “Mungkin kamu tahu sesuatu, kamu kan sahabatnya sejak lama.”<br />Ivan terdiam sesaat. Kelihatannya sedang mengoleksi serpihan-serpihan memorinya. “Mmm, dari dulu Roa memang agak pendiam. Tapi nggak sediam sekarang. Kalau nggak salah sih, sejak kelas 3 SMP dia jadi begitu. Kamu masih inget, kan, saat kelas 3 SMP, Roa pernah sakit parah. Nah, ketika dia akhirnya sembuh dan masuk sekolah lagi, dia jadi pendiem kayak mumi di ujung kelas.”<br /> <br /><br />Malam itu aku menelepon Mia, mencurahkan semua isi hatiku padanya. Aku menceritakan apa yang Ivan beritahu tentang Roa.<br />“Kata Ivan, Roa jadi lebih pendiam sejak sakit di SMP itu. Sekarang dia sakit lagi. Aku benar-benar cemas... Aku takut sakitnya akan separah dulu.”<br />“Memangnya sakit apa sih Roa?” tanya Mia heran. <br />“Kuharap aku tahu. Tapi dokter nggak mengatakan apa-apa. Ayah dan Ibu hanya bilang mungkin dia masuk angin, padahal aku yakin lebih parah dari itu. Roa sendiri nggak mau terus terang. Dia bilang, dia baik-baik aja, padahal kelihatannya nggak begitu.” <br />“Ya udah, kamu berdoa aja. Moga dia sembuh dan bisa datang ke acara ulang tahun sekolah nanti,” hibur Mia. Aku jadi sedikit tenang.<br /> “By the way,” lanjut Mia. “Di acara nanti, apa yang mau kamu katakan, Anna? Kamu mau ngomong jujur tentang Ivan, kan?”<br />Jantungku mendadak berdegup kencang. Ivan..?<br />“Kamu mau bilang kalau sebenernya kamu sama sekali nggak ada rasa sama dia, kan?” tanya Mia.<br />Jantungku berdegup makin kencang.<br />“Anna, kamu udah janji bakalan jujur sama dia suatu saat nanti, supaya dia nggak terus menerus menaruh harapan ke kamu.”<br />Aku mematung. Ah, Ivan....Memang seru kalau bersama-sama dia. Dia belum pernah menyakitiku. Sejak pertama kali melihatnya, aku tahu dia cowok yang baik. Tapi...<br />Dulu, waktu dia menembakku, saat itu benar-benar tidak disangka-sangka. Ivan meneriakkan kata ‘suka’. Lalu menatap mataku tajam-tajam. Aku tahu dia tidak main-main. Tapi aku bingung harus berbuat apa. Aku melihat tangannya terkepal, basah oleh keringat. Makin lama kepalanya makin menunnduk. Dia mengatupkan mulutnya dan memejamkan matanya rapat-rapat.<br />Mana tega menolak dan menyakiti hatinya di depan orang banyak? Terpaksa kubilang ya. Lain kali kalau ada kesempatan, aku akan bilang perasaanku yang sebenarnya, janjiku. Mia mendengarnya.<br />Sekarang keadaannya berbeda. Makin hari aku semakin tidak tega untuk menyakiti Ivan. Dia begitu baik. Aku tak mau dia tahu kalau aku menerima pernyataan cintanya hanya karena rasa kasihan. Terlebih, dia juga sahabat Roa. Betul-betul nggak enak harus bicara jujur tentang perasaanku padanya.<br />Suara Mia di ujung telepon mengagetkanku.<br />“Anna, udah nggak ada waktu lagi,” katanya. “Kalau kamu nggak berkata jujur di acara ultah sekolah nanti, kamu malah bakal makin deket dengan dia. Dan kamu makin nggak tega lagi nantinya!”<br />“Aku nggak tahu, Mia. Bukannya kalo bilang di depan umum begitu justru lebih parah daripada nolak dia waktu di depan para pengurus OSIS dulu?”<br />“Resiko, Anna. Kalau kamu bilang pas kalian lagi berduaan, dia pasti mengelak atau nganggap kamu cuma bercanda.”<br />Aku bener-bener bingung sekarang... Aku takut...<br />Selama hari-hari persiapan acara, Ivan justru banyak membantuku. Dia rajin membelikan jus dan cemilan untukku. Dia bahkan mengantarku pulang dengan alasan ingin sekalian menjenguk Roa. Aku terharu dengan perlakuannya itu. Aku tak bisa membayangkan akan menyakiti hatinya di depan satu sekolah dengan mengatakan hal jujur tentang perasaanku.<br />Belum lagi kalau aku mengingat semua kebaikannya. Dia pernah memberikan hadiah istimewa di hari ulang tahunku. Sebuah DVD game asli yang harganya bisa mencapai $50. Aku semakin berat untuk mengatakannya, tapi Mia benar. Kalau terus begini, aku telah menipu dua orang sekaligus – aku dan Ivan.<br />Waktunya tinggal 5 hari lagi...<br /> <br /><br />Kenapa keadaan justru bertambah parah? Saat aku pulang dari sekolah pas sibuk-sibuknya persiapan event ultah sekolah, ternyata kabar buruk menantiku di rumah.<br />Roa masuk rumah sakit. Sama seperti waktu ia kelas 3 SMP dulu. Ayah memberitahuku kalau Ibu dan Roa sudah berangkat duluan ke rumah sakit. Kami segera menyusul mereka.<br />Sesampai di sana aku nyaris tidak mempercayai kata-kata dokter. Tidak mungkin. Roa mengidap kanker paru-paru. Itu menjelaskan semua batuk-batuknya selama ini. Dan ternyata penyakit itu sama dengan yang diderita Roa ketika SMP dulu. Roa sudah mengetahui penyakitnya sejak dulu, dan mungkin ia merasa terpukul. Makanya ia menarik diri dari pergaulan dan tidak peduli pada keadaan di sekelilingnya. Itukah sebabnya ia begitu pendiam? <br />Dia bergumul dengan kenyataan pahit yang telah menghantuinya selama tahun-tahun belakangan ini. Dia merasa waktunya tinggal sedikit lagi.<br />Aku hanya mematung di koridor rumah sakit. Ibu menangis di kursi. Wajah Ibu tenggelam dalam saputangan yang aku masih ingat, hadiah dari aku dan Roa saat ulang tahun beliau yang ke-40. <br />Ayah duduk di sebelah Ibu, berusaha menenangkannya. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri. Mengingat semua yang telah Roa lakukan untukku. Berbagi kue, mengobati lukaku saat aku terjatuh dari sepeda. Roa juga yang menyumbang lebih banyak untuk membeli saputangan Ibu. Roa menemaniku di saat tegang menunggu hasil Ujian Nasional SMP-ku. Aku masih ingat wajah riangnya saat menatap amplop kelulusanku. Roa tersenyum memberikan ucapan selamat. Nilaiku cukup bagus untuk masuk ke SMU yang sama dengan SMU Roa. Aku benar-benar bahagia bisa satu sekolah lagi dengannya, setelah sempat terpisah 3 tahun di bangku SMP.<br />Tapi kebahagiaan itu kini pudar. Roa mengidap penyakit yang tak pernah kuketahui selama ini. Karena aku tak pernah diberitahu. Juga karena dulu aku tak pernah begitu peduli pada Roa...Tak sepeduli sekarang ini...<br />Dokter berkata kami boleh menjenguk Roa sebentar. Aku melihat wajah pucatnya. Dia benar-benar sakit. Dia tersenyum pada kami, tapi matanya sedih. Ibu memeluknya, terus-menerus berkata bahwa ia menyayangi Roa. Aku tidak tahan menyaksikan pemandangan ini. Aku ikut menangis. <br />Apakah...apakah raut tidak ikhlas Roa saat menyetujui proposalku adalah karena dia tahu dia tak akan sempat...<br />Oh Tuhan, kumohon jangan ambil dia dari kami. Setidaknya, sebelum acara itu. Aku ingin mendengar hal yang jujur tentang Roa. Aku ingin dia juga mendengar hal yang jujur tentangku. Tentang semua perasaanku padanya...<br /> <br /><br />Confession of You and Me...<br />Aku sudah siap di belakang panggung. Aku teringat kata-kata Roa waktu itu, “Gimana nanti aja. Biarin ngalir apa adanya.”<br />Mia sedang tampil. Giliranku sesudahnya. Memang urutannya tidak menurut absen. Aku berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, mencoba tersenyum. Namun aku teringat Roa. Aku berusaha menahan tangisku.<br />Mia sudah selesai. Dia kelihatan khawatir melihatku. Tapi aku sudah memperingatkannya agar tidak menghentikanku. Akhirnya kudengar namaku disebut.<br />Aku melangkah ke panggung. Para penonton bertepuk tangan. Aku tersenyum.<br />“Semuanya...ini aku. Anna Tryanni Agustusa. Aku mau ngungkapin isi hatiku yang sebenarnya di kesempatan kali ini.”<br />Hening, aku berhenti sejenak. Menarik napas lagi. Aku harus siap.<br />“Ketua OSIS kita, Diansyah Roa Ananhyam...alias Roa,”<br />Siap, siaaaaap... Aku harus siap. Ayolah Anna, nggak ada yang perlu kamu takutkan, ini kenyataan...<br />“Bukan kakak kandungku.”<br />Semua penonton tercengang mendengar fakta baru ini. Ada yang mencolek anak di depannya. Berdiskusi dengan teman di sebelahnya, ada yang mencuri kesempatan menyomot makanan temannya. Aku berusaha menenangkan massa dengan mengetuk mikrofon beberapa kali.<br />Sekarang aku mulai tenang. Ayolah, berikutnya baru isi hatiku!<br />“Ditujukan kepada Muhammad Ivan Mulyana,”<br />Semua kepala berpaling kepala Ivan yang sedang berdiri di samping panggung.<br />“Selama ini... Aku cinta Roa,”<br />Semua penonton diterjang syok. Ivan mematung.<br />“Aku udah tahu kalo kami bukan adik-kakak sejak dulu. Di kartu keluarga kami selalu tertulis kalau Roa itu anak angkat Ayah dan Ibu,”<br />Jantungku mendadak berdegup kencang lagi.<br />“Ivan, aku minta maaf. Aku nggak tega mau nolak kamu waktu itu...”<br />Aku tidak berani menatapnya sekarang. Aku menundukkan kepala sambil terus menggenggam mikrofon.<br />“Aku... udah menyatakan cinta pada Roa... kemarin malam...”<br />Para penonton menunggu kelanjutanku dengan khidmat.<br />“Tepat... Sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya...” <br /> <br /><br /><span style="font-style:italic;">Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS</span><br /><br /><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-72197267539451743922010-10-23T10:09:00.000-07:002010-10-23T19:57:12.808-07:00Sekuntum EdelweissOleh: <span style="font-weight:bold;">Mulandari Palupi, 16 tahun</span><br />(BWS Bandung)<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOgdZY5mrI/AAAAAAAAAUY/n-QgPB4ShtU/s1600/u19622441.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 247px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOgdZY5mrI/AAAAAAAAAUY/n-QgPB4ShtU/s320/u19622441.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531441194233076402" /></a><br /><br /><br /><br />Pagi yang cerah. Tapi tak secerah hatiku. Seharusnya hari ini hatiku ceria, seiring pemandangan lereng gunung yang indah di setiap sisi kanan kiri jalan setapak yang kulewati. Teman-temanku satu rombongan, semua berceloteh riang dan mem-blitz-kan kamera berkali-kali ke alam yang hijau kemilau. Pohon-pohon yang rimbun, sawah-sawah yang mendampar kuning siap dipetik, air sungai yang gemericik, diterpa cahaya matahari berwarna keemasan, sungguh eksotis dan sayang kalau tak diabadikan. Beberapa peserta hiking, tak putus memuji semua keindahan alam yang telah diciptakan Yang Kuasa. Tapi aku hanya diam. Mataku tidak terpaku pada semua itu. Tatapnku menembus ke arah rombongan laki-laki. Bayangan Marcel ada di sana, sedang sibuk membidikkan kamera. Dan aku menggigit bibir. Itu pasti untuk Chrissy, batinku sedih.<br />Semua peserta melakukan perjalanan naik gunung itu dengan sebuah misi. Misi lingkungan, taddabur (memuji kekuasaan Tuhan), atau kepuasan hati telah menaklukkan alam. Beberapa mungkin membawa misi estetika, mengambil foto-foto yang eksotis. Marcel pun pasti punya misi: memetik bunga edelweiss di puncak gunung, untuk nanti diberikan kepada Chrissy sebagai ungkapan cinta. Bukankah edelweiss adalah lambang cinta yang abadi? Oh, beruntung sekali Chrissy. <br />Mengingat nama Chrissy, hatiku berdesir. Tak ada gadis di SMU yang secantik dia. Chrissy gadis populer di sekolah, pemilik tubuh langsing, dengan body motion lincah. Rambutnya panjang berwarna hitam, hidung kecil indah, dan mata hitam yang bersinar cemerlang. Dia jelmaan gadis asli Indonesia yang rupawan. Jauh bila dibandingkan dengan diriku – Mulan si gadis biasa yang tidak memiliki kecantikan istimewa. Aku juga tidak sepintar Chrissy yang jago matematika. Pokoknya, Chrissy berbanding terbalik dengan diriku, dalam hampir segala hal. Tak heran bila semua cowok di SMU tergila-gila pada Chrissy, termasuk Marcel – dan inilah yang membuat dadaku terasa sesak. Untunglah cewek itu tidak ikut dalam rombongan naik gunung ini, jadi aku tak perlu menyaksikan adegan mesra yang akan membuat jantungku tertusuk-tusuk. <br />Tapi pemikiran bahwa Marcel akan memetik edelweiss untuk Chrissy, membuat hatiku resah.<br />“Hei, kenapa diam saja?” seseorang menegur. Aku berbalik – dan kaget.<br />Di depanku Marcel sudah berdiri dengan senyum cerah. Tangannya sibuk membidikkan kamera ke pemandangan di belakangku. <br />“Kamu tahu?” kata Marcel. “Kamu sudah tertinggal cukup jauh dari rombongan.”<br />Oh, ya ampun, benar. Rombongan sudah berjalan jauh di depan. Bagaimana kalau aku tertinggal dan akhirnya tersesat? Sungguh keterlaluan, tak ada seorangpun yang mengingatkanku. Ya. Tapi…kenapa Marcel ada di sini? Bukankah dia harusnya ada di antara rombongan pria di barisan terdepan?<br />“Aku kasihan aja sama kamu. Kayaknya sendirian banget,” ucap Marcel – membuat pipiku merona malu. Menyedihkan sekali, aku dianggap tak punya teman.<br />Di antara rombongan itu, memang hanya aku dan Marcel yang satu kelas di SMU, sedangkan peserta lain berasal dari kelas atau sekolah yang berbeda. Jadi, pasti karena itulah Marcel memperhatikanku. Mungkin semacam perasaan bertanggung jawab, solidaritas teman sekelas atau semacam itu.<br />Aku segera berlari menyusul rombongan. Diikuti Marcel. Diam-diam aku berfantasi, asyik juga kali ya kalau tersesat di hutan berduaan dengan Marcel. Ah, gila…Tentu saja itu fantasi yang konyol dan mustahil. <br />Setelah tiga jam berjalan, sampailah kami di sebuah sungai yang berarus deras. Pemimpin rombongan menyuruh semua peserta untuk bersiap-siap. Beberapa tim pelatih sibuk memasang tambang penyeberangan. Satu per satu peserta menyusuri tambang itu hingga berhasil menyeberang. Ketika giliranku, aku terpeleset di tengah sungai karena menginjak batu yang licin. Untunglah seseorang segera membantuku berdiri dan menyeberang. Marcel. <br />“Thanks,” kataku kepadanya dengan senyum pahit. Aku malu sekali telah menjadi beban baginya. Pasti cowok itu semakin tidak simpati padaku, dan akan menjadikanku bahan lelucon di kelas nanti. Cewek lemah nekat naik gunung, malah jadi beban saja, begitulah lelucon yang akan ditebarkan Marcel. Dan Chrissy yang mendengarkan itu akan tertawa terpingkal-pingkal. Akh….<br />Rombongan tiba di sebuah tebing yang tinggi. Satu per satu anggota rombongan harus memanjat tebing itu dengan bantuan tali pemanjat. Aku merasa ngeri melihat ketinggian yang curam. Bagaimana kalau terpeleset dan meninggal? Sendirian di dalam kubur, sementara Marcel dan Chrissy asyik pacaran? Pikiranku mulai ngawur. <br />Sebagian peserta perempuan sudah berhasil naik ke atas tebing. Giliran aku sekarang. Kuikatkan tali pinggangku pada tambang pemanjat. Lalu perlahan merangkak menyusuri tebing. Hatiku deg-degan, mataku terpejam, tak berani menengok ke bawah. Duh, andai nggak terpaksa, mana sudi aku ikut naik gunung seperti ini. Satu-satunya alasan ikut kegiatan ini adalah karena Marcel ikut. Tapi aku malah mempermalukan diri sendiri di depannya. Aku loyo dan mungkin takkan kuat memanjat. Dan…tap! Benar saja, salah satu kakiku tak bisa menapak di batuan tebing, diikuti kaki yang lain. Tubuhku menggelantung, dan aku menjerit-jerit karena takut jatuh. Untunglah tambang pengikat mampu menahanku. Tubuhku diulur kembali ke bawah. <br />“Kau kenapa?” tanya Marcel keheranan.<br />Rasa malu menjalari pipiku. Aku telah gagal untuk kedua kali di depan Marcel. Aku bukan gadis yang cocok untuknya. Aku ingin lari, bersembunyi dan tak pernah melihat Marcel lagi. <br />Pemimpin rombongan cepat-cepat menyuruhku kembali ke tebing. “Kau harus berhasil kali ini,” katanya. “Ingat waktu kita terbatas, sementara antrian masih banyak.” Terpaksa aku memanjat lagi dan untunglah kali ini berhasil. Aku bisa sampai ke atas, meski dengan bantuan semua orang. Semua bersorak seperti anak kecil ketika aku mencapai puncak tebing. Ihh…benar-benar memalukan. <br />Semakin mendekati puncak gunung, udara semakin dingin. Tapi karena lelah dan berkeringat, udara dingin itu tak begitu terasa. Menjelang duhur, semua orang beristirahat dulu dan foto-foto. Aku yang kelelahan, membuka bekal makan siang tanpa selera. Saat itulah Marcel menghampiriku. <br />“Kamu makan seperti orang kelaparan,” katanya. Dan untuk kesekian kalinya, ucapan Marcel membuatku malu. Sungguh, saat ini yang kuinginkan hanyalah berjauhan dengannya. Aku tak mau Marcel dekat-dekat seperti ini dan melihatku dalam sisi-sisi terburukku. <br />“Bisakah kau menyisakan mie goreng itu untukku?” tanya Marcel sambil mengamati kotak makan siangku. <br />Hah? Dia mau memakan bekal makan siangku? Apa nggak jijik?<br />“Nih,” dengan jengah kuletakkan kotak mie goring-ku yang tinggal separuh. “Habiskan saja semuanya.” Lalu aku berdiri. <br />“Hey, mau kemana?” tanyanya. “Temani aku. Aku nggak enak menghabiskan bekal orang lain tanpa ditemani si pemilik. Bisa-bisa nanti dikira mencuri.”<br />Setelah hampir 6 jam perjalanan, inilah pertama kalinya aku tertawa. Kuputuskan untuk duduk lagi, menonton cowok itu makan dengan lahap. Marcel mengajakku ngobrol, dan entah kenapa aku mulai bisa mengikis rasa malu yang sejak tadi memberondong. <br />“Kau tahu?” kata Marcel. “Sebentar lagi kita akan sampai di puncak gunung. Kita akan melihat kawah, dan itu sangat mengasyikkan. Kau belum pernah melihat kawah sebelumnya kan?”<br />“Ini pertama kalinya aku naik gunung. Makanya aku memalukan.”<br />Marcel tersenyum. “Everybody fails in the first time, Honey. Don’t worry.” <br />Mendengar kalimat yang menenangkan itu, aku merasa damai. Dia ternyata tidak cuma tampan dan populer di sekolah, tapi juga bijaksana. Marcel ternyata bukan tipe orang yang suka memperolok orang lain. Dia baik dan nggak jijikan. Hmm…Beruntung sekali Chrissy bila mendapatkan pernyataan cinta dari Marcel. Teringat Chrissy, hatiku kembali muram.<br />Rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian, kami sampai di tujuan terakhir, yakni puncak gunung. Sungguh eksotis melihat kawah yang mengeluarkan kabut asap. Dari sini semua begitu indah terlihat. Hamparan bumi di bawah sana berkilau dengan warna hijau kecokelatan. Perkampungan penduduk di tepi gunung menjadi bagian pemandangan yang eksotis di sore hari. Beberapa orang bertakbir, memuji kebesaran Illahi. Blitz-blitz kamera tak henti-hentinya beraksi. Semua orang sibuk berpose ria dengan latar belakang sunset yang indah menawan.<br />Marcel memetik beberapa kuntum bunga edelweiss. Aku memperhatikan dengan kelam. Bunga edelweiss itu tentu saja untuk Chrissy. <br />“Bunga edelweiss adalah lambang cinta abadi. Kalau kau menyukai seseorang, berikanlah padanya dan cinta kalian akan bersemi indah,” ujar Marcel. <br />Kerongkonganku tercekat. “Kau akan memberikannya kepada siapa?” Sedetik kemudian kusadari bahwa itu pertanyaan bodoh. <br />Dia tersenyum. “Aku akan memberikannya kepada ibuku. Lalu…”<br />“Lalu kepada siapa?”<br />Dia tersenyum lagi. “Tentu saja kepada seorang gadis manis yang kusayangi. Teman sekelas kita.”<br />Aku tersenyum pahit. Tentu saja Chrissy, siapa lagi? Di kelas kami, hanya ada dua cewek yang pantas untuk jadi pasangan Marcel. Yang satu Chrissy, satu lagi Maria. Keduanya sangat cantik dan populer. Tapi Maria sudah punya gandengan. Jadi, satu-satunya pilihan tinggal Chrissy. Apalagi aku pernah mendengar dari teman-teman bahwa Chrissy memang sedang jadi sasaran Marcel. Hanya saja Marcel belum ada kesempatan untuk menyatakan perasaannya kepada Chrissy. Setelah ada bunga edelweiss, tentu saja tak ada alasan lagi bagi Marcel untuk menunda niatnya. Lusa di sekolah, pasti dua insan itu akan jadian.<br />“Oya,” kata Marcel. “Aku takut bunga ini rusak kalau disimpan di tasku yang padat. Bisakah aku nitip di tasmu?”<br />“Eh, ng...Baiklah,” ujarku terpaksa. Ya Tuhan, Marcel menitipkan bunga yang akan diberikan kepada Chrissy, hatiku serasa tertusuk duri. Aku tak sanggup menatap bunga itu, langsung kumasukkan saja ke dalam tas. <br />Hari sudah mulai gelap. Di perjalanan pulang, aku tergelincir. Tasku jatuh ke dalam sungai. Aku berkutat mencari-carinya, berharap tas itu belum terbawa arus. Lima menit berlalu, namun aku belum juga menemukan tasku. Sementara rombongan sudah cukup jauh meninggalkanku. <br />Pada saat itu seseorang menghampiriku sambil menyalakan obor. “Mulan, ngapain kamu di situ? Ayo jalan, kamu sudah tertinggal jauh. Untung aku tadi sempat ingat kau, dan bisa menemukan kamu di sini. Coba kalau nggak? Kau pasti tersesat di hutan ini sendirian.” <br />Di balik remang senja, tatapan Marcel tajam menusuk. <br />“Jangan berbuat bodoh, kalau kau masih sayang sama nyawamu,” nada suaranya jelas menyimpan kemarahan. <br />“Sejak awal perjalanan, kau selalu membuat masalah.”<br />Kalimat-kalimat Marcel begitu tajam. Aku tak tahan, kali ini aku berteriak marah. “Ya, Marcel. Aku memang pembuat masalah. Makanya, sana pergi saja dengan rombongan. Biarkan aku di sini sendiri. Mati pun aku tak peduli!”<br />Marcel tampak kaget melihatku yang histeris dan mulai menangis. <br />“Memangnya apa yang sedang kaulakukan di sini?” nada suara cowok itu berubah lembut. <br />“Aku sedang mencari tasku. Tadi jatuh ke sungai.”<br />Ia segera membungkuk, bergerak mencari-cari tas di dalam sungai. Tak lama kemudian, sesuatu berhasil di ambil. “Ini kan tasmu?”<br />Aku segera memeluk tas basah itu. <br />“Sebenarnya kalau isinya tidak terlalu penting, kau tak perlu mencari-cari tas itu. Biarkan saja dia tenggelam. Apa sih artinya sebuah tas dibanding keselamatan jiwamu?” Marcel rupanya masih menyalahkanku. <br />Aku menyusut air mata. “Karena di dalam tas ini ada bunga edelweiss yang kau titipkan.” <br />Ia mematung. Diam sesaat. <br />“Ayo jalan. Kita sudah tertinggal jauh,” katanya.<br />Kami pun berjalan dalam diam. Marcel berada di belakang, seolah melindungiku bila terjadi sesuatu. Sementara air mataku terus menerus jatuh. Aku telah mempertaruhkan keselamatanku demi edelweiss yang bukan untukku.<br />Lusanya, di sekolah, aku sudah tak bersemangat. Tinggal menunggu waktu saja Marcel akan mengambil edelweiss ini, untuk diserahkan kepada Chrissy. Bunga edelweiss itu masih ada di dalam tasku. <br />Namun setelah tiga hari, Marcel tak juga mengambil bunga edelweiss itu. Kami saling berpapasan di kelas, tapi sepertinya ia sudah lupa dengan bunga itu. Karena tak tahan menunggu – lebih baik terjadi meski itu menyakitkan – akhirnya kucegat dia saat mau pulang sekolah. <br />“Marcel, bunga edelweiss-mu masih ada padaku. Kapan kau akan mengambilnya?”<br />Ia tampak bingung. “Umm…simpan saja di tasmu.”<br />Aku mulai marah. “Apa? Simpan di tasku? Enak saja. Berat tahu, tiap hari bawa bunga beginian. Apa lebih baik kubuang saja?”<br />“Eh jangan,” kata Marcel. “Jangan dibuang. Simpan saja di tasmu. Kalau kau udah males, simpan saja di vas bunga di kamarmu.”<br />“Apa? Jangan bergurau. Bukannya kau akan memberikannya kepada Chrissy?”<br />Marcel tampak bingung. “Chrissy? Untuk apa diberikan kepada Chrissy? Memangnya aku mau nyatain cinta sama Chrissy? Nggak lah. Kamu salah sangka. Itu gosip. Chrissy memang suka padaku, tapi aku….aku lebih suka memberikan edelweiss itu padamu.”<br />Kedua mataku terbelalak. Apa aku salah dengar? <br />“Ya udah, biar kubuang saja.” Kukeluarkan edelweiss itu dari tas, hendak kubuang ke tempat sampah. <br />Marcel secepat kilat merampas bunga itu dari tanganku. Lalu menatap wajahku lekat-lekat. “Mulan,” bisiknya. “Awalnya aku nggak yakin dengan perasaan ini. Tapi setelah kemarin kita naik gunung bareng, tiba-tiba aku menjadi yakin akan perasaan ini. Bahwa aku menyayangimu. Untuk itu, terimalah edelweiss ini, dan biarkan cinta bersemi indah di hati kita.”<br />Aku merasakan tubuhku terpaku. Jadi Marcel menyukainya? Itukah kenapa cowok itu selalu ada di dekatku saat di perjalanan hiking itu? Itukah kenapa ia marah-marah saat aku tersesat di sungai, karena mencemaskan keselamatanku?<br />Tiba-tiba aku menangis terisak. Ini sebuah kejutan yang indah. Ternyata Marcel yang tampan, Marcel yang populer di sekolah, bisa menyukai gadis yang serampangan dan memalukan seperti diriku. Tak sia-sia Mulan mempertaruhkan segalanya dalam perjalanan naik gunung itu. Tak sia-sia Mulan berjuang untuk menyelamatkan edelweiss itu. Mendadak aku bersyukur menjadi seorang Mulan, dan bukan seorang gadis sempurna seperti Chrissy. <br />Ahh…Andai aku punya sayap, aku ingin terbang kembali ke puncak gunung, dan memetik sejuta edelweiss. Edelweiss untuk Marcel. <br /><br /><span style="font-style:italic;">Copyright@2008 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS</span><br /><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-36312789659297948782010-10-23T10:05:00.000-07:002010-10-23T19:58:28.294-07:00Reyn dan RiiOleh: <span style="font-weight:bold;">Sekar Ayu Melati, 15 tahun</span><br />(BWS Bekasi)<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOgqpg8AeI/AAAAAAAAAUg/bcNUAQgUzYk/s1600/zz016042.