Wednesday, February 16, 2011

Cerpen Pemenang Lomba

Mulai edisi ini BWS akan memuat karya-karya pemenang Lomba Cerpen BWS 2010, satu cerpen setiap bulannya. Karya yang tidak menang namun memenuhi syarat akan dimuat setelahnya. Bagi karya yang tidak menang namun dimuat, honor akan diberikan paling lambat 1 bulan setelah dimuat di blog ini.

"Liburan Istimewa"

Karya: Pritha Khalida

(Pemenang 5 Lomba Cerpen BWS 2010)


All my bags are packed, I’m ready to go…”

Rasanya aku enggak mau berhenti menyanyikan lagu itu. Pasalnya weekend kali ini kakakku-Bang Dion mengajak berlibur ke Sukabumi. Dia baru dapat doorprize saat perayaan ulangtahun kantornya. Tebak dapat apa? Paket menginap di salah satu hotel di Sukabumi! Yuhuu, whadda wonderful holiday! Nah berhubung kamar hotel yang disediakan cuma satu, otomatis mama dan papa tidak mengizinkan Bang Dion mengajak serta pacarnya. Hihi, jadi lah aku yang ikut menikmati rezeki nomplok ini. Senangnya…
Kami pergi hari jumat sore sepulang Bang Dion dari kantor. Syukurlah sore itu masih ada bis menuju Sukabumi yang berangkat dari terminal Lebak Bulus. Kondekturnya bilang, itu bus terakhir. Ah kalau sudah rezeki memang enggak kemana.

“Bangunkan aku kalau sudah sampai ya, Bang?” pintaku pada Bang Dion, yang dijawab dengan anggukan pelan. Matanya sudah sayup-sayup. Ah, percuma mengandalkannya.
Sepertinya kami berdua akan tertidur pulas dalam perjalanan menuju Sukabumi kali ini.
Jam 9 malam kami tiba di terminal Sukabumi. Untuk menuju hotel, masih harus naik angkutan umum berwarna merah. Brrr…dinginnya! Untung aku tak lupa mengenakan sweater kuning andalanku. Hmm, akhirnya sweater pemberian tante Ita ini terpakai juga. Lama ia hanya mendekam di lemari. Habis, mau dipakai kapan? Jakarta kan selalu panas.
Woow, keren sekali hotelnya! Lampu kerlap-kerlip yang disusun berbentuk bunga dan binatang-binatang kecil memberi kesan mewah pada hotel berdesain khas pedesaan ini. Ornamen kayu mendominasi sebagian besar bangunan hotel, dengan beberapa saung di bagian samping. Sepertinya itu restorannya. Ah,malam ini aku harus tidur nyenyak supaya tak kehabisan tenaga untuk menikmati sejuknya kota Sukabumi besok dan lusa.

“Halo…”

“Jeni! Kamu pasti masih tidur! Ayo banguuun pemalas!” suara cempreng Tatia mengejutkanku. Hingga sempat aku berpikir jangan-jangan sahabatku yang satu ini bukan berbicara di telepon tapi membuntutiku sampai ke Sukabumi!

“Tia, ini kan liburan.” Elakku.

“Iya tapi kan liburan ini kamu punya misi. Ingat enggak?”

Misi? Apaan yaa? Syarafku mulai dipaksa untuk mengingat, dan… Ah iya!

“Sudah ingat? Atau perlu aku…”

“Enggak perlu! Memoriku enggak seburuk yang kau bayangkan, tau!”

“Sip deh kalau begitu. Kabari aku kalau kamu sudah dapat pangerannya ya! Bye Jeni, mmuaaah!”

Klik!

Aaargh, rencana konyol itu! Aku hampir saja lupa! Oke mari kujelaskan. Sebentar lagi aku akan berulang tahun yang ke-17. Nah beberapa sahabatku memberikan tantangan apakah aku bisa mempunyai pacar di usia istimewaku tersebut? Jika aku berhasil, maka tidak akan ada ritual ceplok telur di kepala atau menceburkanku ke kolam di belakang sekolah, seperti yang dilakukan dengan semena-mena terhadap Ratih sahabatku sebulan yang lalu. Tapi masalahnya, cari pacar itu kan enggak segampang makan kacang! Sial…sial…sial… Apa sih pentingnya untuk punya pacar di usia tujuh belas?

