Cerpen: Elie Mulyadi
Aku bukan tipe orang yang menyukai ziarah kubur. Untuk apa? Bagiku berziarah hanyalah satu bentuk kedatangan untuk berdoa – mendoakan orang yang sudah meninggal, dan hal ini tak perlu di lakukan di pemakaman. Doa bisa dilakukan di mana saja, saat kau sedang sholat, atau sedang berdzikir. Doa, di manapun dilakukannya, bila disertai ikhlas insya Allah akan sampai kepada dia yang sudah mendahului kita.
Namun pagi ini, sehari sesudah gema Idul Fitri berkumandang, kakiku malah melangkah ke sini. Ke areal pemakaman yang sudah lama tak kukunjungi. Terakhir kali aku ke sini adalah tiga tahun silam.
Semalam hujan mengguyur, dan pagi ini sisa-sisanya masih ada. Bau rumput dan dedaunan basah tercium. Tangkai-tangkai kemboja yang berserak tersapu angin, menghiasi jalanan setapak yang becek. Namun pagi begitu indah. Sinar matahari mengintip malu-malu di antara dedaunan kemboja.
Ya, tak ada alasan untuk tidak mencintai hari Lebaran. Ketika bumi sejenak istirahat, dan matahari terasa lebih hangat, ada senyum di setiap wajah yang lewat. Pada hari Lebaran, jalanan boleh becek dan berbatu, tapi tidak hatimu.
Langkahku tertuju ke sebuah makam yang batu nisannya sudah separuh patah. Namun masih bisa kubaca sebaris tulisan di sana:
Maryam Siti Zaenab
Lahir : 22 Mei 1980
Wafat: 25 Oktober 2006
Sejenak perasaanku berdesir. Maryam adinda…ah, sudah begitu lama. Nisan ini sudah hampir tiga tahun tak dikunjungi dan tampak tua. Namun dirimu tidak – tak pernah menua bagiku. Namamu selalu terukir manis di hatiku, dan semakin hari nama itu semakin segar membangkitkan kenangan kita.
I don’t have to think very hard, to rewind every frame of my life…
Rasanya baru kemarin kau ada di sisiku. Kau tersenyum malu-malu sambil memainkan ujung jilbabmu. Pipimu yang merona merah, mendadak kontras dengan kerudung putih yang kau kenakan. Subhanallah. Kau gadis tercantik yang pernah kulihat di muka bumi. Dan dari bibirmu yang tipis, baru saja kudengar sebuah kata yang melambungkan hatiku. “Ya, saya bersedia menikah dengan mas Bara.”
Semua orang mengucap syukur. “Acara khitbah ini berjalan lancar. Sekarang tinggal menetapkan tanggal akad dan walimahan,” kata Pak Ustad yang mendampingiku melamar gadis paling cantik dan sholehah di kompleks ini. Rasanya tidak percaya, aku akan menikah dengannya. Ini adalah anugerah terbesar yang pernah kudapatkan sepanjang hidup. Maryam adalah gadis incaran banyak pria, namun akulah yang beruntung dapat mempersuntingnya. Setelah melewati ujian demi ujian, pertanyaan demi pertanyaan, dan syarat demi syarat yang diajukan oleh Pak Haji Kumbara – semuanya menguji tingkat keimanan dan kesungguhanku – akhirnya aku dinyatakan lulus, dan beliau mengijinkanku mengkhitbah putrinya tercinta. Bulan November 2004, tepat seminggu setelah lebaran, ditetapkan sebagai tanggal walimahan.
Aku belum pernah merasakan surga, tapi mungkin beginilah rasanya. Aku sudah lulus dari studi masterku (Islamic Studies) dari sebuah universitas bernama Aberdeen di Inggris, kemudian bekerja sebagai staf ahli peneliti di sebuah universitas islam di Bandung. Pendidikanku cukup, pekerjaanku lumayan, dan di sisiku ada seorang perempuan cantik yang siap mengarungi bahtera hidup bersamaku. Tak terbayang bagaimana bahagianya perasaanku saat itu. Ibadah sholat dan puasaku semakin khusyuk, sebagai wujud rasa syukurku kepada Sang Pemberi Nikmat.