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 258px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOgqpg8AeI/AAAAAAAAAUg/bcNUAQgUzYk/s320/zz016042.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531441421900055010" /></a><br /><br /><br /><span style="font-style:italic;">“Benci dan cinta kadang tipis bedanya.<br />Hanya hatimu yang bisa melihat perbedaan itu.” </span><br /><br /><br /> Reyn:<br /><br /> <span style="font-style:italic;">Cause the hardest part of this is leaving you</span>…<br />Lirik lagu Cancer dari band rock favorit Reyn itu mengalun di tengah bunyi rintik hujan. Lagu itu sediih banget, dan tiap kali Reyn denger lagu itu, pasti Reyn berubah jadi cowok melankolis yang dibenci Flier, sohibnya. Menurut Reyn, lagu itu emang menyedihkan, kok. Ceritanya tentang seseorang yang terkena kanker dan merasa malu pada dirinya karena sekarang dia jelek… (rambutnya rontok dan mukanya pucat). Jadi menurutnya wajar banget (malah seharusnya) kalau semua orang sedih denger lagu itu.<br />Lagu itu mengalun di terminal bus yang sepi karena hujan. Reyn memandang HPnya. HPnya nggak aktif. Baterenya abis. Padahal setahunya, dari seluruh penjuru sekolah, yang punya lagu Cancer di HPnya cuma Reyn. Atau ada anak yang dia nggak kenal dan terlewatkan? Tapi masa sih, ketua basket nggak kenal nama anak–anak satu sekolah sendiri. Sekolahnya kan sekolah khusus cowok. Muridnya semua cowok. Jadi mustahil ia tidak tahu…<br />Siapa dari dua orang yang ada di halte yang menyetel lagu favoritnya itu? Ada dua cowok yang sekarang sedang nunggu hujan bersama Reyn di halte itu. Reyn ingin tahu. Tapi jelas dong, Reyn tak mungkin nanya kepada mereka, “Siapa yang nyetel Cancer?” <br />Kedua cowok itu teman satu sekolahan Reyn. Yang satu Flier, sahabatnya, yang satu Fan, teman dekatnya. Kayaknya nggak mungkin dua manusia ini yang nyetel Cancer. Dua–duanya kalo nggak salah, lebih suka musik–musik reggae atau hiphop. Get real, Reyn. Terus siapa, dong? <br />Lagu itu sudah habis, lalu diputar ulang. Habis, diputar ulang. Berulang – ulang hingga Flier dan Fan pergi, dan kini tinggal Reyn sendiri. Reyn sebenarnya udah mau pulang, tapii… kayaknya dia lebih berminat sama penyetel lagu itu daripada sama angkot yang sejak tadi ia tunggu-tunggu di halte itu. <br />Seorang cewek duduk di ujung halte, sementara Reyn berdiri di ujung yang lainnya. Oh, jadi dia. Heran juga ia tadi tak menyadari kehadirannya.<br />Cewek itu berdiam diri dan duduk manis, memutar lagu yang sama berulang – ulang kali. Berulang kali, hingga sebenarnya ia merasa jenuh. Ia terus memutarnya dan memandang kosong rintik–rintik hujan yang membasahi jalanan, sama seperti airmata membasahi pipinya.<br />Reyn menoleh ke arah cewek itu. Sebenarnya, Reyn bukan cowok yang suka memperhatikan keberadaan orang lain, karena dia sendirilah yang biasanya menjadi perhatian orang di sekelilingnya. <br />Tapi kali ini Reyn memperhatikan cewek itu. Ia bahkan bangkit dari duduk dan menghampiri gadis itu. Gadis yang memakai seragam abu-abu seperti dirinya.<br />“Maaf, apa kamu yang putar lagu Cancer?” tanyanya. Bersekolah di sekolah khusus cowok membuat Reyn menganggap cewek sebagai ‘sesuatu’ yang begitu rapuh dan bisa hancur hanya dengan kata – kata. Jadi ia agak bingung mau ngomong gimana tanpa menjadi kasar atau terkesan nyablak. Ia juga agak kikuk karena biasa berhadapan sama temen–temennya yang ‘gila–gila’, dan tidak biasa berhadapan dengan cewek yang manis seperti itu. <br />Cewek itu menoleh pada Reyn. <br /><br />Rii:<br /><br />Rii nggak percaya kalau Tuhan itu tega. Rii nggak bisa, belom bisa terima kalau… kalau… Drey telah pergi.<br />Tapi itulah kenyataannya. <br />Drey adalah cinta pertama Rii, dan dia kini telah pergi. Drey yang senang tertawa, Drey yang humoris, Drey yang perhatian, Drey yang manis, Drey yang tegas, Drey yang bijak… Drey yang disukai Rii walaupun dia suka gombal!! <br />Rii baru pulang dari rumah sakit tempat Drey menutup mata untuk selamanya. Ia nyaris tidak bisa melihat pemandangan di sekitarnya karena ada bergalon–galon air yang mengalir keluar dari kedua bola matanya. Bola mata kecoklatan itu menangis. Rii merasa pedih, sakit, dan terluka. Ia tidak percaya betapa teganya Tuhan padanya. Pada Drey yang dicintainya! <br />Lagu Cancer pun mengalir dari HP-nya. Rii sendiri benci lagu itu, karena selalu mengingatkannya pada kondisi Drey saat dirawat di rumah sakit! Tapi Rii tidak tahu harus bagaimana lagi agar ia tidak menangis, agar masih bisa berkomunikasi dengan Drey meski hanya dari hati. <br />Semoga jika kuputarkan lagu ini berkali–kali, Tuhan dan malaikat mendengar dan menyampaikan padamu di surga, Drey…<br />Seorang cowok menghampiri Rii. Mau apa dia? Tidak bisakah tinggalkan Rii sendiri? “Maaf, apa kamu yang putar lagu Cancer?” cowok itu bertanya. Rii menoleh dan menatapnya, kemudian mengangguk. Rii tidak mau membuang–buang tenaga untuk menjawab panjang–panjang. Lagipula, ngapain iseng meladeni cowok yang pertanyaannya norak. <br />Rii kembali pada hatinya yang masih sakit. Masih serasa ditarik–tarik akibat shock menerima kematian Drey. <br />Tapi cowok itu tidak mengerti. Ia tidak beranjak dari Rii. <br /> Kalau cuma pengen tahu siapa yang mutar lagu, pergilah. Aku nggak bisa ketemu cowok yang nggak kukenal, cuma sejam setelah Drey… Drey pergi.<br />(Rii tak mau menyebut Drey ‘meninggal’. Karena baginya kata itu hanya akan menambah rasa sakitnya.) <br />Permohonan Rii nggak terkabul. Cowok itu bukannya pergi, malah duduk di samping Rii. Rii hampir saja mendelik kesal padanya. Apa cowok itu nggak tau kalo Rii sedang menangis dan ingin ditinggal sendiri?<br />“Aku Reyn,” cowok itu mengulurkan tangannya. Mimik wajahnya yang ceria nggak sesuai banget dengan sedih yang sedang diderita Rii. Reyn tersenyum, dan Rii tidak mau membalas senyumnya. <br /><br />Di Halte Itu:<br /><br />Gila nih cewek. Menguji kesabaran banget, deh… Kapan sih, gue pernah bikin dosa sama cewek? Batin Reyn mengomel.<br />“Emm… oke, nama kamu Rona?” ia masih belum menyerah.<br />Cewek itu mengerenyit sedikit. <br />Hah, berarti dia denger, walaupun belagak cuek. Ah, udahlah. Kalo emang dia nggak mau ngomongin nama, berarti…<br />“Oh iya, kamu suka lagu ini ya? Ih gila, selera kita sama dong!!” <br />Cewek itu sedikit menggeser badan menjauh.<br />Ups, wrong move. Kalo gitu gue kedengeran kayak minat PDKT sama dia dan seolah – olah gue playboy sejati. <br />Eits, apaan tuh di tasnya? Rii. Jadi namanya Rii? Itu namanya, kan ya? Harusnya sih, bener. <br />“Namamu Rii, ya?” tanya Reyn. <br />Rii melongo. Tau darimana dia? Nah, mulai ada reaksi. <br />“Nice name, you know,” kerling Reyn pada Rii. “Kamu kayak cewek – cewek Jepun*.” <br />“Kamu tahu dari mana namaku?” akhirnya Rii nggak kuat nggak nanya. Rii sebenarnya benci sekali kerlingan cowok itu. Mengingatkannya pada kerlingan Drey. <br />“Lagu itu yang memberitahuku. Lagu itu berkata, nama cewek manis ini Rii. Namanya Rii! Angin dan hujan juga membisikkan begitu.” <br />Bah, gombal! Persis seperti Drey. <br />“Kamu nggak dengar? Lagu itu membisikkan namamu. Dia tahu namamu! Pasti karena kamu begitu menyukainya,” ujar Reyn.<br />Jangan bersikap seperti Drey di hadapan Rii, cowok aneh!<br />“Kamu bohong,” ucap Rii kesal. Tapi Reyn menggelengkan kepala seperti anak kecil yang berusaha untuk mengatakan ‘tidak’. <br />“Nggak, aku nggak bohong kok. Karena aku dengar jelas suara lembut dari lagu itu, bisikan angin di telingaku, dan ucapan riang rintik – rintik hujan menyanyikan namamu.” <br />Rii merona. Cowok ini sama pintar bicaranya dengan Drey. <br />As you wish it. “Oke, aku Rii,” gumamnya. <br />Cowok itu tergelak karena pancingannya berhasil. <br />Drey, oh, Drey, jangan anggap Rii cewek gampangan karena Rii ‘terpesona’ pada cowok ini, ya… Soalnya, dia begitu mirip Drey…<br />“Bagus. Jadi Rii suka banget lagu ini ya?” tanya Reyn.<br />Rii menggeleng. Kesedihannya agak berkurang sedikit karena bertemu cowok playful yang suka bicara manis ini. <br />“Ini lagu kesukaan cowokku…” lirih Rii. <br />Reyn tampak antusias. “Bagus banget! Aku pengen ketemu cowokmu deh, Rii, karena kayaknya cowokmu dan aku satu selera!” ucapnya berapi–api, membuat Rii heran. Soalnya mana ada cowok yang suka lagu ini… Cuma cowok mellow yang suka lagu sedih kayak begini…Apakah Reyn orangnya mellow?<br />“Nggak bisa,” tegas Rii. Sedetik kemudian, matanya berkaca-kaca. Ia teringat Drey. Kenapa cowok di sampingnya menyinggung soal Drey? Hah, dia memang nggak sensi. <br />Reyn bingung. Kenapa Rii tampak kesal dan sedih saat disinggung tentang cowoknya? Apa sedang ada masalah di antar mereka? <br />Sedetik kemudian Reyn mendapat kawaban. “Cowokku, Drey, udah men… men… Drey udah pergi untuk selamanya…” <br /> <br />Seminggu berlalu sejak Reyn dan Rii bertemu di halte. Buat Reyn, itu adalah pukulan yang sangat, sangat parah akibatnya. Gimana enggak? Reyn amat shock karena mendengar cowok Rii (entah siapa namanya, kalau nggak salah Drew atau sesuatu yang seperti itu) meninggal. Kalau tahu sudah meninggal, tak mungkin kan Reyn bertanya tentang cowoknya Rii hanya untuk melihat Rii bersedih?<br />Reyn dan Rii tidak pernah bertemu lagi setelahnya. Mungkin karena memang letak sekolah Rii tidak jauh dari sekolahnya. Atau, mungkin cewek itu sengaja menghindarinya? Ah, benar memang, cewek adalah ‘sesuatu’ yang vulnerable – mudah patah hanya oleh kata-kata.<br />Reyn berharap bisa bertemu Rii lagi. Karena saat di halte, Rii keburu pergi, dan ia tak sempat meminta maaf kepada gadis itu. Tapi yah, sepertinya mereka takkan bertemu lagi. Lagipula, untuk apa? Mereka stranger bagi satu sama lain, dan tak ada kaitannya sama sekali.<br />“Reyn-botak, pulang nanti ke Candy Café ya,” teriak cowok-cowok dari kelas sebelah. <br />“Kenapa, mau kencan sama éke, ya ‘Jeng?” balas cowok yang duduk di sebelah Reyn, menjawabkan untuk Reyn. Gayanya bergenit–genit ala tante–tante. Reyn cuma ketawa.<br />“Iih… si Tante bisa aja, deeeh…” koor anak–anak cowok menggoda temannya Reyn yang ‘setengah mateng’ itu. <br />“Mau ya, Reyn?” ajak teman-temannya lagi, koor dari kelas sebelah.<br />Reyn nyengir. Alaa… paling juga mau ketemu sama cewek cewek sekolah seberang. Apa lagi yang bisa dilakukan di Candy Café selain itu? <br />Lagipula, kecentilan banget sih tuh cewek–cewek! Mau-maunya ketemuan segala di café. Nggak pernah ketemu cowok–cowok bejat ala sekolah ini ya??<br />Reyn dipaksa teman-temannya. Akhirnya pulang sekolah, ia terjebak di Candy Café yang penuh konfeti warna pink yang (SUMPAH) menurutnya norak ini. Norak banget! Nggak bisa kumpul di café yang lebih norak sekalian? Pikir Reyn kesal. Ia jengah karena nggak biasa ngumpul di tempat beginian. <br />Flier, sahabat Reyn, menyentil pundak Reyn yang tampak nggak nyaman berada di café itu. “Lo kenapa ngelamun? Hey, just cheer up. Ladies here!” ujar Flier. Cowok itu memang paling getol kalo diajak ke acara blind date begini. <br />“Ladies, ladies… lo kayak sok hormat sama cewek aja! Biasa juga lo panggil mereka chicks kan, bukan ladies?” kesal Reyn. “Atau, bitches?”<br />“Bisa diem nggak sih lo?? Udah sebulan kita nggak ketemu cewek! Nikmatin aja!” ujar Flier, nggak mau kesenangannya diusik Reyn.<br />“Sebulan? Gue sih nggak pengen ikut beginian walau setaun belom kencan. Cewek tuh nyarinya pake hati, Man… pake hati! Bukan pake kencan buta sekali jadi kayak gini!” sengit Reyn. <br />“Hari gini pake hati? Nonsense banget, lo!”<br />“Justru karena hari gini jarang yang pake hati, makanya cewek nyarinya yang seperti itu!!”<br />“Shh… shut up!” ujar Flier. “Ladies, welcome to our first meeting,” katanya sambil merapikan bajunya ketika melihat para cewek sudah datang ke café dengan dandanan warna-warni. <br />Reyn menggeleng pasrah. Percuma aja ngomong ama Flier kalo urusan cewek. Dia mah gila cewek. Doyan banget nge-date kaya gini, tak peduli kalo ternyata ngembatin cewek orang. <br />“Man… gue setuju ama lo. Kalo nggak gara–gara Flier, gue nggak bakal mau duduk di sini,” ujar Fan. “Menurutku ide kencan ini gila.”<br />Fan adalah teman sekelas Reyn dan Flier. Cowok ini nggak sepopuler mereka berdua di sekolah, tapi Fan orangnya nggak gila cewek kayak Flier. Hanya saja, dia paparazi paling akut di sekolah, yang untungnya nggak mau ngeliput acara blind date kali ini. Yeah, untung ada Fan. Kalo nggak, bisa–bisa cuma gue yang gagu di tempat ini, pikir Reyn.<br />Reyn benar–benar kesal dengan acara konyol mereka, yang membuatnya merasa buang-buang waktu aja. Ia terus berpikiran begitu sampai ia melihat rombongan cewek masuk ke kafe, dan sesosok cewek yang menyita pikirannya sejak kejadian seminggu yang lalu, ada di antara rombongan itu. <br />Rii! <br /> <br />Rii tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Reyn ada di sana! Cowok yang minggu lalu ketemu di halte. Cowok yang benar–benar mengingatkannya pada Drey. <br />Apa yang harus kulakukan di sini? Bisik Rii, tak enak hati. Di hadapan Reyn?<br />Ia terjebak dalam kondisi memalukan. Berani kencan buta dan masuk ke dalam rombongan cewek-cewek yang terkesan ‘nggak laku banget’…Dan kelihatannya Reyn nggak suka sama cewek–cewek model temen–temennya Rii. <br />Rii sendiri nggak suka ikut kencan buta ini. Tapi mau bagaimana lagi? Teman-temannya memaksanya ikut. Pada saat Drey masih ada, Drey bisa dijadikan alasan. Tapi sekarang Drey udah nggak ada… Alasan apalagi yang bisa dia kasih ke teman-temannya yang doyan maksa? Rii bukan orang yang berani menolak hanya dengan berbekal alasan ‘nggak mau’…<br />Reyn!! Rii melihat tatapan terkejut pada Reyn dan melihat perubahan pada tatapan itu. Terasa sekali… Reyn menyipitkan matanya saat melihat ke wajah Rii. Sepertinya, sepertinya dia menganggap Rii cewek gampangan, sama seperti semua teman-teman ceweknya yang ikut datang ke café ini. <br />Sekarang Rii sudah sampai di sini. Mau gimana lagi?<br />Setelah akhirnya semuanya duduk, baik rombongan Reyn maupun Rii, salah satu teman Reyn yang hottie banget membuka ‘pertemuan’. Reyn hanya memandangi para peserta blind date yang menurutnya stupid-banget-deeh dengan tatapan menghina dan muak. Setelah pertemuan dibuka, Reyn tiba-tiba berkata tajam dan pedas, “Kalian cewek–cewek apa menganggap semua cowok baik–baik? Belom ketemu cowok yang akhlaknya ‘rusak’ ya? Kok mau–maunya sih ikut acara ketemuan gini…” <br />Semua cewek pada mendelik marah mendengar kalimat yang dilontarin Reyn. Tapi Rii merasa ucapan pedas Reyn sebenarnya hanya tertuju pada dirinya. <br />Ingin Rii menjerit. Tahukah Reyn, Rii sebenarnya nggak mau ikut… ini juga aku dipaksa!! Lagian Reyn ngomong gitu, emangnya kamu tidak termasuk peserta blind date ini? Ingat, kamu juga ikut pertemuan ini, Reyn!<br />“Lo ngomong gitu, emangnya lo bukan cowok? Lo juga mau–maunya ikut pertemuan ini kan?” sanggah Cesh, teman Rii yang mempelopori acara dengan nada yang menurut Rii nggak perlu nyolot. <br />“Aah… sudah deh, Cesh,” ujar Rii menenangkan temannya. Sudah kepalang basah … Lagipula, WHO’S REYN, anyway? Ngapain peduliin cowok sereseh itu.<br />“Kalo cewek ikut beginian, gue kasitau ya,” kata Reyn dengan nada sok tahu. “Kalo seandainya terjadi ‘hal–hal yang nggak diinginkan’ yang dilakuin para cowok, maka yang jadi korban adalah KALIAN, para cewek!”<br />“Reyn!” seru Flier kepada Reyn dengan marah. “Jangan rusak acara ini, dong.” <br />“Iya, dasar cowok aneh!” desis Cesh. <br />Actually, it’s true, Cesh… That’s why I never want to do this, gumam Rii dalam hati. <br />Reyn bangkit. “Gue mau ke toilet, ah,” ucapnya datar. <br />Tapi sebelum dia pergi, dia menatap Rii dengan pandangan yang jelas– jelas berkata ‘ya-ampun-ternyata-kamu-sama-anehnya-sama-cewek-lain’.<br />“Reyn!” bentak Flier. <br />“Kenapa, Flier?” ujar Reyn sinis. <br />Perang saudara tampaknya sebentar lagi pecah. <br />Ya ampun, Reyn… memangnya kamu kenapa sih? Rii nggak ngerti deh, kenapa kamu jadi aneh begitu…<br />“Duduk aja deh!” sembur Flier. Membuat Reyn urung ke toilet. <br /> <br />Cewek bodoh! Gue baru aja mau minta maaf karena nggak peka. Waktu itu mana sempet gue minta maaf? Kamu udah keburu lari… <br />Cewek aneh, ternyata seleranya sama aja kayak si Flier. Doyan nyari pacar gampangan. Kalo cowok sih nggak pa–pa begitu. Tapi kalo cewek? Apa cewek jaman sekarang pikirannya udah sedangkal itu?<br />“Reyn?” Rii memanggil namanya ketika ada kesempatan berdua. <br />What else now? Huh? Apaan sih ni cewek. Gue salah banget deh, nilai dia…Reyn menatap tak suka.<br />“Reyn kenapa sih?” tanya Rii.<br />Reyn bicara. “Lo tau, Rii… tadinya gue mau minta maaf karena waktu di halte gue udah bersikap nggak peka sama lo. Apalagi lo langsung kabur setelah bilang kalo cowok lo udah nggak ada lagi. Tapi begitu gue ngeliat lo disini? Gue rasa itu nggak perlu lagi.”<br />“…..”<br />“Gue nggak perlu menghibur lo lagi, Rii. Nggak perlu minta maaf lagi, karena toh, ternyata lo menganggap cowok itu cuma sebagai mainan…Lo nggak menghargai cowok. Dengan datang ke café ini, lo sama aja dengan cewek–cewek rendahan lainnya. Gue ilfeel banget sekarang…”<br />“…..”<br />“Sorry banget lho, Rii… Tapi gue baru aja membuat kesalahan besar. Ternyata cewek dimana–mana sama. Tadinya gue pikir lo itu tipe cewek bener yang sentimentil, taunya…”<br />Sekarang Rii tak tahan lagi. “Reyn, CUKUP!” <br />Teriakan Rii menghentikan ocehan Reyn yang membuat telinga dan hati Rii sakit. Rii sakiit… sekali mendengar tuduhan Reyn. Apalagi bagian kata ‘rendahan’nya itu. Dan bagian ‘nggak menghargai cowok’. Reyn jelas-jelas menganggapnya nggak menghargai Drey. Dan yang paling membuatnya sakit adalah karena Reyn mengatakan semua itu dengan nada formal, seolah bicara dengan seorang kekasih yang telah mengkhianati!! <br />“Kita baru kenal, Reyn. Kenapa kamu begitu peduli pada apa yang Rii lakukan dan tidak lakukan?” kata Rii. “Aku ikut acara ini karena dipaksa teman-teman, Reyn,”<br />“Klise banget sih, lo!!” caci Reyn. “Membebankan kesalahan pada orang lain.”<br />Rii benci Reyn. Dia stranger – orang asing bagi Rii. Tapi kenapa sok menilai? Sok nge-judge? Punya hak apa dia menyembur Rii dengan kalimat-kalimat pedas itu?<br />“Kamu harus tahu, Reyn. Kalau kamu anggap Rii nggak menghargai Drey, itu salah…”<br />“Trus yang benar apa? Kalo gue nggak salah itung, ini baru seminggu setelah kematian cowok lo itu. Nggak pantes, tau, merayakan hari kematian pacar dengan cara kayak gini. Harusnya lo masih dalam suasana berkabung.” <br />Rii menahan tangisnya yang sudah sampai ke dada. <br />Ia tidak tahu, Reyn juga tengah membenci diri sendiri, kenapa sih gue ngomong hal itu di depan Rii? Jelas-jelas Rii bukan siapa-siapanya. Rii orang asing. Kenapa ia begitu nyolot? <br />Rii memalingkan muka dari Reyn. Ini nggak benar, Reyn. Kenapa harus membahas Drey? Dan kenapa….Reyn mengingatkannya pada Drey? Reyn terlihat begitu mirip Drey sewaktu berkata ‘nggak pantes’? Rii merasa Drey-lah yang sedang bicara di depannya… Membuat semua kenangan terukir kembali. Membuat semuanya terasa lebih pedih daripada ketika di halte…<br />Fan mengamati dari jauh. Sial. Harusnya Flier nggak ngajak Reyn ke tempat ini. Karena Reyn nggak mungkin bisa adaptasi. Reyn bakal merusak situasi. Lihat aja, bukannya nge-date, Reyn malah bertengkar dengan salah satu cewek di pojok café.<br />“Rii minta maaf, Reyn… aku tahu ini nggak pantes untuk Drey. Aku tahu aku salah,” ujar Rii, lirih. <br />Sebenarnya, untuk siapa aku minta maaf? <br />Reyn merasa dadanya sakit. Kenapa bisa merasa begini? Nggak seharusnya gue merasa sakit… Dia itu siapa? Dia bukan siapa–siapa…Ketemu juga baru dua kali. Tapi kenapa gue merasa harus mengingatkannya akan kematian Drey? Sial. Gue kenapa sih? <br />Rii tak enak hati. Kenapa harus minta maaf pada Reyn? Sebenarnya, apa arti Reyn untukku? Apa hanya karena Reyn suka lagu Cancer, sama seperti Drey, lantas ia menjadi berarti? Kami kan baru ketemu dua kali… Harusnya nggak ada apa–apa…Harusnya biasa saja.<br />Keduanya terdiam. <br />“Maaf… harusnya gue yang minta maaf, bukan lo,” ujar Reyn akhirnya, sadar bahwa emosinya itu sebenernya nggak perlu. Kemudian dia bangkit dari pojok café, dan pergi ke luar tanpa sepatah kata. <br /><br />Setelah kematian Drey, kejadian di café itu adalah hal terburuk yang terjadi dalam hidup Rii.<br />Syukurlah Rii tidak pernah lagi bertemu dengan Reyn sejak itu, karena Rii benar–benar tidak tahu apa yang bisa ia katakan pada cowok itu. Rii sangat bingung, kenapa dia tidak lagi merasa kehilangan Drey setelah dia bertemu Reyn? Rii benar–benar tidak suka keadaan ini, dimana dia merasakan ada perbedaan dalam ‘hubungan-singkat’nya dengan Reyn, tapi dia tidak bisa menjelaskan apa perbedaan itu.<br />Rii memikirkan Reyn. Memikirkan kata-kata pedasnya. Memikirkan sosoknya. <br />Sebenarnya, ada tidak sih, orang yang begitu menyita pikiran walau baru satu dua minggu bertemu? Sebenarnya, kenapa sih Reyn begitu mengisi kekosongan dalam pikiran Rii? Apa karena dia begitu mirip dengan Drey? Rasanya tidak begitu… Kenapa Reyn terasa begitu familiar?<br />Tanpa terasa, langkah Rii membawanya kembali ke halte tempatnya menunggu hujan berhenti dua minggu lalu, dimana untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Reyn. <br />Di halte itu, Rii kembali bertemu Reyn. Pertemuan ketiga kalinya.<br />“Reyn?” bisik Rii, nyaris tidak terdengar. Tapi Reyn bisa merasakan kehadirannya. Reyn tahu dia ada di sana , bahkan jika Rii tidak sadar kemana kakinya membawanya. Reyn menoleh dan memandangi Rii. <br />Ya Tuhan, mirip sekali… Cara Reyn memandangi Rii, mirip sekali dengan cara Drey memandangi Rii bila Rii melakukan suatu kesalahan. Rasanya pisau dan jarum langsung menusuk hati Rii. Rii benci tatapan itu.<br />Tapi bagaikan ilusi, pandangan itu segera hilang dan digantikan oleh pandangan ‘tidak kenal’, yang bahkan membuat Rii semakin merana. <br />Rii tidak boleh membiarkan ini terus berlanjut. “Reyn, tatap Rii!” <br />“Maaf?” ujar Reyn, lagi–lagi dengan nada formal yang memuakkan. <br />“Tatap aku, Reyn!” seru Rii marah. <br />“….”<br />“Aku benci sekali pada Reyn! Tatapan Reyn, cara Reyn berbicara, semuanya aku benci!! Aku benci! Benci sekali!” Rii kehilangan kendali. <br />“….”<br />“Aku tahu sekali kalau Reyn bukan Drey, tapi semuanya! Tuhanku, semuanya dari Reyn sama dengan Drey! Kenapa? Kenapa Reyn harus menghampiri Rii di hari hujan itu? Kenapa Reyn harus menghampiri di saat Rii baru saja kehilangan Drey??”<br />“….”<br />“Dan kenapa Reyn harus begitu menyita pikiran Rii? Apakah karena Reyn begitu mirip dengan Drey? Atau karena hal lain? Dan kenapa Reyn harus marah karena Rii ikut ‘kencan buta’ dimana Reyn juga ikut? Kenapa kamu harus peduli, Reyn? Memangnya Rii itu siapa?”<br />“…..”<br />“Bertemu lagi saja tidak pernah, jadi kenapa Reyn harus marah? Kenapa Reyn harus begitu familiar untuk Rii? Kenapa Rii merasa dekat dengan Reyn?? Jawab, Reyn!!”<br />Reyn memandangi Rii. Tidak bersuara. Pertanyaan–pertanyaan yang diajukan oleh gadis itu sebegitu jujur. Kalau Reyn mau sama jujur, pertanyaan-pertanyaan itu juga miliknya. Tolong diamlah, Rii. Kamu nggak akan tahu betapa aku ingin bertanya pada Tuhan juga… Kenapa sih, kita berdua bisa begitu terikat akan sesuatu? Memangnya ada apa dalam pertemuan singkat kita?<br />Betapa menyebalkan, ketika kita tahu ada yang salah, tapi kita tidak bisa menjelaskan apa itu. <br />“Reyn, jawab…” teriakan gadis itu telah berubah menjadi rintihan lirih, dan itu membuat hati Reyn amat miris. Tuhan, tolong hentikan dia…<br />“Andaikan kita sama-sama tahu jawabannya, Rii…,” gumam Reyn dalam hati. <br /> <br />Hari–hari Reyn di sekolah tidak begitu baik. Flier masih marah padanya karena masalah blind date seminggu yang lalu. Fan juga masih bingung soal cewek yang bertengkar dengan Reyn di pojok cafe. <br />“Reyn, seminggu lalu lo ada apa sih, sama cewek itu?” tanya Fan.