Hari pertama di Sukabumi, aku dan Bang Dion sepakat untuk sarapan di teras kamar saja. Udara yang dingin membuat kami yang terbiasa tinggal di Jakarta, malas untuk keluar kamar.
“Kita mau ngapain hari ini?” tanyaku pada Bang Dion.
“Nanti ya, aku hubungi temanku dulu, Tanya-tanya apa yang seru di sini? Mandi dulu saja lah.” Usulnya.
Selepas mandi, aku tak mendapati Bang Dion di kamar. Ah, mungkin dia sedang jalan-jalan atau menghubungi temannya. Maka aku pun memutuskan untuk jalan-jalan sendiri saja di sekitar hotel.
Baru beberapa meter meninggalkan kamar, mataku beradu pandang dengan seseorang. Aih, cowok ganteng banget! Oh Tuhan, Sukabumi ternyata menyembunyikan salah satu ciptaan-Mu yang terindah. Oke, jangan berpikir bahwa aku akan bertindak norak dengan mengucek-ngucek mata memastikan cowok itu betulan ada atau hanya imajinasiku saja. Tidak, aku tak senorak itu. Aku hanya sulit untuk mengalihkan pandangan darinya, itu saja. Dan tak sanggup untuk tidak membalas senyumnya.
“Jennifer Aquilla. Panggil saja Jeni.” Kataku pendek. Ya, cowok ini ternyata cukup ramah untuk mengajakku berkenalan duluan.
“Asep Surasep. Panggil ajah Asep.” Ucapnya dengan logat sunda yang kental.
Ya ampun, tak hanya logat. Namanya juga sangat mencerminkan nama orang sunda kebanyakan, memakai rumus X-Y-X. seperti tante kantin di sekolahku. Namanya Ice Juice. Nama yang menipu! Pertama masuk sekolah, aku berpikir kalau dia berjualan jus. Tapi ternyata itu adalah namanya. Kami memanggilnya tante Ice. Dia berjualan roti bakar dan tidak ada jus sama sekali!
“Gimana Sukabumi menurut kamu?” Asep bertanya padaku saat kami sudah sama-sama duduk di salah satu saung di hotel ini, dengan latar belakang musik tradisional sunda yang mengalun indah.
“Ummh, aku kan belum kemana-mana. Tapi sejauh ini pendapatku…dingin sekali!” jawabku jujur.
“Itu mah memang masalah semua orang Jakarta yang berkunjung kesini.” Ucapnya sambil tertawa renyah, memamerkan deretan giginya yang rapi.
Kami mengobrol panjang lebar. Asep ini ternyata belum lama lulus kuliah program D-3 perhotelan. Jadi sekarang dia bantu-bantu mengelola hotel yang ternyata milik kakeknya ini. Wow, luar biasa! Masih muda tapi berjiwa pengusaha.
Asep memberitahuku tentang banyaknya tempat makan yang enak untuk dikunjungi di Sukabumi ini. Tak hanya memberitahu rute, ia pun bersedia mengantarkan jika kami tak keberatan. Keberatan? Pasti aku sudah gila jika menolak tawarannya. Kuharap Bang Dion pun berpikiran sama denganku. Jika tidak, aku akan memaksanya. Serius!
“Jeni! Aku cari kemana-mana, eh kamu di sini rupanya.” Bang Dion sudah ada di belakangku. Panjang umur! Baru saja aku memikirkannya.
“Eh bang, kenalin ini Asep.” Ujarku. Asep menyodorkan tangan pada Bang Dion dengan sopan.
