Saturday, August 7, 2010

Sebuah Cerita Lebaran 13 Tahun Silam

Cerpen: Elie Mulyadi





Ketika dia meng-add namaku di Facebook, aku tak begitu tertarik untuk melihat profilnya. Sebuah permohonan pertemanan masuk ke emailku, dan tanpa melihat namanya aku langsung saja setuju. Ah, paling orang yang iseng menjelajahi jaringan, lalu saat menemukan fotoku, dia tertarik menambahkanku sebagai teman. Itulah dugaanku. Jadi aku heran ketika suatu pagi, sebuah foto muncul di beranda facebook-ku. Lengkap dengan ucapan “marhaban ya ramadhan” yang diketik dengan huruf-huruf kapital.

Foto itu mengingatkanku pada seseorang. Seorang pria yang telah begitu lama kulupakan. Butuh beberapa menit untuk mengingat-ingat, di mana aku pernah bertemu dengannya, dan kapan aku pernah mengenalnya. Akhirnya benakku tertuju ke masa 13 tahun silam. Ya. Tidak salah lagi. Dia adalah mantan teman SMA-ku.

Namanya Fajar, sebut saja begitu. Bukan seorang yang istimewa. Maksudku, dia tidak pernah jadi cinta pertamaku atau apa. Pertemanan kami biasa saja. Namun karena suatu hal yang pernah dilakukannya, aku mulai memandangnya dengan “agak berbeda”.

Kejadiannya pada akhir tahun 1996. Waktu itu aku duduk di bangku kelas tiga, dan sedang sibuk mempersiapkan ujian semester. Meskipun kelulusan SMU masih cukup lama, namun para murid sudah membicarakannya sejak awal. Termasuk Fajar. Dia sekelas denganku, dan karena aku termasuk bintang kelas, dia sering datang ke mejaku. Hanya untuk mengobrol tentang persiapan ujian akhir, universitas yang akan dipilih selepas lulus nanti, dan beberapa hal tentang masa depan yang lebih jauh.

Aku sudah merasa pasti dengan pilihan-pilihanku. Aku akan lulus, meraih nilai tinggi, dan masuk ke universitas favorit. Namun saat kutanya Fajar akan memilih universitas mana, pandangannya langsung tertunduk. “Aku nggak tahu. Mungkin aku nggak nerusin kuliah. Aku mau kerja aja.”

“Wah, sayang dong. Nilai-nilai kamu kan bagus. Pasti kamu bakal diterima di universitas bagus.”

Dia tersenyum dan menggelengkan kepala. “Tidak,” katanya. “Aku mau kerja aja. Aku nggak punya biaya untuk ngelanjutin kuliah.”

Aku melihat sorot kesedihan di matanya. Tapi aku tahu, Fajar cowok yang tegar. Kudengar dia berasal dari keluarga miskin, tapi dia nggak minder. Dia bisa bergaul dengan siapa saja di sekolah, termasuk dengan anak-anak gaul dari kalangan borjuis.

Dua hari sebelum lebaran tiba, aku dikagetkan oleh kedatangan Fajar ke rumahku. Dia datang sore hari ketika rumahku sedang sibuk dengan persiapan buka puasa. “Selamat lebaran,” katanya dengan senyum terkembang.

“Kenapa kamu datang ke sini?” tanyaku heran. Lebaran masih dua hari lagi, kenapa dia sudah mengucapkannya sekarang.

“Karena aku nggak punya uang buat membelikanmu kartu lebaran. Jadi lebih baik ke sini, toh rumahku nggak terlalu jauh dan bisa jalan kaki.”

Aku cuma geleng-geleng kepala. Setahuku rumah Fajar ada di daerah Kadugede, yang kalau naik angkot saja perlu waktu setengah jam. Jadi berapa jam dia sudah menghabiskan waktu untuk jalan kaki? Ah, kasihan sekali. Puasa puasa begini, pasti dia lelah dan haus sekali.

Kami pun mengobrol di teras rumah. Obrolan ngalor ngidul – tentang sekolah, tentang teman-teman, dan lagi-lagi tentang rencana kami selepas SMA. “Aku akan kehilanganmu,” katanya. Aku tak mengerti apa maksudnya. Yang aku tahu, setelah lulus nanti kami memang akan berpisah, mungkin untuk selamanya. Kecuali kalau selepas SMA kami menggelar reuni, itu lain lagi.