<br />“Sori?”<br />“Rii. Cewek dari SMU di seberang sekolah kita itu. Ada apa dengan kalian di café waktu itu?”<br />“Jadi lo kenal ama dia?” heran Reyn. Tiba-tiba jantungnya berdebar. <br />“Ya iyalah. Dia kan – eh – tetangga sekolah kita, masak gak kenal?” kata Fan. “So, what happened?”<br />“I’ll tell you but then I’ll have to kill you, Man,” ujar Reyn, menirukan kalimat di film favorit adiknya, ‘A Walk To Remember’, yang dia hapal mati karena adiknya bisa nonton berkali-kali sebelum ketiduran. <br />Reyn memutuskan untuk mengalihkan topik pembicaraan. Tentang Rii, nggak boleh diketahui sama Fan. Malu kan kalau ketahuan orang lain, sebetulnya Reyn adalah makhluk mellow? Makhluk yang ‘terpesona’ pada cewek gara-gara lagu Cancer. Reyn kan ketua tim basket sekolah. Apapun alasannya, pamor Reyn di sekolah nggak boleh sampe turun gara-gara masalah ini menyebar. <br />Tapi Reyn juga tahu, walau kali ini dia berhasil mengalihkan pembicaraan, Fan nggak akan berhenti penasaran. Dia sahabat Reyn yang selalu ingin tahu. Only this time, Fan… I’m not gonna let you know. Sorry.<br />Cuaca hari itu memang menyebalkan untuk Reyn yang moodnya sedang di ambang batas. Fan, seperti dugaannya, tidak berhenti penasaran. Tapi dengan segala trik yang dipunyainya, Reyn selalu berhasil membuat pikirannya teralih. Dia bener–bener nggak habis pikir. Masih ada ya, orang yang keukeuh banget pengen tahu urusan orang. Dalam hal ini, jujur saja, Reyn memang tidak pernah bisa cocok dengan Fan. Urusan pribadi Reyn biasa dicari oleh majalah sekolah, dan kehidupan Fan sebagai anggota klub majalah, adalah mencari urusan pribadi orang lain. Fan adalah papparazi yang setiap saat mengincar Reyn si cowok populer. <br />Main basket nggak bisa mengalihkan pikiran Reyn dari bayangan Rii. Main HP nggak mungkin membuatnya melupakan Rii. Yang ada justru Rii malah tambah nempel di otaknya, ada lagu Cancer di HP itu, gitu!!<br />Tapi mungkin Reyn memang tidak ingin melupakan Rii. Mungkin Reyn justru ingin bertemu dengan Rii dan menyelesaikan masalah ini, menyelesaikan bagian Rii di hidupnya, segera. <br />Harapannya itu ternyata terkabul, dalam waktu singkat. <br /><br />Rii tidak menyangka kalau sepupunya akan menjemput ke sekolahnya siang itu. <br />“Kamu harus ikut gue,” ucapnya. <br />Rii yang terbiasa dengan kelakuan diktator sepupunya itu terpaksa mengikut dengan hati bertanya-tanya. Apa aku akan diculik? <br />Rii sejak dulu tak pernah akur dengannya. Karena sepupunya ini dari dulu tak memberinya kesan baik. Umur tiga tahun, cowok itu merobek Teddy Bear-nya. Umur lima tahun, mematahkan sepedanya. Umur tujuh tahun, menumpahkan cat ke seragamnya. Umur sebelas tahun, menjatuhkan tasnya ke kali. Dan dari semua kejadian itu, Rii tak diberi kesempatan untuk protes. Satu kata saja terucap dari mulutnya, cowok itu mengancam akan membeberkan rahasia kalau Rii menyukai Fernandéz. Fernandez sama dengan cowok itu – masih sepupu Rii.<br />Walau itu cerita lama, Rii tetap tidak berani mengkonfrontasi sepupunya itu. Ia tak banyak tanya saat dibawa melewati gerbang SMU khusus cowok dimana sepupunya itu bersekolah. <br />Rii mulai berseru histeris. “Hei, ini sekolah cowok!! Ngapain Rii dibawa ke sini???” <br />Rii dibekap mulutnya dan dibawa ke sepetak lapangan.<br />Lapangan itu mungkin adalah lapangan terindah yang pernah Rii lihat. Luas, bersih, dan jauh dari kesan ‘lapangan-cowok’ yang dibayangkan Rii. Benar – benar seperti lapangan sekolah asrama. Rii tiba – tiba ingiiin sekali merasakan main basket di lapangan itu. Tapi yang dilihatnya kemudian, membuat Rii ingin keluar dari lapangan itu! <br />Reyn. REYN ada di sana. Reyn yang selama ini begitu menyakiti hatinya, Reyn yang begitu dibencinya karena membuatnya teringat pada Drey… Reyn yang menyita waktu Rii hanya untuk melamunkannya!! <br />Reyn yang itu, yang sedang duduk dengan tenangnya di pinggir lapangan, memegangi bola basket, dengan kostum basket yang membuatnya kelihatan seribu kali lebih hottie dari yang dilihatnya di acara blind date. Dan seperti yang ditakutkannya, Reyn ‘mencium’ ada yang datang. <br />Dalam hitungan detik, Reyn menoleh dan mendapati Rii sedang berdiri di lapangan. “Rii?” gumamnya. Sayangnya, angin menyampaikan gumaman itu ke telinga Rii, yang membuat gadis itu tersentak. <br />“Selesein tuh, urusan lo!” seruan kencang di belakang Rii membuat Reyn terkejut. Fan? Jadi….. “Ngapain bawa-bawa Rii kemari, Fan?”<br />Sejak melihat pertengkaran di café itu, Fan menjadi amat sangat penasaran. Ia memang tidak kenal kata ‘lelah’ dalam menyelidiki kehidupan pribadi seseorang. Ketika ia menyadari bahwa keangkuhan sang Ketua Basket dan harga dirinya yang tinggi hanyalah kedok dari sisi sentimentilnya, Fan nyaris menyebarluaskannya dalam majalah. Tapi Fan juga tahu bahwa tindakannya itu hanya akan membuat Reyn tambah terpuruk. Sebagai salah satu sahabat Reyn, dia nggak mungkin menyebar aib sahabat sendiri. Maka, daripada menyelidiki kehidupan Reyn, dia beralih kepada misi ‘menyelesaikan masalah’ a la Fan.<br />Kebetulan sekali, Fan kenal Rii. Fan adalah sepupu Rii!<br />Sementara itu, Reyn dan Rii hanya mampu saling berpandangan. Reyn ingin sekali bisa berkata, “Ya ampun, kita nggak punya masalah, kan ?” hanya untuk mengalihkan pembicaraan. Tapi ia tahu melarikan diri bukan jawaban. Harus ada penjelasan mengenai kenapa Rii begitu menyita pikirannya. Dan tampaknya Rii juga tak ingin topiknya dialihkan.<br />“Reyn, aku nggak ngerti, kenapa kita berdua bisa begitu terikat, hanya karena bertemu di halte itu?” tanya Rii, to the point. Tak peduli ada Fan. <br />Bukan itu yang ingin didengar Reyn. <br />“Rii merasa, Reyn dan Drey begitu mirip. Mungkin karena Rii baru saja kehilangan Drey?” Rii tertawa grogi. Betapa menyedihkan untuk Rii, mempermalukan diri dengan mengeluarkan semua uneg – unegnya di depan cowok yang baru sebentar dikenalnya. Di hadapan Fan si paparazi (plus sepupu nyebelin) pula.<br />“Cukup, Rii.” Reyn tidak bisa menerimanya lagi. Dia tidak bisa bertahan tidak melarikan diri. Betapa inginnya dia jika tiba – tiba ada time slip yang membawanya ke masa depan. <br />“Belum, Reyn!” She has to finish it before it’s too late. “Rii cuma mau bilang, Rii amat sangat menyesal karena telah bersikap begitu kekanak – kanakkan, dan Rii akan menjadi lebih berani untuk bilang TIDAK pada Cesh lain waktu.” <br />Reyn menatapnya. Ini bukan sesuatu yang ia ingin dengar. Ia tidak ingin mendengar tentang blind date sialan itu lagi. <br />Ia ingin ingin memeluk Rii, seperti yang ia inginkan ketika di halte. Ia ingin meminta maaf karena telah menyebabkan Rii menangis, karena telah melukai hatinya, dan karena telah menjadi begitu mirip Drey.<br />“Rii…”<br />“Rii ingin sekali tetap menjalin hubungan dengan Reyn.” Akhirnya keluarlah apa yang menjadi keinginan Rii selama ini. <br />“Entah apa yang menyebabkan Rii dan Reyn bisa begitu terkait, apa yang menyebabkan Reyn begitu mirip Drey, apa yang menyebabkan Rii merasa begitu dekat dengan Reyn, apa yang menyebabkan Reyn menjadi sangat penting untuk Rii, apa yang membuat Rii tidak bisa berhenti memikirkan komentar–komentar Reyn…Itu semua bisa kita urus pelan–pelan, kan? Rii merasa semuanya akan beres seiring waktu…”<br />“….”<br />“Kita bisa melakukannya, kan Reyn? Reyn akan menjadi teman Rii kan? Reyn akan tetap bersama Rii agar kita bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaan kita, yang sudah Rii ucapkan waktu itu, dan semuanya lagi??” <br />Reyn tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk Rii dan mengacak – acak rambutnya. Dalam tubuh mungil cewek ini terdapat kekuatan yang membuat Reyn terkagum. Rii telah mengungkapkan semua yang ingin Reyn ungkapkan, dan dia mengungkapkannya dengan baik sekali! Reyn amat yakin dia tidak akan bisa melakukannya sebaik Rii. <br />Reyn menggenggam tangan Rii dan membungkuk, untuk melihat lurus ke matanya. “I will, Rii.” <br />Rii tersenyum. <br />Dan tiba – tiba saja, akhir hari menjadi lebih menyenangkan bagi Reyn. Juga sudah pasti bagi Rii. <br /><br />Ket: * Jepun = Jepang **Hottie = keren<br /><br /><br /><span style="font-style:italic;">Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS</span><br /><br /><br /><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-47469753511720114372010-10-23T10:03:00.000-07:002010-10-23T20:04:17.166-07:00Bunga Lily yang CantikOleh: <span style="font-weight:bold;">Mulandari Palupi, 16 tahun</span><br />(BWS Bandung)<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOiG6iCxzI/AAAAAAAAAUo/QHwW6YxHXfo/s1600/wggi004038.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 244px; height: 320px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOiG6iCxzI/AAAAAAAAAUo/QHwW6YxHXfo/s320/wggi004038.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531443007016060722" /></a><br /><br /><br /><span style="font-style:italic;">Mungkin kau tidak cantik<br />Tapi kehidupanlah yang akan membuatmu<br />merasa cantik dan dicintai</span><br /><br /><br />Lilian adalah seorang gadis penyendiri. Ia merasa minder dengan kulit wajahnya yang pucat dan bentuk tubuhnya yang gemuk. Oleh sebab itu ia tak punya teman karena tak mau berteman dengan siapapun. Ia tak ingin teman-temannya mengejek penampilan fisiknya yang menurutnya buruk itu.<br /><br />Karena mengurung diri terus di kamar setiap hari, ibunya selalu memarahinya. “Lily, ngapain di kamar terus! Bantuin ibu bekerja di kebun! Dasar ya, kamu malas sekali. Pantas saja kamu belum juga dapat jodoh, sedang kakak-kakakmu semuanya sudah menikah dengan pria-pria tampan nan kaya. Kalau malas seperti itu, kamu bakal jadi jomblo seumur hidup.”<br />Kalau sudah dimarahi begitu, terpaksa Lilian mau keluar kamar dan membantu ibunya menyiangi rumput liar di kebun. Sebenarnya, ia malas bekerja di kebun karena para tetangga yang lewat selalu membanding-bandingkannya dengan kakak-kakaknya. “Eh, Lily, kamu kok tidak secantik kakak-kakakmu?” atau, “Eh, Lily, kapan kamu mau nikah? Tampaknya belum ada satupun lelaki yang meminangmu!” Semua kata-kata itu terlalu menyakitkan bagi Lilian. Dan karena terlalu sering diucapkan para tetangga, akhirnya Lilian pun jadi malas keluar dan lebih suka mengurung diri di kamar.<br />“Kalau kamu di kamar terus, kapan kamu mau dapat jodoh!” seru ibunya tatkala mereka sedang bekerja di kebun, membersihkan rumput-rumput liar dan menyirami tanaman jagung yang sebentar lagi buahnya matang.<br />“Takkan ada yang mau berjodoh denganku, Bu,” kata Lilian sedih. “Semua tetangga bilang aku gadis yang buruk. Aku tak secantik kakak-kakakku.”<br />Ibunya memandang Lilian dengan sedih juga. “Apalagi kalau kamu malas begitu, tak akan ada lelaki yang mau meminangmu.” Ibunya berpikir sebentar. “Tapi,” katanya. “Ada seorang lelaki yang cocok untukmu, dia mungkin mau menikahimu, ibu akan bicara padanya. Dia Mang Udin, tukang kebun di rumah tetangga kita.”<br />Lilian terbelalak mendengar tawaran ibunya. “Mang Udin????! Yang benar saja, Bu. Mang Udin kan duda beranak lima yang miskin dan jelek. Masa aku mau dijodohkan dengannya?”<br />“Daripada kamu terus menjomblo dan membuat malu keluarga? Duda miskin juga lumayan!”<br />Lilian sangat sedih mendengar kata-kata ibunya yang kejam. Seburuk itukah dirinya hingga akan dijodohkan dengan lelaki tua yang tampangnya seperti bemo itu? Tanpa pikir panjang, Lilian mencampakkan clurit pemotong rumputnya, lalu berlari sekuat tenaga.<br />“Hey, Lilian, kau mau kemana?” teriak ibunya. <br />Tapi Lilian tak mau mendengar. Ia terus berlari dan berlari. Ia berlari kencang hingga sampailah di sebuah sungai di dekat hutan. Di tepi sungai itu ia berhenti dengan nafas tersengal-sengal. “Aku akan terjun ke sungai ini, biar tak ada lagi yang menghinaku,” batinnya sambil menangis. Lilian pun menatap air sungai yang mengalir deras dan menimbulkan bunyi gemuruh yang menakutkan. Telapak kakinya sedikit demi sedikit mencapai bibir sungai. Lilian pun mulai terjun, namun pada saat itulah sebuah tangan yang kuat menarik tubuhnya hingga tidak jadi jatuh ke sungai.<br />“Lepaskan aku,” teriak Lilian.<br />“Tidak, kamu tak boleh bunuh diri seperti itu.” <br />Di hadapannya, Lilian melihat seorang pemuda tampan yang menatapnya dengan sorot mata menyalahkan.<br />“Apa pedulimu?” teriak Lilian. “Aku tidak kenal kau. Biarkan aku terjun ke sungai itu.”<br />“Baiklah,” kata si pemuda. “Kau boleh terjun ke sungai itu. Tapi kau harus ceritakan dulu kepadaku, apa yang membuatmu ingin bunuh diri?”<br />“Itu bukan urusanmu,” teriak Lilian. “Biarkan aku mati.”<br />“Iya, iya, kamu boleh mati. Tapi ceritakan dulu padaku, kenapa kau ingin bunuh diri?” kata si pemuda. <br />Karena si pemuda itu terus memaksa, akhirnya Lilian pun bercerita bahwa ia sudah tidak kuat lagi mendapat hinaan orang-orang akibat memiliki fisik yang tidak cantik. Bahkan ibunya selalu marah padanya, menyebutnya pemalas, dan akan menjodohkannya dengan duda miskin beranak lima. Si pemuda mendengarkan penjelasan Lilian dengan seksama. <br />“Nah, aku sudah ceritakan alasanku. Sekarang biarkan aku mati,” kata Lilian sambil menghapus air matanya.<br />“Tunggu dulu,” sergah si pemuda. “Kalau aku bisa mengubahmu jadi cantik, apa kau tetap mau bunuh diri?”<br />Lilian bergerak bimbang. “Apa? Kau bisa mengubahku jadi cantik? Jangan coba menipuku! Di dunia ini tak mungkin ada yang bisa mengubah seseorang menjadi cantik. Kalau sudah terlahir jelek, ya akan jelek selamanya.”<br />“Tapi aku serius,” kata si pemuda. “Aku punya sesuatu yang mujarab, sebuah umbi ajaib, yang bisa mengubah wajahmu jadi cantik. Kalau tidak percaya, ayo ikut ke rumahku. Akan kutunjukkan caranya.”<br />Karena terus dibujuk, akhirnya Lilian mau memenuhi ajakan si pemuda ke rumahnya. Lagipula ia penasaran, apa benar ada semacam ‘umbi ajaib’ yang bisa mengubah penampilan fisik seseorang?<br />Sesampainya di rumah si pemuda, Lilian disuruh menunggu, sementara si pemuda mengambilkan ‘umbi ajaib’ itu. Sambil menunggu, Lilian memperhatikan sekitarnya. Rumah si pemuda itu sederhana tetapi sangat indah. Halaman rumah itu sangat luas dan dipenuhi oleh aneka tanaman hias dan bunga-bunga yang menawan. Ada bunga mawar, lili, bakung, dahlia, aglonema, anthurium, dan masih banyak lagi. Lilian jadi tidak tahan untuk berlari-lari kecil di halaman itu sambil menikmati keharuman bunga-bunga yang segar. <br />Sepuluh menit kemudian, si pemuda kembali dan membawa sebuah bungkusan kecil. “Inilah umbi ajaib itu,” diserahkannya bungkusan itu.<br />“Bagaimana cara memakainya? Apa harus dimakan?” tanya Lilian dengan takjub.<br />“Tidak, itu bukan untuk dimakan. Tapi untuk dikubur di kebun rumahmu. Percayalah, dengan menguburnya, kau akan jadi cantik.”<br />Lilian terbengong-bengong. “Kamu bergurau.”<br />“Tidak. Aku sungguh-sungguh. Kalau kau tidak jadi cantik, kau boleh datang kembali ke sini dan aku akan memberimu resep yang lebih manjur untuk mempercepatmu jadi cantik.”<br />Dengan harap-harap ragu, Lilian pun kembali pulang ke rumahnya. Tanpa menghiraukan ibunya yang marah-marah karena cemas kehilangannya, ia segera pergi ke kebun. Menyiangi rumput-rumput liar dan membuat sebuah petak khusus. Di petak itulah ia mengubur umbi ajaib itu. Lalu Lilian pun pergi tidur dan menunggu esok hari, apakah wajahnya akan menjadi cantik?<br />Esok harinya, Lilian bangun pagi-pagi sekali. Ia segera pergi bercermin, namun wajahnya masih tetap sama. Ia masih berkulit pucat dan bertubuh gemuk. Ia pun pergi ke rumah si pemuda. “Kenapa aku tidak menjadi cantik?” tanyanya kesal. <br />Si pemuda tersenyum. Ia memberi satu bungkusan umbi ajaib lagi. Kali ini isinya sangat banyak. “Kuburlah semuanya. Jangan lupa siramilah dengan air setiap pagi dan sore. Lakukanlah selama satu bulan. Niscaya kamu akan jadi cantik.”<br />Lilian pun menuruti saran si pemuda. Ia membuat petakan lain di kebunnya dan mengubur umbi-umbi itu. Lalu menyiraminya dengan air setiap pagi dan sore. Sebulan kemudian, di kebun itu telah tumbuh tanaman-tanaman kecil. Oh, rupanya yang diberikan si pemuda hanyalah umbi tanaman. Bukan umbi ajaib. Lilian jadi kesal, apalagi dirinya masih tetap sama, berwajah pucat dan bertubuh gemuk. Ia pun menemui si pemuda dan berkata kesal, “Kamu menipuku! Aku tidak juga berubah menjadi cantik!”<br />Si pemuda tersenyum dan memberi lagi satu bungkusan umbi. “Kuburlah semuanya. Siramilah setiap pagi dan sore, jangan sampai terlewat sekalipun. Dan untuk menyiraminya, kali ini kau harus memakai air sungai. Lalu pupuklah semua tanaman dengan pupuk dari kandang hewan. Percayalah, tiga bulan kemudian kau akan jadi cantik.”<br />Meski ragu, Lilian menuruti saran pemuda itu. Ia menanam umbi-umbi itu di petakan lain, hingga lama-kelamaan kebunnya dipenuhi umbi itu. Lilian bekerja sangat keras. Ia menyirami kebunnya dengan air sungai. Karena sungai letaknya sangat jauh, setiap pagi dan sore ia harus bolak-balik ke sungai untuk mengambil berember-ember air yang sangat berat. Ia juga harus mengambil pupuk dari kandang hewan yang letaknya sangat jauh dari kebun. Tanpa kenal lelah, dilakoninya kerja keras itu, demi keinginannya untuk menjadi cantik. Ibunya yang melihat Lilian bekerja keras, tersenyum gembira. “Sekarang kau tidak malas lagi,” kata ibunya. <br />Tiga bulan kemudian, di kebun itu telah tumbuh bunga-bunga lili yang berwarna-warni. Putih, kuning, oranye, pink. Bunga-bunga lili itu sangat indah. Semua tetangga yang lewat ke kebun, memuji keindahan bunga-bunga itu. Mereka tidak lagi menghina Lilian, mereka justru memuji Lilian yang telah berhasil membuat sebuah kebun bunga yang menawan hati. <br />Dalam sekejap, keindahan kebun bunga itu terkenal ke seluruh pelosok desa. Para pemuda berdatangan untuk melihat siapa gadis yang telah membuat kebun itu. Di tengah kebun, seorang gadis bersenandung kecil sambil menyirami bunga-bunga. Gadis itu begitu ceria, membuat para pemuda senang menatapnya. <br />Ya. Lilian telah berubah. Ia bukan lagi gadis pemurung. Wajahnya yang dulu selalu cemberut, sekarang berbinar ceria seiring mekarnya bunga-bunga. Keindahan kebun membuat Lilian gembira sehingga perlahan ia melupakan keinginannya untuk menjadi cantik. <br />Lilian tidak menyadari bahwa sekarang dirinya telah menjadi cantik. Seiring bunga-bunga lili bermekaran, sosok Lilian pun ikut mekar. Kulit wajahnya yang dulu pucat, kini berwarna segar kemerah-merahan, karena setiap hari bekerja di bawah terik matahari. Tubuhnya yang dulu gemuk, kini menjadi langsing, karena setiap hari bekerja keras mengurus kebun. Ia telah berubah, dari seorang gadis yang buruk menjadi menarik.<br />“Sekarang katakan, siapa pemuda yang akan kaupilih?” tanya ibunya kepada Lilian, setelah banyak pemuda datang ke rumah untuk melamarnya.<br />Lilian tersenyum. “Aku akan menikah dengan pemuda yang telah mengenalkanku kepada bunga-bunga. Pemuda yang telah membuatku mencintai kebun, sama seperti mencintai kehidupan ini. Pemuda yang telah membuatku sadar bahwa tidaklah penting menjadi cantik selama kita bisa merawat dan menikmati keindahan hidup ini.”<br />Apakah Lilian menikah dengan pemuda yang telah menyelamatkan hidupnya, pemuda yang telah memberinya benih-benih bunga, dan memberinya pelajaran akan arti kecantikan dan cinta? Apakah akan ada kalimat and they live happily ever after untuk gadis yang menemukan pangeran impiannya?<br />Itu tidak penting. Yang terpenting adalah kisah ini berakhir indah, seindah kehidupan yang bagaikan taman mekar berbunga. Ya kan? *** <br /><br /><span style="font-style:italic;">Copyright@2008 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS</span><br /><br /><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-7371414631782445452010-10-23T10:02:00.001-07:002010-10-23T20:07:10.045-07:00Soda MarlettaOleh: <span style="font-weight:bold;">Okta Lesmana, 18 tahun</span><br />(BWS Garut)<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOilxtfxqI/AAAAAAAAAUw/db4uS1oKU1s/s1600/wggi006045.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 226px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOilxtfxqI/AAAAAAAAAUw/db4uS1oKU1s/s320/wggi006045.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531443537224124066" /></a><br /><br /><br />Cinta adalah sebentuk perasaan. Kadang perasaan itu tak bisa kita pendam, meski ingin. Menyimpan suatu perasaan akan membuat kita menjadi serba salah dan selalu tidak merasa tenang. Hal ini sama seperti yang dialami oleh Marleta Garcia, gadis remaja yang kaya raya, cantik, keren, dan juga seorang model terkenal. Ia kini sedang berusaha mengejar seorang cowok yang sama terkenal dengan dirinya, akan tetapi cowok tersebut tidak merespon dirinya.<br /><br />Bukan Marleta namanya kalau mudah putus asa di tengah jalan. Ia terus berusaha dan berjuang untuk mendapatkan cinta dari cowok idamannya yang bernama Ryan.<br /><br />Siapa yang tidak mengenal Ryan ? Cowok yang memiliki postur tubuh yang ideal, cakep, Ketua OSIS, Ketua Rohis, Pelajar Teladan, pernah terpilih menjadi Duta Wisata di kotanya, fasih dalam Bahasa Inggris dan Perancis. Cowok yang diam-diam paling suka sama yang namanya minuman soda. <br />Dan sekarang ia sedang bingung dan merasa sedikit terganggu karena Marleta kini sedang mengejar-ngejar dirinya.<br /> Ryan dan Marleta sama-sama bersekolah di SMA Adi Jaya Bontang, yang merupakan SMA favorit dan unggulan di Kota Bontang, namun yang membedakan adalah mereka berdua tidak sekelas.<br /> Oleh karenanya suatu kebanggaan bagi Marleta jika ia bisa mendapatkan Ryan, usaha demi usaha dilakukan Marleta untuk mendapatkan Ryan, mulai dari mengirim surat cinta tanpa pengirim sampai mengirimkan barang-barang kesukaan Ryan tanpa nama ke rumahnya.<br />Usaha Marleta untuk mendapatkan Ryan juga dibantu oleh beberapa temannya seperti Asela dan Rania, yang juga merupakan model. Akan tetapi, usaha mereka selama ini nihil alias mereka belum mengetahui alasan mengapa Ryan selalu menjauhi Marleta.<br /> Seperti saat ini, Marleta dan teman-teman sedang berada di kantin dan terlihat Marleta yang uring-uringan, sejak tadi ia mondar-mandir sementara Asela dan Rania duduk dan melihat tingkah laku Marleta.<br />“Ta, tenang dikit napa sih lo? Dari tadi mondar-mandir kayak setrikaan,” ujar Asela akhirnya<br />“Gimana gue bias tenang, La? Gue belum bisa dapetin Ryan, terus kalian juga belum tau kan alasan kenapa Ryan selalu ngejauhin gue?”<br />“Kita-kita udah berusaha lagi, cuma belum dapet aja! Ntar deh kita cari tau lagi, ya kan La?” Rania meyakinkan<br />“Iya, lagipula tu kan masih lama, Ta!”<br />“Masih lama apanya? Tinggal tiga minggu lagi lo bilang tu lama? Kalian tau ya, tiga minggu tuh bukan waktu yang lama,” tegas Marleta <br /> “Aduh… Leta, Leta… Ngapain lo ngejar-ngejar Ryan melulu? Lo kan kaya, terus bokap lo juga punya banyak koneksi dimana-mana, lo bisa dapetin cowok yang standarisasinya lebih tinggi dari Ryan,” jelas Asela<br /> “Please deh, La… Satu-satunya cowok yang ada di hati gue cuma Ryan dan perasaan cinta ini juga cuma buat Ryan, jadi gimana pun caranya gue musti dapetin Ryan!! Kalo kalian nggak mau bantuin gue juga nggak apa-apa kok, gue bisa sendirian!” ujar Marleta dengan suara yang semakin lama semakin nyaring.<br /> “Duile…. Jangan marah gitu dong, Ta..!! sorry deh kalo gue tadi salah ngomong, kita pasti bantuin lo kok, kita kan sahabat,” ucap Asela dengan nada menyesal sembari memegang tangan Marleta dan Rania.<br />“Iya, Ta! Tenang aja, kita pasti bantuin lo!!!” Rania menimpali<br />“Thanks banget ya! Kalian emang sahabet terbaik gue”<br />Mereka bertiga pun berpelukan satu sama lain.<br />“Eh, maaf ganggu…”<br />Alangkah terkejutnya Marleta begitu mengetahui si empunya suara.<br />“Ryan???”<br />“Maaf ya kalo aku ganggu?”