“Dion. Wah sudah punya teman baru lagi, nih. Oya Jen, ada sedikit berita buruk. Temanku si Ardi ternyata lagi enggak di Sukabumi. Dia sedang menengok neneknya di Bandung. Jadi ya, kita terpaksa muter-muter sendiri di sini.” Bang Dion menuturkan.
Oh Tuhan, sekali lagi nasib baik berpihak padaku. Ini sih bukan berita buruk namanya, tapi pucuk di cinta ulam pun tiba alias gayung bersambut…atau apa lah istilahnya, terserah! Yang jelas kemungkinan bahwa Asep akan menjadi tour guide dadakan kami sepertinya akan segera terwujud. Tralala trilili, senangnya hatiku!
Dan benar saja, Asep memenuhi janjinya untuk mengantarkan kami jalan-jalan di Sukabumi memakai mobilnya. Bang Dion senang karena usia mereka hanya beda satu tahun, sehingga banyak tema obrolan yang bisa dibahas bersama. Bukan cuma itu sih, tadi sebelum berangkat secara jujur Bang Dion mengatakan padaku bahwa bantuan Asep ini lumayan mengirit isi dompetnya. Huh, dasar!
Tujuan pertama kami tadi sebetulnya ke Citarik untuk arung jeram. Hanya saja begitu kami tiba di sana, hujan turun dengan derasnya. Jadi kegiatan arung jeram pun terpaksa dicoret dari daftar. Sebagai gantinya, Asep mengajak kami untuk makan ikan bakar di resto terapung di dekat lokasi arung jeram. Wow asyiknya! Baru kali ini aku makan gurame bakar sambil naik sampan. Selesai makan, Asep banyak memberikan keterangan pada kami mengenai tempat tersebut. Betul-betul seperti tour guide professional deh! Aku makin kagum saja padanya.
Hari sudah malam ketika kami tiba kembali di hotel. Asep menyuruh kami segera beristirahat karena besok ia akan mengajak kami jalan-jalan lagi.
“Makasih banyak lho, Sep.” ujar Bang Dion.
“Sama-sama. Yuk, sampai besok yah.” Asep kembali memamerkan deretan giginya yang kurasa akan mengundang pujian dari dokter gigi mana pun yang ia datangi.
“Ih, baik banget ya si Asep itu, Bang? Udah baik, ganteng lagi.” Kataku spontan begitu Bang Dion menutup pintu kamar.
“Aah, kamu pasti naksir dia. Iya kan? Ngaku!”
“Mmmh…Gimana ya?”
“Alaah pake sok mikir segala. Gak papa lagi kalau kamu naksir dia juga. Lumayan, nanti kita bisa minta antar pulang ke Jakarta. kan enggak perlu naik bis tuh!” seloroh bang Dion dengan gayanya yang menyebalkan.
“Ih, matre!” Rutukku.
“Adikku yang cantik, itu namanya bukan matre, tapi memanfaatkan dengan optimal fasilitas yang ada.” Bang Dion ngeles sambil mengambil handuknya yang digantung di sandaran kursi. “Lagipula kayaknya si Asep juga naksir sama kamu, deh!” ujarnya sambil masuk ke dalam kamar mandi.
“Aaaargh!” terdengar jerit histeris bang Dion sesaat kemudian.
“Ada apaan, bang?” tanyaku.
“Gila airnya dingin banget! Aku enggak jadi mandi, ah!” katanya sambil ngibrit keluar dari kamar mandi. Aku mencibirnya.