Maryam adalah istri yang taat dan baik pada suami. Ia tak pernah mencelaku, membanding-bandingkan diriku, atau menuntut sesuatu dariku. Ia selalu tersenyum setiapkali aku pulang, dan siap mendengarkan segala keluhan. Segundah apapun hatiku, ia selalu punya cara untuk mengembalikan keceriaanku. Bersamanya aku selalu merasa kembali utuh.
Pernah suatu kali aku difitnah oleh teman sekantor. Mungkin dia iri pada posisiku yang langsung melangkahinya, padahal aku termasuk staf baru. Dia mengadu pada bos kami, menyalahkanku atas segala sesuatu yang tak pernah aku lakukan. Hal ini berbuntut pada kehilangan pekerjaan. Belum enam bulan aku bekerja, aku sudah kena PHK. Dengan seribu tanda tanya dan kemarahan, aku pun pulang dan menceritakan semuanya pada Maryam. Bukannya marah, adinda-ku malah tersenyum dan berkata, “Alhamdulillah. Itu berarti sekarang mas punya banyak waktu untuk mengajar anak-anak di mushola.”
Setelah menikah, Pak Haji Kumbara – mertuaku, memang membangun sebuah rumah mungil untuk aku dan Maryam. Rumah itu dilengkapi dengan mushola yang cukup luas. Setiap sore, Maryam mengundang anak-anak kompleks untuk belajar mengaji di sana. Semakin lama anak-anak yang ikut semakin banyak. Maryam kewalahan, dan terpaksa menggaji seorang asisten pengajar, sebab aku sendiri tidak ada waktu karena kesibukan pekerjaanku. Dan setelah aku di-PHK, aku “direkrut” istriku untuk mengajar di sana. Subhanallah. Meski tak akan sama dengan mengajar mahasiswa, setidaknya aku masih bisa punya kegiatan positif.
Tak lama kemudian, Maryam mengusulkan untuk membuat sekolah SD dan SMP Islam di daerah kami. Biaya investasinya akan cukup besar, namun Maryam punya tabungan. Ditambah dengan sumbangan dari Pak Haji Kumbara, dalam tempo singkat bangunan sekolah sudah berdiri. Aku langsung sibuk dengan tugas baru sebagai ketua yayasan, sementara Maryam menjalani dengan tekun tugasnya sebagai kepala sekolah. Ratusan anak berbondong-bondong masuk ke sekolah yang kami dirikan, dan dalam tempo singkat kami berhasil mengumpulkan uang banyak untuk operasional.
Namun hidup tak selalu semulus angan-angan. Karena kesibukanku bekerja, aku mulai berubah menjadi orang yang setengah-setengah menjalankan agama. Sholat seringkali terlewat, puasa sunnah apalagi – sering lupa dilakoni. Di saat itulah Maryam datang padaku. Dengan suaranya yang lembut ia mengingatkanku, “Mas, kita telah memiliki beberapa hal yang baik dalam hidup, dan sudah saatnya kita memperbanyak rasa syukur.” Hanya itu. Maryam bahkan tidak mengkritikku, atau menyuruhku memperbaiki kualitas ibadahku. Namun aku tahu apa maksudnya. Sejak saat itu aku pun berusaha untuk kembali menjalankan ibadah yang sudah agak lama terbengkalai oleh kesibukan.
Setahun sudah kami mengayuh bahtera rumah tangga. Dan selama itu Maryam tak pernah menunjukkan cela. Ia selalu bersikap hangat. Dan ibadahnya pun taat. Belum pernah kulihat satu malam pun yang dilaluinya tanpa sholat tahajud. Juga belum pernah ada pagi yang terlewat untuk sholat dhuha. Semua staf di kantornya mengaguminya. Semua anak-anak murid di sekolahnya mengidolakannya, meski Maryam selalu berkata, “Hanya satu orang yang pantas kita jadikan idola di muka bumi ini, yakni Rasulullah SAW.” Maryam hampir menyerupai sosok wanita sempurna. Dan aku sangat beruntung telah memilikinya.