<br />“Oh… Nggak… Nggak apa-apa kok… Gue… eh, aku juga lagi nyantai kok,” ucap Marleta salah tingkah<br />“Oh, syukur deh kalo aku nggak ganggu kalian,” ujar Ryan lagi<br />“Eh… kalo boleh tau ada apa ya?” Tanya Marleta<br />“Oh,iya! Gini, kalian udah tau kan acara yang bakal diadain di sekolah kita?”<br />“Iya, terus?”<br />“Nah, aku selaku ketua OSIS yang kebetulan menjabat sebagai seksi acara dalam kepanitiaan ini mau meminta partisipasi dari original agency tuk ngisi acara fashion dance, bisa kan?”<br />“Oh, tentu… tentu aja bisa, ya kan La, Ra?”<br />“I… Iya… Bisa kok”<br />“Nah, kalo gitu surat ini aku titipin ke kamu aja ya? Kalian dari original agency kan? Aku tunggu kepastiannya lusa, aku selalu ada di ruang OSIS, jadi kalo ada apa-apa kalian bisa hubungi aku di ruang OSIS. Ya, udah… Ini suratnya dan aku permisi dulu soalnya masih banyak kerjaan, sebelum dan sesudahnya makasih banyak”<br />“Tunggu dulu, Nggak usah nunggu lusa deh, sekarang aja deh keputusannya, intinya kita bisa,” ucap Marleta<br />“Oya? Kalo gitu oke deh, jadwalnya ada di surat itu dan sekali lagi aku ingetin kalo ada apa-apa hubungi aku, aku tinggal dulu ya!”ujar Ryan sembari meninggalkan kantin menuju ruang OSIS setelah menyerahkan amplop berisi surat kepada Marleta.<br /> “Nah, sekarang tunggu apalagi? Ayo, kalian ikutin Ryan ke ruang OSIS dan cari lagi informasi terbarunya,” kata Marleta<br />“Oh,iya… Kita-kita pergi dulu ya, doain moga kita sukses dapetin infonya!”<br />“Pasti gue doain, gue tunggu di kelas ya, dagh…”<br />Akhirnya Asela dan kawan-kawan pergi untuk membantu Marleta mencari tahu kenapa Ryan menjauhi Marleta.<br />Ketika Ryan tiba di ruang OSIS, teman-temannya sudah berada diruang OSIS untuk mengerjakan proposal untuk acara pentas seni yang sekitar tiga minggu lagi akan diadakan di sekolah mereka, teman-teman Ryan membagi tugas ada yang mengetik proposal sementara yang lain mengobrol dengan Ryan. Sementara itu di luar ruangan Asela dan Rania menguping pembicaraan antara Ryan dan teman-temannya.<br />“Hey, bro… Dari mana aja?” Tanya Zacky yang sedang mengetik proposal<br />“Dari kantin, abis ngasih surat ke Marleta untuk partisipasinya ngisi fashion dance,” jawab Ryan sembari menyusun surat-surat.<br />“Cieeeeeee… Marleta nih… Eh, masi dikejar-kejar ma Marleta?” Tanya Zacky lagi<br />“Tau ah…” jawab Ryan singkat<br />“Oh,iya yan… katanya kamu lagi dikejar-kejar ma Marleta? Terus napa kamu nggak terima aja tuh Marleta?” tanya Falia<br /> “Nggak apa-apa sih, lagi males aja!” jawab Ryan seraya menyimpan surat-surat yang tadi disusunnya ke dalam arsip.<br /> “Alaaah… Lagi males atau males? Ah, Ryan mah nggak tau selera tinggi! Terima aja deh… Kurang apa sih si-Marleta itu? Udah cantik, kece, model lagi….” Cerocos Zacky sambil masih mengetik proposal.<br />Asela dan Rania pun tersenyum satu sama lain begitu mendengar ucapan Zacky.<br /> “Yaa…kalo menurut aku, dia tetep aja dia ada kekurangannya…”<br /> “Apalagi yang kurang ?” potong Zacky.<br /> “Please deh, nyamber terus…. Selesain dulu tuh proposal, baru ngobrol!!”, Falia memarahi Zacky.<br />Dan Zacky pun langsung menggerutu tidak jelas sambil terus mengetik proposal.<br />“Hehehe… Emang enak dimarahin?” ledek Ryan<br />“Biasa aja kali, terus alasan kamu nggak nerima Marleta apa?” bela Zacky seraya bertanya kembali.<br />“Kalian pengen tau alasan kenapa aku nggak nerima Marleta?”<br />“Yup,” jawab Zacky dan Falia bersamaan.<br />Asela dan Rania yang berada di luar ruang OSIS pun berdebar-debar menunggu Ryan mengatakan alasan kenapa ia tidak menerima Marleta menjadi pacarnya.<br /> “Well, sekarang gini .. Aku kepengen punya pacar yang suka ama minuman soda dan kalian tau kalo Marleta sama sekali nggak suka bahkan alergi ama yang namanya minuman soda!” jelas Ryan sembari tersenyum.<br /> “Oh, gitu toh,” ucap Zacky dan Falia bersamaan.<br />“Udah buruan kerjain tuh proposal”<br />“Oke deh”<br />Setelah mendapatkan informasi yang mereka cari, Asela dan Rania pun langsung meninggalkan ruang OSIS dan menuju kelas untuk memberitahu informasi yang mereka dapat kepada Marleta.<br />“Apa??!! SSOODDAAA….?!?!” teriak Marleta histeris ketika mendengar laporan Asela dan Rania.<br />“Iya, soda ta… Gimana dong? Lo kan nggak suka ama minuman yang ada sodanya?” ujar Rania<br />“Terus gimana dong?” Asela menimpali<br />“Gue juga bingung neh, bisa mati gue kalo disuruh minum minuman soda, gue kan alergi banget tuh ama minuman soda bahkan gue udah bersumpah nggak bakalan minum yang namanya minuman soda seumur hidup gue!!!”<br />“Wah, lo kemakan omongn tuh! Masa gara-gara cowok yang lo cinta, lo harus bela-belain minum minuman yang nggak lo suka? Kalo gue seh ogah, ta!” cerocos Asela panjang lebar<br /> “Sama, kalo gue mah cari aja cowok laen, kan masih banyak tuh cowok di dunia ini!” Rania menimpali<br />“Ya, itu mah kalian… Tapi kalo gue udah cinta mati ama Ryan! Tapi tenang aja gue bakal cari cara laen untuk ngedapetin Ryan, kita liat aja nanti,” ujar Marleta sembari tersenyum.<br />“Ya, udah… kita pulang aja yuk!!!” ajak Asela<br />“Jam terakhir kosong ya? Kalo gitu ayo deh!!!”<br />Mereka bertiga pun sepakat untuk pulang, setelah berkemas mereka keluar dari kelas dan pulang bersama-sama.<br /> <br /> * * *<br />Di Rumah, Marleta masih memikirkan bagaimana caranya untuk mendapatkan Ryan tanpa harus berusaha menyukai apalagi meminum minuman soda.<br />Ih, amit-amit deh… Lebih baik mati deh daripada harus minum minuman soda yang terkutuk itu… Hiii… Nggak kebayangkan kalo sampe gue minum tu minuman, batin Marleta.<br />Tok… Tok… Tok…<br />Pintu kamar pun diketok oleh seseorang dari luar kamar.<br />“Masuk, nggak dikunci kok”<br />Pintu pun terbuka dan ketika Marleta menoleh untuk melihat siapa yang masuk, ternyata mamanya. Setelah pintu ditutup, wanita setengah baya itu menghampiri Marleta.<br />“Ada apa ma?” Tanya Marleta sembari bangun dari tidurnya dan berusaha untuk duduk<br />“Seharusnya mama yang bertanya demikian kepada kamu, ada apa Marleta? Mama lihat, akhir-akhir ini kamu uring-uringan dan lebih banyak megurung diri di dalam kamar. Ayo dong cerita ke mama, biasanya juga kalau kamu lagi ada masalah kan ceritanya sama mama, sekarang cerita ada apa?” ucap mama<br />Marleta pun langsung memeluk mamanya dan tak lama kemudian ia melepaskan pelukannya dan mulai bercerita.<br />“Marleta lagi suka sama cowok di sekolah Marleta, ma”<br />“Lalu?”<br />“Tapi cowok itu nggak suka ama Marleta!!! Terus mama tau nggak alasan kenapa dia nggak suka Marleta?”<br />Mama pun menggeleng<br />“Cowok itu nggak suka Marleta cuma gara-gara Marleta nggak suka ama minuman soda, padahal itu cuma hal yang sepele kan ma?” Tanya Marleta.<br />Mama pun mengangguk pelan lalu kemudian berkata,<br />“Kan cowok di dunia ini bukan cuma dia aja,ta? Masih banyak kok cowok di dunia ini yang masih mau sama kamu, lagipula kan kamu cantik selain itu punya banyak bakat, apa susahnya cari yang lain? Apa kamu mau mama kenalin sama koneksinya papa?”<br />“Nggak… Nggak perlu ma!!! Marleta cuma cinta ama cowok yang ada di sekolah Marleta itu”<br />“Ya… Itu sih terserah kamu! Mama akan selalu dukung dan berdoa semoga kamu bisa mendapatkan apa yang terbaik buat kamu,” mama menasehati.<br />“Makasih banyak ya, ma!” ucap Marleta sembari memeluk mamanya<br />“Ya, sudah.. Mama mau pergi arisan dulu, kamu jaga rumah ya? Abangmu baru pulang nanti malam, mama juga mungkin pulangnya agak maleman. Hati-hati ya sayang!!” ujar mama sembari pergi meninggalkan Marleta.<br />Setelah mamanya keluar dari kamar, Marleta kembali tidur-tiduran dan termenung memikirkan caranya untuk mendapatkan cinta Ryan. <br />Malam harinya, ia masih termenung karena sampai saat ini ia belum mendapatkan cara untuk mendapatkan Ryan. Satu-satunya cara yang ada hanya dengan menyukai dan minum minuman soda, Marleta selalu bergidik ketika membayangkan dirinya minum minuman soda.<br />“Halooooo…. Adek abang tersayang, lagi ngapain?” ucap Rico, abang Marleta, sembari masuk ke dalam kamar Marleta.<br />“Ih, nggak sopan ya masuk kamar orang! Kalo masuk tuh ketok dulu kek, salam kek, apa kek, ini maen nyelonong aja,” samber Marleta<br />“Duile… kayak nenek aja lo, cerewet amat… mana mama?”<br />“Emang kenapa nanya-nanya?” ujar Marleta masih dengan nada kesal<br />“Busyet dah… Sensi amat ni nenek, lagi ‘dapet’ ya nek?” ledek Rico<br />“Abang apa-apaan sih? Udah deh keluar sana!!!”<br />“Kasih tau dulu, mama kemana?”<br />“Arisan bawel… Napa sih lo nanya-nanya kemana mama? Ah, gue tau lo mo keluyuran malem-malem kan? Liat aja ntar gue bilangin mama kalo mama udah dateng!” ancam Marleta<br />“Ya, ampun dia mitnah orang lagi? Eh, tau nggak kalo memfitnah orang itu lebih kejam daripada pemerkosaan,”<br />“Bodo amat, pokoknya kalo abang coba-coba keluar dari rumah, Leta bakal aduin ke mama kalo abang keluyuran,” ancam Marleta tak peduli<br />“Yaaaaaaa, dia ngancem lagi!!? Nek, gue kasih tau ya, gue juga nggak bakalan keluar rumah! Gue cuma pengen bilang ke mama kalo gue udah pulang dari latian basket, dasar si nenek!!!”<br />“Uh, alasan banget tuh”<br />“Kalo nggak percaya, ya udah! Oya, ntar kalo mama pulang bilangin kalo abang tidur di kamar terus kamu jangan ganggu abang soalnya abang capek banget,” kata Rico<br />“Uh, enak banget tidur? Nggak tau apa adeknya lagi ada masalah! Bantuin kek mecahin masalahnya, ni malah enak-enak kan tidur, sebel”<br />“Emang gue pikirin, selesain aja masalah lo sendiri, gue nggak mau campurin masalah orang lain, soalnya nggak enak. Mau tau apa yang enak?”<br />“Nggak, mang apaan?” Tanya Marleta<br />“Tidur tauuuuuuu…..”<br />Rico pun langsung berlari keluar kamar begitu melihat Marleta meraih jam beker di sam ping tempat tidurnya.<br />“Dasar rese!!!”<br />Dalam kesal ia memejamkan mata, berusaha untuk tertidur, akan tetapi ia masih selalu terbayang-bayang minuman soda. Setelah agak lama usahanya memejamkan mata, akhirnya ia dapat tertidur lelap.<br />Tak lama kemudian mama pulang dari acara arisan, ia melihat Marleta yang sudah tertidur lelap, mama mendekati Marleta yang sudah tertidur lalu beliau menutupi tubuh Marleta dengan selimut.<br />Sebelum mematikan lampu, mama mencium kening Marleta sambil berkata ”Selamat tidur anakku, semoga kamu bisa dapatkan apa yang kamu inginkan”. Setelah mematikan lampu, mama keluar dari kamar dan menutup pintu.<br /> * * *<br /><br />Hari-hari berikutnya Marleta terus memikirkan bagaimana caranya ia mendapatkan Ryan, tapi ia berpikir bahwa ia tidak mungkin meminum minuman yang sangat dibencinya itu.<br /> Marleta pun semakin bingung ketika pentas seni yang akan diadakan oleh OSIS SMA Adi Jaya akan segera tiba, bagaimana dia tidak semakin bingung kalau pentas seni akan diadakan pada hari yang paling istimewa sepanjang tahun di seluruh dunia dimana orang-orang mencurahkan kasih sayang kepada pasangannya dan memberikan sesuatu yang paling berharga untuk pasangannya, dan hari yang paling membahagiakan ini jatuh pada tanggal 14 Pebruari, apalagi kalau bukan hari Valentine.<br /> “Masa valentine tahun ini gue jomblo”<br /> Wajar saja Marleta berkata demikian karena Marleta berencana akan menggandeng Ryan sepanjang pentas seni berlangsung, memperkenalkan kepada teman-temannya, mengunjungi bazaar yang ada sambil makan dan menonton pentas seni setelah dia ber-catwalk ria bersama teman-teman model SMA Adi Jaya. <br />Akan tetapi, semua itu hanyalah impian belaka setelah Marleta mengetahui alasan Ryan menjauhinya.<br /> “Aduh! Bisa ancur nih rencana aku!”, batin Marleta ketika sedang memikirkan rencananya yang telah disusun secara matang beberapa waktu yang lalu.<br /> “Aku harus ngubah rencana”, pikir Marleta<br />Ia pun tersenyum ketika telah mendapat ide untuk mendapatkan Ryan.<br /> Pentas seni yang dinanti-nantikan pun terselenggara juga, SMA Adi Jaya terlihat ramai sekali, bagaimana tidak? seluruh SMA/SMK baik negeri maupun swasta di Bontang diundang. Organisasi sekolah pun diundang mulai dari pengurus Rohis sampai dengan ekstrakulikuler-ekstrakulikuler yang ada di sekolah masing-masing.<br />Acara pun berlangsung sangat seru, dibuka oleh Virtual Band dan pidato pembukaan dari ketua panitia dan kepala sekolah, acara kemudian dilanjutkan oleh Fashion Dance oleh Marleta cs.dan lain-lain, selain ada acara hiburan ada juga bazar mulai dari makanan ringan sampai outlet pakaian, semuanya dijual dengan harga pas buat kantong anak sekolahan. Akan tetapi, dimana Marleta? Dia menghilang setelah beraksi di atas panggung bersama teman-temannya, tak seorang pun yang mengetahui dimana Marleta berada. Jangankan teman-temannya dari sekolah lain, teman-teman modelnya pun teman-teman seperti Asela dan Rania tidak mengetahui dimana Marleta.<br />Akan tetapi, apa yang terjadi kemudian?<br /> Suasana mendadak menjadi hening, dentuman musik tiba-tiba berhenti dan semua aktivitas pun terhenti, orang-orang pun saling berpandangan, dan semuanya bertanya satu sama lain dengan pertanyaan yang sama.<br />“Ada apa ?”<br /> Tiba–tiba Marleta sudah berdiri di atas panggung masih lengkap dengan kostum fashion-nya, terlihat ia sedang memegang minuman Soda di tangan kirinya, kemudian dengan tangan kanannya, ia meraih dan memegang microphone dan mulai berbicara.<br />Otomatis semua perhatian pengunjung tertuju kepada Marleta yang berdiri di atas panggung.<br />“Wah, nekat tuh Marleta”<br />“Mau apa sih dia?”<br />Semuanya bertanya-tanya satu sama lain apa yang akan diperbuat oleh Marleta yang saat ini berdiri di atas panggung untuk kedua kalinya, setelah tadi ia tampil fashion dance bersama teman-temannya.<br /> “Ryan aku udah lama suka dan sayang ama kamu, tapi kamu nggak pernah mau nanggepin aku hanya karena aku ga suka minum minuman soda…. Sekarang, di hari Valentine ini aku mo buktiin ke semua orang khususnya Ryan kalo aku juga bisa menyukai minuman soda”<br /> Saat itu Ryan hanya melihat dan mendengarkan apa yang diucapkan oleh Marleta, dan kini semua pandangan mata tertuju pada dirinya. <br />Kemudian Marleta mulai meminum minuman soda yang dibawanya dengan mata terpejam, tak lama Marleta muntah-muntah kemudian jatuh pingsan lalu orang-orang pun mulai kalang kabut, sebagian orang mengangkat dan membawa Marleta ke ruang UKS.<br />Acara sempat terhenti sejenak, namun tak lama kemudian acara dilanjutkan tanpa terganggu oleh kejadian tadi.<br />Setelah acara selesai, seluruh siswa-siswi SMA/SMK se-Bontang pun pulang, lama kelamaan SMA Adi Jaya menjadi sepi, panitia pelaksana pun membereskan seluruh peralatan yang tadi dipakai dalam acara pentas seni.<br /> Setelah sekian lama, akhirnya Marleta sadar, Marleta melihat Asela, Rania, Falia, Gracila dan…Ryan. Lama semuanya terdiam, sampai Ryan membuka dan memulai pembicaraan.<br /> “Aku nggak nyangka kamu nekat!” ucap Ryan singkat seraya menatap Marleta.<br />Akan tetapi, Marleta memalingkan wajahnya, ia tak berani menatap mata Ryan yang tajam. Ia malu mendengar ucapan Ryan, ia kini terus-menerus meneteskan air mata sementara itu Ryan terus menatap Marleta seraya melanjutkan ucapannya yang singkat tadi.<br /> “Aku udah lama tau kalo kamu suka ama aku… Bukannya aku keGRan dan jual mahal. Tapi jujur, kamu belum bisa memenuhi kriteria cewek idamanku. Aku tau kalo kamu cantik, kece, gaul, dan model terkenal tapi semua itu ga cukup, aku cuma suka ama cewek yang suka ama minuman soda……..”<br /> “Tapi Yan…” potong Marleta .<br />Ryan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Marleta yang seketika itu menghentikan ucapannya.<br /> “Ssssttt… Kamu terlalu maksain diri, aku cuma mau kalo cewekku suka minum minuman soda dari hatinya, bukan karena terpaksa seperti yang kamu lakukan tadi, kamu ga sadar dengan apa yang kamu lakuin tadi? Apa jadinya tadi kalo ada wartawan Koran yang meliput kegiatan Pensi kita ini? Otomatis bukan cuma nama kamu yang jelek tapi juga nama sekolah kita. Apa jadinya kalo besok di Koran terpampang jelas topik utama dengan judul: ‘MARLETA, MODEL TERKENAL YANG JUGA SISWI SMA, PINGSAN SETELAH MINUM MINUMAN SODA HANYA GARA-GARA COWOK PADA PENTAS SENI SMA ADI JAYA BONTANG’… Apa kamu tidak malu?” ucap Ryan panjang lebar.<br /> “Ryan, sudah cukup…” ujar Falia<br /> “Iya, yan… Sudahlah, jangan diperpanjang lagi, kita sudah terlanjur malu jangan lagi kamu buat sesuatu yang memalukan lagi,” Zacky menasehati<br />“Oke… Oke… Maaf, kalo aku tadi kelepasan”<br />Marleta terus-menerus menitikkan air mata ketika mendengar ucapan Ryan yang seakan petir menyambarnya saat itu, sementara itu Ryan menghela napas dan berkata lagi.<br />“Well, Jadi… keputusanku udah jelas, aku ga bisa, Marleta… Sorry…” lanjut Ryan seraya meninggalkan ruang UKS yang kemudian diikuti oleh Falia dan Zacky.<br />Dan membiarkan Marleta yang menangis tersedu-sedu di antara Asela dan Rania.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS</span><br /><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-66408120407796781922010-10-23T09:59:00.000-07:002010-10-23T20:22:40.701-07:00One Side of LoveOleh: <span style="font-weight:bold;">Mulandari Palupi, 16 tahun</span><br />(BWS Bandung)<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOmXTq3TxI/AAAAAAAAAVg/Oa4jEUYoiXc/s1600/zz003043.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 230px; height: 320px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOmXTq3TxI/AAAAAAAAAVg/Oa4jEUYoiXc/s320/zz003043.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531447686688362258" /></a><br /><br /><br /><span style="font-style:italic;">Meski cintamu bertepuk sebelah tangan<br />Kau masih beruntung pernah mencintai seseorang</span><br /><br /><br />Aku menyukainya. Tapi dia tak menunjukkan perasaan yang sama. <br />Tadinya aku akan memendam perasaan ini dalam hati. Namun semakin hari, gejolak itu semakin kuat. Meski ragu dan takut, kurasa sebaiknya aku menyatakan isi hatiku.<br />Belum pernah mengungkapkan cinta pada siapapun, kucoba curhat kepada teman sebangku. Lalu kepada teman-teman lain di bangku depan dan belakang. Saat itu aku memang masih duduk di kelas dua SMP. Dan cowok yang kusayangi itu, satu kelas denganku. Respon para sahabat saat aku curhat, adalah memberi dukungan sepenuhnya. Kata mereka, “Bagus. Akan jadi pasangan yang serasi. Cantik dan tampan.”<br />Aku berbunga. Mendengar semua komentar, setidaknya ada harapan. Bahwa apa yang kurasakan mungkin memang tak berlebihan. Bahwa aku layak menyayangi dan mendapatkan rasa sayangnya. <br />Meski sempat mendengar salah satu teman memberi reaksi berbeda, aku malah makin berbunga. Temanku berkata, “Dia itu….tak terlalu cocok untukmu. Tampangnya memang oke, tapi dia nggak secerdas kamu.” Nah, artinya aku sudah punya kelebihan dibanding cowok yang kusayang kan? Ini akan menjadi nilai tambah tersendiri, demi merebut perhatian dia.<br />Berawal dari curhat, berubah jadi gosip hangat. Sudah tersebar di seantero kelas, dan bahkan sampai juga ke kelas-kelas tetangga, bahwa aku jatuh cinta padanya. Hanya saja dia belum tahu, atau mungkin pura-pura tidak tahu. Dia tak bereaksi apa-apa. Meski setiapkali berinteraksi denganku semua orang langsung ber-ehm ria….dia tampak biasa saja. Tak pernah menunjukkan sinyal apapun yang aku inginkan.<br />Suatu hari, kelas kami sedang menghadapi ulangan Fisika. Hasil ulangan langsung dinilai saat itu juga dengan bantuan para murid. Sang guru hanya tinggal menyebut nama-nama dalam daftar absensi, dan murid yang memeriksa kertas ulangan dengan nama tersebut akan menyebutkan nilainya. <br />“Mulandari Palupi…”<br />Itu namaku. Teman yang memeriksa kertas ulanganku segera menyebutkan nilaiku. “Delapan koma tiga.”<br />Guru Fisika berdeham sebentar. Seperti biasa, nilaiku selalu bagus. Tapi tak pernah dikomentari. Guru kami malah lanjut ke daftar nama berikutnya. Dan sampailah pada nama yang sudah kutunggu-kutunggu. “Tubagus Ferdy Firmansyah Agung….”<br />Seorang siswa dari pojok kelas berteriak, “Minus nol koma tujuh.”<br />Mendengar kata minus, wajah guru Fisika kami kontan mengelam. Ia berdiri. Dengan tampang sangar ia berkata, “Mana orangnya? Nama sih panjang, tapi otak pendek. Ffuah!” Pak Guru meludah ke lantai!<br />Aku menggigil. Tak kuasa menyaksikan cowok yang kusayangi diperlakukan demikian. Ah, gimana ya perasaannya? Pasti malu, sedih, marah…<br />Entah kenapa, sejak peristiwa itu, rasa cintaku tak pupus padanya. Aku malah makin sayang padanya. Aku tahu, dia butuh pertolongan dalam hal akademik. Kami akan saling membutuhkan. Dan ini peluang. Kami bisa barteran. Aku beri dia tips belajar, dan dia beri aku cinta. Cukup adil, kan? Itulah pikiran sederhana seorang anak remaja. <br />“Hai, gimana kalo kita sekelompok?” kataku suatu hari, membuka komunikasi. Beberapa teman yang mendengar langsung sorak sorai. Kurasa gosip akan makin melebar.<br />“Oke,” kata dia dengan tampang innocent-nya.<br />Jadilah kami sekelompok dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Juga dalam mata pelajaran lainnya. Kami sering bersama. Namun sampai sekian lama, aku tak juga punya keberanian menyatakan perasaan. <br />Karena makin lama perasaan ini makin bergejolak, akhirnya aku nekad. Meminta bantuan seorang teman untuk jadi mak comblang. “Tolong katakan padanya, aku sayang padanya dan butuh jawaban sekarang juga.” <br />Temanku melakukan tugasnya saat jam istirahat pertama. Aku menunggu sambil deg-degan. Inilah pertama kalinya aku ‘menembak’ cowok di sekolah.<br />Setengah jam berlalu dan akhirnya temanku kembali. <br />“Apa jawabannya?” tanyaku tak sabar.<br />Temanku diam, membuatku hampir pingsan. Lalu katanya, “Dia nggak menjawab apa-apa. Dia cuma bilang, dia merasa nggak pantas buatmu.”<br />Aku terkejut. Tak tahu harus sedih atau bahagia. Apakah ini berarti penolakan? Atau peluang? <br />Yang jelas, aku tak puas dengan jawaban itu. Aku harus bertanya padanya secara langsung. Kucari dia saat jam istirahat kedua. Ke kantin, ke mushola, ke perpustakaan, dan ke semua tempat yang mungkin dia ada. Lalu…pop! Kudapati dia ada di ruang klub pecinta alam, tengah bicara dan tertawa lepas dengan seorang gadis yang kuyakin adalah adik kelas kami.<br />Entah kenapa harapanku mendadak sirna. Mungkin aku telah salah menilai dirinya. Dia tak serapuh yang kukira. Dia tidak butuh pertolongan, perhatian, atau simpati apapun seperti yang kuduga. Dia tidak butuh apa-apa. Dia tak butuh diriku. Tak butuh kemampuan akademikku. Dia menikmati kehidupannya sendiri yang selama ini tak pernah kuketahui. <br />Hari berikutnya aku mendengar selentingan bahwa dia tengah melakukan pendekatan pada Riska. Riska adalah adik kelas kami yang kulihat bercanda bersamanya di ruang klub pecinta alam itu. Hatiku bergejolak. Kecewa menyelimuti segenap rasa. Namun, aku tak akan menyerah, pikirku. Sebelum tahu dari mulutnya sendiri, tentang kejujuran hati, takkan aku berhenti di sini.<br />Jadi, kuatur sebuah janji pertemuan seusai jam pelajaran.<br />Kami duduk berdua di depan kelas yang sudah sepi karena semua siswa sudah pulang.<br />“Apa yang ingin kamu bicarakan?” dia bertanya tanpa basa-basi. Sikapnya menunjukkan bahwa dia sedang punya suatu urusan penting dan ingin cepat-cepat pergi.<br />Entah kenapa aku mulai marah. “Apa yang ingin aku bicarakan? Menurutmu apa?”<br />Dia langsung menyadari kesalahannya. “Umm…sori. Seharusnya, kata-kataku lebih sopan. Tapi aku memang sedang terburu-buru. Bisakah pertemuan ini dipercepat?”<br />Kata-katanya malah membuatku makin marah. Aku benar-benar dianggap tidak penting.<br />“Ya sudah kalau kamu sedang terburu-buru. Lain kali saja…”<br />“Oh, nggak, nggak. Sekarang saja,” dia terdiam beberapa saat. Lalu bertanya dengan sedikit ragu, “Apakah ini tentang hubungan kita yang selama ini digosipin teman-teman?” <br />Kuhela nafas. Egoku mendadak muncul. “Ya,” ujarku ketus. “Dan aku ingin konfirmasi bahwa hubungan kita tak lebih cuma sahabat. Itu saja.”<br />Kalimatku meluncur terlalu cepat. Meski ada sedikit sesal, aku tak bisa menariknya kembali.