Tik…tok….tik…tok… sudah pukul satu dini hari saat aku terbangun karena pengin pipis. Tampak bang Dion tertidur pulas di balik selimut tebal di atas extra bed di samping kasur yang kutempati. Udara memang sangat dingin.
Ah penyakitku nyaris selalu begini, tak bisa tidur lagi jika sudah terjaga di malam hari. Kutarik selimutku sebatas dada, berharap kantuk akan datang. Tapi nihil, mataku tetap segar. Aargh, kenapa sih pakai pengin pipis segala?
Dan tiba-tiba saja bayangan itu datang… Bukan, bukan hantu. Maksudku bayangan tentang Asep. Duh, malam-malam begini kok ingatnya sama dia ya? Hmm, secara logis sih wajar saja sebetulnya kalau aku ingat sama dia. Soalnya Asep itu ganteng, keren, baik, plus nyetirnya asyik, enggak ngebut. Lalu, Asep itu sopan dan…hebat! Ya iya lah hebat, umurnya hanya terpaut sekitar 4-5 tahun di atasku tapi ia sudah memikul tanggung jawab mengelola bisnis keluarga yang demikian besar ini.
“Enggak cuma aku sendiri, kok. Kakak-kakak sepupuku banyak juga yang bantu. Ini kan hotel milik kakek, jadi ya kami kelola bersama-sama.” Ucapnya merendah ketika tadi siang Bang Doni mengutarakan kekagumannya atas pekerjaannya saat ini.
Eh, apa kata Bang Doni tadi? Asep kayak yang naksir aku? Masa sih? Ehmm, maunya sih begitu. Lucu kali yaa kalau aku jadian sama Asep? Enggak malu-maluin deh gandengnya! Sahabat-sahabatku juga pasti setuju kalau Asep itu seratus persen keren. Dan yang pasti nih, aku akan terbebas dari ceplokan telur di hari ulang tahunku yang ke-17 nanti, karena aku sudah berstatus sebagai pacarnya Asep. Asep Surasep!
Eit, kok agak janggal ya? Asep Surasep… iya bener! Aku baru ingat kalau itu adalah nama panjangnya. Idih, kok kayaknya enggak keren ya? Aduduh, bayangkan saja nanti di profile facebook-ku akan tertulis ‘Jennifer Aquilla is in relationship with Asep Surasep’. Oh my God! Asli enggak keren! Gimana dong? Haruskah aku menyuruh Asep mengganti namanya? Kayaknya ini pilihan yang enggak mungkin. Tampangan Asep sih sepertinya amat sangat sayang dan berbakti pada orangtua. Jadi enggak mungkin banget dia rela mengganti nama pemberian orangtuanya cuma karena aku. Siapa elo? Gitu kali kata Asep.
Tunggu…tunggu, pasti dan mesti ada solusinya. Think it on, Jeni! Oke, gimana kalau sekedar untuk di facebook aja dia pakai nama samaran? Misalnya Asep S. Ah, masih belum keren. Atau apa gitu, ganti aja sekalian jadi Alex! Cuma untuk di facebook. Ah, kalau ini kayaknya Asep enggak keberatan. Demi cintanya sama aku gitu lho! Eh, tapi justru kalau betulan cinta kan mestinya bisa nerima apa adanya? Aduh, bingung!
Ponselku bergetar, nama Tatia tertulis di situ.
“Halo Tia…”
“Jeni, aku enggak bisa tidur! Kenapa ya? Aku kok kepikiran kamu terus? Kangen deeh! Habis, kamu tadi enggak ikutan ngumpul di rumahku sih. Seru lho bareng Aurel, Ratih dan Inge kita rujakan bareng. Buahnya metik di kebun belakang rumah Inge. Segar dan sedaaaap!” Tatia nyerocos.
“Tia, ini jam satu pagi.” Aku mengingatkan.
“Iya siih. Tapi eh, suaramu juga enggak terdengar mengantuk. Belum tidur juga ya? Atau, enggak bisa tidur mikirin aku?”
“Ih, ge-er amat!”
“Biarin. By the way, gimana kamu udah dapat pangeran tampan yang duduk di atas kuda putih dan mengulurkan tangan sekedar untuk bilang Princess Jeni would you marry me?”
“Aaah Tia, norak banget sih kamu?”
“Lho, memang itu salah satu misi liburanmu kali ini, kan?”
“Ummh Tia…a…aku…”
“I got it! Kamu lagi jatuh cinta sama seseorang ya?” Tatia terkadang memang seperti cenayang, tebakannya nyaris selalu jitu.
“Tapi Tia…”
“Intinya iya kan kamu udah dapat orangnya? Yippie, congratulation Jeni!”
“Tia, dia itu…” dan bla bla bla… mengalirlah ceritaku tentang Asep dari A sampai Z. Entahlah Tatia sungguh-sungguh mendengarkan atau sempat tertidur. Sampai akhirnya dia bilang,
“Ah, kayak gitu sih enggak usah terlalu dipikirkan. Kamu itu apa-apa memang suka kebanyakan mikir, makanya enggak maju-maju. Cuek aja, kalau emang kalian sama-sama suka. Ya jalanin aja. Toh enggak bakalan nikah besok juga. Ummh, kecuali ternyata kamu enggak tahan untuk menjadi nyonya Asep Surasep, hihihi!” Tatia cekikikan.
“Are you sure, Tia?”
“Iyaa, seratus persen yakin. Udah cuek aja, kita-kita juga enggak masalah kok. Apalah arti sebuah nama, Jen? Melati kalau diganti namanya jadi bunga tokek juga tetap aja harum. Tapi bunga bangkai, sebaliknya, biar namanya keren Rafflesia Arnoldi, tetap aja bau!” seloroh Tatia setengah menasehatiku. Tanpa sadar aku membenarkan ucapan sahabatku ini.
“Pede aja lagi. Eh kan belum tentu juga si Asep itu punya facebook. Jadi untuk sementara kalau kamu masih belum pede, ya enggak usah publish tentang status.”
Iya ya…bener juga…
“Iya deh, thank you Tia. Kamu memang sahabat yang paling baik!”
“Paling pintar juga dong!”
“Iya, jenius!”
“Jangan lupa…”
“Apa?”
“Nanti traktirannya aku dapat dua porsi ya? Hahahaa!”
“Dasaaaar gentoooong!”
Telepon terputus. Kupingku panas karena kelamaan bertelepon dengan Tatia. Tapi enggak apa-apa, rasanya aku sudah mendapat solusi yang pas. Memang betul kata Tatia, aku ini suka kelamaan kalau mikir. Oh Asep, kok aku jadi tambah suka ya sama kamu??