Akan tetapi di dunia ini tak ada hal yang benar-benar sempurna, kan? Semua orang selalu memiliki kekurangan. Begitu pula dengan istriku Maryam. Sudah setahun lebih kami menikah, belum juga ada tanda-tanda ia akan mengandung momongan. Sebetulnya aku tak peduli hal ini. Aku menikahinya bukan karena ingin punya anak, tapi karena aku mencintainya, di samping menikah merupakan penggenap setengah tiang agama. Namun suatu hari, Maryam mengajakku memeriksakan diri ke dokter. Dan hasilnya membuat kami saling pandang. Adindaku tercinta mengidap tumor fibroid rahim, begitu kata dokter. Itulah kenapa ia sering kesakitan setiapkali datang bulan. Ia tak pernah bercerita banyak padaku, kukira penyakitnya tidak separah itu. Tak ada jalan lain, kata dokter ia harus dioperasi. Operasi pengangkatan rahim alias histerektomi. Dan setelah operasi, ia dipastikan takkan bisa mengandung!
Maryam bukan tipe wanita yang mudah menangis. Mendengar berita itu, ia pun tidak menangis. Ia hanya semakin tenggelam dalam sujud-sujud panjang. Sepertiga malam selalu diisinya dengan mengaji dan berdzikir. Aku tahu meski tak ada air mata, kegundahan menyelimuti hatinya. Dan aku tak ingin menambah dukacitanya dengan mengungkit-ungkit penyakitnya. Aku hanya lebih sering memeluknya, dan dia pun paham bahwa apapun yang terjadi, aku akan selalu berada di sampingnya.
Ternyata aku salah. Maryam tak sepenuhnya memahamiku. Suatu hari, ia mengajakku bicara serius. “Mas,” katanya. “Besok kita akan kedatangan tamu. Dia sahabat masa kecilku. Namanya Nabila.”
“Oh,” kataku. Aku tak merasa berita ini cukup penting untuk kuanggap serius. Tapi kenapa sorot mata adinda-ku seserius itu?
“Nabila gadis yang soleh, Mas. Dia juga putri seorang kiyai yang dulu pernah menjadi sahabat Ayah. Insya Allah, mas tidak akan menyesal bila menikahinya.”
Apa??? Hampir saja aku terlonjak dari kursi dan menumpahkan teh panas di meja. “Dinda ini bicara apa? Mas nggak mengerti. Siapa yang akan menikah?”
Kulihat Maryam tersenyum. “Mas yang akan menikah. Mas harus berjanji untuk menikahi Nabila.”
Dalam gelagapan bercampur kemarahan, aku bertanya, “Kenapa aku harus menikahi perempuan lain, yang tak kukenal pula! Di sisiku sudah ada istri tercantik di dunia, apa Dinda salah bicara? Apa Dinda sedang tidak sehat?”
“Semua ini sudah kupikirkan, Mas. Sudah kudiskusikan dengan-Nya setiap malam. Dan aku sudah bicara dengan Nabila. Awalnya dia juga menolak sepertimu. Tapi akhirnya bersedia untuk melihatmu dulu. Besok kalian akan kuperkenalkan.”
Semalaman aku tak bisa terpejam. Istriku sedang sakit. Separah itukah penyakitnya hingga jalan pikirannya mulai terganggu? Aku benar-benar mencemaskan istriku.
Besoknya, perempuan bernama Nabila itu benar-benar datang! Dia gadis yang manis, berjilbab rapat, dan punya cara bicara yang lembut memikat. Tapi dibanding Maryam, Nabila bukan tandingan yang tepat. Semakin lama aku berbincang dengan Nabila, semakin aku merasa Maryam istri yang sempurna. Kesempurnaan Maryam justru makin tampak nyata karena keikhlasannya. Ia ikhlas berbagi dengan perempuan lain hanya untuk memastikan suaminya bahagia. Dulu kukira wanita sesaleh ini hanya ada dalam kisah-kisah sahabat nabi. Ternyata aku menemukannya dalam kehidupanku sendiri.