<br />Dia memainkan ujung sepatunya. Lama baru berkata, “Kalau begitu, aku setuju. Kita sahabatan. Sejak kamu mengajakku satu kelompok dalam tugas Bahasa Indonesia, aku memang kagum padamu. Kamu cantik, pintar, dan aku sangat beruntung bisa jadi sahabatmu.”<br />Dia menatap mataku sesaat, tersenyum, lalu pergi dengan langkah cepat. <br />Dan aku mematung di sudut kelas yang sepi. Menyesali apa yang baru saja terjadi. Kenapa aku begitu bodoh?<br />“Hey tunggu,” aku berlari mengejar dia. Tapi dia sudah menghilang entah kemana.<br />Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Yang bisa kulakukan adalah, bagaimana agar ‘bubur’ itu tetap enak. Aku harus melakukan pendekatan berbeda padanya. Memanfaatkan status baru kami yang ‘sahabatan’. Mungkin suatu saat, peluang kedua akan tiba dan arah angin akan berubah. <br /><br />***<br /><br /> “Firman, temani aku ke ruang guru…,” ujarku suatu kali padanya, dengan nada sedikit memerintah. <br />“Firman, bantuin aku ngerjain tugas…,” ujarku di kali yang lain.<br />“Firman, temani aku rapat OSIS…”<br />“Firman, ayo kita pulang bareng…”<br />Sejak terikrarnya hubungan ‘persahabatan’ yang tak dikehendaki itu, aku tak mau melepas dia. Aku seolah ketagihan untuk terus menyuruhnya ini dan itu, supaya dia tetap ada bersamaku. Ketika dia menunjukkan muka enggan, aku segera mengingatkannya. “Katanya sahabat…gimana sih?” Dan dia tak bisa menolak semua keinginanku. <br />Itulah cara pendekatanku yang baru. Aku tak mendapatkan cintanya. Tapi aku bisa mendapatkan dirinya. Aku bisa memperlakukannya sesuka hati.<br />Sialnya, semakin dia menurutiku, semakin membuncah perasaan sayangku. Semakin kubuat dia menderita karena harus selalu mengikuti kemauanku, semakin aku menderita karena deraan rasa cintaku. <br />Aku tahu, aku harus segera mengakhiri semua ini.<br />Tapi ibarat makan cabe, meski pedas selalu ingin lagi dan lagi.<br />Aku semakin menginginkannya, mengajaknya kemanapun aku pergi, dan dia tak bisa menolaknya. Saking seringnya kami bersama, dia hampir tak memiliki waktunya sendiri. Dia hanya memiliki dirinya sendiri saat sekolah libur. <br />Akan tetapi, suatu kali dia berhasil ‘lari’ dariku. Dia mengadakan camping bersama klub pecinta alam, diam-diam pada hari Sabtu. Dan hari Seninnya, isu tentang hubungan istimewanya dengan Riska makin merebak.<br />Gosip semakin sengit. Dan aku semakin posesif. Tak kubiarkan seharipun dia lepas dariku. Jam istirahat, kusuruh dia mengantarku ke sana ke mari (karena kebetulan aku aktif di organisasi). Jam pulang, kupaksa dia menemaniku pulang bersama. Kubuat dia tak punya kesempatan berhubungan dengan Riska. Aku telah berubah menjadi gadis yang egois.<br />Hingga suatu hari aku jatuh sakit di kelas. Dia mengantarku pulang. Kami berjalan berdua menyusuri trotoar menuju rumahku.<br />Tanpa kata, aku meliriknya di tengah rasa sakit migraine di kepalaku. Kulihat wajahnya muram.<br />Tiba-tiba rasa bersalah menyeruak di hatiku. Aku telah bersikap tak adil selama ini. Aku telah mengekang dia, mengikat dia dengan dalih yang tak bisa ditolak. Karena dia memang tipe orang yang sulit berkata tidak. <br />Aku telah membuatnya menderita. Dan juga membuat diriku sendiri makin tersiksa dengan hubungan yang aneh ini. Kalau ini cinta, kenapa harus begini? Dia mungkin mencintai Riska, kenapa aku harus menghalanginya? Bukankah cinta itu tidak egois? Bukankah cinta tak selalu harus berhasil? Kenapa aku tak mau memahami kenyataan ini?<br />Dalam rasa sakit yang mendera tubuh dan hatiku, aku bertanya padanya. “Apa benar kamu suka sama Riska?”<br />Dia tidak menjawab. Kami berdua terus berjalan. Dan entah darimana asalnya, gerimis turun dan mulai membasahi seragam kami. Dengan sigap, dia membukakan payung untukku. Kami beriringan dalam hujan, satu payung berdua. <br />Seharusnya ini adalah momen yang indah. Seharusnya ini momen yang romantis. Namun hatiku malah gerimis. Dinginnya tubuhku membuat luka batinku terasa beku. Kenapa dia ada di sisiku, sementara hatinya mungkin tidak di situ? Kenapa dulu kami harus bertemu? Kenapa dia harus ada dan aku mencintainya? Kenapa aku harus mengingkari perasaan dan bertindak bodoh dengan mengakuinya sahabat, kalau akhirnya aku melanggar semuanya? Kenapa aku harus mengingkari ucapan sendiri dan tak rela dia berpaling pada gadis lain?<br />Kakiku terantuk batu dan dia menangkap tubuhku sebelum jatuh. Sesaat, kami begitu dekat. Namun aku tahu, ini tak boleh terjadi. Kulepas genggamannya dengan sejuta perasaan.<br />Akhirnya dia bergumam pelan. Hampir tak terdengar. “Aku mencintai Riska.”<br />Butiran hujan memukul wajahku. Kugigit bibir. Kurasakan tubuh gemetar. <br />“Dan sebagai sahabat,” lanjutnya, “Maukah kamu membuatkanku surat cinta untuk Riska? Terus terang saja aku tak tahu cara menyatakan perasaan pada seorang gadis.”<br />Entah cuma perasaanku atau memang begitu, petir berpendar memecah langit. Hatiku hancur berkeping-keping. Tubuhku serasa tak menggapai bumi. Melayang terbang, lalu terempas jatuh ke tanah. Tahu-tahu, aku dapati diriku tengah duduk di atas trotoar yang basah dengan air hujan. Sambil menangis perlahan. <br />Dia kebingungan dan bertanya, “Apa sakit kepalamu bertambah parah?”<br />Tangisku pecah.<br /> ***<br />Satu semester berlalu sejak kejadian itu. Aku telah memenuhi janjiku untuk menjadi sahabat yang baik baginya, yakni dengan membuatkan surat cinta untuk Riska, atas nama dia. Dan seperti yang kuharapkan, Riska menolak pernyataan cintanya. Tapi hubungan kami tak jadi membaik. Dia mulai menjauhiku, dan aku juga berusaha menjauhinya. Kami tak ingin memulai lagi hubungan yang tak menentu ini. Aku ingin mengakhiri perasaan cinta yang indah namun perih ini.<br />Naik ke kelas tiga, kami berpisah. Dia kelas G, aku A. Aku berusaha melupakannya dengan konsentrasi pada pelajaran. Nilai-nilaku bagus dan aku mendapat juara satu. Selain itu, berbagai penghargaan lomba tingkat propinsi dan kotamadya aku kantongi. Namun begitu, hatiku selalu sepi. <br />Tak terasa perpisahan kelas tiga sudah tiba. Aku akan berpisah dengan semua kenangan yang terjadi selama masa SMP. Saat pengumuman NEM, aku tak ada di sana. Lewat mikrofon di lapangan, namaku dipanggil berkali-kali untuk menerima penghargaan. Aku malah diam di kelas dan sibuk menulis diary. <br />Lalu dia datang padaku untuk memberi tahu, “Selamat ya. Kamu dapat NEM terbaik di SMP ini.”<br />Itulah kata-kata pertamanya untukku, sejak kami terpisah di kelas tiga. Dan mungkin, itu juga kata-kata terakhirnya. <br />Aku tahu, sejak saat itu kami takkan pernah bertemu lagi.<br />Di suatu malam yang dingin, aku melaju menuju sebuah kota baru. Aku akan melanjutkan studi ke SMA dan memulai hidup baru. Namun mataku berkaca-kaca. Aku sadar, meski ragaku telah pergi jauh, namun sekeping jiwa masih tertinggal di sana. Di bangku SMP yang telah menorehkan kisah cinta yang tak pernah tersampaikan, yang akan selalu jadi sepenggal kenangan. <br /><br /><br /><span style="font-style:italic;"><br />Copyright@2008 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS</span><br /><br /><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-26684721830856014092010-10-23T09:57:00.000-07:002010-10-23T20:14:58.832-07:00Surat Cinta KeramatOleh: <span style="font-weight:bold;">Hurul Aini as Silmi, 15 tahun</span><br />(BWS Bekasi)<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOkm1VljUI/AAAAAAAAAVA/Xl2iLdOx4Ss/s1600/u12323189.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 318px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOkm1VljUI/AAAAAAAAAVA/Xl2iLdOx4Ss/s320/u12323189.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531445754400705858" /></a><br /><br /><br />Aku tak begitu suka mendengarkan kisah cinta. Namun yang ini berbeda. Ini adalah kisah cinta seorang pria - pria terbaik dalam hidupku. Namanya Danar. Dia memiliki sebuah kisah cinta yang unik, dan dia senang menceritakannya padaku, berulang-ulang. Aku selalu mendengarkan kisah cintanya tanpa pernah bosan.<br /><br />Dulu, dulu sekali. Danar pernah menyukai seorang gadis. Ya, seorang gadis. Gadis itu bernama Rahmi. Danar menyukai Rahmi secara diam-diam. <span style="font-style:italic;">Silent love</span>…. <br /><br />Perasaan cinta tumbuh sejak kelas 2 SMA. Rahmi adalah teman sekelas Danar. Ia gadis yang tidak hanya berwajah manis, dengan lesung pipit yang tersembul malu-malu di kedua pipinya yang mulus. Ia juga murid terpandai di kelas dan jago sekali dalam pelajaran Kimia. She’s Miss Alchemy in her class. Hal itu membuat Danar diam-diam merasa kagum padanya. Dari kagum, tumbuhlah sayang, dari sayang, tumbuhlah cinta – begitulah, seperti umumnya pepatah: cinta datang karena sering memperhatikan. <br /><br />Danar sebenarnya cowok yang kepandaiannya pas-pasan. Namun melihat sang pujaan hati selalu menduduki peringkat satu di kelas, ia termotivasi untuk belajar lebih keras. Terlebih, setiapkali Rahmi tidak masuk sekolah karena harus check up rutin ke dokter – entah karena penyakit apa – Danarlah yang selalu dipinjam catatan olehnya. Danar mulai merapikan catatan pelajarannya, agar Rahmi tidak kesulitan membaca. Buku-buku catatan itu masih ada sampai sekarang – tersimpan di lemari di rumahnya, bersama tumpukan benda kenangan lainnya. <br /><br />Karena termotivasi untuk belajar, nilai-nilai Danar yang biasanya tidak istimewa, meningkat tajam. Ia mulai rutin masuk peringkat 3 besar di kelas. Hmm…cinta memang bisa membuat seseorang memunculkan kemampuan terbaik, bukan? Begitulah yang terjadi pada Danar. Di hari kelulusan, ia berhasil memperoleh beasiswa dari sebuah universitas ternama. Dan entah sudah ditakdirkan Tuhan atau apa, Rahmi pun menerima beasiswa dari universitas yang sama. Mereka melanjutkan kuliah sama-sama, dan mengambil jurusan yang sama. <br /><br />Danar dan Rahmi masih seperti di bangku SMA, sering berdiskusi soal pelajaran, dan pinjam meminjam catatan. Akan tetapi, kisah cinta di antara mereka belum ada kemajuan. Danar yang memang bertabiat pendiam, belum berani menyatakan perasaan khususnya kepada Rahmi. Ia baru bisa menyimpannya untuk diri sendiri.<br /><br />Rasa cinta yang menyiksa, membuat Danar merasa harus bertindak. Ia tak bisa menyembunyikan perasaannya terus menerus. Ia akan menulis surat cinta untuk Rahmi. <br />Maka Danar mulai mencoba menuliskan perasaannya di atas kertas. Lembar demi lembar ditulisnya dengan ungkapan cinta yang berbeda. Kalau dirasa jelek, kertas-kertas itu akan dibuangnya ke tempat sampah. “Aku harus menulis surat cinta yang sempurna,” batinnya. Danar terus menulis, menulis, dan menulis. Tak peduli kamar kostnya dipenuhi surat-surat cinta yang gagal dibuat. Ia tidak tahu kapan suratnya akan cukup sempurna untuk ditunjukkan kepada Rahmi. Tapi saat itu akan tiba, batinnya optimis. <br /><br />Hingga pada suatu hari, mendekati akhir semester perkuliahannya, Danar akhirnya berhasil menyelesaikan suratnya yang pertama. Ia siap menunjukkan surat itu kepada gadis yang dicintainya. Masalahnya, ia belum menemukan waktu yang tepat. <br /><br />Setelah cukup lama menunggu, akhirnya momen itu datang juga. Ketika pulang kuliah, Wisnu – sahabatnya memanggil. “Nar, lo lagi santai kan? Anter gue ke rumahnya si Rahmi dong.”<br /><br />“Emangnya ada perlu apa ke rumah Rahmi?” tanya Danar. Heran sekaligus deg-degan. Apakah ini saatnya? Keringat dingin mulai membasahi dahinya. <br />"Udah, nggak usah banyak nanya. Sekarang juga kita ke sana,” ujar Wisnu. “Aku ada keperluan mendesak dengannya.”<br />Perasaan Danar makin tak karuan. Akhirnya, tiba juga saat untuk memberikan surat itu kepada sang gadis pujaan. Tuhan, kuatkanlah aku. “Ya udah, Nu. Tunggu sebentar ya, aku mau ke kost-anku dulu.”<br />“Ke kost-an, ngapain?”<br />“Ya mau ganti baju dulu lah. Masa kamunya rapi, aku cuma pakai kaus oblong begini,” kilah Danar. Tujuan utamanya ke kost-an tentu saja untuk mengambil surat cinta keramat itu! Yah, selain ingin tampil rapi di depan calon mertua, batin Danar konyol.<br />Setelah selesai urusan di tempat kost, Wisnu mengajak Danar mampir dulu ke rumah tetangganya, Pak Haji. Lelaki tua berpeci putih itu diajak ikut serta ke rumah Rahmi. “Kebetulan Pak Haji juga ada perlu ke sana, sekalian aja bareng kita,” jelas Wisnu kepada Danar.<br />Rombongan kecil itu pun tiba di depan sebuah rumah mungil yang dindingnya dicat hijau. Rumah itu terlihat nyaman dan hangat.<br />Seorang wanita paruh baya menyambut mereka di pintu pagar. Dia pasti ibunya Rahmi, pikir Danar. Mereka dipersilakan masuk ke ruang tamu mungil yang ditata sederhana namun berkarakter. Danar semakin gelisah. Ia memikirkan kapan waktu yang tepat untuk memberikan surat cintanya kepada Rahmi.<br />Rahmi muncul ke ruang tamu bersama ayahnya. Ia dan ayah ibunya duduk di sofa panjang, menghadap ke arah tamu. Suasana mendadak sepi. Surat ini akan kuberikan nanti saja pas mau pulang, batin Danar. Kemudian suara Pak Haji memecah kesunyian.<br />“Ibu dan Bapak dari Ananda Rahmi yang saya hormati," ujar Pak Haji dengan sikap formal. Danar menyimak baik-baik.<br />"Anda berdua tentu sudah tahu maksud kedatangan kami,” lanjut Pak Haji. “Karena rumah orang tua Wisnu amat jauh, di pelosok Kalimantan sana, jadi saya datang ke sini selaku wakil dari mereka." <br />Danar merasa ada sesuatu yang ganjil dari ucapan Pak Haji. <br />"Kali ini keputusan Nak Wisnu sudah bulat. Betul begitu, Nak Wisnu?” Pak Haji bertanya kepada cowok berwajah oriental itu. Wisnu tersenyum dan mengangguk mantap. Apa maksudnya?, pikir Danar.<br />“Saat ini,” lanjut Pak Haji. “Nak Wisnu memang masih kuliah. Tapi dia sudah punya penghasilan tetap dari menulis di majalah, dan umurnya juga sudah mencukupi. Semua syarat yang diajukan Nak Rahmi sudah terpenuhi. Setelah minggu lalu keduanya bertaaruf, Nak Wisnu sudah mantap dengan keputusannya untuk melamar….”<br />Tiba-tiba Danar merasa tersengat listrik berkekuatan 1000 volt. Ya Tuhan, jadi ia datang ke situ untuk menyaksikan acara lamaran?<br />“Nah, Nak Rahmi sendiri bagaimana?” suara Pak Haji mengiang.<br />Mata Danar berkunang-kunang ketika melihat gadis pujaan hatinya tersenyum malu-malu dan menjawab, “Ya, saya bersedia.” <br />Kalau Danar merasa harus mencubit diri sendiri, sekaranglah waktunya. Apa ini cuma mimpi? Danar tak percaya. Berulangkali ia mengerjapkan mata. Tapi ini nyata. <br />Wisnu! Ya Tuhan... Ternyata selama ini ada seseorang yang jauh lebih memikirkan Rahmi daripada dirinya. <br />Tubuh Danar bergetar. Pada saat itulah sesuatu muncul malu-malu dari saku kemejanya. Surat cinta keramat – ya. Surat cinta yang sudah ditulisnya selama bertahun-tahun, namun akhirnya takkan pernah tersampaikan, sebab sang bunga pujaan keburu dipetik orang. Dan orang itu adalah Wisnu, sahabatnya sendiri.<br />Ah, Wisnu, Wisnu, andai sebelumnya lo ngasih tahu dulu ke gue…<br />Semua orang bergembira ketika pertemuan itu usai. Di jalan pulang, Wisnu tampak sangat bahagia. Tanpa malu-malu, ia ber-yes ria di depan Danar. Lalu tersentak melihat wajah sahabatnya yang datar.<br />“Eh, Nar, kenapa muka lo pucat begitu? Lo…nggak marah sama gue kan, gara-gara gue nggak pernah cerita tentang kisah cinta gue sama Rahmi? Sorry ya, Nar. Gue pikir akan lebih manis kalo gue kasih tahu lo happy ending-nya aja. Gue pengen ngasih surprise buat lo. Biar lo selalu mengenang kisah cinta sobatmu ini. Eh, gak ngasih selamat ke gue nih?”<br />“Selamat ya, Nu. Semoga lo bahagia bersama Rahmi. Tenang aja, gue gak bakal melupakan kisah percintaan sahabat gue seumur hidup. Gak akan pernah,” Danar berkata pilu. Tapi ia melemparkan senyum terbaik yang pernah dimilikinya kepada Wisnu. <br />Wisnu merangkulnya erat. Lalu mengalirlah kisah cinta dari bibir cowok itu. Tentang bagaimana ia sudah menyukai Rahmi sejak pertama kali mereka masuk kuliah. Tentang bagaimana ia sering berkonsultasi dengan Pak Haji – guru ngajinya – mengenai masalah cintanya dengan Rahmi. Dan seterusnya…dan seterusnya… <br />Suara rel kereta api berdecit decit, memukul hati Danar yang pilu, menjadikannya kepingan kepingan kecil seukuran debu. Danar meremas kuat-kuat amplop putih dari sakunya, lalu membuangnya ke atas rel kereta, berharap surat itu hancur tergilas sebagaimana perasaannya. Ia menatap pilu pada setangkai rumput liar di pinggir rel kereta api. Ia bertanya... mengapa rumput itu tumbuh sendiri di sisi rel yang gersang…terus bertanya tanya... mengapa sendiri itu jadi terasa amat menyakitkan?<br />Itulah kisah cinta Danar. Danar adalah pria terbaik dalam hidupku. Dia ayahku. Dan ya, seperti janjinya kepada Wisnu, kisah cinta itu terus dikenang seumur hidupnya. Meski kini ia telah menikahi Ibu dan memiliki aku – remaja putri berusia 15 tahun – , kisah cinta itu tetap tersimpan, dan kadang-kadang diceritakan ulang kepada kami, sebagai penghangat suasana keluarga. Aku menyukai kisah cinta itu. Tanpanya, mungkin ayah takkan menikahi Ibu dan menyebabkanku lahir ke dunia… ***<br /><br /><span style="font-style:italic;">Copyright@2008 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS</span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-48954669489147302002010-10-23T09:51:00.000-07:002010-10-23T20:21:03.361-07:00Cinta Karena AllahOleh: <span style="font-weight:bold;">Mulandari Palupi, 16 tahun</span><br />(BWS Bandung)<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOl96dH9VI/AAAAAAAAAVY/IlgKVtmOVRs/s1600/zz003005.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 251px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOl96dH9VI/AAAAAAAAAVY/IlgKVtmOVRs/s320/zz003005.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531447250423117138" /></a><br /><br /><br />Aku tidak tahu kisah ini terjadi di zaman apa. Pokoknya, dulu kala. Setting-nya di sebuah wilayah di Jazirah Arab , dan kau jangan tanya kenapa. Aku hanya ingin membuat kisah di daerah itu, itu saja. Dan baiklah, kumulai petualanganku di dunia fiksi. Fiksi cinta yang indah ini. Well, seperti dalam dongeng, aku akan mulai dengan kata ‘alkisah’. <br /><br />Alkisah, hiduplah seorang gadis bermata indah bernama Fitriyyah. Ia sangat taat dengan ajaran islam yang dibawa pendahulunya, Rasulullah saw. Ia jarang keluar rumah, karena tak mau pemikirannya tentang islam teracuni. Maklumlah penduduk di daerah itu masih menganut kepercayaan terhadap berhala. Karenanya ia sangat membatasi pergaulan dan jarang bepergian. Kalaupun ada kerabat yang sakit yang mengharuskannya bepergian, ia selalu keluar dengan mengenakan jilbab yang membalut rapat sekujur tubuhnya kecuali mata dan telapak tangan. Ia sangat gemar memakai cadar, karena dengan demikian kecantikannya terlindungi dan tidak ada yang berani mengganggunya. <br /><br />Suatu hari tersiar kabar bahwa salah seorang kerabatnya yang tinggal di negeri yang jauh sakit keras. Fitriyyah merasa harus menjenguk. Atas ijin ayahnya, ia bisa pergi dengan menunggang seekor unta, ditemani seorang adik laki-lakinya. Mereka berdua mulai menempuh perjalanan setelah memastikan telah membawa bekal yang cukup. <br /><br />Hari sudah menjelang malam ketika mereka berpapasan dengan sebuah rombongan saudagar yang tengah dalam perjalanan pulang dari berdagang. Pemimpin rombongan itu adalah seorang pemuda tampan berusia sekitar 20 tahun. Meski masih muda, dia tampak sigap dan berwibawa di hadapan para anak buahnya. <br /><br />Melihat ada seorang gadis dan seorang pemuda bergerak di hadapan, rombongan itu berhenti. Mereka memberi jalan. Kedua orang itupun berterima kasih dan lewat dengan unta mereka. Di bawah cahaya bulan, pemuda itu dapat melihat sang gadis sekilas. Mendadak hatinya bergemuruh. Gadis itu, meski memakai cadar, ia memiliki sepasang mata yang bening dan indah. Sudah pasti ia memiliki wajah yang cantik. <br /><br />Gadis dan adiknya sudah jauh berada di belakang mereka. Namun sang pemuda tidak juga memerintahkan rombongannya untuk kembali berjalan. <br /><br />“Ada apa, Tuan?” tanya salah seorang anak buahnya dengan penasaran. <br /><br />Pemuda itu berkata, “Kita akan istirahat dulu di sini sambil membuka perbekalan. Sementara itu cepat kau susul mereka. Tanyakan siapa nama gadis itu dan di mana alamat rumahnya.”<br /><br />Orang itu mengangguk-angguk dan tersenyum maklum. Tuannya tertarik oleh gadis yang barusan lewat. Segera ia melakukan hal yang diperintahkan. <br /><br />Pada mulanya gadis itu enggan dimintai keterangan apapun. Akan tetapi, si pesuruh itu punya akal. Ia berbisik pada adik si gadis, menyelipkan beberapa keping dinar, lalu berhasillah ia mengorek keterangan. Si gadis marah pada adiknya. Tapi adiknya yang masih belia itu cuma tersenyum-senyum saja sambil menenteng uang dinarnya.<br /><br />***<br />Sepulang dari bepergian, Fitriyyah mendapat sepucuk surat di rumahnya. Dari seorang pemuda bernama Amiruddin. <br />Surat itu berisi kata-kata manis berbentuk puisi. <br /><br /><span style="font-style:italic;">Malam mengabut saat kita bersua untuk pertama<br />Di sebuah jalan setapak di atas unta-unta<br />Kau berdua, aku bersama<br />Berhadapan dalam cahaya bulan yang meremang. <br />Tapi Cinta…<br />Meski remang, cahaya bulan tak mungkin berdusta<br />Bahwa kamulah satu-satunya<br />Pemilik mata indah yang membangkitkan asmara</span><br /><br />Tahulah ia bahwa yang mengirim surat itu adalah pemuda yang memimpin rombongan dagang, yang berpapasan dengannya sewaktu dalam perjalanan itu. <br />Fitriyyah menghela nafasnya. Sejujurnya, sejak pertama melihat pemuda bernama Amiruddin itu, hatinya pun sama. Ia telah jatuh cinta. Jatuh cinta pada pandangan pertama. <br />Ia membalas surat itu dengan sebuah puisi. <br /><br /><span style="font-style:italic;">Tanyakanlah pada bulan yang menyaksikan kita<br />Aku juga memendam rasa yang sama<br />Tapi kekasih,<br />Apa daya diri ini takkan bisa menyambutnya<br />Karena aku bukanlah si cantik yang kau sangka<br />Hanya seorang pemilik mata indah yang buruk rupa<br /></span><br />Fitriyyah mengeposkan surat itu dengan perasaan sedih sekaligus lega. Lega karena ia telah menolak cinta sang pemuda, dan dengan demikian ia dapat mempersembahkan cintanya hanya untuk Sang Pecinta Sejati, Allah swt. Sedih karena sebetulnya ia memang tertarik dengan pemuda itu dan setelah membaca puisi itu sang pemuda pasti tak akan sudi menghubunginya lagi.<br />Tapi ia salah. Beberapa hari kemudian Amiruddin mengirim puisi balasan. <br /><br /><span style="font-style:italic;">Ijinkan aku memandang wajahmu meski sekejap<br />Dengan begitu akan mengobati hatiku yang pengap<br />Meski kau seperti unta yang menyedihkan<br />Biarkan hatiku sendiri yang memutuskan</span><br /><br />Fitriyyah menjadi panik. Pemuda itu tidak menyurutkan langkah. Meski ia sudah bilang wajahnya tidak cantik, Amiruddin tetap penasaran. Ia segera mencari akal untuk mengusir pemuda itu dari hidupnya. Lalu ditulislah sebuah puisi. <br /><br /><span style="font-style:italic;">Temuilah aku esok hari<br />Pandangilah mukaku sepuas hati<br />Setelah itu kau boleh menyesal dan pergi</span><br /><br />Keesokan harinya Fitriyyah menjalankan rencananya. Ia mengenakan topeng mengerikan yang sudah dibuatnya semalaman. Kemudian ia duduk-duduk di beranda depan rumahnya sambil menunggu pemuda itu datang. <br />Tapi pemuda itu tak nampak batang hidungnya. Mungkin ia sedang melihatnya secara sembunyi-sembunyi. Atau mungkin juga tidak datang. Baguslah, pikirnya. Dengan demikian selesailah sudah beban yang mengganggu pikirannya. Fitriyyah pun masuk ke dalam rumah untuk melaksanakan sholat dhuha. <br />Beberapa hari kemudian, Fitriyyah dan keluarganya dikejutkan oleh kedatangan sebuah rombongan. Seorang pemuda tampan turun dari untanya dan langsung bersimpuh di kaki ayah Fitriyyah yang kebingungan. <br />“Ada apa ini?” tanya ayah gadis itu dengan wajah terheran-heran.<br />Pemuda itu berkata dengan lirih. “Tolong ijinkan saya menikahi putri anda.”<br />“Menikahi putri saya?” tanya si ayah, kaget atas permintaan mendadak ini. <br />Sementara itu Fitriyyah diam-diam mendengar percakapan itu dari kamarnya. Hatinya diliputi sejuta rasa. Terkejut, heran, dan juga berbunga. <br />Amiruddin melanjutkan permohonannya. “Yah, meski putri anda buruk rupa, tapi saya telah jatuh cinta padanya. Sekarang ijinkanlah kami menikah.”