“Aku juga akan kehilanganmu,” jawabku singkat. Dan kulihat di matanya melintas sebuah pancaran hangat.

“Oya, kamu akan kerja apa nanti?” aku mengalihkan pembicaraan supaya kami tidak terjebak dalam suasana yang mulai terasa janggal.

Dia mengedikkan bahu. “Belum tahu. Tapi sepertinya aku akan ikut pamanku di Tangerang, kerja di bengkel.”

“Ooh.”

Percakapan kami pun berakhir sampai di situ. Hari semakin sore dan ia pamit pulang. Mamaku memintanya untuk berbuka puasa bersama kami, namun Fajar menolak. Akhirnya Mama membekalinya oleh-oleh dan minuman untuk berbuka di jalan. Ia tersenyum senang dan mengucap terima kasih. “Makasih juga atas ucapan lebarannya,” kataku tulus.

Aku tak mau memikirkan Fajar lagi. Meskipun dia lumayan manis, bagiku dia bukan teman yang istimewa. Dan aku pun tak berharap menjadi teman istimewanya. Terutama karena masa depannya yang nampak suram (suatu anggapan yang kusesali sekarang). Makanya aku kaget ketika sehari setelah kunjungan itu, Fajar menelepon ke rumahku. Aku jadi sempat berpikiran negatif, jangan-jangan dia menyukaiku.

Tapi apa yang kudengar di ujung telepon, membuatku lebih terpaku dibanding kalau dia menyatakan rasa suka padaku.

“Lie, makasih ya atas oleh-olehnya. Dan juga ngobrolnya. Sebenarnya aku kemarin ke rumahmu karena punya suatu tujuan. Aku mau pinjam uang.”

Kukorek kupingku. Jangan-jangan aku salah dengar. “Kamu mau apa? Pinjam uang?”

Terdengar keraguan di sana. “Mmh, ya, Lie. Itu pun kalau kamu nggak keberatan.”

“Iya tapi buat apa kamu pinjam uang segala?”

“Aku hanya ada suatu keperluan mendesak,” katanya, tak mau berterus terang.

Keperluan apa, pikirku. Fajar memang berasal dari keluarga tak mampu. Ayahnya seorang penjaga sekolah yang sering tak dibayar. Ibunya berjualan makanan di pasar. Tapi aku tak mengerti dia berani sekali meminjam uang segala. Kalau bukan buat main-main, pastilah untuk keperluan yang sangat penting. Apakah ayahnya sakit? Atau ibunya? Atau adiknya barangkali? Kudengar salah satu anggota keluarganya sedang dirawat inap di rumah sakit, tapi tak jelas siapa, dan kemarin aku lupa menanyakannya.

“Kamu mau pinjam berapa?” kataku akhirnya.

“Tiga ratus ribu.”

Apa? Tiga ratus ribu? Itu bukan jumlah uang yang kecil bagiku. Aku bisa saja menyediakan sejumlah itu, tapi itu berarti harus membobol tabungan. Duh, bagaimana ya?

Akhirnya setelah berpikir cukup lama, aku menjawab, “Baiklah. Tapi kuharap uang itu akan benar-benar menolong keluargamu.”

“Makasih ya, Lie,” katanya setelah hening beberapa lama. Esok harinya, tepat di malam lebaran, dia datang lagi ke rumahku untuk menjemput uang itu. Kali ini dia mau diajak buka puasa bareng keluargaku. “Fajar cakep juga yah,” bisik Mama. Aku segera mendelikkan mata. Wah, andai Mama tahu Fajar datang bukan untuk wakuncar, tapi untuk meminjam uang, pasti deh kalimat itu nggak akan keluar. (Hehehe)

Setelah kejadian itu aku tak pernah dekat lagi dengannya. Maksudku, ketika liburan hari raya sudah berakhir dan kami masuk sekolah kembali, hubungan kami jadi tak sedekat sebelumnya. Bukan berarti sebelumya kami dekat, namun maksudku, Fajar jadi agak menjauh dariku. Dia menjaga jarak denganku. Tak pernah datang lagi ke mejaku, meski cuma untuk mengobrol. Ah, mungkin dia malu sudah pinjam uang. Atau, dia malu karena belum bisa membayar.