Sayang sekali. Tuhan selalu mengambil orang-orang baik lebih cepat dari yang kita harapkan. Waktu itu, bulan oktober 2006, sehari sebelum lebaran. Maryam terbaring di rumah sakit. Tubuhnya lemah di antara lilitan selang infus yang dihubungkan ke kantong cairan. Operasi pengangkatan rahim telah dilakukan. Namun kondisi Maryam masih begitu lemah. Aku terus duduk di sampingnya, memegang tangannya sambil membaca ayat-ayat suci al Qur’an. Sudah tiga hari Maryam terbaring di rumah sakit, dan yang bisa kulakukan hanyalah menangis sambil berdoa, semoga Tuhan segera mengakhiri penderitaannya. Istri sebaik ini, tak layak menerima cobaan seberat ini.
Kami melewatkan hari lebaran dalam kesunyian dan bau obat. Maryam bahkan tak bisa mendengar permintaan maafku di hari raya ini, sebab ia tak sadarkan diri. Dan kemudian, sehari setelah lebaran, kabar itu datang. Dokter dengan pasti mengatakan bahwa adindaku sudah tiada. Aku ingin menjerit, memaki-maki dokter yang telah gagal mengoperasi. Tapi lalu sadar, mungkin ini jalan takdir yang terbaik. Aku berjuang untuk memenuhi dadaku dengan rasa ikhlas meski amat sulit.
Hari pemakaman telah tiba. Di depanku jenazah istriku seakan bicara, meyakinkan diriku agar tak larut dalam duka. Bahkan di saat terakhirnya, istriku masih berusaha menghiburku, melalui bibirnya yang terkatup dan membentuk senyuman. Dengan kaki hampa, aku berjalan tertatih bersama beberapa orang lain, membawa jenazahnya ke pemakaman. Hujan turun rintik-rintik, membuat hatiku gerimis. Ya Tuhan, aku ingin menangis. Tapi layakkah aku menangisi seseorang yang dengan gembira menyambut Tuhannya? Tidakkah seharusnya aku bahagia? Tak lama lagi Maryam-ku akan menjelma jadi seorang bidadari. Bidadari surga, insya Allah…
Setelah Maryam tiada, aku mencoba melanjutkan kehidupanku. Mengurus yayasan pendidikan. Namun semakin hari, aku semakin tak betah. Rumah ini, sekolah ini, dan anak-anak murid ini, semua mengingatkanku pada perempuan terbaik dalam hidupku. Setiap dinding, lantai, sofa, dan kamar di rumah ini, seolah berbicara. Dan yang kudengar adalah suara Maryam. Aku sungguh belum bisa mengikhlaskan kepergiannya. Kenyataan bahwa ia yang kucintai telah pergi, seakan mengiris hati. Semakin lama tubuhku semakin kurus. Dan aku harus bertindak sesuatu sebelum semuanya berubah menjadi lebih buruk.
Aku akan meninggalkan Bandung. Ya. Sudah kuputuskan begitu. Aku akan pergi ke Inggris tempat kuliah masterku dulu. Seorang teman mengabariku sebuah pengumuman beasiswa S3. Dia mendaftarkanku untuk beasiswa itu dan ajaibnya diterima. Aku akan meninggalkan kampung halaman, meninggalkan sejuta kenangan. Rumah dan yayasan kuserahkan kembali kepada Pak Haji Kumbara. Dan jabatan kepala sekolah yang sebelumnya dipegang Maryam kini diserahkan kepada Nabila. Aku percaya Nabila bakal dapat memegang amanah itu dengan baik. Kalau kuingat lagi hari itu, hari ketika Maryam berusaha menjodohkanku dengan Nabila, rasanya dada ini semakin pedih. Benar, aku harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini.
Dan begitulah, selama tiga tahun lamanya aku menetap di Inggris. Sudah banyak teman yang berusaha menjodohkanku dengan seorang akhwat. Semuanya cantik-cantik dan solehah. Tapi bayangan Maryam membuatku tak bisa menerima kehadiran mereka.