<br />Ayah sang gadis semakin kebingungan. “Buruk rupa? Maksudnya….?”<br />Pada saat itulah Fitriyyah keluar dari kamarnya dan menghampiri mereka. Ia mengenakan topeng yang membuatnya kelihatan buruk rupa. Semua orang menjerit kaget melihatnya. Tapi sang pemuda tidak. Ia menatap wajah gadis itu dengan senyum dan tatapan penuh kerinduan. <br /><br />Sebelum ayahnya sempat bereaksi menyaksikan drama ini, Fitriyyah menyela. “Dengar, pemuda. Saya sudah menolakmu beberapa kali lewat surat. Saya juga sudah memperlihatkan wajah buruk ini di hadapanmu. Nah, kenapa kamu tak juga pergi dari sini? Saya yakin banyak wanita cantik yang mengharapkanmu di luar sana. Kamu boleh memilih yang mana saja di antara mereka.”<br /><br />Sang ayah menatap putrinya dan pemuda itu bergantian. Tahulah ia apa yang sedang terjadi. Putrinya memakai topeng buruk supaya pemuda itu tidak melamarnya. Ia segera menghampiri sang pemuda dan menyuruhnya berdiri. <br /><br />“Nah, pemuda. Siapapun adanya dirimu, kamu sudah mendengar sendiri jawaban putriku. Dia tidak menginginkanmu. Sekarang, pergilah dari sini.”<br /><br />Tapi pemuda itu tak mau pergi. Ia malah berkata dengan linangan air mata. “Bapak, andaikan pinangan saya ini, cinta saya ini, adalah ikhlas karena Allah, maukah anda mengabulkan permohonan saya untuk menikahinya?”<br /><br /> Kening ayah si gadis berkerut tanda tak mengerti. “Ikhlas karena Allah? Maksudnya apa? Bagaimana kamu bisa mengatakan bahwa niatmu menikahi putriku adalah ikhlas karena Allah?”<br /><br />Pemuda itu menundukkan mukanya. Ia berkata dengan lirih. “Karena…karena saya ingin masuk islam. Sedangkan putri anda, adalah satu-satunya gadis di daerah ini yang sudah memeluk islam. Dengan menikahinya, saya bisa mempelajari dan meyakini islam dengan lebih mantap.” <br />Ayah dan putrinya saling pandang. Fitriyyah merasa dadanya bergejolak. Ia tahu. Ia sudah menemukan calon pendamping yang tepat. <br />Tapi sang ayah tidak mau menerima pinangan itu begitu saja. Ia berkata, “Kalau kamu mau mempelajari islam, kenapa harus dengan cara menikah? Kenapa tidak belajar pada para pemuka saja? Saya sendiri bersedia kok mengajarimu islam sebatas kemampuan saya.”<br /><br />Pemuda itu tersipu malu. Akhirnya ia berkata, “Baiklah, Bapak. Kalau memang pernikahan bukan jalan satu-satunya untuk mendekatkan diri kepada Allah, saya akan ikuti saran anda. Saya akan belajar islam pada anda. Tanpa iming-iming ingin menikahi putri anda. Bukankah saya harus ikhlas dan tanpa pamrih untuk tujuan meningkatkan keimanan?”<br /><br />Ayah sang gadis mengangguk-angguk tanda setuju. Diam-diam ia salut kepada pemuda yang teguh hatinya itu. Pertama, dia mau bersusah payah menikahi seorang gadis yang dilihatnya buruk rupa. Kedua, dia mau melepaskan niat menikahnya itu. Semua ini dilakukan hanya untuk satu tujuan mulia, yakni belajar tentang ilmu agama. <br />Maka keluarga itu menerima kedatangan sang pemuda bernama Amiruddin itu beserta rombongannya, dengan sukacita. Dengan tangan terbuka dan menggunakan cara yang halus, ayah sang gadis mulai mengajarkan islam kepada mereka selama beberapa hari. Setelah tujuh hari membekali mereka dengan bimbingan syahadat, sholat, zakat, puasa, mengkaji alqur’an, ayah sang gadis merasa puas. Amiruddin sangat cerdas dan semua ilmu yang diberikan mampu diserapnya dengan baik. <br /><br />Akhirnya kunjungan itu harus berakhir. Amiruddin dan rombongannya berpamitan untuk kembali ke kampung mereka untuk mengamalkan ajaran islam. Beberapa bulan kemudian, tersiar kabar bahwa sekarang Amiruddin telah memiliki pengikut yang cukup banyak. Sejak mensyi’arkan islam di kampungnya, orang-orang berbondong-bondong masuk islam secara sukarela dan sukacita. Ini karena selain Amiruddin termasuk putra seorang pemuka di daerahnya, pemuda itu juga dikenal memiliki kemampuan persuasif yang sangat baik. Ia pandai merangkai kata, membangkitkan semangat, dan yang terpenting selalu mengimbangi segala ucapannya dengan perbuatan yang baik. <br /><br />Ayah sang gadis merasa gembira mendengar kabar itu. Ia pun segera mendatangi Amiruddin dengan membawa serta putrinya Fitriyyah. <br /><br />“Wahai pemuda,” ujar ayah sang gadis setelah berhadapan dengan Amiruddin. “Dulu kamu menginginkan pernikahan dengan putriku. Tapi aku menolaknya karena masih ragu dengan niatmu. Kini aku sudah tahu bahwa kamu mencintai putriku dengan tulus ikhlas karena Allah. Karenanya sekarang aku datang kemari, bersama putriku, dan berharap kamu menerimanya jadi istrimu.”<br /><br />Amiruddin tersenyum gembira. Ia berkata, “Maha Suci Allah yang telah memberikan jodoh bagi saya untuk semakin memperkuat keimanan saya dan memperkaya ladang amal ibadah saya. Tentu saja, insya Allah, saya akan menikahi putri anda secepatnya.” <br />Ayah sang gadis mengucap hamdalah atas penerimaan itu. Ia segera menyingkap cadar yang menutupi wajah putrinya sambil berkata, “Inilah calon istrimu itu, Amiruddin. Kalian akan menjadi pasangan yang serasi dan diridhoi Allah.”<br /><br />Amiruddin terpaku menatap wajah cantik gadis itu. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Lalu memalingkan muka dan mengucap istighfar dengan pelan. <br /><br />“Kenapa memalingkan muka seperti itu, wahai pemuda?” tanya sang ayah dengan kaget sekaligus tersinggung melihat reaksi pemuda di hadapannya. “Tidakkah putriku ini gadis yang sangat cantik?”<br /><br />Amiruddin berkata pelan. “Tidak, Bapak. Putri anda, tentu saja sangat cantik. Dia wanita tercantik yang pernah saya lihat. Akan tetapi, maafkan saya. Sejak awal saya sudah mencintai gadis lain. Saya mencintai Fitriyyah, putri anda yang satunya.”<br />Ayah dan anak saling pandang dalam kebingungan. Lalu sesaat kemudian mereka mengerti masalahnya dan tertawa. <br /><br />Fitriyyah segera mengeluarkan topeng yang sudah dipersiapkannya. Dalam sekejap ia sudah berganti wajah menjadi gadis yang buruk rupa. <br /><br />Amiruddin menghela nafasnya. Sebuah kegembiraan melingkupi hatinya. Ia segera berkata, “Nah, Bapak, maukah anda menikahkan kami sekarang juga?”<br /><br />Hmm…dongeng yang indah, bukan? Tapi seperti kukatakan di awal cerita, ini bukan dongeng. Ini fiksi. Kisah cinta khayalan yang terukir di benakku manakala kulihat dunia nyata berisi cowok-cowok naïf yang mengukur cinta cuma dari penampilan…<br /><br /><span style="font-style:italic;">Copyright@2007 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS</span><br /><br /><span class="fullpost"> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-13539709025883794812010-10-22T08:51:00.000-07:002010-10-23T20:27:28.855-07:00MadnessCerpen: <span style="font-weight:bold;">Lela Susilawati Sy</span>.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMGz9kFQc8I/AAAAAAAAARA/iSlhKmgsxyo/s1600/u17950633.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 226px; height: 320px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMGz9kFQc8I/AAAAAAAAARA/iSlhKmgsxyo/s320/u17950633.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5530899687626798018" /></a><br /><br />“Kamu nggak kenapa-napa kan?” Polisi itu menatap wajahku dengan cemas. <span class="fullpost"> <br /><br />Aku tak bisa berkata-kata, yang keluar dari bibirku adalah isakan tertahan.<br />Dengan gerakan kikuk – mungkin karena tak tahu harus berbuat apa – Jaka menggiringku untuk duduk di sebuah bangku kosong di mana kami berdua dapat duduk berdampingan. Jaka – sang polisi tak nyaman menatap wajahku. <br /><br />“Nah, bicaralah. Ada apa?” bisiknya. Sementara kedua matanya menyapu sekitar, memastikan suaranya yang berat dan dalam itu tidak terdengar oleh siapapun selain kami berdua.<br /><br />“Aku…” suaraku masih tertahan di tenggorokan. Rasanya sulit untuk mengatakannya. Sesulit aku membayangkan peristiwa ini akan terjadi padaku dan bukan hanya dalam sinetron. <br /><br />“Aku telah…diancam seseorang!”<br /><br />Detik menghening. <br /><br />“Kamu, diancam?” ada nada sangsi dalam suara Jaka.<br /><br />Aku mengangguk, tak tahu harus menangis atau menyimpannya sampai nanti. Kalaupun aku harus nangis, tidak di sini. Ini tempat umum di mana semua orang melihatku dan polisi itu.<br /><br />Jaka mengambil sesuatu dari tanganku. Selembar kertas lecek dengan tulisan tangan yang jelek di dalamnya. Bunyi tulisan itu: <br /><br />“BAYAR SISANYA SEGERA. <br />KALAU TIDAK, KANTORMU AKAN KUMUSNAHKAN.” <br />(SWARNADER)<br /><br />“Siapa SWASNADES?” tanya Jaka sambil mengerutkan keningnya.<br />“Bukan swasnades,” ujarku. “Swarnader.”<br />“Tulisan ini sungguh jelek, huruf R nya tidak bisa dibedakan dengan huruf S,” ujar Jaka sambil mengamati kertas di tangannya. “Siapa Swarnader?”<br />“Aku tak tahu orangnya. Tapi kemungkinan salah satu pekerja proyek yang sedang membangun rumahku.”<br />“Kamu yakin?”<br />“Mungkin. Soalnya lokasi rumahku ada di Graha Swarna, dan Swarnader kuyakin merupakan julukan bagi para pekerja proyek di sana.”<br />Jaka mengangguk-angguk. “Apa maksudnya dengan ‘bayar sisanya’?”<br />“Aku tidak tahu,” ujarku. “Selama ini aku merasa telah membayar para pekerja itu sesuai perjanjian yang telah kami tandatangani. Aku sungguh tidak mengerti apa maksudnya.”<br />Kami terdiam. Jaka melipat kertas itu dan memasukkan ke dalam saku celana seragamnya. “Ya udah, sekarang kamu kembali ke kantor saja. Biar aku menjagamu dari sini sambil menunggu perkembangan. Kabari aku kalau ada apapun yang terjadi atau tiba-tiba kaupikirkan.”<br />Jaka membantuku berdiri, lalu menyeberangkanku. Kantorku memang terletak di seberang kantor polisi di mana Jaka bertugas setiap harinya. Aku masuk ke ruang kerjaku diiringi tatapan heran Tami sekretarisku. Melihat mukaku yang kalut, Tami segera mengambilkan segelas air putih. <br />“Ada problem apa, Mbak? Aku bisa bantu mungkin?”<br />Aku menggeleng. “Aku hanya…sedang tidak enak badan. Kamu teruskan saja bekerja, Tami. Surat-surat buat klien harus masuk ke mejaku hari ini.”<br />Dengan patuh Tami kembali ke kubikelnya. Seperti biasa, dia melakukan semua pekerjaannya dengan cekatan. Aku memandangnya beberapa saat. Sudah hampir lima tahun dia mengabdi padaku, menjadi sekretaris yang setia. Aku tak mau dia pergi dari sisiku. Ah, aku memang egois telah melarang dia menikah cepat-cepat. Usianya sudah 25, dua tahun di bawahku, cukup matang untuk mencari pendamping hidup. Tapi aku tak mau ditinggalkan gara-gara cuti bulan madu, cuti hamil, cuti melahirkan dan cuti-cuti lain yang umum dialami para wanita yang sudah menikah. Dia sudah terlanjur menjadi sekretaris kesayangan, aku tak mau menanggung resiko dengan merekrut orang baru.<br /><br />Benakku kembali melayang ke surat ancaman itu. Perlukah aku bicara dengan Tami? Dia sangat bisa kupercaya. Tapi…kurasa waktunya belum tepat. Cukuplah aku dan Jaka yang tahu masalah ini.<br /><br />Yah, setidaknya setelah bicara dengan Jaka, hatiku yang tadi bergejolak tak karuan jadi sedikit lebih tenang. Diam-diam kusingkap tirai jendela ruang kerjaku yang menghadap ke jalan. Jaka masih berdiri di depan pos jaganya sambil mengawasi kantorku. <br /><br />***<br /><br />Aku tidak tahu sejak kapan mengenal Jaka. Yang pasti sejak kantorku pindah ke sini, dia sudah bertugas di kantor seberang dan sering nongkrong di depan pos jaganya. Berulangkali aku memergoki Jaka masuk ke lobi kantorku dan mengobrol dengan resepsionis atau sekretarisku atau siapapun yang ia temui di lobi. Awalnya aku tidak mempedulikan kehadirannya. Aku selalu sibuk sendiri dengan urusan pekerjaanku sebagai bos di kantor ini. Kalaupun berpapasan atau tak sengaja memandang, kami hanya saling tersenyum atau menganggukkan kepala. Aku sama sekali tak tertarik dengan para polisi yang iseng datang ke kantorku hanya untuk menemui resepsionis atau sekretaris cantikku. Apalagi, profesi polisi sepertinya tidak cukup keren untuk dapat berakrab-akrab dengan seorang direktur perusahaan retail sepertiku. <br />Jaka tampan. Ketampanannya menonjol di antara para polisi lain yang sering bergerombol bersamanya dan bermain ke kantorku. Tapi aku tak terlalu berminat dengan ketampanan. Sudah banyak pria tampan di dunia namun tak memiliki kualitas lain yang dibutuhkan seorang wanita.<br />Sungguh tak sangka akhirnya kami harus terhubung. Aku dan Jaka, ya, meski hanya sebagai polisi dan ‘klien’nya. Ya, aku klien yang butuh perlindungan dari orang bersenjata seperti dia. Awalnya, adalah satu bulan lalu. Aku sedang membangun sebuah rumah pribadi di daerah yang tak terlalu jauh dari kantorku. Sialnya, para pekerja bangunan melakukan pemogokan selama tiga hari, dengan alasan minta kenaikan honor. Padahal jelas-jelas perjanjian kerja sudah ditandatangani. Tak punya ide lain, aku memanggil Tami sekretarisku dan menanyakan tentang para polisi itu. <br />“Kang Jaka aja, Mbak, dia orangnya kalem dan berwibawa, pasti bisa menghadapi para pekerja nyebelin itu,” usul Tami. Oh baik, jadi orang-orang memanggilnya “Kang” Jaka, pikirku dengan geli.<br />Jadilah kami bersosialisasi untuk yang pertama kali. Biasa, dengan tampang bossy aku menyuruh Jaka menemaniku menemui para pekerja proyek itu, berharap dia bisa membuat para pekerja kembali menghentikan aksi mogoknya. <br />Ternyata meskipun punya nama yang manis, tampangnya sangar juga ketika menghadapi para pemogok itu. Tinggi badan Jaka sekitar 185 meter, tampan, dan agak menakutkan. Saat dia membentak para pemogok dengan suaranya yang dalam dan berat, aku terkejut, sama seperti para pemogok itu. Dan seperti kata Tami, dengan wibawanya, Jaka berhasil membuat para pekerja menggigil dan terpaksa kembali melakukan tugasnya tanpa pemberontakan. Yah, tak sia-sia aku membayar polisi itu dengan harga tinggi. <br />Sejak saat itu aku merasakan ada yang lain dengan hatiku. Aku merasa…entahlah, mungkin terlindungi. Meskipun yah, dia melakukannya karena uang. Tapi aku belum pernah bertemu seseorang seperti itu. <br />Kukira hubungan kami sebagai polisi dan klien-nya akan cukup sampai di situ. Tapi…pagi ini sebuah surat ancaman muncul, dan satu-satunya yang terpikir olehku adalah menemui Jaka. Syukurlah, dia begitu perhatian pada kliennya. Dari balik jendela, dia masih bergerombol dengan temann-temannya sambil mengawasi kantorku. Aku jadi sedikit tenang. Rasanya seperti menemukan seorang bodigar yang siap setia pada tuannya.<br />Kuhempaskan tubuh ke atas sofa ruang kerjaku, lalu tertidur. Ketika bangun, hari sudah malam. Para pegawai sudah pulang. Di luar hanya ada Pak Asmat, satpam kantor yang kebagian tugas jaga malam. Sebelum berkemas untuk pulang, aku menulis sesuatu dan meletakkannya di atas meja kopi. <br />Besoknya, pagi-pagi sekali aku sudah tiba di kantor. Berharap semuanya baik-baik saja dan tak ada sesuatupun terjadi pada kantorku. Mudah-mudahan surat ancaman itu hanya perbuatan iseng. Rupanya pagi itu Jaka juga sudah datang pagi-pagi ke kantornya. Kulihat dari seberang dia melambaikan tangannya ke arahku. Aku tersenyum. Ah, kurasa memang tidak terjadi apa-apa, semua aman-aman saja. Aku segera masuk ke ruang kerjaku. Lalu menyeduh kopi seperti yang selalu kulakukan setiap pagi. <br />Dan di sanalah, di dekat toples berisi kopi, sebuah kertas terbuka, memperlihatkan tulisan jelek di dalamnya. <br /><br />“INI PERINGATAN KE-2. BAYAR SISANYA SEGERA. <br />KALAU TIDAK, KANTORMU AKAN KUMUSNAHKAN.” <br />(SWARNADER)<br /><br />Segera aku berlari ke kantor seberang. Sementara dadaku berdegup kencang.<br /><br /><br />***<br /><br /><br />Jaka menatap surat kaleng itu. “Kamu bilang, kamu menemukannya di sini?” dia menunjuk ke arah toples kopi. <br />Aku mengangguk. <br />“Sulit dipercaya,” katanya setelah memutari ruang kerjaku dan memeriksa berbagai sudut. “Darimana dia masuk?”<br />Aku menggelengkan kepala. “Tidak tahu. Kemarin sebelum aku pulang, tak ada apa-apa di dekat situ. Aku…aku tidak bisa membayangkan tadi malam seseorang telah masuk ke sini.”<br />“Hmm…Tidak ada celah lain selain jendela depan dan pintu, mustahil orang ini bisa masuk. Tak ada tanda-tanda pengrusakan atau membuka pintu dengan paksa. Sepertinya dia punya duplikat kunci ruang kerjamu.”<br />Aku tersentak dengan penjelasan Jaka. “Jadi…?”<br />Dengan perlahan Jaka mengambil tempat duduk di sofa, tepat di sampingku. “Ya, kurasa dia orang dalam. Atau seseorang yang kenal dekat dengan orang dalam.”<br />Aku berpikir. “Seingatku kunci selalu berada di tanganku.”<br />“Coba ingat-ingat lagi, mungkin kamu pernah menitipkan kuncimu ke seseorang dalam waktu cukup lama untuk dia membuat duplikatnya.”<br />Aku mengingat-ingat, tapi rasanya tak ada yang bisa kuingat. <br />“Baiklah, kabari aku apa saja yang berhasil kamu ingat.”<br />Jaka berdiri dan meraih gagang pintu, siap meninggalkanku.<br />“Tunggu…” <br />Dia berbalik. “Ya?” <br />Sorot mata teduh Jaka menatapku.<br />“Ada apa, Sarah?”<br />Aku terkesima. Ini tidak seperti diriku. Aku, yah, tak biasa meminta perlindungan dari seseorang. Tapi sekarang…dalam keadaan seperti ini…ya, aku butuh dia ada di sisiku.<br />“Jangan pergi. Aku….”<br />Jaka kembali duduk di sampingku. Sebuah lengan yang kekar melingkari bahuku, menarik tubuhku mendekat padanya. Jemari Jaka mulai memijit punggungku dengan lembut, menenangkan diriku yang sedang kalut. <br />“Kamu tidak usah terlalu cemas, Sarah. Bekerjalah seperti biasa. Aku akan menemui para pekerja proyek yang kemarin melakukan pemogokan. Siapa tahu memang mereka pelakunya.”<br />Aku menangguk. <br />“Ancamannya masih tetap sama dengan kemarin. Mungkin memang salah satu dari mereka.”<br />Kami terdiam. Menekuri bunyi detak jam dinding dan suara kendaraan berlalu lalang di luar. <br />Jaka masih tidak melepaskan lengannya dari bahuku. <br />Aku terpejam. Rasanya seperti menemukan seseorang yang akan menjagaku selamanya.<br />“Jaka….” <br />“Ya?”<br />Dia mendekatkan telinganya ke bibirku. <br />“Aku tidak tahu berapa harus membayarmu untuk urusan ini,” bisikku dengan wajah yang tiba-tiba memerah.<br />Dia tersenyum dan melepaskan tangannya dari bahuku. “Tak usah terlalu dipikirkan. Aku yakin kamu mampu membayar. Kamu kan bos di kantor ini.”<br /><br /><br />*** <br /><br />Jaka sibuk mondar-mandir ke kantorku. Ngobrol dengan semua orang – Tami sekretarisku, resepsionis, dan para staf lainnya termasuk pak Asmat, satpam yang jaga malam. Dia sudah menemui para pegawai proyek yang sedang membangun rumahku, tapi tampaknya hasilnya nihil. Belum ada orang yang pantas dicurigai sebagai penulis surat ancaman itu. <br />Jaka agak berantakan, mungkin karena kurang tidur. Kudengar dari Tami, dia sedang sibuk dengan tugas kantornya – selain sibuk menyelidiki perkaraku.<br />Seminggu kemudian, aku kembali mendapat surat ancaman. Aku berlari menyeberangi kantorku, hendak menemui Jaka. Tapi rupanya dia sedang tidak berada di pos jaga. Aku berkeliling ke semua bagian kantornya dan bertanya kepada setiap orang apa ada yang melihat Jaka. “Tadi dia pergi ke musola,” ujar seorang polisi setelah lima belas menit aku memutari kantor polisi yang besar itu. <br />Dengan nafas tersengal karena capek berkeliling, aku segera pergi ke mushola di belakang kantor polisi. Tidak ada siapa-siapa, karena hari masih pagi dan belum waktunya solat duhur. Aku hendak berbalik. Tapi tunggu…aku mendengar suara. Suara seorang wanita tengah tertawa. Asal suara itu sepertinya dari belakang mushola. Aku segera mengintip lewat lorong kecil. Dan jantungku seperti mau copot!<br />Tami ada di sana, sedang tertawa-tawa…<br /><br />***<br /><br /><br />Para polisi berhamburan keluar. Para penghuni kantor sudah dari tadi berlarian. Asap membumbung tinggi dari salah satu sayap gedung kantorku. Petugas pemadam kebakaran sedang berjuang memadamkan api.<br />Aku terpana melihat keadaan di sekelilingku. Semuanya tampak kacau. Saat itulah Jaka menghampiriku. Aku tengadah untuk menatap wajahnya, dan dia membungkuk untuk menatap wajahku. Dia begitu besar dan tinggi, sedangkan aku begitu kecil. Dia seperti gajah dan aku semutnya. Dia membuatku takut...<br />“Ternyata ancaman itu benar,” katanya dengan tampang kalut.<br />Aku tak bisa bicara apa-apa. Masih terbayang di mataku saat api membakar gedung dan para polisi sibuk menyelamatkan para penghuni gedung. Jaka berhasil menarik tubuh sekretarisku yang sempat terperangkap dalam kobaran api. Dia membawa Tami ke rumah sakit dan kembali untukku. Sementara aku hanya bisa terpaku di sini, menatap api yang sudah hampir berhasil dipadamkan. Seharusnya aku berada di rumah sakit demi menyelamatkan sekretarisku yang setia. <br />“Apa sudah dipastikan semua karyawanmu selamat?” tanya Jaka.<br />“Aku…”<br />“Kamu kenapa, Sarah?” <br />“Aku mau pingsan,” bisikku.<br />Jaka langsung menahan tubuhku. Antara sadar dan tidak, kurasakan dia membopongku ke suatu tempat yang mungkin aman dari bumbungan asap.<br /><br />***<br /><br />“Syukurlah kamu sudah sadar,” sebuah suara yang dalam dan berat membisiki telingaku. Suara yang sangat kukenal, yang entah bagaimana kupikir telah mengisi suatu mimpiku yang panjang.<br />Aku membuka mata, dan wajah itu tersenyum padaku. <br />“Jaka?”<br />Dia mengangguk. “Kamu pingsan selama dua hari.”<br /> “Ini di mana?”<br />“Di rumah sakit.”<br />Jaka membantuku duduk dan memberiku minum. Seorang suster datang dan memintaku mengisi beberapa formulir rumah sakit. Jaka memperhatikanku dengan seksama, sepertinya memastikan aku sudah benar-benar pulih. <br />“Kamu bisa segera pulang,” kata Jaka setelah suster itu pergi.<br />Aku menatapnya. Apa katanya? Pulang? Tidak. <br />“Aku ingin berada di sini selamanya.”<br />Jaka menatapku heran. “kenapa?”<br />“Di sini aman,” bisikku. “Setidaknya, bersamamu.”<br />Pria itu tersenyum. “Kamu tampak pucat dan berantakan,” katanya sambil menyingkirkan selembar rambut yang menghalangi mataku. “Tapi masih tetap cantik,” timpalnya.<br />Aku menatap wajah pria tampan di depanku. Dia balas menatapku. <br />Tiba-tiba saja air mata mendesak keluar. Aku menangis.<br />Jaka merengkuh bahuku, mengijinkan dadanya yang bidang untuk kusandari kepala dan kubasahi dengan air mata. “Aku mengerti perasaanmu, Sarah. Kamu butuh perlindungan.”<br />“Aku tidak suka dilindungi.”<br />“Kalau begitu aku tidak akan melindungimu. Aku hanya akan menjagamu.”<br />“Bagaimana dengan Tami? Apa dia selamat?” benakku tiba-tiba teringat sekretarisku.<br />“Dia selamat. Tapi wajahnya hangus, harus dioperasi berkali-kali untuk bisa pulih,” kata Jaka.<br />Aku menunduk sedih. “Sayang sekali, dia sekretaris yang begitu setia dan cekatan. Aku tak sanggup memikirkan harus mencari pengganti.”<br />Seraut ekspresi muncul di wajah Jaka. Aku sulit menafsirkannya.<br />“Kamu bos di kantormu, Sarah. Kamu bisa merekrut siapa saja yang kamu mau, termasuk mencari staf pengganti yang lebih baik dari Tami.” <br />Kurasakan sinar mataku meredup. Aku memang telah bersalah pada Tami. Dia telah punya kekasih yang dicintai, tapi aku melarangnya menikah cepat-cepat, hanya gara-gara aku malas merekrut orang baru. Sekarang, dia mengalami nasib buruk. Wajahnya hangus, apa kekasihnya masih mau menerimanya? Tiba-tiba aku merasa jadi manusia paling berdosa di muka bumi!<br />“Dengan uang, kamu bisa melakukan apa saja, Sarah. Kamu bahkan bisa menjadikan aku pengawalmu, seperti saat ini.”<br />Kata-kata Jaka membuat hatiku tertusuk. Apa selama ini aku memang selalu berkedok uang? <br />“Aku akan membayarmu, Jaka. Berapapun yang kamu minta. Asalkan kamu terus berada di sisiku.”<br />Jaka tertawa. “Kamu tidak perlu membayar apapun, Sarah. Dalam hubungan antarmanusia, ada banyak hal yang tak selalu bisa dibayar dengan uang.”<br />“Tapi hubungan kita klien. Aku harus membayarmu secara profesional sebagai seorang polisi yang telah menjaga kliennya.”<br />Jaka mengacak-acak rambutnya. Seolah tengah memikirkan sesuatu. <br />“Kamu tidak perlu membayarku, Sarah. Asalkan…”<br />“Asalkan apa?” aku menatap wajah Jaka yang tiba-tiba aneh.