Sebetulnya aku sudah merelakan uang itu. Maksudku, kalau memang uang itu digunakan untuk biaya pengobatan keluarganya yang sakit, aku harus mengikhlaskannya, bukan? Tapi sikap Fajar yang menjauh membuatku penasaran. Jangan-jangan uang itu memang tidak digunakan untuk sesuatu yang benar. Apalagi kudengar selentingan akhir-akhir ini ada beberapa geng siswa melakukan perjudian. Aku tak rela bila Fajar terlibat dalam geng itu dan memakai uangku untuk suatu perbuatan haram.

Kebetulan sekali suatu hari Fajar tidak masuk sekolah, dengan alasan sakit. Aku dan teman-temanku jadi punya kesempatan untuk menjenguknya. Sekalian ingin menyelidiki, kemana sih larinya uang yang dia pinjam dariku?

Sesampainya di rumah yang sangat sederhana itu, aku tidak melihat Fajar. “Dia sedang di balai desa,” ucap adik perempuannya. Oh, jadi dia tidak sakit. Aku semakin curiga. Dengan diantar oleh adik perempuannya, aku dan teman-teman pun menuju ke balai desa. Dan di sanalah kutemukan dia. Di antara kerumunan orang-orang, Fajar bergerak ke sana ke mari.

Mataku terpaku pada sebuah spanduk besar yang dipasang di balai desa, berisi kalimat: Pembukaan Pesantren Anak Oh, jadi inilah yang sedang dikerjakannya. Dia sedang membuka pesantren untuk anak-anak. Sungguh di luar dugaan.

Begitu melihatku datang, Fajar segera menghampiriku. Dia memberi isyarat agar kami berdua agak menyingkir dari teman-teman supaya bisa bicara empat mata.

“Lie, aku minta maaf. Aku, aku belum bisa mengembalikan uang pinjaman. Karena pesantrennya baru dibuka dan belum ada calon murid yang membayar.”

Fajar menjelaskan bahwa uang yang kupinjam dariku tidak digunakan untuk membiayai ayahnya yang sedang dirawat di rumah sakit. “Biaya berobat ayahku ditanggung semua oleh pamanku,” jelasnya. Fajar menggunakan uang itu bersama uang-uang sumbangan lainnya untuk menggelar khitanan massal buat anak-anak yang tidak mampu. Acara khitanan itu digelar pas di hari lebaran. (Oh, jadi itulah kenapa dia datang padaku menjelang hari lebaran.)

“Acara itu ditujukan untuk menarik Pemda supaya mau menyumbangkan dana untuk pembuatan pesantren ini. Dan alhamdulillah, sekarang pesantren ini dapat berdiri. Hanya saja belum ada yang mendaftar, jadi aku belum bisa mengembalikan uangmu.”

Aku mendadak tak tahu harus berkata apa. Di depanku aku melihat seorang pemuda yang tidak hanya manis, namun juga baik hati. Bayangkan, di tengah kesulitan hidupnya, di tengah sakit orang tuanya, Fajar masih bisa peduli pada sesama. Aku merasa amat malu. Aku lahir di tengah keluarga yang lebih mampu, namun tak pernah melakukan amal ibadah sebaik itu. Meski lahir dalam kemiskinan, Fajar telah membuat perbedaan. Dan itulah yang membuatnya “istimewa” di mataku.

Sekarang, 13 tahun setelah kejadian itu, aku tersenyum sendiri membaca inbox di Facebook-ku. Fajar masih belum banyak berubah, senyumnya masih seperti dulu. Foto itu hanya menunjukkan usianya yang sudah bertambah banyak sejak perpisahan kami di SMA. Melalui chatting, kami mengobrol banyak hal. Kini dia sudah menjadi pengusaha beberapa bengkel yang cukup besar, dan mendirikan sebuah panti asuhan. Aku sungguh gembira bisa menyambung silaturahmi dengannya.

Oya, satu lagi. Dia masih sendiri. Adakah yang berminat untuk berkenalan dengan pria baik ini?