Nabila sering mengirimiku surat. Isinya hanya menanyakan kabar, dan cerita tentang perkembangan sekolah. Namun aku tak pernah membalasnya. Untuk apa?
Tapi di dunia ini tak ada yang abadi, bukan? Begitu pula diriku. Tuhan menakdirkanku untuk berubah, sama halnya dengan perubahan waktu dan usia. Suatu hari seorang temanku mengajak berbincang. Ia berkata, “Aku tahu kamu sangat mencintai mendiang istrimu. Tapi cinta saja tidak cukup, Bar, selama kau belum membuktikannya.”
“Aku sudah menyimpan namanya dalam hatiku selama tiga tahun ini. Dengan apa lagi aku harus membuktikan cintaku?”
“Membuktikan cinta bukan dengan cara menunggu. Dia tidak akan datang meski kau terus menunggu. Dia sudah tenang di alam sana, Bar. Yang perlu kaulakukan hanyalah merelakannya, dan melupakannya.”
“Melupakannya? Tidak mungkin!”
“Kalau kau tidak bisa, masih ada satu cara untuk membuktikan cintamu padanya.”
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Yaitu melaksanakan keinginan terakhirnya.”
Aku tertegun. Keinginan terakhirnya? Apa keinginan terakhir Maryam. Kucoba untuk mengingat-ingat, namun otakku seperti tersumbat. Aku memikirkan hal itu semalaman. Kubongkar lagi laci-laci, sama seperti kubongkar memori. Kemudian, di sanalah aku menemukan setumpuk surat. Ada surat dari Ibu, dari Ayah. Ada beberapa biodata akhwat yang dulu hendak dipertemukan denganku dalam taaruf. Dan ada surat-surat lain...yang sebelumnya kuanggap tidak penting.
Seperti dikejutkan oleh aliran listrik, memoriku terbuka. Bukankah keinginan terakhir Maryam adalah….
Tidak, bisikku. Aku tidak bisa. Tapi perkataan temanku benar. Dengan apa aku akan membuktikan cintaku selain melaksanakan amanat istriku? Hatiku bimbang antara “ya” dan “tidak”. Dan begitulah, malam itu aku tercekam dalam gundah. Lebaran tak lama lagi akan menjelang. Setelah berpikir semalaman, akhirnya kubuat keputuskan. Aku akan pulang.
***
Aku masih terdiam di depan nisan istriku. Aku bertanya-tanya, apa yang sedang dilakukannya di alam sana. Apakah dia masih bisa melihatku? Apakah dia masih teringat padaku? Apakah dia memaafkanku karena belum bisa menjadi suami yang sempurna untuknya?
Jauh di depan sana, rumah Pak Haji Kumbara dan bangunan sekolah terlihat atapnya. Kemarin lebaran, aku sudah mampir ke sana. Dan hari ini, aku ingin berlama-lama di sini, di depan nisan yang baru kukunjungi lagi setelah tiga tahun kutinggalkan. Perlahan kucabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar makam. Kuambil beberapa bunga kemboja yang jatuh dari pohonnya dalam keadaan masih segar. Kuletakkan bunga-bunga itu di atas nisan.
Aku tidak tahu untuk apa aku datang ke sini. Memohon ijin, ataukah meminta maaf? Aku tak tahu apa pendapat Maryam tentang keputusanku ini. Aku hanya bisa melantunkan doa agar di alam sana, Maryam selalu bahagia. Bukankah ini pula hal terakhir yang diinginkannya?
Sesuatu bergerak di belakangku. Suara ranting terinjak mengusik pendengaranku. Perlahan aku menoleh. Dan di sanalah sosok yang kukenal tengah berdiri dan tersenyum ke arahku. Di tangannya tergantung sekeranjang kecil bunga kemboja.
“Mas, sudah selesai berdoanya?” tanya Nabila.
Copyright@2009 by Elie Mulyadi, dilarang mengcopy cerpen ini tanpa izin penulis