<br />“Asalkan kamu berhenti menulis ancaman-ancaman palsu itu hanya agar punya alasan untuk mendekatiku.”<br />“Apa?!”<br />“Ya, Sarah. Asalkan kamu berhenti berbuat konyol, sampai tega membakar kantormu sendiri gara-gara kau memergokiku tengah mesra dengan sekretarismu. Ketahuilah, Sarah the big boss, uangmu takkan bisa membeliku karena tanpa sepengetahuanmu aku dan Tami sudah menikah. Jangan coba-coba memasuki kehidupan pribadiku apalagi dengan cara-cara palsu.”<br />Sebelum aku menyadari semuanya, Jaka mengambil formulir yang tadi diletakkan suster di atas meja. “Lihat tulisanmu. Kau menulis beberapa kali namamu di sini. SARAH NURSEHA. Tulisanmu jelek sekali, dan huruf R nya tidak bisa dibedakan dengan huruf S !”<br /> <br />***<br /><br /><br />Aku tahu kalau cinta itu buta. Tapi anehnya, Jaka tidak mengerti hal ini. Dia terus membenciku setelah kejadian itu. Dia yang biasanya datang ke lobi kantorku dan ngobrol dengan siapapun yang ada di sana, kini bertahan di kantornya di seberang sana. Dia menghindariku. <br />Ya, aku memang salah. Aku begitu marah melihat adegan mesra yang tak pernah terduga itu. Otakku seakan tertutup kabut. Kunyalakan kompor gas di dapur kantor dan menabur bensin di atasnya, hingga sebelah bangunan kantorku hangus. Saat itu Tami berusaha mendorongku keluar dari kepungan api yang membakar dapur, dan dia sendiri malah jadi korban. Dia berkorban demi aku. <br />Andai aku bukan bos. Andai aku bukan bos yang arogan. Mungkin aku takkan melarang Tami menikah hanya gara-gara aku membutuhkannya setiap saat untuk melayaniku. Dan mungkin dia takkan menikah diam-diam…dengan pria yang tiba-tiba saja membuatku mabuk kepayang.<br />Sulit sekali memahami bahwa Jaka telah menikahi Tami. Apa setelah kejadian ini dia masih mencintai Tami?<br />Sungguh, ini bukan sinetron. Aku tak bermaksud menyingkirkan Tami, aku bahkan ingin mempertahankannya sebagai sekeretaris, sebab itulah aku melarangnya menikah.<br />Tapi gara-gara cinta buta, aku malah kehilangan semuanya – polisi tampan yang meskipun tak punya cinta namun siap jadi bodigar, dan sekretaris yang meskipun telah berbohong demi cinta namun siap jadi pegawai yang setia seumur hidup. Arrghhh….. <br /><br />Copyright© 2010 by BWS®. Dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS.<br /><br /> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-27058603891573746122010-10-22T08:44:00.000-07:002010-10-23T20:41:45.612-07:00Katakan Aku Brengsek!Cerpen: <span style="font-weight:bold;">Lela Susilawati Sy</span>.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOqgKbu9uI/AAAAAAAAAVw/BNZwrrBpXCM/s1600/zz043014.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 298px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMOqgKbu9uI/AAAAAAAAAVw/BNZwrrBpXCM/s320/zz043014.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531452236874315490" /></a><br /><br /><br /><span class="fullpost"> Katakan saja aku tak tahu diri. Katakan saja aku tak tahu diuntung! Katakan saja aku cewek brengsek! <br /><br /> Kau bisa mengatakan apa saja. Aku takkan protes. Bahkan bila ‘brengsek’ tak cukup buruk untuk menggambarkanku. silakan pakai istilah apapun sesuka hati. Tapi kau harus tahu. Apapun vonis pilihanmu, apapun label yang kau tancapkan di dahiku, inilah aku. Aku yang kenyataan, bukan tokoh dalam sinetron picisan. <br /> “Suamimu tampan,”<br /> “Suamimu kaya,”<br /> “Suamimu setia,”<br /> Semua orang berkata begitu. Termasuk orangtuaku, adik-adikku, teman-temanku. Ya, ya. Suamiku memang punya segalanya. Ketampanan, itu nyata. Kekayaan, sudah jelas. Kesetiaan, siapa yang meragukan? In short, dia ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna. Dan aku telah mencoreng-moreng kesempurnaan itu dengan kebrengsekanku. <br />Aku selingkuh! <br />Dengan pria yang samasekali tidak sempurna – pria yang bukan suamiku. <br /> Dua pria sekaligus.<br /><br />***<br /><br />Saat menikah dengan Jeam (sebutlah begitu), kebahagiaanku sebanyak bintang di langit. Puluhan gadis pernah menjadi kekasih Jeam, tapi akhirnya cuma aku yang dipilih jadi istrinya. The only one, once in a life time…Kami menikah saat langit malam Jakarta begitu cerah. Pesta digelar di area kebun dan kolam renang pribadi milik keluarga besar Jeam. Mas kawinnya unik (kini banyak ditiru orang), yakni cek senilai Rp 21.071.998,- sesuai tanggal pernikahan kami: 21-07-1998. <br /> Lalu pernikahan gemerlap berakhir. Happily ever after? Cuma dalam dongeng. Aku dan Jeam, sama seperti pasangan muda lainnya, mulai terjebak dalam rutinitas perkawinan yang membosankan. Jeam sibuk bekerja, dan aku (yang cuma jadi nyonya rumah) sibuk menata perabotan, memasakkan makan malam, menungguinya pulang. Rumah megah kami di kawasan Kota Wisata, semakin lama bagai penjara. Apalagi, 6 tahun berlalu, tak ada juga tangis bayi menghias sepi.<br /> Jeam tak peduli dengan kehadiran momongan, atau apapun yang sering dipermasalahkan orang bagi pasangan menikah. Dia cuma peduli pada pekerjaan, bisnis – apapun yang menjadi dunianya di luar pernikahan. Dia sedang di puncak karier, dan lupa bahwa di rumah ada seorang istri yang kesepian.<br />“Kondominium kita yang baru…itu untukmu. BMW seri 750…itu juga untukmu. Berlian Tiffany seharga US$ 25.000…juga untukmu. Kamu memiliki segala hal yang diinginkan wanita di dunia,” ucap Jeam, dengan bangga menyebut semua hadiah yang diberikannya untukku, di hari ulang tahunku yang ke-27.<br />“Jeam, aku…aku hanya ingin lebih banyak pelukan.”<br /> Jeam merengut marah. Hatiku menjerit gundah. Teringat bagaimana tahun-tahun belakangan ini hubungan kami kehilangan makna, dan Jeam bahkan tak peduli untuk memperbaikinya.<br />Jeam selalu pulang larut malam. Dia menyentuhku hanya untuk memenuhi kehausannya, dorongan hasratnya. Bukan untuk memenuhi kehausanku akan kasih sayang. Demi Tuhan, aku kesepian, dan harus menanggung beban itu seharian – setiap hari. Tidakkah Jeam mengerti perasaan ini? Apakah lelaki tercipta untuk tak memahami perasaan perempuan?<br /> Mengapa dia banting tulang, menumpuk harta kekayaan, dan berdalih itu semua untukku? Itu bukan untukku, tapi untuknya. Jeam asyik dengan kesibukannya sendiri dan mengabaikanku. Dia membuang rasa bersalahnya telah mengabaikanku dengan mengatasnamakan semua kesibukannya demi aku. It’s not fair! kalau dia benar berjuang demi aku, mengapa tak mau mendengar sedikit saja keinginanku. Aku tidak menginginkan semua kondominium, BMW, dan berlian Tiffany itu. Aku hanya menginginkan sesuatu yang sederhana, yaitu pelukan yang penuh cinta. Sulitkah itu? Lebih sulit dari melakukan pekerjaan dan bisnis-kah?<br /> Aku butuh teman bicara, Jeam. Sebab dia sudah lupa caranya bicara denganku. Saat pulang dia hanya menyapa, “hai” “sudah makan?” atau “belum tidur?” Apakah aku tak lebih dari orang asing? Mengapa aku merasa jadi kekasih (baca: istri) yang tak dianggap?<br /> “Sebaiknya kamu ikut kegiatan di klub,” saran Jeam suatu hari melihatku dalam titik jenuh yang akut. <br />Aku memandangnya putus asa. Oh please, tidak. Aku hanya ingin menjalani perkawinan yang normal, dapat berlibur setiap akhir pekan dengan suami, mengunjungi keluarga, punya anak… Aku tak tertarik mengikuti klub apapun, bergaul dengan ibu-ibu yang hedonis, menghambur-hamburkan uang, dan berpura-pura kehidupan perkawinanku baik-baik saja. Sayangnya, Jeam tak pernah mau serius diajak bicara. <br /><br />***<br />Dan lalu, di tahun ke-5 pernikahanku dengan Jeam, kehidupanku mulai berubah. Di sebelah rumahku ada seorang tetangga baru. Seorang pria tampan yang sederhana. Pria yang diam-diam memperhatikanku. Saat aku menyiram bunga setiap pagi dan sore di halaman, dia keluar, memandangku setiap menit dengan penuh perasaan. Dia mengajakku bicara. Maksudku, benar-benar bicara, tidak hanya menyapa dengan salah satu dari 3 kalimat: “hai” “sudah makan?” atau “belum tidur?” seperti yang selalu diucapkan Jeam.<br /> Pria itu, sebutlah namanya Grey. Tidak jelas profesinya apa. Yang pasti, setiap aku keluar rumah, dia selalu ada di terasnya. Menganggukkan kepala dan tersenyum. Aku kesal karena dia begitu menarik. Tidak setampan Jeam, tapi sorot matanya hangat. Sorot mata yang sudah tak lagi kutemukan pada Jeam seiring detak waktu mempertua usia perkawinan kami.<br /> Awalnya, kami hanya tetangga yang saling sapa dengan sopan. Kemudian, dia sering mengajakku mengobrol setiap aku menyiram dan memotong bunga di halaman, pagi atau sore atau di kedua waktu tersebut. Lalu, itu menjadi rutinitas. Aktivitas merawat taman kecilku tak terasa lengkap tanpa Grey. Dia membelikanku beberapa aglonema dan anthurium yang menawan untuk melengkapi taman kecilku, lalu mengundangku minum kopi di teras belakangnya. Sejak saat itu, Grey jadi pengisi sepiku. Hubungan kami lebih dari sekedar tetangga. Tiga bulan berkenalan, kami lebih dari cuma teman. Enam bulan berikutnya, sudah terjalin hubungan istimewa. Hubungan yang hanya pantas dilakukan oleh aku dan Jeam, sebenarnya.<br /> Beberapa pembantuku mulai curiga, aku tahu. Tapi tak ambil pusing. Dicap sebagai istri tak setia, tak apa. Toh aku melakukannya semata demi Jeam. Aku ingin merebut kembali perhatian suamiku. Dan terkabul. Jeam memergoki aku dan Grey di teras belakang. Saat itu, kuharap dia marah, mendampratku, menamparku, memarahiku karena dia merasa memilikiku. Tapi Jeam hanya terpaku, memandangi kami satu per satu seperti pesakitan, lalu pergi dan tak pulang selama seminggu. <br />Di saat hati merana karena Jeam, Grey tak bisa jadi sandaran. Sebulan setelah momen memalukan itu, Grey mengosongkan rumahnya untuk dijual. “Kamu mau kemana?” tanyaku marah. Ia memandangku lama, lalu berkata pelan, “Kita harus berpisah dan melupakan semuanya. Aku dapat pekerjaan bagus di Mumbai dan mungkin takkan kembali.” <br /> Seperti dipukul palu godam, aku tersuruk. Petualangan cinta terlarang aku dan Grey harus berakhir. Dan yang lebih menyakitkan, ternyata Grey pindah ke Mumbai, tak lain karena menuruti tawaran bisnis dari Jeam. Itu kuketahui dari sopir pribadi suamiku. Jeam sendiri tak pernah bicara, dia menjalani hidup seperti biasa seolah tak pernah terjadi apa-apa. Bahkan perselingkuhanku di depan matanya tak pernah diungkitnya. Bagus, pikirku, dengan uang Jeam telah menang. Tanpa perlu bicara denganku, bertengkar denganku, berunding denganku. Dia menyelesaikan semuanya dengan uang. Hidupku tak lebih berarti dari materi. Dengan rupiah, semua persoalan beres, saingan tersingkirkan, dan ia kembali tenang. Aku, dengan rasa pedih, sesal, kesal, dibiarkan terpuruk sendirian. Setelah Grey pergi, Jeam menghukumku dengan semakin bersikap dingin. Di rumah megah ini, aku kembali menjadi hanya sekedar istri pajangan.<br /><br />*** <br /><br />Waktu mengobati semua luka. Aku perlahan dapat melupakan Grey, rasa bersalah telah berselingkuh dengan pria itu di depan mata Jeam, dan rasa benci karena Jeam menghadapinya sedingin es. Aku mulai terjun ke bisnis kecil-kecilan, yakni membuka toko kue cokelat di dekat rumah. Idenya datang dari adikku Shinta yang pernah kursus memasak dan bekerja cukup lama di toko bakery ternama. Tokoku lumayan laku, dan itulah pengusir kesepianku. <br /> Mumpung punya adik lajang yang pintar bikin kue, dan karena penjualan yang cukup bagus, aku berencana membuka cabang ke-2 toko cokelatku. Sayang tak punya modal untuk menyewa toko yang representatif. Meminta pada Jeam pasti tak sulit, namun harga diriku terlampau tinggi, terutama sejak skandal rumah tangga kami. Lagipula aku ingin mandiri, ingin membuktikan pada Jeam bahwa akupun bisa menjadi seseorang dan seharusnya diperlakukan lebih layak dari sekedar ‘penunggu rumah’. <br /> Keberuntungan datang. Jeremy, adik Jeam yang selama ini tinggal di luar negeri, berkunjung dan tertarik dengan toko cokelatku. Dia memberiku pinjaman modal, dengan akad bagi hasil. Senangnya…hidupku mulai berubah ceria. Setap hari aku memikirkan toko baruku, merancang desainnya, memikirkan menu-menu barunya, mengurus promosinya. Tentu saja ditemani Jeremy. Jeam tampak senang karena aku dapat bergaul akrab dengan adik semata wayangnya yang bertahun-tahun ‘menghilang’ itu.<br /> Saat toko cokelat baru akhirnya dibuka, aku, Jeremy, Shinta, dan beberapa temannya berpesta semalaman untuk merayakan. Jeremy tampak tampan, meskipun sama sekali tidak mirip Jeam, dan tentunya 2 tahun lebih muda dari kakaknya. Dia belum punya tambatan hati, kuharap dia dapat menjalin hubungan khusus dengan adikku Shinta. Tapi tampaknya belum ada chemistry di antara mereka.<br /> Tiga bulan sejak peresmian toko cokelat baruku, ada kabar mengejutkan. Aku hamil. Orangtuaku dan orangtua Jeam sangat gembira, mereka merayakan ini besar-besaran dengan mengundang para kerabat. Sayang, Jeam sendiri menyikapinya dengan dingin. Dia memang tak pernah peduli padaku dan semua tentangku. Padahal, aku sangat berharap kehamilan ini dapat mengubah sikapnya agar lebih memperhatikanku.<br /> Tepat di hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-7, seorang bayi mungil lahir. Kuberi nama Jamelia (singkatan nama kami: Jeam dan Aurelia). Harapanku terkabul, Jeam jadi lebih betah di rumah. Sebelum berangkat kerja, dia selalu menyempatkan diri menggendong Jamelia. Lawatan bisnisnya ke luar negeri juga berkurang. Dia mulai memperhatikanku. Angan-angan yang bertahun-tahun kuukir, akhirnya kesampaian juga. Jeam bersikap lebih hangat dan perlahan mulai menganggapku ‘istri betulan’, bukan sekedar pajangan.<br /> Akan tetapi, kebahagiaan itu tak lama. Saat Jamelia mulai berusia 2 tahun, Jeam tiba-tiba bilang padaku, “Jamelia punya warna mata cokelat.” <br />Aku tersentak. Kutatap mata Jeam, dan kutatap mataku lewat cermin, tak satupun dari kami punya mata cokelat. <br />“Jeremy saudara tiriku, dia punya mata cokelat warisan dari ibunya,” kata-kata Jeam menghunjam batinku. Ya Tuhan, di saat perkawinanku sedang bahagia, mengapa badai melanda?<br /> Benar kata Jeam. Jamelia tidak mirip dia, tapi mirip adiknya. Jeremy, ya Jeremy. Saat kami sedang bahagia membuka toko cokelat baru, lelaki itu memberi perhatian lebih padaku. Dia tidak tertarik pada Shinta adikku, tapi tertarik padaku. Aku yang lemah dan mendambakan kasih sayang, takluk pada rengkuhan Jeremy seperti hanya pada Grey dulu. Jeam begitu dingin, sementara Jeremy begitu romantis. Apa yang dapat kulakukan saat malam pesta pembukaan toko cokelat itu? Jeremy sungguh menawan dan membuatku larut. Aku berselingkuh dengan adik iparku sendiri. Dan balasannya, perkawinanku dengan Jeam kembali dikobar bara api.<br /> Jeam tidak marah. Bahkan saat tes DNA memperkuat bahwa Jamelia adalah bukti pengkhianatanku padanya. Sama seperti dulu, dia hanya memandang kami berdua – aku dan Jeremy – bergantian dengan tatapan dingin. Dia menghilang seminggu, dan pulang dengan seberkas surat cerai. “Tandatangani ini, dan secepatnyalah kalian menikah, lalu pergi dari sini.” Itu ucapan Jeam yang terakhir kalinya. Sesuatu mendadak lenyap dari diriku.<br /> Kawan, sesungguhnya aku mencintai Jeam, lebih dari yang mampu kukatakan. Andaikan sejak awal dia lebih memperhatikanku. Andaikan sejak awal dia lebih banyak memberikan kasih sayang. Andaikan aku mampu bertahan dalam roda perkawinan yang berjalan konstan ini. Dan sejuta andai lainnya. Tapi semua itu kini tak berarti lagi. Kami sudah bercerai. Nama Jeam tinggal kenangan pahit.<br />Aku sudah menikah dengan Jeremy, dan mendapati diriku bukannya bahagia. Jeremy menganggapku wanita penghancur hidupnya. “Gara-gara kamu, bisnisku dengan Jeam terhambat. Kenapa sih tak sedari awal kamu gugurkan kandungan itu?”<br /> Jeremy sama saja dengan kakaknya, pemuja uang. Dia bahkan membenci Jamelia, anaknya sendiri. Dan aku hanya mampu menangis. Menangisi kebodohanku sendiri. Bahwa aku telah terperdaya oleh imajinasiku sendiri tentang cinta. Bahwa aku selalu menyalahkan Jeam atas rasa tidak bahagia yang mendorong perbuatan cela. Bahwa aku tak tahu diuntung, punya kehidupan yang nyaris sempurna namun menuntut lebih banyak. Bahwa aku cewek brengsek! <br />Tak ada tempat berlindung. Keluargaku telah mengasingkanku karena aku dianggap pembawa aib. Sekarang dengan sisa-sisa harapan yang masih ada, aku berjuang sendiri membesarkan Jamelia. Jeremy sibuk dengan kehidupannya sendiri. Dia berpetualang cinta dari satu wanita ke wanita lain, dan aku hanya diam, menganggap ini balasan terbaik atas semua dosa yang telah kulakukan. <br /> Aku benci menulis kisah ini, tapi kalau memang dapat memberi hikmah, tak apalah. Semoga tak ada pembaca yang rela menukar perjalanan hidup yang seharusnya berharga dengan sebuah aib yang takkan terhapus selamanya.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Based on true story</span><br /><br />Copyright@2010 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS<br /><br /> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-31118951164056557682010-10-22T08:30:00.000-07:002010-10-23T12:06:12.365-07:00Rinduku untuk BintangOleh: <span style="font-weight:bold;">Rr. Sekar Rahayu D. Nindita, 15 th</span><br />(BWS Depok)<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMG2dJwvWFI/AAAAAAAAARI/KZqBpQYGxi8/s1600/u16673774.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 247px; height: 320px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_f95Sp13SwRA/TMG2dJwvWFI/AAAAAAAAARI/KZqBpQYGxi8/s320/u16673774.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5530902429340489810" /></a><br /><br /><br /><span style="font-style:italic;">Kekuatan cinta melampaui batasan ruang dan waktu</span><br /><br /><span class="fullpost"> Gadis itu bernama Cahaya. Ia sedang memandangi langit malam yang terbentang luas di hadapannya. Di atap rumah, ia berdiri. Setiap malam. Menghabiskan waktu yang terasa sangat panjang. <br /><br />Cahaya menunggu bintang-bintang di langit tersenyum kepadanya, menghibur hatinya yang sedang dilanda kerinduan. Ya, Cahaya selalu merindukan bintang bintang, seperti ia merindukan Bintang, kekasihnya, cinta pertamanya, yang berada nun jauh di sana.<br /><br /> Enam bulan lalu, tepatnya di malam tahun baru, Cahaya merayakan acara tahun baru di luar rumah bersama teman-temannya. Gadis itu sangat gembira sekali, dan tidak pernah melepas senyum ceria di wajahnya. Kedua matanya berkilauan ketika melihat cahaya warna warni yang bersumber dari kembang api yang memercik memenuhi langit.<br /><br />Tiba-tiba saja teman-temannya mengajak Cahaya pergi ke lapangan tempat kembang api dinyalakan. <br /><br />“Konon katanya, sebelum menyalakan kembang api, bila kita membuat suatu permohonan, maka permohonan itu akan terkabul,” ujar teman-temannya.<br /><br />Cahaya segera memejamkan mata, membuat permohonan. Entah kenapa, Cahaya spontan berdoa agar di tahun ini ia tidak merasa kesepian lagi, agar cinta selalu ada di dekatnya. Teman-temannya juga ikut make a wish dengan permohonan masing-masing. Setelah semua kembali membuka mata, segera mereka menyulutkan api ke ekor kembang api, lalu sedetik kemudian benda itu melesat ke angkasa, memercikkan cahaya gemerlapan di langit malam yang gelap tanpa bintang. <br /><br />Cahaya memandang kagum ke arah langit malam yang bertabur sinar berbentuk bunga raksasa yang indah. Tak terasa ia berjalan mundur mengikuti arah memancarnya cahaya kembang api di angkasa. Dan…BRAKKK! <br /><br />Tiba-tiba ia menabrak seseorang di belakangnya. Cahaya menoleh. Seorang cowok tampan sedang meringis kesakitan! <br /><br />“Eh, ma..maaf! Gak sengaja!”<br /><br />“No problem,” ujar cowok itu, ramah.<br /><br />Dan seperti dalam adegan sinetron, mereka pun berkenalan. Cowok itu bernama Bintang, seorang keturunan Indo-Jepang. Entah kenapa, sejak pertama kali melihatnya, Cahaya sudah yakin kalau Bintang adalah orang yang akan mengangkatnya dari rasa sepi yang selama ini menggigit hari-harinya. Bintang adalah orang yang akan menyelimutkan cinta ke dalam kehidupan Cahaya. Bintang adalah cowok yang sengaja diutus oleh malaikat untuk mengabulkan permohonannya.<br /><br />Ternyata benar. Keesokan harinya Bintang menyatakan perasaannya kepada Cahaya. “You’re my first love, Cahaya,” begitu ucap Bintang. Setitik air mata bahagia membayang di mata bening Cahaya. “Aku juga sama,” ujarnya sambil menyambut uluran tangan hangat dari Bintang. <br /><br /> Dan dimulailah hari hari yang penuh cinta. Permohonan Cahaya saat menyalakan kembang api tahun baru, telah didengar dan dikabulkan oleh malaikat. Ia bersyukur pada Tuhan yang telah memberinya sebuah karunia cinta yang indah. Sebagai putri tunggal di keluarganya, Cahaya kerap dihantui kesepian, dan kehadiran Bintang telah menjadi hadiah terindah dari langit. <br /><br />Akan tetapi, kebahagiaan tak selamanya abadi bukan? Hidup terus berjalan dan selalu ups and downs. Itulah yang terjadi pada Cahaya. Bintang sang kekasih hati, mendadak harus pergi meninggalkan Jakarta. Cowok itu sudah lulus SMU dan akan melanjutkan kuliahnya ke Jepang – negeri di mana ayahnya telah dilahirkan. <br /><br />Cahaya menangis. Kebersamaannya dengan Bintang terenggut tiba-tiba. Tapi apa yang bisa ia perbuat? Seandainya bisa, ia ingin mengikuti Bintang kuliah ke Jepang. Sayang sekali, orangtua Cahaya tidak mengijinkan. Mereka menginginkan sang putri semata wayang tetap tinggal dan meneruskan kuliah di Jakarta. <br /><br />“Cahaya, aku minta maaf, kita harus berpisah. Ini demi masa depan kita. Tapi kurasa kita tetap bisa melanjutkan hubungan ini.”<br /><br />"Kamu mungkin bisa, Bintang. Tapi aku tidak yakin long distance relationship akan berhasil. Aku…aku tidak yakin akan kuat. Aku akan menderita karena selalu teringat padamu, Bintang. Hidupku akan terasa sepi lagi." Cahaya berusaha meredam air matanya. Tapi air bening itu jatuh bergulir di kedua pipinya.<br /><br />"Cahaya," Bintang menghapus air mata di pipi gadis itu dengan lembut. "Sejauh apapun jarak memisahkan, hati kita akan selalu berpautan. Pacayalah. Aku akan segera menyelesaikan kuliahku, dan kembali ke Jakarta untukmu.”<br /><br />Akhirnya Cahaya berhasil mengalahkan keegoisannya. Ia mengangguk perlahan. <br />Bintang tersenyum lega. Lalu ia mengeluarkan sebuah kotak beludru merah dari saku celananya. Ia menunjukkan kotak itu kepada Cahaya, dan gadis itu langsung terpana melihat isi kotak itu. Sebuah cincin yang unik. Cincin yang seharusnya memiliki berlian di tengahnya, namun berlian itu seakan sengaja tidak dipasang. <br />“Jangan bingung dengan cincin ini,” ujar Bintang sambil memasangkan cincin itu di jari manis Cahaya. “Tidak ada berlian di cincin ini, namun ada penggantinya yang lebih baik, yaitu bintang. Kalau kamu mengarahkan cincin ini ke cahaya bintang, maka bintang itu akan menyampaikan rasa rindumu untukku. Percayalah!”<br /><br />Malam ini…adalah malam ke-7 setelah kepergian Bintang. Cahaya berdiri di atap rumahnya, memperhatikan bintang-bintang yang bertabur di langit malam. Ia menatap satu bintang yang sedari tadi berkelap-kelip ke arahnya. Bintang itu seakan membisikkan sesuatu ke telinganya. Cahaya segera memandangi cincin emas putih di jari manisnya. Lalu ia menengadahkan cincin itu ke arah sang bintang, seakan-akan ia menjadikan bintang itu sebagai berlian yang bertahta di cincinnya.<br />Rasa rindu yang menggelora, air mata kasih sayang yang terpendam, dilapisi kekuatan cinta antara kedua insan yang terpisah, berhasil mengubah warna cincin itu menjadi merah muda.<br />Cahaya terkejut. Tapi ia lebih terkejut lagi ketika mendengar dering di handphone-nya. Tanpa melihat siapa yang memanggil, ia segera meraih ponselnya. “Halo?”<br />“Cahaya…” sebuah suara yang tak asing, mengiang indah di seberang sana. <br />“Bintang??” Cahaya seakan tak percaya apa yang sedang didengarnya. Ternyata bintang di langit telah menyampaikan rasa rindunya kepada sang kekasih. Perlahan air mata bergulir di pipinya.