Minggu pagi aku dan Bang Dion memutuskan untuk…nyari Asep lagi! Hihihi, dasar memang kami enggak mau rugi. Maunya diantar aja. Ya, kan lumayan. Lagipula kami juga enggak hafal jalan. Nanti kalau nyasar kan repot. Tapi kemana Asep ya? Kok dia belum keliatan?
“Kita tanya sama resepsionis aja yuk?” usul Bang Dion, seolah tahu apa yang kupikirkan.
“Enggak kepagian, bang?”
“Udah jam Sembilan gini, Jen. Kita juga enggak bisa pulang terlalu sore, nanti enggak kebagian bis, lho! Ya, lain soal kalau Asep mau ngantar.” Ujar Bang Dion sambil mengerlingkan mata ke arahku. Kali ini aku enggak membantah atau pura-pura enggak tahu. Soalnya aku udah yakin kalau aku suka betulan sama Asep, dan berharap pandangan mata Bang Dion tepat saat dia melihat kalau Asep sepertinya suka juga sama aku.
Resepsionis menyuruh kami langsung saja ke kantor hotel mencari Asep. Walhasil kami celingukan di depan kantor hotel. Berharap dari pintu yang setengah terbuka itu Asep muncul dan langsung mengambil kunci mobilnya, untuk kembali mengajak kami jalan-jalan.
“Maaf, cari siapa ya?” sapa seorang cowok.
“Asep. Kami temannya.” Jawab bang Dion.
“Oh Asep. Kenalkan saya Dadang, saudaranya. Yuk masuk…” dengan ramah ia menawarkan kami untuk masuk ke dalam ruangan kantornya yang nyaman.
“Sudah janjian ya sama Asep?”
“Emmm… enggak juga sih. Cuma kemarin dia nawarin kalau-kalau hari ini kita masih mau jalan, dia mau anter.”
“Ooh… Kayaknya si Asep teh lupa. Soalnya tadi subuh dia pergi ke Jakarta, ke bandara.”
“Bandara? Memangnya Asep mau ke luar negeri?” tanpa sadar aku mencecar.
“Dia mau menjemput Audrey, tunangannya yang baru datang dari Belgia.”
Rasanya mukaku panas. Entah kenapa sebongkah perasaan tidak enak muncul di sela-sela hatiku. Tuhan, inikah namanya cemburu? Dan Bang Dion sepertinya menangkap hal ini.
“Ya udah kalau gitu, kita pamit aja. Yuk Jen, keburu siang. Kan masih mau beli oleh-oleh. Kita nanya-nanya jalan sama orang aja, yuk?” ajaknya sambil menggamit lenganku keluar dari kantor.
Aku berjalan dengan limbung. Hatiku rasanya patah jadi bongkahan-bongkahan kecil.
Audrey….Audrey…Audrey…
Entah cewek itu asli bule, blasteran atau cewek pribumi yang bernama keren. Yang jelas aku yakin seyakin-yakinnya kalau pas dia nerima cinta Asep, dia enggak sibuk memikirkan hal bodoh tentang nama Asep Surasep yang terdengar enggak keren itu.
Oh telur mentah, sambutlah aku di usia tujuh belasku!

Copyright@2011, dilarang meng-copy tanpa seizin BWS