<br />“Hapuslah air matamu, Cahaya,” ujar Bintang. “Percayalah cinta kita takkan pernah terpisah. Karena cinta kita telah terpaut oleh pancaran ‘Cahaya Bintang’” <br /><br /><span style="font-style:italic;">Based on true story</span>. Copyright@2008 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS<br /></span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-10405673434212634032010-10-22T08:26:00.000-07:002010-10-23T12:07:10.224-07:00Cinta AzkaOleh: <span style="font-weight:bold;">Mulandari Palupi, 16 tahun</span><br />(BWS Bandung)<br /><br /><span style="font-style:italic;">Cinta adalah hak seseorang untuk mengikuti kata hatinya</span><br /><br /><span class="fullpost"> Sekolah heboh. Azka si cewek alim dan pintar tiba-tiba jadi seleb dadakan. <br /> “Ka, lo jadian ama Adam? Yang bener?” teriak Vinny, cewek paling gaul di sekolah.<br /> “Siapa sih yang ngegosipin elu sama Adam?” tanya Marcella, sinis. Marcella adalah anak band yang diam-diam menyimpan suka pada Adam sejak lama.<br /> “Gosip apa gosip? Yang bener dong kalo bikin gosip,” sindir Aldien, yang masih satu geng dengan Marcella dan Vinny.<br /> Tatapan mereka semua heran, takjub, dan dibumbui sedikit sirik. Siapa sih cewek yang nggak suka sama Adam? Adam termasuk cowok paling keren di sekolah. Jago bowling, juara balap renang tingkat SMU, drummer band sekolah, juga aktif di OSIS – meskipun bukan ketua umumnya. Adam berpostur tinggi – sekitar 180 cm. Bodinya proporsional. Kulitnya putih, matanya sipit, senyumnya manly banget, mirip-mirip Rain si bintang iklan shampoo anti ketombe.<br /> Sedangkan Azka? Ummh…<br /> Wajah Azka nggak jelek-jelek amat, memang. Kalau dilihat lebih seksama, manis juga lho. Tapi untuk mendapatkan Adam sebagai pacar? Nggak banget deh. Nggak matching. Kalau mereka lagi jalan berdua, nggak enak dilihat, pokoknya. Apalagi, Azka sangat alim di sekolah. Nggak pantes aja seorang cewek alim mau-maunya pacaran dengan anak segaul Adam.<br /> Tapi, nampaknya itu bukan gossip. Adam dan Azka benar-benar pacaran! Mereka berdua sering jalan bareng sepulang sekolah. Malah suka ketahuan pegang-pegangan tangan segala. <br />“Nggak ngaca banget ya, si Azka itu?” komentar teman-temannya Azka, yang memendam perasaan dengki.<br />Resty, teman sebangku sekaligus sahabatnya Azka, lama-lama ikut gatal kuping juga. Ia penasaran, kenapa Azka dan Adam bisa pacaran. Padahal mereka ibaratnya jauh bagaikan bumi dan langit.<br /> “Ka, emang bener ya lo jadian ama Adam?” tanya Resty, gatal.<br /> Azka diam saja. Pipinya merona merah.<br /> “Jadi bener?” desak Resty.<br /> Azka masih diam. Dan diamnya itu telah menjelaskan semuanya bagi Resty. <br /> Meskipun sudah jelas Azka dan Adam jadian, itu tak menghentikan orang-orang untuk berkomentar. Kenapa harus Azka yang dipilih Adam? Di SMU ini, begitu banyak cewek yang cantik, yang lebih sepadan untuk Adam. Ada Egi, ketua paskibra sekolah, yang tampangnya nggak kalah sama Agnes Monica. Ada Terra, jago karate yang modis dan lincah, ketua klub pecinta alam. Ada Vivian, model dan bintang sinetron masa depan. Ketiganya sama-sama naksir Adam sejak lama. Belum lagi cewek-cewek cantik lainnya yang tak bisa disebutin satu per satu.<br /> Kenapa harus Azka? Oke, Azka memang pintar, juara kelas – itu kelebihannya. Tapi yang juara kelas kan bukan cuma Azka. Ada Dewi, juara kelas sebelah yang punya senyum manis dan lesung pipit. Kenapa nggak Dewi?<br /> “Karena guelah yang sekelas ama Adam,” jawab Azka saat Resty menyinggung hal itu.<br /> Resty melongo. “Apa hubungannya sekelas sama Adam dengan jadian sama dia?”<br /> Azka menundukkan wajahnya. Hela nafasnya terdengar panjang. “Kita akan tahu jawabannya selepas ujian akhir nanti,” putus Azka.<br /> “Oke, jadi semuanya masih misteri,” gumam Resty. Ia pun menunggu.<br /> Jawaban itu terlontar tiga bulan kemudian, ketika ujian akhir kelas tiga selesai digelar. <br /> Azka datang ke rumah Resty, dan menangis tersedu-sedu.<br /> “What’s up?”<br /> “Dugaan gue benar, Res. Adam mutusin gue tadi malam, tepat setelah ujian akhir selesai.”<br /> “Hah?” Resty menatap tak percaya.<br /> “Iya.”<br /> “Tunggu, gue masih belum ngerti. Kenapa Adam tiba-tiba mutusin lo, Ka? Any reason?”<br /> Azka menggeleng sedih. “Nggak ada alasan apapun. Adam bilang, dia cuma ingin putus. Itu aja. Dan gue udah tahu ini bakal terjadi. Hanya saja, gue nggak menyangka bakal secepat ini. Gue kira, dia baru mau mutusin gue nanti setelah kita semua lulus SMU.”<br /> “Kok elo udah nyangka bakal putus?” heran Resty.<br /> “Karena gue tahu, Adam nggak benar-benar suka sama gue. Dia hanya….” Azka menutup muka dengan kedua telapak tangannya, mulai menangis. “Dia hanya ingin manfaatin gue.”<br /> Resty masih belum mengerti sepenuhnya. “Manfaatin lo, maksudnya?”<br /> “Awalnya gue nggak curiga waktu Adam nyatain cinta. Gue kira itu hal wajar. Cinta kan bisa datang kepada siapa aja. Meski gue nggak cantik, bisa saja kan guelah tipe cewek yang disukai Adam. Tapi setelah satu sekolah heboh mempertanyakan ini, gue jadi mengukur diri sendiri. Gue mulai bertanya, apa benar Adam suka? Lalu apa yang membuat Adam suka? Gue nggak cantik. Gue hanya juara kelas, tak punya kelebihan lain. Lalu saat lo bertanya, kalau Adam suka ama cewek pintar, kenapa nggak milih Dewi? Waktu itu gue berpikir, iya juga ya, kenapa nggak Dewi? Secara fisik Dewi cantik. Kenapa harus gue? Pertanyaan itu terus menghantui. Akhirnya, gue menyimpulkan kalau Adam memilih gue karena guelah cewek pintar yang sekelas sama dia. SEKELAS, Res. Sekelas berarti fasilitas. Gue bisa jadi fasilitas Adam buat sukses ujian akhir!”<br /> Resty terbengong-bengong mendengar jalannya logika Azka. <br /> “Dan lo tau, Res?”<br /> “Apa?”<br /> “Sewaktu ujian akhir, Adam merayu gue untuk ngasih dia contekan semua mata pelajaran.”<br /> Bola mata Resty membesar. “Trus. Lo kasih?”<br /> Azka mengangguk pelan. “Lo tahu kan, waktu ujian, gue dan Adam deketan, karena tempat duduk diatur berdasarkan abjad nama. Jadi mudah banget bagi Adam untuk ngedapetin contekan dari gue.”<br /> “Jadi bener ya…lo udah dimanfaatin?”<br /> Azka tersenyum pahit. Menganggukkan kepala.<br /> “Kalo tahu begitu, kenapa lo mau nerusin hubungan? Kenapa nggak mutusin Adam sejak awal?” tanya Resty, berapi-api. Nggak terima sahabatnya dipermainkan cowok.<br /> “Karena gue suka sama Adam, Res. Gue masih ingin menikmati kebersamaan dengannya. Meski hanya sesaat. Dan sekarang, semua udah berakhir.”<br /> Resty menggeleng-gelengkan kepala. Kepada siapa ia harus kesal – Adam ataukah Azka?<br /> Dua minggu kemudian, hasil ujian akhir diumumkan. Nilai-nilai Adam untuk semua mata pelajaran, ternyata sama persis dengan nilai-nilai yang diperoleh Azka. Hanya beda sedikit angka di belakang koma.<br /> Resty menepuk bahu sahabatnya, berharap Azka tetap kuat. <br /> Dan di depan sana, Adam sedang tertawa gembira. Dia lulus ujian akhir dengan nilai-nilai tinggi. Di sisinya, Cindy – siswi cantik berambut pirang – tengah memeluknya. Dua insan itu tampak mesra dan bahagia. Tanpa gosip pun, semua orang tahu bahwa Adam dan Cindy sudah jadian. <br />Seorang siswa nyeletuk, “Adam kan memang udah lama dijodohin orangtuanya ama Cindy. Denger-denger, kalau Adam dapat nilai-nilai bagus dan diterima di universitas bergengsi, ia akan langsung dinikahkan dengan Cindy dan mewarisi perusahaan property milik ayahnya Cindy.”<br />“Wuih, enak banget yah jadi si Adam,” timpal siswa-siswa yang lain. <br />Azka dan Resty mendengar percakapan itu dengan jelas. Resty segera menarik lengan Azka, menjauh dari tempat itu. “Lo udah dimanfaatin Adam buat ngedapetin Cindy, Ka.”<br />Azka mengangguk sedih. <br />“Gue nggak nyangka Adam setega itu,” lanjut Resty.<br />Mereka terdiam.<br /> “Lo menyesal?” tanya Resty kepada Azka. <br /> Azka menghela nafasnya dalam-dalam. Lalu menggeleng. “Nggak, Res. Gue nggak menyesal jatuh cinta sama Adam. Gue malah bersyukur. Gue udah diberi kesempatan mencintai Adam, dengan cara yang diinginkannya. Gue bersyukur, diberi kesempatan ngasih sesuatu ke orang yang gue sayangi. Meski akhirnya gue disakiti dan nggak bisa memiliki.”<br /> “Ah, basi banget sih lho.”<br /> Azka tersenyum dan menghapus air matanya. <span style="font-style:italic;">That’s what we called love, Res…You won’t understand until you really fall in it…</span> <br /><br /><span style="font-style:italic;">Based on true story</span><br /><br />Copyright@2008 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS<br /> <br /> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-3533858822966867642010-10-22T08:23:00.000-07:002010-10-23T19:25:29.630-07:00Jangan Gila, Dong!Oleh: <span style="font-weight:bold;">Tung BC, 17 tahun</span><br />(BWS Jakarta)<br /><br /><span style="font-style:italic;">Memangnya kau bisa menyangkal rasa yang <br />tiba-tiba 'nongol' di hatimu?</span><span class="fullpost"> <br /><br />Cinta pertamaku jatuh pada seorang seleb!<br /> Bukan sulap bukan sihir, aku jatuh cinta pada seleb betulan. Dia itu artis terkenal. Cantik? Ya iyalah. Masa artis gak cantik? (Ada sih, artis yang gak cantik, contohnya: Tora Sudiro, heheh)<br /> Siapa namanya? Nah, lo pada penasaran kan? Silakan mulai menebak-nebak. Nggak ada salahnya kok. Gratis. Tapi, jelas, aku nggak mau nyebutin namanya. Sumpah mateee….aku bisa dicekik pocong bila berani-beraninya menyebut nama dia. Disomasi – kalau kau tahu maksudku. <br />Baik. Aku hanya kasih clue-nya aja. Dia itu umurnya masih belia. 13 tahunan lah. Dia penyanyi, juga pemain sinetron. Rambutnya? Mmm…gimana ya? Lurus, kaleee! Namanya artis, suka-suka deh ganti rambut. Yang pasti, kulitnya hitam manis, dan kalau senyum….akhhhh, kalah deh Angelina Jolie! Maniiiiiis banget!<br /> Nah, sudah ketebak? Bagus.<br /> Lanjutin ya. Lo pasti penasaran, kenapa sih aku bisa jatuh cinta sama seorang artis? Emangnya aku ini siapa? Aktor-kah? Vokalis band-kah? Sutradara-kah? Pembalap-kah? Atau…stuntman?<br /> Salah semuanya. Aku ini bukan siapa-siapa. Aku cowok yang biasa-biasa aja. Tak punya gelar. Apalagi terkenal. <br /> Lantas, kenapa bisa jatuh cinta?<br /> Yeee…emangnya jatuh cinta nggak boleh? Sejak kapan ada undang-undang yang ngelarang kita buat jatuh cinta? Ibaratnya kalau Sandra Dewi jatuh cinta sama tukang parkir, gak bakal ada yang bisa ngelarang kok. Jatuh cinta sah-sah aja. Toh bukan perilaku kriminal. Nggak ada pasal-pasalnya buat menjerat orang yang jatuh cinta ke meja hijau.<br /> Jadi, who am I? Itulah intinya. Andai aku ini Tommy Kurniawan. Atawa, Adly Fayruz. Atawa, Kiki Farrel. Akan lebih mudah bagiku untuk menyatakan cinta kepada cewek pujaanku. <br />Iya, lalu kamu itu siapa seeeehhhh! Bertele-tele dari tadi. AYO JAWAB!<br /> Ih, jangan galak-galak. Kalo mau nanya, biasa aja. <br /> Baiklah, I will tell you the truth ‘bout who I am. Aku seorang sopir. Yup, SOPIR. Sopir busway? Bukan. Sopir tetangga? Bukan. Lantas? Aku sopir pribadi artis yang kupuja. In short, aku jatuh cinta kepada majikanku sendiri!<br /> Bisa? Bisa. Buktinya sekarang aku lagi sekarat. Setiap detik, setiap menit, selalu mikirin dia. Umurku 18 tahun, sudah punya SIM, dan aku kelojotan setiapkali gadis pujaanku memanggil, “Tung, gue harus ke lokasi syuting jam 3. Cepet siapin mobilnya.”<br /> Mendengar suaranya saja sudah membuat lututku gemetaran. Dan aku tak kuat untuk tidak melakukan perintahnya. Aku selalu patuh melakukan perintah gadis pujaanku itu. Meskipun dia galak dan agak-agak arogan, aku tetap menjalani segala titahnya dengan ikhlas. Bukan karena semata aku sadar posisiku sebagai sopir, tapi sebagai lover, aku bersedia melakukan apapun demi cinta. Termasuk jika harus menunggunya di lokasi syuting dari jam 6 pagi sampai jam 6 pagi kembali. (Ciee…gomballl!)<br /> Sttt…jangan bilang-bilang ke wartawan infotainment yach? Bisa-bisa aku disamber, lalu dipecat dari kerjaan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Untung kalau nanti cuma dipecat, gimana kalo sampe dituntut 6.3 triliun? Hah, ngeri dah!<br /> Selamat pagi, kita kembali ke topik.<br /> Sering aku bertanya kepada Tuhan. Tuhan, salah nggak sih aku jatuh cinta? Kalau salah, kenapa mesti perasaan ini ada? Kalo benar, apakah aku harus memperjuangkannya? Atau, cukup duduk manis saja dan membiarkan perasaan mencair lalu menguap seiring detak jarum jam. Hgggh…omong-omong, badanku kurus kering gara-gara susah makan. Karena cinta, selera makanku lenyap. <br /> Maksudnya, aku sering tak sempat makan kalau lagi mengantar artis pujaanku ke sana ke mari. Jam terbangnya begitu tinggi. Baru deh, kalau ada waktu, aku mampir ke wartegnya si Engko, makan tiga piring nasi dan semur jengkol sambil bilang, “Ko, gue ngutang dulu ya.” Biasanya si Engko cengangas-cengingis mau marah, tapi segera kujawab. “Tenang aja, kalo gue kabur, lu bisa kasih bon ke majikan gue.” Hohoho…gak tanggung jawab amat ye?<br /> Intinya, gue sedang dimabuk cinta. Dan karena nggak kuat nahan perasaan lama-lama (juga karena gue cukup ksatria), akhirnya gue suatu kali memberanikan diri menyatakan perasaan gue kepadanya. <br /> Waktu itu dia sedang ada di dalam mobil, di jok belakang. Aku sedang nyetir, menuju lokasi syuting. Dia tampaknya sedang asyik menghapal dialog yang tercantum di kertas skenario. Untuk meraih perhatiannya, aku berdehem. “Ehm…ehm…ehm.” <br /> “Kenapa lo, Tung? Kesedak jengkol? Makanya, makan jengkol jangan banyak-banyak, toilet di rumah gue jadi ancurr,” begitu katanya.<br /> Aku cuma nyengir. “Gue nggak kesedak kok. Gue cuma…mau ngomong sesuatu ama lo.” (Sopir jaman sekarang emang keren, bisa nyebut lo-gue sama majikan).<br /> “Ngomong apa?” dia melongok di kaca spion, wajahnya penasaran.<br /> “Gue mau ngomong kalo gue jatuh cinta sama lo.”<br /> Deg.<br /> Dunia jadi hening.<br /> Saking heningnya, aku hampir nabrak bajaj yang lagi nangkring di depan.<br /> “Lo apa?” dia pura-pura salah dengar.<br /> “Gue jatuh cinta sama lo,” ucapku mantap.<br /> “Trus, gue harus ngapain?” tanyanya.<br /> Tralala.<br /> “Uhm..uhm..ya lo harus jawab.”<br /> “Sekarang?”<br /> “Kapan lagi? Gue nggak suka nunggu.”<br /> “Ugh…”<br /> Sunyi lagi. Aku pasti ditolak.<br /> Tapi ternyata dia nggak menolakku. Dia justru menjawab, “Oke.”<br /> Hah?<br /> “Gue nggak salah dengar?”<br /> “Kalo lo ngerasa belom tulalit…”<br /> “Jadi, oke?”<br /> “Oke?”<br /> Aaaah, OKE. Aaaah, OKE. (Itu sih lagunya T2).<br />Fren, sampai di sini, aku tak tahu harus ngapain. Apakah aku harus gembira? Atau sedih? Apakah aku harus menyetop mobil, lalu membuka pintu belakang mobil dan memeluk gadis pujaanku? Atau diam saja, dan menikmati momen ini dalam hati?<br /> Menurut lo gimana? Apa yang harus aku lakukan sekarang, setelah dia menjawab oke? Haruskah kami pacaran? Darimana memulainya? Akankah ini serius? Gimana dengan ortunya si gadis, pasti marah besar kalau tahu putrinya pacaran dengan sopir sendiri, bisa-bisa aku dipecat secara tidak hormat lalu jadi pengangguran. Akankah cinta beda kasta ini berhasil? Mendingan sad ending atau happy ending yach? <br /> Aku sungguh bingung. Confused. What next? <br />“Tuuuuuung, cepat ke sini!” tiba-tiba sebuah lengkingan suara mengagetkanku.<br /> Aku mengucek mata dan buru-buru melangkah ke garasi. Di sana gadis pujaanku sedang berdiri dan berkacak pinggang. “Ke mana aja sih lo, Tung? Bukannya siapin mobilnya! Ini udah jam 3, tahuuu! Dasar sopir pemalas! Ayo cepetan berangkat! Gue udah telat!!”<br /> Oh lala. Rupanya aku tertidur, dan semua ini cuma mimpi. Ternyata, aku masih menjadi seorang sopir.<br />“Kenapa sih lo molor melulu?” majikan cantikku memaki, saat sudah duduk di jok belakang mobil sambil menghapal skenario.<br />“Karena, gue jatuh cinta sama lo.”<br />“Hah? APAAAA???!! Lo jatuh cinta sama gue??? Jangan gila, dong!”<br />“Um…um…maaf, Non. Kalo nggak salah, itu kalimat yang saya baca di skenario.”<br /> “Jadi lo ngintip-ngintip skenario gue??!!”<br /> Nah…mati, aku! <br /><br /><br />Copyright@2008 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS<br /> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7494019912622236543.post-25395460582370655612010-10-22T08:19:00.000-07:002010-10-22T08:23:31.478-07:00Cinta MauraOleh: <span style="font-weight:bold;">Nurul Hakimah, 16 tahun</span><br />(BWS Garut)<br /><br />Aku adalah salah satu siswa di sebuah SMA favorit di kota Garut, dan sekarang sedang duduk dibangku kelas tiga. Kebetulan sekolahku adalah SNBI (sekolah nasional berstandar intemasioal). Itu berarti sekolah ini mempunnyai beberapa kelas Sl (standar internasional). Para siswa yang masuk kelas SI tentunya telah menghadapi tahap seleksi yang lumayan bikin otak muter and mumet. <span class="fullpost"><br /><br />Aku adalah siswa regular (bukan SI) yang duduk di kelas X11 IA 2. Kelasku terletak didepan kelas X I yang merupakan kelas SI. Kelas kami hanya terhalang oleh lapangan upacara yang membentang. Keduanya saling berhadapan, membuat aku sering melihat seseorang di seberang sana. Seorang cewek anak kelas X I yang menurut penilaianku istimewa. Dia sangat manis dan cantik. Namnya Maura. Aku dan ketiga teman temanku mendekatinya secara bersamaan, dengan niat berteman dan mengenal Maura jauh lebih dalam. Ketiga teman temanku rupanya juga menyukai dia seperti aku, hanya caranya saja yang berbeda. Mereka menyukai Maura secara terang terangan, sedangkan aku secara diam diam. Aku sebenarnya merasa nggak pede menyukai gadis seperti Maura, karena setahuku, teman temanku yang menyukainya semua mempunyai hal lebih dibandingkan diriku. Mereka lebih tazir dan keren keren di banding aku. Walaupun yah, bukan berarti aku miskin banget dan jelek banget heheh. <br /><br />Menurut teman teman, aku ini lumayan oke, apalagi saat bermain basket. Aku adalah salah satu pemain basket unggulan dari kota Garut.<br />Akhirnya satu persatu temanku mulai menembak Maura. Tapi tidak ada satu pun di antara mereka yang diterima. Benar-benar mengherankan. <br />Tanpa sepengetahuanku, ada beberapa siswa dari kelas lain yang juga menyukai Maura. Mereka gencar mendekatinya dan membuat aku merasa posisiku terancam. Akan tetapi ketika mereka menembak Maura, lagi-lagi kejadiannya sama dengan teman temanku yang dulu: semuanya ditolak!<br />Semakin hari aku semakin dekat dengan Maura, dan sekarang aku merasa aman karena tidak punya saingan. <br />Jujur, aku penasaran kenapa Maura menolak setiap cowok yang menembaknya. Aku ingin tahu sebenarnya laki laki seperti apa yang dia cari, karena selama ini yang kulihat lelaki yang pernah ia tolak bervariasi, namun memiliki kelebihan sendiri-sendiri. Melihat cowok-cowok yang ditolak Maura umumnya lebih tinggi satu level dibandingkan aku, membuat aku ragu apakah aku akan ditolak juga jika menyataka cinta. Ahh, pasti deh aku memang tidak masuk kriteria cowok yang disukai Maura.<br />Tapi karena sudah tak kuat menanggung perasaan suka, akhirnya aku memberanikan diri untuk menembak Maura. Dan tidak disangka sangka gadis itu menerima cintaku. Perasaanku bercampur aduk, antara percaya dan tidak. Akhirnya kami berdua berpacaran. <br />Suatu ketika aku mengantarnya pulang sampai ke rumahnya, dan ternyata ibu Maura adalah mantan bawahan ayahku sewaktu ayah belum pensiun dulu. Karena ibunya mengenal ayahku dengan baik, maka ia pun memberikan lampu hijau pada kami. Aku senang karena aku bisa mencuri sang bintang.<br />Satu hal yang kusuka dari Maura adalah: dia menerimaku apa adanya. Dia tidak pernah menuntutku macam macam, dan juga tidak posesif kayak cewek lain pada umumnya. Dia juga tidak jadi korban mode seperti umumnya cewek-cewek di sekolah kami. Meski orangtuanya kaya, Maura tetap berpenampilan seperti biasa apa adanya. Tidak memakai contact lens, cat rambut, rok yang kependekan, kaos kaki warna-warni, seabrek aksesoris, dan makeup yang berlapi lapis. Maura cantik alami dan itulah daya tarik terbesar yang dimilikinya, yang membuat para cowok jatuh cinta, termasuk aku.<br />Akan tetapi, setelah beberapa minggu jadian dengan Maura, entah kenapa sikap ibunya berubah padaku. Ternyata ibunya mengetahui seluk beluk kehidupanku yang kurang baik. Di sekolah, sudah lama aku menyandang gelar sebagai ‘siswa yang nakal’. Pergaulanku kurang baik karena terlibat geng anarkis dan tawuran. Memang, aku tidak sampai nge-drugs atau mabok, tapi tetap saja di mata ibunya, aku ini bukan pasangan yang baik buat Maura. Sang ibu mulai menghalangi hubunganku dengan Maura. <br />Puncaknya, sang ibu melarang Maura melanjutkan hubungannya denganku. Aku bisa mengerti.<br /> “Jadi menurut kamu gimana?" tanyaku lembut pada Maura. Kami sedang membicarakan perihal keputusan ibunya.<br /> “Aku gak mau kita putus!" ucap Maura, bersikeras<br />mempertahankan hubungan kami.<br /> “Kalo gitu, jalan satu satunya cuma backstreet. Kamu siap?”<br /> Maura mengangguk pelan. Membuatku terharu. Ternyata Maura benar-benar menyukaiku. Sebenarnya aku bisa saja memutuskan dia saat itu, karena aku merasa bersalah kepada ibunya. Tapi melihat ketulusan Maura…<br />Akhirnya kami pun backstreat, menjalin hubungan diam-diam. Awalnya semua berjalan lancar lancar saja. Hubungan kami berjalan sampai beberapa bulan. Namun suatu hari, sang ibu datang langsung menemuiku. Dia menyuruhku menjauhi Maura. Aku pun mengiyakan permintaan itu.<br />Malamnya, aku memutuskan untuk membicarakan semuanya pada Maura. Aku meneleponnya. Namun, lagi-lagi Maura tidak mau kami putus. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Setelah pembicaraan itu, kami tidak bertemu selama seminggu.<br /> Hari ini, seperti hari biasa, aku berlatih basket dengan teman teman satu klub. <br />"Kenapa, ada masalah?" tanya Ridho, salah satu teman main basketku.<br />“Maura," jawabku singkat, dan tanpa diminta aku pun langsung bercerita tentang masalah yang sedang kuhadapi. “Gue jadi gak bisa ketemu Maura lagi, ugh…bete rasanya.”<br />Setelah selesai mengeluarkan uneg-uneg, Ridho memberikan sebuah ide. Yaitu, dia akan mendekati Maura dan melaporkan setiap pembicaraan atau obrolan mereka. Ya, bisa dibilang Ridho mau jadi mata mata untukku.<br />Awalnya semua yang dilaporkan Ridho adalah hal hal yang menyenangkan diriku, seperti: <br />“Maura bilang dia masih sayang sama kamu.” <br />“Maura bilang dia mau ketemu aku.”<br />Dan laen laen, pokoknya hal yang bikin aku gak mau putus sama Maura.<br />Tapi sudah seminggu ini Ridho tidak melaporkan apa apa padaku. Akh, mungkin Ridho capek jadi mata mata gratisan-ku. <br />Malamnya aku putuskan untuk menelepon Maura, tapi handphone-nya sibuk terus. Aku tidak berani menelepon ke telepon rumah, takutnya sang ibu yang ngangkat. Aku mencoba menghubungi handphone Maura kembali, dan sekarang diangkat langsung oleh Maura. Kami pun berbasa basi terlebih dahulu. Tapi tiba¬-tiba di tengah percakapan, Maura meminta putus. Hal ini sangat membuat aku kaget. Kenapa? Padahal selama ini dia sangat bersikeras mempertahankan hubungan kami. Dan sekarang aku yang berbalik tidak mau diputuskan, entah kenapa rasanva aku merasa ada yang janggal.<br /> Tapi yah, mungkin ini yang terbaik bagi kami. Aku mengabulkan keringinan Maura untuk putus, walau sebenarnya hati ini tidak menerima sedikitpun.<br /> Setelah pertandingan basket hari ini selesai, Ridho duduk di sampingku yang sedang bersandar pada tembok.<br /> “Gue mo ngomong," cetus Ridho.<br /> “Ngomong aja, Dho. Kenapa sih?” ujarku dengan acuh tak acuh.<br /> “Gue…”<br /> “Apa?"<br /> “Gue udah jadian sama Maura," jawabnya dengan wajah penuh sesal.<br /> “Apa? Maura?" tanyaku untuk meyakinkan diri.<br /> Ridho mengangguk<br />"Anjing!" aku membentak Ridho sambil melempar bola basket ke arah wajahnya dan langsung pergi. Hati panas terbakar api cemburu. Bagaimana tidak? Andai saja orang lain yang melakukan itu padaku mungkin aku masih bisa toleransi. Tapi ini ... Ridho. Temanku sendiri, mata-mataku. Cowok playboy yang terkenal kalo pacaran gak pernah lebih dari sebulan. Maura....maura .... kenapa sih mau jadian sama dia? <br /><br /><span style="font-style:italic;">Based on true story</span><br /><br />Copyright@2008 by BWS, dilarang meng-copy tanpa izin tertulis dari BWS<br /> </span>Elie Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/00918166903269547353noreply@blogger.com